Jangan Isi Setiap Momen Kosong dengan Konten
Sumber: story
Id Topik: 8109
Ketika saya sedang mengantri untuk memesan minuman saya di kedai kopi, naluri otomatis saya adalah mengambil ponsel saya. Tentu saja tidak melakukan apa pun yang perlu; hanya menggulirkan layar tanpa tujuan selama satu atau dua menit sebelum giliran saya untuk memesan. Mungkin saya bisa melihat beberapa tweet, berita utama, atau cerita Instagram.
Itu adalah dorongan yang sama yang membuat saya mengambil ponsel saya di pagi hari, tepat sebelum saya tidur di malam hari, dan pada sepanjang hari di sela-sela tugas. Terkadang saya mendapati diri saya memeriksa aplikasi dalam waktu sekitar 20 detik yang diperlukan untuk berjalan dari satu sisi rumah ke sisi lain. Dalam kasus ini, saya tidak memiliki alasan yang jelas atau tujuan yang jelas. Itu hanya kebiasaan yang secara bertahap saya terkondisikan ke dalamnya, seperti yang dilakukan sebagian besar dari kita pada era ponsel cerdas: dorongan Pavlov yang sifatnya mengganggu untuk mengisi setiap momen kosong dalam hidup dengan beberapa bentuk "konten" yang dimediasi.
Semakin saya menyadari kebiasaan yang seringkali tidak disadari ini, semakin merasa terganggu saya. Masalah utamanya bukanlah apa yang saya temukan di cuplikan pengguliran itu sebagian besar bodoh (meskipun itu pasti sebuah masalah). Hilangnya setiap bagian terakhir dari ruang tanpa perantara dalam hidup kita itulah yang membuat kita bodoh. Untuk menjadi bijaksana, kita membutuhkan kekosongan di hari-hari kita; waktu untuk berpikir; ruang untuk menggabungkan; saat-saat untuk diam; istirahat mental. Akan tetapi, era ponsel pintar dengan cepat menghilangkan hal-hal ini, mengundang kita untuk mengisi setiap detik kehidupan dengan sesuatu. Klik ini! Tonton ini selanjutnya! Dengarkan podcast ini!
Algoritma dirancang untuk menarik perhatian kita bukan hanya sebagian, tetapi secara keseluruhan. Dan, itu membuat kita bodoh.
Maka, inilah satu hal kecil yang kita semua dapat lakukan untuk menjadi sedikit lebih bijak: menerima beberapa ruang — ruang apa pun — untuk diam, tenang, dan tanpa perantara daripada membiarkan setiap inci perhatian Anda dijajah oleh konten.
Kita Takut dengan Keheningan
Algoritma internet baru saja memanfaatkan dinamika kekeliruan kita yang telah melanda umat manusia sejak dahulu kala: kita benci keheningan. Kita resah dan gelisah, tidak pernah sepenuhnya di rumah saat ini. Selalu ada sesuatu yang produktif yang harus kita lakukan, bukan?
Blaise Pascal, di Pensées, merenungkan mengapa kita mengisi pikiran kita dengan masa lalu dan masa depan, tetapi jarang meluangkan waktu untuk diam pada saat ini:
Kita begitu tidak bijaksana sehingga kita mengembara di waktu-waktu yang bukan milik kita, dan tidak memikirkan satu-satunya yang kita miliki; begitu sia-sia sehingga kita memimpikan saat-saat yang tidak ada dan secara membabi buta lari dari satu-satunya yang ada. Faktanya adalah saat ini biasanya menyakitkan. Kita membuangnya dari pandangan karena itu membuat kita tertekan, dan jika kita menganggapnya menyenangkan, kita menyesal melihatnya berlalu.
Mengapa keheningan saat ini begitu membuat stres? Mungkin keheningan meresahkan karena dengungan kebisingan yang terus-menerus mengalihkan kita dari kenyataan (misalnya, kematian) yang tidak ingin kita hadapi. Apa pun alasannya, penolakan kita pada keheningan tidak baik untuk pertumbuhan rohani dan perkembangan kebijaksanaan.
Saya sering kembali ke Mazmur 46 untuk membimbing saya dalam kedaulatan Allah yang tidak berubah di saat-saat yang tidak stabil. Ayat 10 berisi salah satu frase favorit saya di dalam Alkitab: "Diam dan ketahuilah bahwa Aku adalah Allah." Keheningan — penghentian usaha terus-menerus, kebisingan hingar-bingar, dan gangguan — pada dasarnya terkait dengan mengetahui. Diam. Lalu apa? Ketahuilah Allah. Hanya dalam keheningan kita dapat mulai memahami kekuatan penyangga dan kekudusan Allah. Dan, kesadaran yang tercengang dan terpesona dalam keheningan ini adalah awal dari kebijaksanaan (Ams. 9:10).
