Kesengsaraan dan Karakter II
Sumber: telaga
Id Topik: 870
Abstrak:
Tidak ada yang senang dengan kesusahan. Sedapatnya kita berupaya untuk menghindar dari kesusahan. Bagi kita kesusahan identik dengan kesengsaraan dan kesengsaraan identik dengan kemunduran yang berakhir dengan keputusasaan—sebuah cara pandang yang pesimistik dan negatif. Namun sebuah karakter yang dihasilkan kesengsaraan adalah karakter yang bergantung penuh pada Tuhan. Ada 6 hal yang akan diuraikan untuk proses pembentukan karakter yang melibatkan kesusahan dan kesengsaraan.Transkrip:
Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini merupakan kelanjutan dari perbincangan kami terdahulu tentang "Kesengsaraan dan Karakter". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
GS : Pak Paul, kali ini kita masih akan melanjutkan perbincangan kita yang terdahulu tentang kesengsaraan dan karakter dan mungkin ada beberapa pendengar kita yang waktu itu tidak sempat mendengarkan. Mungkin Pak Paul bisa mengulas secara singkat apa yang sudah kita bicarakan pada kesempatan yang lalu ?
PG : Pembahasan kita sebetulnya didasarkan dari Roma 5:3-5, yaitu Firman Tuhan yang berkata, "Dan bukan hanya itu saja. Kita malah bermegah juga dalam kesengsaraan kita, karena kita tahu, bahwa kesengsaraan itu menimbulkan ketekunan, dan ketekunan menimbulkan tahan uji dan tahan uji menimbulkan pengharapan. Dan pengharapan tidak mengecewakan, karena kasih Allah telah dicurahkan di dalam hati kita oleh Roh Kudus yang telah dikaruniakan kepada kita." Pak Gunawan, pada dasarnya seperti ini. Kita ini kadang-kadang tidak berpikir realistik dan kita ingin memunyai karakter yang indah tapi kita tidak mau untuk membayar harganya, ternyata untuk bisa memiliki karakter yang baik perlu harga mahal yang harus kita bayar dan harga mahal itu adalah kesengsaraan. Dari manakah munculnya kesengsaraan? Kesengsaraan adalah sebuah reaksi yang keluar dari diri kita atas kesusahan yang kita alami. Saya bisa gambarkan seperti ini, kesusahan itu datang dari luar diri kita, misalkan sebuah musibah yakni kehilangan pekerjaan, kehilangan orang yang kita kasihi dan sebagainya. Sewaktu kita masih bisa menghadapinya, maka kita mungkin tidak sampai jatuh sengsara, tapi waktu kita tidak bisa lagi menahannya maka kita jatuh sengsara. Ternyata Firman Tuhan berkata, "Jangan melihat sengsara secara negatif, justru lihatlah secara positif karena dari kesengsaraan ini nanti akan keluar satu karakter yaitu buah ketekunan dan ketekunan ini nanti yang akan menghasilkan sebuah karakter yang bagus yaitu tahan uji dan nanti dari tahan uji akan keluar sebuah sikap hidup yang sangat penuh dengan pengharapan pada Tuhan. Jadi Rasul Paulus di kitab Roma meminta orang-orang Kristen untuk tidak lari dari kesusahan tapi berani menanggungnya sebab bagi Rasul Paulus, selagi Tuhan membiarkan kesengsaraan itu melanda hidup kita, Tuhan sedang mengerjakan sesuatu dalam hidup kita pula yaitu membangun sebuah manusia yang baru.
GS : Karakter yang Allah kehendaki ada di dalam kehidupan kita, sebenarnya terkait dengan karakter dari pribadi Allah sendiri, Pak Paul?
