BETA
Hidup yang Rohani dan Pemberontakan Anak
Sumber: telaga
Id Topik: 918

Abstrak:

Meski kita tertarik pada hal-hal yang bersifat rohani namun belum tentu kita berminat untuk hidup secara rohani. Alasannya sederhana: Hidup secara rohani mengharuskan kita untuk menanggalkan hidup dari kendali di tangan kita. Salah satu masalah yang kerap muncul di tengah keluarga dewasa ini adalah pemberontakan anak terhadap kehidupan rohani yang dituntut darinya. Untuk itu sebagai orang tua kita harus berhati-hati dalam menangani masalah pemberontakan anak mengenai masalah kerohanian. Hal apa saja yang bisa kita perbuat?

Transkrip:

[hidup_yang_rohani_dan_pemberontakan_anak] =>

"Hidup yang Rohani dan Pemberontakan Anak"

Lengkap

oleh Pdt. Dr. Paul Gunadi

Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Hidup yang Rohani dan Pemberontakan Anak". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

GS : Banyak orang berpendapat kalau keluarganya hidup secara rohani, rajin ke gereja, rajin membaca Kitab Suci maka tidak akan terjadi pemberontakan di dalam rumahnya terutama yang dilakukan oleh anak-anak mereka Pak Paul, tapi kenyataan berbicara lain. Dan ini bagaimana ?

PG : Setuju, Pak Gunawan. Memang tidak mesti karena kita hidup rohani dan menaati Tuhan maka anak-anak kita akan mengikuti jejak kita, malahan tidak akan ada garansi kalau mulai dari anak-anak ecil kita ajarkan firman Tuhan dan berusaha keras mendekatkannya dengan Tuhan pada akhirnya akan menjadi anak-anak yang seperti kita inginkan yaitu hidup yang takut akan Tuhan.

Jadi pada masa pertumbuhan anak, ada begitu banyak faktor, ada begitu banyak situasi yang nanti akan masuk ke dalam kehidupannya yang nantinya bisa memberikan kepadanya angin baru atau haluan yang baru dalam hidup yang tidak kita setujui.
GS : Padahal ada janji Tuhan di dalam firman Tuhan yang mengatakan kalau kita sungguh-sungguh taat kepada Tuhan maka anak-anak kita akan diberkati oleh Tuhan, Pak Paul.

PG : Sudah tentu Tuhan tidak akan ingkar janji, itulah yang menjadi kehendak-Nya dan itulah keinginan-Nya. Namun di pihak lain kita juga harus mengerti bahwa Tuhan tidak memaksakan orang untuk enerima-Nya atau mengakui-Nya.

Tuhan mau agar anak-anak-Nya mengasihi Dia secara sukarela. Itu sebabnya ada anak-anak yang meskipun dibesarkan di dalam keluarga Kristen, mengenal Tuhan Yesus tapi pada akhirnya memutuskan untuk meninggalkan Dia dan memang Tuhan tidak memaksa orang untuk menerima-Nya.
GS : Alasannya itu apa, Pak Paul ?

PG : Karena cinta kepada Tuhan harus diberikan secara sukarela, kalau kita diprogram oleh Tuhan mengasihi Dia maka sudah tentu kita akan kehilangan makna kasih yang sesungguhnya. Itu sebabnya Than memberikan kepada kita kebebasan itu.

GS : Jadi kalau kita mau hidup secara rohani, maka kita harus bagaimana, Pak Paul ?

PG : Seringkali yang kita harus sadari ialah meskipun kita tertarik pada hal-hal yang bersifat rohani namun belum tentu kita berminat untuk hidup secara rohani, ini adalah tema yang akan saya agkat.