Kebodohan merajalela dewasa ini sebagian karena kita jarang cukup diam untuk mengalami keheningan. Dan, keheningan adalah prasyarat untuk kebijaksanaan.
Bosan dan menganggur
Dalam bukunya yang bermanfaat "The Common Rule", Justin Earley menyarankan saat-saat senggang kita tidak boleh diisi dengan pengembaraan daring tanpa tujuan, melainkan "dicadangkan untuk bosan dan menganggur, yang jauh lebih berguna".
Bosan dan menganggur itu sulit, tetapi cobalah. Ruang tanpa perantara dan keheningan yang tenang sangat bermanfaat. Namun, keduanya membutuhkan disiplin. Kita harus sengaja memilih keheningan dan ketenangan pada zaman yang bising dan gelisah. Selalu ada video lain untuk ditonton, artikel untuk dibaca, podcast untuk didengarkan, buku untuk dibaca. Bisakah hal-hal ini berharga untuk kebijaksanaan kita? Tentu saja! Akan tetapi, tidak jika kita tanpa henti berpindah dari satu konten ke konten berikutnya, tanpa memberikan jeda bagi jiwa kita untuk membiarkan masukan itu merembes dan diserap sebagai nutrisi. Makan cepat saji secara terus menerus sepanjang hari akan membuat Anda mual. Begitu pula dengan mengkonsumsi informasi.
Bukan berarti motif kita selalu buruk. Kecenderungan evangelis Protestan untuk ingin "menebus waktu" dengan mengoptimalkan setiap menit dapat dimengerti. Hanya ada beberapa jam dalam sehari, tapi masih banyak yang harus dipelajari. Dengan demikian, kita dapat membenarkan kerakusan konten atas nama keinginan mulia untuk dikembangkan, diperlengkapi, diberi sumber daya, dan mendapat informasi. Akan tetapi, ada hal seperti terlalu banyak hal yang baik. Prasmanan makanan organik tersehat di dunia masih akan membuat Anda mual jika Anda kembali mengisi piring Anda terlalu sering. Begitu pula dengan "prasmanan konten" yang tak terduga besar yaitu internet. Itu membuat kita muak, seperti yang saya amati dalam bab satu ("Information Gluttony/Kerakusan Informasi") dari buku baru saya, "The Wisdom Pyramid".
Mengapa Saya Bukan Penggemar Podcast
Inilah mengapa saya tidak terlalu mendengarkan podcast. Saya tidak menentang podcast sebagai sebuah bentuk — seperti apa pun, podcast itu bisa bagus dan bisa jelek. Hanya saja, di antara bentuk konten lain yang telah saya prioritaskan (kebanyakan buku, film, dan musik), saya biasanya hanya memiliki beberapa momen "di antara" yang tersisa di hari saya ketika saya mungkin masuk ke podcast. Mengemudi adalah salah satunya. Namun, bagi saya, mengemudi adalah satu-satunya kesempatan saya untuk berpikir. Saya dapat mendengarkan podcast sambil mencuci piring atau pekerjaan rumah tangga lainnya — atau saya dapat menggunakan waktu yang berharga itu untuk memproses atau mendoakan segala sesuatu yang sudah ada dalam pikiran saya. Saat saya berkebun atau berjalan-jalan di luar, saya dapat mendengarkan podcast yang memenuhi kepala saya dengan konten yang menginspirasi. Atau saya bisa memberi makan jiwa saya dengan stimulasi indrawi ciptaan Allah — udara yang bertiup, kicau burung, aroma California Selatan dari jeruk, garam laut, dan melati.
Saya tidak mengatakan Anda tidak boleh mendengarkan podcast. Saya menyarankan agar Anda melepaskan sesuatu untuk membebaskan lebih banyak ruang kosong dalam hidup Anda. Sadarilah bahwa keheningan sangat penting untuk kesehatan rohani Anda di zaman yang terlalu terstimulasi, meskipun itu berarti kehilangan beberapa konten yang berkualitas. (t/Jing-Jing)
Diterjemahkan dari: | ||
Nama situs | : | The Gospel Coalition |
URL | : | https://www.thegospelcoalition.org/article/dont-fill-every-moment-content/ |
Judul asli artikel | : | Don’t Fill Every Open Moment with Content |
Penulis artikel | : | Brett Mccracken |