PG : Betul sekali. Jadi seperti ini, kadang kita beranggapan menjadi orang Kristen itu hanya hidup bebas dari hukuman dosa. Jadi kita datang kepada Tuhan seolah-olah datang kepada Penolong yang melepaskan kita dari masalah. Sudah tentu saya tidak akan berkata bahwa Tuhan tidak akan seperti itu, sudah tentu itu betul karena Tuhan adalah penolong kita dan Tuhan menolong tidak dengan terpaksa menolong kita, tapi memang Tuhan mau menolong kita. Namun Tuhan menyelamatkan kita bukan hanya dengan tujuan membebaskan kita dari hukuman dosa yaitu kematian. Tuhan menyelamatkan kita agar kita bisa bertumbuh menjadi anak-anak-Nya karena sebelumnya kita ini bukan anak Tuhan, tapi setelah kita menerima keselamatan dari Kristus Tuhan kita, maka kita menjadi anak-anak-Nya. Dia ingin menurunkan sifat-sifat-Nya kepada kita. Karena kita ini dari luar dan waktu masuk ke dalam rumah Tuhan, kita perlu belajar sifat-sifat Tuhan agar nantinya bisa mengembangkan sifat-sifat Allah itu. Maka Tuhan bukan saja menyelamatkan kita, tapi Tuhan juga membentuk kita supaya kita menjadi seperti Dia dan kita benar-benar menjadi anak Tuhan yang mewarisi sifat-sifat Allah. Konsep ini adalah konsep yang harus kita camkan karena sebagian dari orang-orang Kristen tidak menyadari hal ini dan hanya memikirkannya seperti ini, "Saya menjadi anak Tuhan supaya bisa mewarisi berkat-berkat Tuhan," itu adalah satu bagian yang diterima menjadi anak Tuhan yaitu mewarisi berkat-berkat Tuhan. Tapi terlebih penting yaitu Ia ingin agar kita mewarisi sifat-sifat-Nya dan bukan hanya berkat-berkat-Nya. Untuk bisa mewarisi sifat-sifat Allah itu, ternyata kita harus melalui jalan yang lumayan berat yaitu jalan kesengsaraan.
GS : Apakah ini juga terkait dengan pemulihan manusia sebagai gambar dan teladan Allah, Pak Paul ?
PG : Betul sekali, Pak Gunawan. Kita ini diciptakan Tuhan sesuai dengan gambar-Nya, dan kita ini sangat serupa dengan Dia yaitu memiliki sifat-sifat Allah tetapi setelah kita jatuh ke dalam dosa sifat-sifat kita ini mengalami transformasi, transformasi menuju kepada yang buruk dan kita mewarisi sifat-sifat iblis. Sehingga misalnya kita menginginkan sesuatu dan kita tidak mendapatkannya maka kita marah, memukul orang. Kalau kita ingin sesuatu tapi jalan tertutup dan kita menggunakan jalan-jalan yang salah menipu kanan-kiri, itu adalah sifat-sifat iblis yang kita warisi dari iblis sebab waktu kita jatuh ke dalam dosa yang begitu dalam, kita tidak lagi memunyai sifat-sifat Allah tersebut malahan kita mewarisi sifat-sifat dari iblis. Tuhan menyelamatkan kita dan kita dibebaskan dari hukuman dosa yaitu kematian, kemudian Tuhan juga mulai membentuk kita agar kita ini kembali lagi menjadi seorang manusia sebagaimana Tuhan ciptakan menjadi anak-anak Allah yang sungguh-sungguh memiliki karakter-karakter Allah.
GS : Itu berarti membutuhkan suatu proses yang panjang bukan terjadi seketika ketika kita diselamatkan oleh Tuhan, begitu Pak Paul ?
PG : Betul sekali. Proses untuk menjalani pembentukan ini sudah tentu harus berjalan seumur hidup dan tidak mengenal batas waktu. Kuncinya adalah kepatuhan. Ada anak-anak Tuhan yang susah bertumbuh dan susah mewarisi sifat Allah karena susah patuh. Sebaliknya kalau kita bersedia patuh yaitu dengan yang penting menerima, yang penting mengikuti semua yang menjadi kehendak Tuhan, maka makin patuh, makin cepat kita mewarisi sifat-sifat Allah. Ini menjelaskan sesuatu, mungkin kita mengenal orang yang sudah menjadi Kristen sudah berpuluhan tahun, bergereja dan menjadi orang Kristen tapi sifat-sifatnya tetap bukan sifat-sifat Kristus, sifat-sifatnya itu mirip dengan sifat-sifat iblis, kalau marah, benci, iri hati sungguh-sungguh bisa menjadi begitu jahat dan hati itu bisa menjadi begitu kotor. Kenapa bisa seperti itu? Besar kemungkinan karena orang ini tidak mengembangkan kepatuhan sehingga Allah itu ingin mewariskan sifat-sifat-Nya tapi tertahan oleh kekerasan hatinya. Tapi sebaliknya ada orang-orang yang belum lama menjadi orang Kristen dan menerima keselamatan dari Kristus namun dengan cepat mengalami perubahan-perubahan. Kenapa seperti itu? Karena lebih patuh, apa pun yang Tuhan ajarkan dia terima dan apa pun yang Tuhan inginkan, dia melakukannya. Akhirnya dengan cepat dia bertumbuh mewarisi sifat-sifat Allah itu.