Kenapa ? Alasannya sangat sederhana karena hidup secara rohani mengharuskan kita menanggalkan hidup dari kendali di tangan kita. Jadi artinya kita berminat atau ingin tahu dengan hal-hal yang rohani, tidak sama dengan hidup secara rohani. Kadang-kadang saya tahu orang tua bertanya-tanya, "Kenapa anak saya yang tadinya rajin ke gereja, rajin membaca firman Tuhan atau giat terlibat di dalam pelayanan tapi sekarang tidak lagi menunjukkan minat yang sama bahkan ada di antara mereka yang memutar haluan dan menolak untuk pergi ke gereja." Sedikitnya ada dua penjelasan, yang pertama memang waktu anak-anak kecil mereka tidak memberontak tapi tidak berarti bahwa mereka sudah menerima tantangan untuk hidup secara rohani, sesungguhnya ia tidak memberontak sebab pada masa kecil dia belum memiliki pemikiran yang canggih untuk memutuskan apakah ini adalah sesuatu yang ingin atau yang tidak ingin dilakukannya, karena pada masa kanak-kanak secara kognitif kemampuannya untuk berpikir belumlah terlalu tinggi sehingga dia hanya mengikut saja. Dan pada masa dewasalah dia baru bisa berpikir dengan lebih kritis, lengkap dan sempurna sehingga belum tentu dia mau menerima. Bukankah pada masa anak kecil, dia harus mengikuti kehendak orang tua dan kemungkinan sudah ada pemberontakan dalam dirinya namun pada masa itu pemberontakan masih bisa dipadamkan dengan relatif mudah. Itu sebabnya anak mengikuti kehendak orang tua tanpa banyak protes, tatkala sudah besar barulah dia memberontak dan tidak mau mengikuti apa yang kita ajarkan kepadanya.
GS : Jadi semasa kecil anak memang penuh ketergantungan kepada orang tua dan ketika dia merasa sudah mandiri, dia boleh mengambil keputusan sendiri, dia boleh mengambil sikap sendiri. Apakah itu bentuk pemberontakannya ?

PG : Betul sekali. Sebab sekarang dia tidak lagi harus bergantung dan di saat itulah dia akan menggunakan kebebasannya untuk benar-benar menentukan kehendaknya.

GS : Itu tentu karena pengaruh lingkungan atau yang dia dapatkan dari media-media lain jadi semacam menumbuhkan kesadaran bahwa, "Kamu harus memutuskan sendiri dan tidak harus menuruti orang tuamu," itu juga bisa menjadi suatu pemicu, Pak Paul ?

PG : Betul sekali. Jadi karena tekanan yang mengatakan, "Tidak mengapa kamu harus memilih ini dan sebagainya" seperti halnya memilih memakai baju akhirnya anak-anak kita juga berpikir, "Tidak aa-apa" tapi kita harus tekankan bukan masalah pakai baju warna kuning atau warna biru, tapi ini masalah keyakinan kita dan hubungan kita dengan Tuhan yang akan berdampak sampai pada kekekalan.

GS : Mungkin ini juga bisa dikatakan sebagai dampak negatif dari pengenalan hak asasi manusia, karena banyak orang yang mengatakan, "Ini hak asasiku untuk aku memilih apa yang aku mau, tidak harus menuruti Papa dan Mama."

PG : Saya kira ada dampak atau pengaruh itu juga, meskipun di pihak yang lain kita juga justru harus bisa berkata, "Dengan adanya kesadaran bahwa mereka itu sekarang bisa dan boleh memilih sekeendak hati maka dengan kata lain kalau mereka sungguh-sungguh memilih Kristus, mereka memilih atas dasar pilihannya bukan karena ikut-ikutan atau pengaruh lingkungan".

Dengan perkataan lain, menguatnya konsep hak asasi manusia sedikit banyak memurnikan hal-hal untuk mengikut Tuhan, dari yang ikut-ikutan menjadi yang sungguh-sungguh ikut. Maksudnya orang yang ikut-ikutan akhirnya akan gugur. Mungkin dulu kita bersenang hati ketika melihat banyak yang ikut tapi sebetulnya banyak yang ikut-ikutan. Bukankah kita tahu bahwa Tuhan lebih mementingkan pengikut yang sungguh-sungguh mau mengikut Dia ?
GS : Pak Paul, bagaimana mengenai pemberontakan terhadap kehidupan rohani ini sebenarnya ?