GS : Ketidak patuhan kita, seringkali karena tidak sesuai atau tidak sejalan dengan apa yang kita pikirkan, "Allah itu membentuk saya, tapi kenapa caranya seperti ini ?"
PG : Khusus Pak Gunawan, tentang pembentukan karakter, jalannya itu hanya satu yaitu jalan kesengsaraan. Kenapa? Sebab di dalam kesengsaraan, maka karakter itu benar-benar dibentuk dan dipoles sehingga menjadi seperti yang Tuhan inginkan. Ibaratnya seperti besi yang begitu keras, mau dibengkokkan untuk menjadi alat yang berguna maka harus dibakar dan dipanaskan sampai besi yang begitu keras akhirnya lunak dan bisa dibengkokkan menjadi alat yang berguna. Begitu juga dengan kita, ibarat besi yang keras maka perlu api kesengsaraan yang membakar kita agar kita lunak, waktu sudah lunak barulah Tuhan bisa membengkokkan kita, menciptakan sebuah alat dalam diri kita yang berguna bagi pekerjaan Tuhan. Makanya untuk bisa menumbuhkan karakter yang Tuhan inginkan, tidak bisa tidak harus lewat jalan kesengsaraan.
GS : Kalau ada orang yang tidak tahan dengan kesengsaraan itu Pak Paul, seperti yang Pak Paul gambarkan yaitu seperti besi yang dibakar sampai panas dan kemudian dibengkokkan, kalau orang ini belum sampai panas kemudian dibengkokkan maka akhirnya patah. Jadi orang ini kemudian meninggalkan Tuhan atau bahkan memutuskan untuk bunuh diri. Apakah kita yang melihat seperti ini bisa berkata bahwa Tuhan itu terlalu berat memberikan kesengsaraan buat orang itu?
PG : Karena Dia adalah Tuhan, maka kita bisa berkata bahwa Tuhan tahu sebetulnya kesanggupan kita dan Tuhan sudah berjanji Dia tidak akan memberikan api pembakaran yang lebih panas dari apa yang bisa kita tanggung. Kalau sampai di tengah jalan kita sudah patah maka besar kemungkinan ini adalah pilihan kita. Bukan salah Tuhan yang memberikan kepada kita terlalu banyak, tapi salah kita yang tidak mau menerimanya maka kita kemudian lari sebab kekuatan Tuhan selalu tersedia. Namun saya tidak berkata karena ada kekuatan Tuhan maka kita tidak mengalami sakitnya. Itu sebabnya buah pertama yang disebut di kitab Roma tadi adalah ketekunan. Artinya waktu kita mengalami rasa sakit, tapi kita tidak lari tetap tekun artinya berdiam diri dan menahannya. Dalam rekaman yang lampau, saya sudah menggunakan istilah tempaan pukulan, ibarat orang yang belajar beladiri mau melatih ketahanan tubuhnya, justru dia harus memperkuat tangannya, badannya melalui pukulan-pukulan supaya lama-kelamaan tubuh itu mengeras dan mengeluarkan reaksi yang diharapkannya. Tetapi apakah dia tidak merasakan sakit lagi? Dia tetap merasakan sakit namun dia bisa menahannya. Kalau kita mau membedakan orang yang kuat atau yang lemah, yang dewasa atau yang kekanak-kanakan sudah tentu ini ukurannya. Orang yang dewasa dan kuat bisa menahan sakit, bisa menahan derita. Tapi orang yang lemah dan kekanak-kanakan tidak bisa menahan derita dan sakit, kalau ada derita dan sakit, dia menjadi kacau dan kalut, menyalahkan orang dan menuduh orang di sekitarnya untuk berbuat ini dan itu bagi dirinya. Tapi orang yang kuat dan dewasa bertahan, terdiam dan menghadapinya meskipun menerima pukulan demi pukulan dan dia tidak lagi lari kemana-mana. Inilah karakter yang Tuhan inginkan yaitu ketekunan.
GS : Padalah orang ini sulit sekali untuk menerima kesukaran yang seperti itu. Jadi dia memunyai kerentanan tersendiri terhadap penderitaan yang dia alami dan ini bagaimana, Pak Paul?
PG : Kadangkala kita ini harus mengakui bahwa kita tidak kuat dalam segala hal, adakalanya kita ini kuat menghadapi hal-hal tertentu, tapi dalam hal-hal yang lain kita tiba-tiba menjadi lemah. Jadi jarang ada orang yang kuat dalam segala hal. Sebagai contoh misalkan seorang wanita yang menghadapi hidup susah, tidak ada uang, dia tahan lapar, dia mengalami semua itu namun dia kuat, kemudian jatuh cinta kepada seseorang dan perempuan ini dicintai, tapi setelah satu tahun berpacaran dia ditinggal pacarnya, dia bisa sangat "down" tidak mau bertemu orang, mengalami depresi berat. Dan orang lain yang mengenal dia menjadi bingung, dulu dia mengalami kesusahan yang berat-berat namun dia tahan tapi ketika ditinggal pacar, reaksinya seperti ini. Kita ini adalah manusia yang tidak sempurna dan ketahanan kita ini jarang merata. Jadi ada waktu-waktu rasanya kita ini seperti terhantam. Di dalam hidup kalau kita mau mengembangkan karakter yang Tuhan inginkan memang kita harus melalui jalur kesengsaraan itu. Jadi justru di daerah dimana kita lemah dan rentan, biasanya Tuhan mengizinkan kesusahan datang dan sebagai reaksi kita mengalami kesengsaraan namun kalau kita bisa bertahan mengeluarkan ketekunan, maka lama-kelamaan kita akan mengeluarkan reaksi berikutnya yaitu tahan uji. Maksudnya tahan uji itu ialah tahan sakit, dari situlah nanti karakter Kristen itu akan bertumbuh.
GS : Pak Paul, ketidak mampuan seseorang menghadapi kesengsaraan dalam satu bidang seperti yang Pak Paul katakan, itu terkait dengan imannya atau tidak ?
PG : Saya kita tidak selalu terkait dengan iman, memang kadang-kadang orang cepat melabelkannya atau menuding, "Kamu ini kurang iman makanya kamu mengalami ini dan itu jadi kamu harus lebih kuat" dan sebagainya. Tapi seringkali yang saya temukan tidak seperti itu, jadi bukan masalah iman. Memang bisa jadi dalam hal-hal lain dia sungguh beriman kepada contoh yang saya berikan tadi. Kalau dia tidak beriman, maka pada waktu mengalami kesusahan, tidak ada pekerjaan atau uang dan sebagainya, kalau dia sama sekali tidak beriman harusnya dia juga tidak runtuh dari dulu tapi karena dia beriman maka dia bertahan. Pertanyaannya kenapa waktu ditinggal pacar dia bisa runtuh seperti itu dan dia kehilangan pegangan. Apa yang terjadi? Bisa jadi ini adalah wilayah yang memang lemah dalam hidupnya karena dari dulu wilayah ini tidak pernah terpenuhi. Dia tidak pernah merasakan kasih sayang dalam hidupnya dan kemudian menemukan seorang pria yang menyayanginya, dia begitu senang dan menikmati kasih sayang itu namun akhirnya harus kehilangan orang yang dikasihinya karena dia tidak mau bersama dengan perempuan ini. Akhirnya dia mengalami reaksi yang begitu berat. Seringkali itu yang terjadi dan itu tidak berkaitan dengan kerohanian. Makanya di dalam rekaman yang lampau kita jangan cepat berkata, "Saya salah apa, Tuhan? Saya berdosa apa sehingga harus mengalami ini?" Belum tentu dan kadang tidak ada hubungannya dengan kesalahan atau dosa-dosa kita, tapi memang Tuhan membiarkan kesusahan itu datang agar akhirnya Dia bisa memperkuat wilayah yang lemah dalam diri kita itu.
GS : Pak Paul, kalau kita berbicara tentang ketekunan dan tahan uji, itu juga merupakan suatu karakter yang positif di dalam diri seseorang.