PG : Ada beberapa Pak Gunawan, kita akan melihat mengenai penyebab anak memberontak terhadap kehidupan rohani. Yang pertama adalah anak memberontak sebab ia tidak siap untuk hidup rohani artiny hidup sesuai dengan tuntutan Tuhan sebagaimana tertera dalam Firman-Nya.

Pada masa kecil kerohanian pada dasarnya lebih merupakan masukan yang bersifat pengetahuan belaka. Sudah tentu tidak ada salahnya dengan hal ini, usia belia adalah tanah yang subur untuk bertumbuhnya firman. Jadi seyogianyalah ada anak yang diajak untuk mengenal Tuhan melalui cerita serta mulai mempraktekkan disiplin rohani seperti berdoa dan membaca firman Tuhan. Namun bagaimana pun juga pada usia-usia kecil ini penerapan firman dalam kehidupannya relatif terbatas dan tidak semuanya relevan untuk anak-anak pada usia belia. Misalnya godaan dosa cenderung terbatas pula sesuai perkembangan tubuh dan jiwa si anak. Memasuki usia remaja dan akhirnya dewasa awal anak barulah memasuki lebih banyak tantangan dan godaan. Pada saat itu firman Tuhan mulailah bertabrakan dengan keinginan-keinginan yang muncul dari dalam daging dan pada titik ini anak harus mengambil keputusan menuruti kehendak sendiri atau mengikuti kehendak Tuhan.
GS : Kalau anak sampai tidak siap atau belum siap menghadapi kenyataan kehidupan rohani yang seperti itu, suatu saat akan terjadi benturan antara apa yang dia ketahui dan dia imani dengan kenyataan dan kebenaran firman Tuhan. Apakah itu wujud dari kelalaian orang tua memersiapkan anak atau karena ketidaktahuan orang tua bahwa anak akan mengalami hal itu ?

PG : Sudah tentu ada bagian yang harus kita akui yaitu seringkali pada masa anak-anak kecil yaitu tidak berpikir sejauh itu, menganggap yang penting anak-anak ke Sekolah Minggu semuanya akan bees dan nanti semuanya akan beres dan lurus.

Tapi saya kira kebanyakan orang tua juga tidak memikirkan sejauh itu dan orang tua tidak mengerti akhirnya mereka kurang memersiapkan anak. Tapi di pihak lain kita juga harus mengerti bahwa pada masa kanak-kanak mereka hanya bisa menerapkan firman Tuhan sejauh itu, sebab tantangan-tantangan dan godaan memanglah belum terlalu relevan dalam hidupnya. Misalnya pada masa anak-anak berumur 9 tahun dimana hormon-hormon seksual belum mencapai bentuk optimalnya, sudah tentu godaan seksual tidak terlalu relevan untuk anak-anak yang berumur 8 atau 9 tahun. Mungkin godaan yang lebih relevan untuk anak-anak seperti itu adalah godaan berbohong atau mencuri. Jadi minum-minuman keras, mabuk-mabukan hal itu memang belum relevan dalam hidupnya. Dengan kata lain dalam usia seperti itu, tugas orang tua atau tugas gereja harus memberikan panduan-panduan, pedoman-pedoman karena itulah yang memang bisa diterimanya. Kita berharap bahwa dalam penyampaian-penyampaian itu kita juga mulai memersiapkannya bahwa kelak dia mungkin akan menghadapi ini dan itu dan kemudian kita memersiapkan mereka, bagaimana nanti dia bisa mengatasinya. Tapi sudah tentu pengetahuan secara rasional, tidak sama dan berbeda dengan ketika dia menghadapi godaan itu. Jadi waktu dia sudah dewasa, dia benar-benar menghadapi godaan itu di depan matanya, untuk berkata "tidak" itu menjadi sangat susah.
GS : Jadi sekali pun dia tahu tapi belum tentu dia mampu mengatasi godaan dosa itu, Pak Paul ?