PG : Betul. Jadi itu adalah karakter yang lebih sesuai dengan desain awal Tuhan tentang siapakah manusia itu, manusia yang diciptakan Tuhan sesuai dengan gambar Tuhan adalah manusia yang seharusnya tahan uji yang memunyai ketekunan dan tidak mudah menyerah, bisa menahan derita dan sakit. Ini adalah yang Tuhan idamkan pada semua manusia dan bukan hanya kita sebagai orang-orang Kristen.
GS : Tapi prosesnya lama sekali. Misalkan kita tahan uji terhadap suatu penderitaan dan kesengsaraan, maka lain kali pasti akan menghadapi kesengsaraan dengan versi yang lain, Pak Paul ?
PG : Betul. Jadi tidak selalu kita kuat. Jadi mungkin saat ini kita kuat menghadapi pukulan yang berat, kemudian misalkan 10 tahun berlalu keadaan aman-aman saja, tapi kemudian terjadi sesuatu yang lain lagi. Sebetulnya kalau dilihat secara manusiawi, yang terjadi yang kedua itu lebih ringan daripada yang pertama, tapi bisa jadi waktu kita mengalaminya kita tidak bisa lagi kuat dan pada saat itu kita sedang lemah. Pada waktu kita sedang mengalami tiba-tiba hal itu menjadi sangat berat bagi kita. Namun sekali lagi yang mau kita pelajari adalah kita tidak mau bergantung pada berapa besarnya pukulan itu dan apakah pukulan itu? Kita harus bergantung kepada Tuhan yang memberi kita kekuatan, ini yang selalu Tuhan inginkan. Jadi jangan sampai mata kita bergeser dan harus terus memandang Yesus, memohon kekuatan dari-Nya, agar bisa menghadapi pukulan-pukulan hidup sebesar apa pun.
GS : Jadi tujuan utamanya adalah supaya kita punya harapan untuk terus-menerus berharap kepada Tuhan Yesus, menjalani hidup yang pasti ada kesengsaraannya ini, Pak Paul ?
PG : Betul sekali, Pak Gunawan. Jadi Firman Tuhan berkata, dari ketekunan muncul tahan uji dan nanti yang keluar adalah pengharapan. Orang yang memiliki karakter yang kuat yang indah seperti yang Tuhan inginkan adalah orang yang positif dan orang yang melihat harapan, dia tidak mudah berputusasa karena ini lahir dari pengalamannya. Dia mengalami tempaan, tapi Tuhan tetap menolong dan Tuhan memberikan kekuatan. Sebagai contoh, waktu saya selama 8 bulan tidak memunyai pekerjaan, saya tahu kalau Tuhan akan menolong saya, mencukupi saya dan saya menerima janji Tuhan bahwa sandal saya pun tidak akan lapuk, sebab Tuhan akan pelihara hidup saya. Waktu saya menjalani semua itu, tidak berarti saya tidak mengalami sakitnya, deritanya, sengsaranya, saya tetap mengalami semua itu tapi tetap saya klaim janji Tuhan, saya memohon kekuatan-Nya dan saya mau bersandar kepada kekayaan-Nya untuk mencukupi kebutuhan saya. Dan akhirnya saya melihatnya bahwa Tuhan menolong saya. Sebagai contoh, tidak ada asuransi kesehatan bagi kami sekeluarga karena saat itu tidak mampu bagi kami untuk membeli asuransi kesehatan. Tapi Tuhan menjaga kesehatan kami jadi kami tidak harus berobat ke rumah sakit. Memang Tuhan mencukupi dengan cara yang berbeda, dalam pikiran saya yang tradisional dan konvensional adalah Tuhan akan terus memberikan kecukupan finansial sehingga saya bisa memiliki asuransi, tidak seperti itu. Yang Tuhan lakukan adalah Tuhan memelihara kesehatan kami sehingga tidak perlu ke dokter atau ke rumah sakit. Tujuannya sama yaitu supaya saya bisa tetap hidup dan kita benar-benar harus terbuka dengan cara Tuhan. Waktu saya mengalami itu, saya berbicara dengan pembimbing rohani saya dan dia berkata kepada saya, "Paul, Tuhan itu dapat dipercaya. Percayakanlah semua kepada Dia." Dia berkata seperti itu kepada saya berdasarkan pengalaman. Dia seorang hamba Tuhan yang setiap 3 atau 4 tahun sekali harus menulis surat kepada pendukung-pendukung dananya, untuk menanyakan apakah mereka masih bersedia kembali memberikan dananya mendukung pelayanannya selama 3 atau 4 tahun mendatang. Itu berarti dia hidup hanya dari iman dan tidak ada yang tentu, namun dia sudah melayani Tuhan berpuluhan tahun, saya kenal dia disana sudah 30 tahunan lebih. Maka pada waktu dia berkata, "Tuhan memang layak dipercaya," itu keluar dari pengalamannya. Waktu sekarang saya berkata, "Tuhan memang bisa dipercaya, apa pun yang kita alami, kekurangan apa pun yang kita hadapi, Tuhan bisa dipercaya." Sekali lagi itu keluar dari pengalaman. Maka orang yang mengalami tempaan, orang itu selalu punya pengharapan, tidak negatif dan tidak pesimis.