PG : Betul sekali.

GS : Waktu seseorang itu menjadi dewasa, maka makin banyak godaan yang harus dia hadapi, itu berarti kemungkinan besar dia makin jatuh di dalam dosa, Pak Paul ?

PG : Betul sekali. Jadi semakin sering dia jatuh ke dalam dosa maka ini yang menjadi masalahnya maka semakin besar pula godaan untuk meninggalkan Tuhan. Memang ada yang akan dengan terbuka mengkui kegagalannya dan memohon dukungan doa atau meminta agar teman-temannya itu memberikan dukungan dan kekuatan.

Tapi ada pula yang tidak bersedia mengakui kegagalannya dan malah menyalahkan perintah Tuhan sendiri. Anak yang tidak bersedia mengakui kegagalannya adalah anak yang pada akhirnya memberontak. Dengan kata lain pemberontakan merupakan wujud pergumulannya menaati Tuhan.
GS : Tapi memberontak ini, memberontak kepada Tuhan atau kepada orang tuanya Pak Paul ?

PG : Sebetulnya pada dasarnya memberontak kepada Tuhan karena dia tidak sanggup, tidak bisa menaati Tuhan. Sudah tentu orang tua yang menjadi wakil Tuhan di rumah, yang mencoba mengingatkan ana, ia menjadi sasaran pemberontakan dia tapi sesungguhnya pemberontakan itu sebetulnya ditujukan kepada Tuhan, dia merasa tidak sanggup dan dia merasa kalau perintah ini tidak realistis, berlebihan, dia disalahkan, dihukum karena tidak bisa menaati firman Tuhan, dia tidak suka dan memberontak.

GS : Apakah itu dalam wujud anak ini tidak mau lagi ke gereja, tidak mau lagi membaca Kitab Suci, tidak mau lagi diajak berdoa. Apakah seperti itu, Pak Paul?

PG : Betul sekali. Jadi banyak anak-anak di masa remaja atau dewasa yang akhirnya meninggalkan Tuhan, sebetulnya kalau mau jujur, mereka itu bergumul dengan kelemahannya, dengan dosa-dosa yang arus dihadapinya namun tidak mau mengakuinya dan daripada mengakui dan malah menyalahkan Tuhan, maka cara yang ditempuhnya adalah memutuskan hubungan dengan gereja dan dengan Tuhan supaya tidak perlu lagi diganggu oleh rasa bersalah.

GS : Kalau sudah seperti itu apakah ada cara penanganannya, Pak Paul ?

PG : Sebagai orang tua kita harus mendampingi anak dengan kasih dan mengedepankan penerimaan, bukan penghakiman, katakan kepadanya kalau kita pun pernah mengalami pergumulan yang sama dan kita un bergumul dengan dosa.

Kendati kita sekarang ini belum bergumul dengan dosa yang sama. Tatkala kita membuka diri, pada umumnya anak akan merasa dirangkul dan inilah yang dibutuhkan oleh si anak.
GS : Masalahnya adalah kalau kita membandingkan seperti itu, kadang-kadang anak juga tidak mau dibandingkan, Pak Paul. "Papa dulu bisa mengatasi dan sebagainya dan sekarang saya menghadapi masalahnya yang lebih serius daripada yang Papa alami", hal ini justru memutuskan hubungan komunikasi antara orang tua dengan anak, Pak Paul.

PG : Dan memang saya kira untuk hal-hal tertentu kita harus akui bahwa godaan dan tantangan yang dihadapi anak sekarang jauh lebih besar. Contohnya sekarang adalah dalam hal godaan seksual, jau berbeda dengan godaan yang kita hadapi 30 tahun yang lalu karena sekarang bisa mendapatkan apa pun dengan begitu mudahnya.