GS : Itulah yang Rasul Paulus katakan yaitu pengharapan itu tidak mengecewakan dan karena kasih Allah telah dicurahkan dalam hati kita. Jadi ini adalah sesuatu yang telah terjadi bagi orang-orang yang mengalami kesukaran ini. Sudah ada pengharapan bagi orang itu karena kasih Allah, Pak Paul ?
PG : Betul sekali. Jadi waktu kita melihat bahwa Tuhan menolong kita, membukakan pintu, yang kita lihat apa? Sebetulnya bukan hanya pertolongan tapi juga kasih Allah. Begitu kita mengalami pertolongan Tuhan di situ maka kita melihat kasih Allah. Kemudian buntu lagi dan Tuhan bukakan lagi pintu yang lain, maka kita melihat kasih Allah. Jadi di mana-mana akhirnya yang kita lihat adalah kasih Allah. Orang yang mengalami kasih Allah terus-menerus, melihatnya terus menerus menjadi orang yang berpengharapan. Inilah manusia Kristiani yang Tuhan inginkan, maka sebagai Bapa yang mengasihi kita, Dia ingin mewariskan sifat-sifat ini kepada kita, tapi Dia mewariskannya melalui sebuah perjalanan yang bernama kesengsaraan.
GS : Kalau ini adalah proses seumur hidup, berarti kita harus siap sengsara untuk seumur hidup, Pak Paul ?
PG : Betul. Dan jarang di antara kita yang selama-lamanya mengalami sengsara namun hanya kadang-kadang saja kita melewati lembah kesengsaraan.
GS : Dari dua kali perbincangan kita kali ini, kesimpulan apa yang ingin Pak Paul sampaikan?
PG : Karakter yang disampaikan oleh kesengsaraan adalah karakter yang bergantung penuh pada Tuhan. Jika pada awalnya kita bergantung pada Tuhan, karena panik, tidak berdaya, setelah melewati ujian kita bergantung kepada Tuhan karena kita percaya sepenuhnya pada pemeliharaan Tuhan. Dengan kata lain, awal-awalnya bergantung dalam kepanikan akhirnya bergantung dalam kedamaian, kita tidak lagi mempertanyakan kehendak Tuhan sebab kita tahu rencana-Nya baik, kita tidak lagi mempertanyakan masa depan karena kita tahu bahwa Dia sudah di depan kita dan akan mengulurkan tangan memberikan pertolongan pada kita. Jadi bergantung dalam damai sejahtera.
GS : Jadi pengalaman kesengsaraan yang kita alami pada waktu yang lalu itu sangat berguna sebagai modal untuk kita menghadapi kesengsaraan yang berikutnya, begitu Pak Paul ?
PG : Betul sekali, Pak Gunawan.
GS : Terima kasih Pak Paul untuk perbincangan dan nasehat-nasehat yang sudah disampaikan karena tentunya ini sangat berguna dan menjadi bekal bagi kita untuk menjalani kehidupan ini. Dan para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi, dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Kesengsaraan dan Karakter" bagian yang kedua. Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.