Jadi dengan kata lain, pergumulan mereka jauh lebih berat dan inilah yang harus kita katakan kepadanya, "Kamu benar, dalam hal ini pencobaan yang kamu hadapi berlipat ganda dan lebih besar daripada yang Papa atau Mama hadapi dulu." Jadi kita tidak membutakan mata terhadap fakta bahwa memang untuk dosa-dosa tertentu, hal ini memang berat untuk mereka hadapi. Dengan kita berkata seperti itu, sekali lagi kita mengkomunikasikan penerimaan, pengertian kepada anak.
GS : Mungkin ada cara lain penangganannya, Pak Paul ?

PG : Kita bisa mengajak anak untuk melanjutkan pergumulan anak dan bukan menghentikan pergumulan. Jadi ajaklah anak untuk datang kepada Tuhan kendati kita belum dapat membawa persembahan yang kdus, berilah pengertian juga kepadanya bahwa kadang kita pun juga harus datang kepada Tuhan membawa persembahan kudus.

Maksudnya hidup kita kudus tapi adakalanya kita datang kepada Tuhan membawa persembahan ampun, artinya kita mengakui bahwa kita tengah berdosa dan kita memohon pengampunan-Nya. Kita mesti mengingatkan dia akan janji Tuhan yang tertera di 1 Yohanes 1:8-10, "Jika kita berkata, bahwa kita tidak berdosa, maka kita menipu diri kita sendiri dan kebenaran tidak ada di dalam kita. Jika kita mengaku dosa kita, maka Ia adalah setia dan adil, sehingga Ia akan mengampuni segala dosa kita dan menyucikan kita dari segala kejahatan. Jika kita berkata, bahwa kita tidak ada berbuat dosa, maka kita membuat Dia menjadi pendusta dan firman-Nya tidak ada di dalam diri kita."
GS : Menghadapkan anak dengan firman Tuhan di dalam kondisi seperti itu, apakah tidak akan membuat dia semakin menjauh dari Tuhan, Pak Paul ?

PG : Justru dikatakan kalau firman Tuhan ini mengundang dan bukan menghalau kita, firman Tuhan justru mengakui bahwa semua yang datang kepada Tuhan ialah orang berdosa. Jadi tidak ada seorang pn yang dapat berkata, "Saya tidak berdosa" jadi firman Tuhan justru mengundang dia dan ini yang akan kita tekankan kepadanya.

GS : Mungkin ada sebab yang lain kenapa anak memberontak kepada kita ketika kita mengharapkan untuk dia hidup dengan rohani.

PG : Yang kedua adalah anak memberontak sebab dia tidak menerima begitu saja apa yang dikatakan oleh firman Tuhan. Pada usia remaja anak sudah memiliki kemampuan berpikir yang hampir mencapai bntuk finalnya.

Sebagai akibatnya anak mulai memertanyakan apa yang diketahui dan diterimanya, ada yang masuk di akalnya namun ada yang tidak masuk di akalnya. Makin canggih dan makin ilmiah corak pemikirannya maka makin berat tantangan yang harus dihadapinya untuk menerima bagian dari firman Tuhan yang memang sulit dicerna oleh nalar. Ada anak-anak yang akan mencari masukan tambahan untuk menambah pemahamannya akan firman Tuhan, tapi ada pula anak yang tidak, pada umumnya anak yang tidak mencari kebenaran akhirnya memutuskan bahwa dia tidak dapat lagi memercayai firman Tuhan, dia cenderung mencari kesimpulan sendiri dan membentuk pemahaman spiritual yang paling sesuai dengan pengertiannya.
GS : Kelihatannya memang ada anak-anak yang cenderung rohani, jadi memang senang dengan hal-hal yang bersifat rohani tetapi ada juga sebagian anak yang memang sejak kecil sudah kurang minat terhadap hal-hal yang rohani. Apakah hal itu benar, Pak Paul ?

PG : Saya kira ya, memang tidak semua sama. Misalnya kita tidak memfokuskan pada anak-anak dan orang dewasa, secara statistik lebih banyak perempuan yang tertarik dengan hal-hal yang bersifat rhani dibandingkan laki-laki.

Kenapa seperti itu ? Karena memang cara berpikir pria yang lebih rasional dan lebih konkret, itu memang akan lebih menyulitkan dia untuk membayangkan relasi dengan Tuhan yang memang abstrak. Jadi agak susah bagi laki-laki untuk menumbuhkan minat rohani. Jadi dengan kata lain, kita dengan anak laki-laki lebih harus berdialog dengan lebih intelektual, karena itulah yang lebih bisa diterimanya.
GS : Jadi cara penanganannya ini bagaimana, Pak Paul ?

PG : Kita harus mengajak anak untuk terus terlibat dalam dialog yang terbuka. Akan timbul godaan dengan kita untuk memadamkan perdebatan, seringkali kita marah atau kita katakan bahwa anak kitakurang ajar dengan Tuhan namun kita harus melawan godaan ini, kita harus dengan sabar mencoba menjawab pertanyaannya yang kadangkala bersifat menantang.

Kita juga sedapatnya mengembalikannya kepada firman Tuhan. Memang ada kecenderungan di pihak dia untuk mendasari argumennya atas nara sumber di luar Alkitab, coba dengarkan dan jangan kita langsung memutuskan, "Itu tidak benar dan sebagainya" tapi dengarkan dan ajaklah dia untuk melihat firman Tuhan. Jadi setelah mendengarkan argumennya yang dipaparkan sana-sini, kemudian ajak dia kembali kepada firman Tuhan. Dan yang juga penting adalah kita harus terbuka dengan pemikirannya pula. Mungkin kita juga perlu menerima masukannya sebab kita juga harus mengakui bahwa kita juga tidak mengetahui semuanya. Jadi ada hal-hal yang dia katakan dan masuk akal juga dan mungkin juga kita tidak bisa menerima sepenuhnya tapi kita katakan, "Baiklah itu juga masuk akal dan saya akan pertimbangkan, berilah saya waktu untuk memikirkannya." Dengan kita berkata seperti itu, maka kita mengkomunikasikan bahwa kita pun juga berniat mencari kebenaran bukan membela kebenaran kita saja. Dan itulah yang perlu dilihat oleh anak dari kita.
GS : Jadi sebenarnya ini juga memotivasi orang tua untuk belajar kebenaran firman Tuhan, Pak Paul, karena makin banyak anak yang kritis dan bertanya kepada orang tuanya. Saya rasa ini tidak bisa dengan mudah dilepas, "Tanya saja kepada pendetamu, pada guru agamamu dan sebagainya," tapi sebetulnya ini adalah tanggung jawab orang tua.

PG : Betul. Semakin kita itu tidak tahu apa-apa tapi kita memaksa anak untuk ikut dengan kita maka sebenarnya itu akan memancing pemberontakan anak, Pak Gunawan. Sebab mereka akan berpikir, "Paa dan Mama sendiri tidak tahu apa-apa tapi menyuruh kita, kita bertanya tapi mereka tidak bisa menjawab."

Itu membuat mereka makin menggelitik dan membuat mereka makin tergoda untuk berkata, "Tidak perlulah, karena Papa dan Mama sendiri tidak tahu apa yang mereka percaya tapi mengapa kita harus ikut-ikutan mereka." Jadi kita sendiri harus mendalami firman Tuhan, sehingga anak pun tahu bahwa kita ini sungguh-sungguh mengerti firman Tuhan.
GS : Tapi kalau pun itu terjawab, kadang-kadang yang namanya anak remaja seringkali ingin tahu hal yang lebih banyak. Maka mereka akan bertanya kepada orang yang justru tidak seiman dengan kita, yang mendukung argumen-argumennya dia.

PG : Sudah tentu. Jadi memang tidak bisa mengisolasi dia dari lingkungan. Jadi waktu kita dengar dia berkata ini dan itu berdasarkan sumber-sumber lainnya maka sekali lagi kita mencoba mendengakan dan jangan langsung mengecap atau melabelkan semuanya seperti ini dan itu, lebih baik jangan seperti itu.