Ringkasan:
"Dan bukan hanya itu saja. Kita malah bermegah juga dalam kesengsaraan kita karena kita tahu bahwa kesengsaraan itu menimbulkan ketekunan dan ketekunan menimbulkan tahan uji dan tahan uji menimbulkan pengharapan. Dan pengharapan tidak mengecewakan karena kasih Allah telah dicurahkan di dalam hati kita oleh Roh Kudus yang telah dikaruniakan kepada kita."
Roma 5:3-5Tidak ada yang senang dengan kesusahan. Sedapatnya kita berupaya untuk menghindar dari kesusahan. Bagi kita kesusahan identik dengan kesengsaraan dan kesengsaraan identik dengan kemunduran yang berakhir dengan keputusasaan-sebuah cara pandang yang pesimistik dan negatif.
Ternyata Tuhan tidak melihat kesusahan dengan kacamata yang pesimistik dan negatif. Sebaliknya, sebagaimana dapat kita baca pada ayat-ayat ini, Tuhan memandang kesusahan dengan kacamata yang jauh lebih optimistik dan positif. Kesusahan bukanlah sesuatu yang seharusnya berada di luar kehidupan kita sebagai orang Kristen. Ternyata kesusahan merupakan bagian dari kehidupan kita bersama Tuhan. Memang kesusahan tetap akan membuahkan kesengsaraan namun kesengsaraan itu sendiri adalah bagian dari pembentukan Tuhan menjadikan kita anak-anak-Nya yang matang. Berikut akan diuraikan proses pembentukan karakter yang melibatkan kesusahan dan kesengsaraan.
- Kesusahan dan kesengsaraan. Selama kita hidup di dalam dunia kita tidak bisa lepas dari kesusahan-hal buruk yang berasal dari luar diri kita yang datang menimpa hidup kita. Misalkan, tanpa diduga anak yang kita kasihi mengalami kecelakaan. Atau, pekerjaan yang kita andalkan akhirnya mengalami kebangkrutan dan tubuh yang tadinya sehat tiba-tiba menderita sakit terminal. Semua ini adalah contoh keseharian dari kesusahan yang dapat kapan saja menimpa kita.
- Kesusahan dan kehendak Allah. Acap kali tatkala sesuatu yang buruk menimpa kita bertanya-tanya, "Apakah kesalahan kita sehingga kita harus mengalami kesengsaraan ini?" Pertanyaan ini lumrah keluar dari mulut kita yang senantiasa berusaha untuk hidup diperkenan Tuhan. Jika selama ini kita tidak peduli dengan Tuhan, besar kemungkinan kita tidak akan menanyakan pertanyaan ini. Kita mungkin berpikir bahwa memang sudah seharusnyalah kita mengalami semua kesusahan ini. Atau, kita tidak menanyakan pertanyaan ini sebab selama ini kita juga tidak lagi memedulikan Tuhan.
Kesusahan masuk dalam rencana Tuhan dalam pengertian, Tuhan mengizinkan kesusahan itu menimpa kita sebab melalui kesusahan itu Tuhan akan menggenapi rencana-Nya yang tertentu. Kesusahan adalah bagian dari kehidupan di dunia yang tidak lagi sempurna; jadi, siapa pun-termasuk kita orang percaya-dapat mengalaminya. Di dalam Tuhan kita tahu bahwa Ia dapat dan akan menggunakan kesusahan itu untuk menggenapi rencana-Nya yang tertentu. Salah satu bagian dari rencana Tuhan (namun bukan satu-satunya tujuan akhir dari rencana Tuhan) adalah pembentukan karakter kita.
Jadi, kendati kita tergoda untuk menanyakan, apakah dosa atau kesalahan kita sehingga kita harus menanggung kesusahan ini, yakinlah bahwa kesusahan ini tidak terkait dengan perbuatan kita. Kesusahan ini terjadi dalam rencana atau kehendak Tuhan (kecuali bila kita sendiri yang memang hidup berdosa sehingga mendatangkan kesusahan ini pada diri kita).
- Kesengsaraan dan pembentukan karakter. Tuhan mati menyelamatkan kita dari hukuman dosa bukan saja agar kita lepas dari jerat maut yang memisahkan kita selamanya dari Tuhan tetapi juga agar kita menjadi anak-anak-Nya. Dan, sebagai anak-anak-Nya Ia berkepentingan melihat kita menjadi serupa dengan-Nya-memiliki karakter Allah sendiri. Itu sebabnya dengan pelbagai cara-termasuk kesengsaraan-Tuhan berusaha menumbuhkan karakter yang diinginkan-Nya dalam diri kita.