Sebab semakin cepat kita melabelkan orang lain maka makin kita terlihat kalau kita hanya berpikiran sempit, tidak mau terbuka dengan pandangan-pandangan yang lain. Jadi silakan kita dengarkan dan berdialog namun tetap kembalikan dia ke firman Tuhan.
GS : Mungkin masih ada alasan yang lain, Pak Paul ?

PG : Yang terakhir adalah anak memberontak sebab mereka melihat kehidupan kita yang tidak rohani namun menuntutnya hidup rohani. Kita harus menyadari hal ini bahwa pada umumnya anak itu bereaks keras terhadap kemunafikan.

Jadi bila kita sendiri tidak hidup rohani akan sulit bagi kita memintanya untuk hidup rohani. Jadi cara penanganannya sangat jelas, yaitu kita sendiri harus memperlihatkan upaya untuk hidup rohani, mungkin kita tidak selalu berhasil namun akuilah kegagalan dan bangkitlah untuk mencoba kembali. Inilah yang diharapkan anak dan inilah cara terbaik menghadapi pemberontakan anak terhadap kehidupan rohani yaitu kita sendiri mencoba untuk hidup rohani.
GS : Bukan maksudnya orang tua itu hidup munafik tetapi di dalam segala keterbatasannya, orang tua seringkali gagal di dalam menjalankan kebenaran firman Tuhan, kalau sudah seperti itu dan anak melihat maka bagaimana meyakinkan anak kalau kita itu bukan munafik dan kali ini kita gagal.

PG : Kalau kita terlalu sering gagal, tidak bisa tidak lama-lama anak akan berkata "Percuma", yang pertama membuat dia merasa kalau kita itu hanya bisa bicara tapi tidak bisa melakukan, yang keua anak lama-lama juga akan berpikir "Kalau begitu Tuhan yang Mama dan Papa percaya tidak memiliki kekuasaan yang penuh, sehingga Papa dan Mama hanya bisa bicara tapi kemudian jatuh lagi ke dalam dosa."

Jadi sekali lagi di pihak kita, kita juga jangan mudah menoleransi dosa di dalam diri kita dan kita harus menunjukkan tekad kuat untuk hidup rohani, hidup benar di hadapan Tuhan.
GS : Kalau Pak Paul katakan, penanganannya adalah dengan mengakui kelemahan kita di hadapan anak, apakah itu tidak menurunkan wibawa orang tua terhadap anak ?

PG : Saya kira kalau kita itu mengakui bahwa kita gagal tapi kita bangkit kembali maka kita akan tetap bisa memertahankan otoritas rohani kita, tapi kalau kita terus menerus bicara bahwa kita ggal dan kita gagal, maka saya rasa wibawa rohani kita akan langsung merosot.

GS : Jadi ini membutuhkan suatu usaha yang sungguh-sungguh dan terbuka di hadapan anak bahwa kita memang mau memerbaiki diri dan tidak ada salahnya jika kita meminta anak itu untuk mendukung kita, supaya kita bisa melakukan kebenaran firman Tuhan itu. Apakah seperti itu ?

PG : Betul. Itu jauh lebih baik dari pada kita mencoba menutup-nutupinya, apalagi anak sudah besar kita juga memintanya mendukung dalam doa, menguatkan kita, saling mengingatkan dan sebagainya.

GS : Jadi kehidupan rohani yang akan kita bangun di dalam keluarga kita, itu bukan tanggung-jawab satu atau dua orang tetapi menjadi tanggung-jawab bersama orang tua, anak, suami-istri. Apakah seperti itu ?

PG : Betul.

GS : Terima kasih Pak Paul untuk perbincangan ini. Dan para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi, dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Hidup yang Rohani dan Pemberontakan Anak". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.


Ringkasan:

Meski kita tertarik pada hal-hal yang bersifat rohani namun belum tentu kita berminat untuk hidup secara rohani. Alasannya sederhana: Hidup secara rohani mengharuskan kita untuk menanggalkan hidup dari kendali di tangan kita. Salah satu masalah yang kerap muncul di tengah keluarga dewasa ini adalah pemberontakan anak terhadap kehidupan rohani yang dituntut darinya.