- Salah satu buah rohani yang dirindukan Tuhan bertumbuh pada diri anak-anak-Nya adalah ketekunan. Pada dasarnya ketekunan berarti ketahanan dalam penderitaan atau kesanggupan menahan sakit. Sewaktu kita merasakan kesakitan reaksi pertama adalah mencoba lari dari situasi yang menimbulkan rasa sakit atau berusaha menghilangkan sumber derita itu agar kita tidak lagi harus mengalami kesengsaraan.
Kuncinya di sini adalah bertahan. Itu sebabnya doa yang mesti dipanjatkan adalah doa untuk memohon kekuatan menahan kesengsaraan. Sewaktu Tuhan akan disalib, Ia berdoa meminta agar Allah Bapa berkenan mengubah garis kehendak-Nya dan melepaskan Allah Putra dari kesengsaraan. Inilah kesengsaraan dalam arti sesungguhnya dan inilah reaksi Allah Putra yang manusiawi-memohon kelepasan dari kesengsaraan.
Sebagaimana kita ketahui, Tuhan Yesus harus melewati lembah kesengsaraan. Itu sebabnya Allah Bapa tidak mengabulkan permohonan-Nya tetapi sebagai gantinya, Allah Bapa mengutus malaikat-Nya untuk memberi Kristus kekuatan (Lukas 22:42-43). Firman Tuhan di Lukas 22:44 menjelaskan kondisi Tuhan Yesus yang "sangat ketakutan dan makin bersungguh-sungguh berdoa." Inilah kondisi kita tatkala mengarungi lembah kesengsaraan dan tidak ada jalan lain selain berdoa meminta kekuatan dari Tuhan.
- Ketekunan dan tahan uji. Istilah tahan uji sebetulnya dapat pula diterjemahkan karakter. Singkat kata kendati terdapat sejumlah karakter yang indah namun puncak dari semua karakter adalah tahan uji. Seakan-akan Tuhan ingin berkata bahwa kalau kita telah memiliki tahan uji, kita telah lulus. Tahan uji keluar dari ketahanan yang memisahkan kita dari kehancuran. Tatkala mengalami tempaan, kita harus menahannya dan sampai titik tertentu kita merasa dekat sekali dengan kehancuran. Di saat nyaris hancur kita terus bertahan dan ternyata kita dapat bertahan sebab kekuatan Tuhan memberi kita kekuatan. Dengan kata lain, tahan uji muncul dari pengalaman nyaris hancur namun tidak hancur. Dari titik terendah karena kehabisan semua tenaga kemudian kembali memperoleh kekuatan untuk melanjutkan hidup.
- Tahan uji dan pengharapan. Orang yang tahan uji adalah orang yang bukan saja pernah melihat tetapi juga mengalami pertolongan dan kekuatan Tuhan. Dari kebuntuan kita mengalami campur tangan Tuhan membukakan pintu; dari kegelapan kita melihat terang. Inilah pengalaman yang meyakinkan kita bahwa pertolongan dan kekuatan Tuhan selalu berada di samping kita ketika kita melewati lembah kesengsaraan.
Tidak heran orang yang telah melewatinya dan menghasilkan buah karakter, ia tidak mudah putus asa. Ia terus berpengharapan dan pengharapan ini muncul dari pengenalannya akan kasih Allah. Di dalam kesengsaraan ia menyaksikan dan mencicipi kasih Allah. Pada akhirnya ibarat pohon, ia pun berakar ke dalam dan menjadi kokoh, tidak mudah lagi diombang-ambingkan oleh terpaan badai kesusahan. Ia senantiasa melihat Tuhan di dalam setiap sudut kehidupannya. Ia tahu ia tidak pernah dan tidak akan sendirian.
KesimpulanKarakter yang dihasilkan kesengsaraan adalah karakter yang bergantung penuh pada Tuhan. Jika pada awalnya kita bergantung pada Tuhan karena panik dan tidak berdaya, setelah melewati ujian ini kita bergantung pada Tuhan karena kita percaya sepenuhnya pada pemeliharaan Tuhan. Kita tidak lagi mempertanyakan kehendak Tuhan sebab kita tahu rencana-Nya baik.