Kerap kali orang tua bertanya-tanya, mengapakah anak yang tadinya rajin ke gereja dan membaca Firman Tuhan serta giat terlibat dalam kegiatan pelayanan tiba-tiba sekarang tidak lagi menunjukkan minat yang sama. Sedikitnya ada dua penjelasan tentang fenomena ini.

  • Tatkala kecil anak tidak memberontak bukan karena ia sudah menerima tantangan untuk hidup secara rohani. Sesungguhnya ia tidak memberontak sebab pada masa kecil ia belum memunyai pemikiran yang canggih untuk memutuskan apakah ini adalah sesuatu yang ingin atau tidak ingin dilakukannya.
  • Juga, pada masa kecil anak harus mengikuti kehendak orang tua dan segala jenis pemberontakan pada masa ini tentulah dapat dipadamkan dengan relatif mudah.

Sekarang secara lebih mendalam marilah kita melihat mengapakah anak memberontak terhadap kehidupan rohani.

Pertama, anak memberontak sebab ia tidak siap untuk hidup rohani-sesuai tuntutan Tuhan sebagaimana tertera di dalam Firman-Nya. Usia belia adalah tanah subur untuk tumbuhnya Firman; jadi, sudah seyogianya anak diajak untuk mengenal Tuhan lewat cerita serta mulai mempraktekkan disiplin rohani seperti berdoa dan membaca Firman Tuhan.

Memasuki usia remaja dan akhirnya dewasa awal, anak barulah menghadapi lebih banyak tantangan dan godaan. Pada saat itu Firman Tuhan mulailah bertabrakan dengan keinginan-keinginan yang muncul dari dalam daging dan pada titik ini anak harus mengambil keputusan-menuruti kehendak sendiri atau mengikuti kehendak Tuhan.

Cara Penanganan
  • Sebagai orang tua kita harus mendampingi anak dengan kasih dan mengedepankan penerimaan, bukan penghakiman.
  • Kita mengajak anak untuk melanjutkan pergumulan, bukan menghentikan pergumulan. Ajaklah dia untuk terus datang kepada Tuhan kendati kita belum dapat membawa persembahan yang kudus. Berilah pengertian kepadanya bahwa kadang kita datang kepada Tuhan membawa persembahan kudus, namun adakalanya kita datang kepada Tuhan membawa persembahan ampun-mengakui dosa dan memohon pengampunan-Nya. Ingatkan akan janji Tuhan di 1 Yohanes 1: 8-10.

Kedua, anak memberontak sebab ia tidak menerima begitu saja apa yang dikatakan oleh Firman Tuhan. Pada usia remaja anak pun sudah memiliki kemampuan berpikir yang hampir mencapai bentuk finalnya. Sebagai akibatnya anak mulai memertanyakan apa yang diketahui dan diterimanya. Makin canggih dan ilmiah corak pemikirannya, makin berat tantangan yang harus dihadapinya untuk menerima bagian dari Firman Tuhan yang sulit dicerna nalar.

Cara Penanganan
  • Ajaklah anak untuk terus terlibat dalam dialog yang terbuka. Dengan sabar cobalah jawab pertanyaannya yang memang kadang kala bersifat menantang.
  • Sedapatnya, kembalikan dia kepada Firman Tuhan. Dengarkanlah pendapatnya yang di luar Alkitab dan kemudian ajaklah dia untuk melihat Firman Tuhan.
  • Terbukalah dengan pemikirannya pula. Mungkin kita pun perlu menerima masukannya.

Ketiga, anak memberontak sebab ia melihat kehidupan kita yang tidak rohani namun menuntutnya untuk hidup rohani. Pada umumnya anak bereaksi keras terhadap kemunafikan. Jadi, bila kita sendiri tidak hidup rohani akan sulit buat kita memintanya untuk hidup rohani. Cara penanganan masalah ini jelas: Kita sendiri harus memerlihatkan upaya untuk hidup rohani.


Questions: