BETA
Kedewasaan dalan Pernikahan II
Sumber: telaga
Id Topik: 782

Abstrak:

Relasi pernikahan dilukiskan dengan 3 aksara “A,H dan M” dan dari ke 3 aksara itu yang paling baik adalah aksara “M” karena “M” melambangkan relasi nikah di mana suami dan istri bergantung satu sama lain namun keduanya dapat hidup sendiri. Mereka bergandengan tangan berarti ada kehangatan dan kerja sama di antaranya dan mereka pun dapat terbuka menyampaikan masukan kepada masing-masing sehingga relasi keduanya bertumbuh. Bagaimana sepasang suami istri dapat mewujudkan relasi yang disimbolkan dengan aksara “M” ?

Transkrip:

[Kedewasaan dalan Pernikahan_ll] =>

Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini merupakan kelanjutan dari perbincangan kami yang terdahulu tentang "Anugerah dalam Pernikahan". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap
GS : Pak Paul, pada kesempatan yang lalu kita sudah membicarakan tentang anugerah dalam pernikahan namun saya percaya tidak semua pendengar kita kali ini mengikuti perbincangan yang lalu, dan supaya para pendengar kita mempunyai gambaran yang lengkap sehingga kita bisa bersama-sama melanjutkan perbincangan ini, mungkin Pak Paul ingin mengulas sedikit apa yang telah kita bicarakan pada kesempatan yang lalu.

PG : Pak Gunawan, pertama-tama saya akan membahas sebetulnya apa tujuan pernikahan. Kita ini memasuki pernikahan biasanya karena kita mencintai pasangan, kita ingin membagi hidup dengannya, ingn mempunyai keturunan dan sebagainya.

Tapi sesungguhnya ada tujuan pernikahan dari kacamata Tuhan sendiri dan ini yang kita perlu ketahui supaya nanti kita bisa hidup di dalam tujuan tersebut. Firman Tuhan di Mazmur 8:2-6, "Ya Tuhan, Tuhan kami, betapa mulianya nama-Mu di seluruh bumi! Keagungan-Mu yang mengatasi langit dinyanyikan. Jika aku melihat langit-Mu, buatan jari-Mu, bulan dan bintang-bintang yang Kautempatkan: apakah manusia, sehingga Engkau mengingatnya? Apakah manusia sehingga Engkau mengindahkannya? Namun Engkau telah membuatnya hampir sama seperti Allah, dan telah memahkotainya dengan kemuliaan dan hormat." Untuk kita bisa memahami kenapa Tuhan menciptakan pernikahan, kita mesti kembali ke awalnya yaitu kenapa Tuhan menciptakan alam semesta beserta isinya. Dari firman Tuhan yang telah kita baca dapat kita lihat bahwa semua yang Tuhan ciptakan adalah untuk mencerminkan kemuliaan Allah. Dengan kata lain bulan, bintang, langit, gunung, lautan, hewan dan juga manusia adalah tanda-tanda dan bukti-bukti yang mencerminkan kemuliaan Tuhan. Kalau kita manusia diciptakan Tuhan untuk menjadi kemuliaan Tuhan, itu artinya sewaktu Tuhan melihat kita, Tuhan mesti melihat kemuliaan dan kehormatanNya pada diri kita. Dosa adalah sewaktu kita akhirnya kehilangan kemuliaan dan kehormatan Tuhan, sehingga tatkala Tuhan melihat kita, kita tidak lagi memantulkan kemuliaan dan kehormatan Tuhan itu. Kalau kita melihat dari sisi manusia, kenapakah Tuhan menciptakan kita ? Kita bisa simpulkan bahwa kita ini diciptakan agar dapat menikmati relasi dengan Pencipta kita dan sebuah relasi dengan Pencipta alam semesta adalah sebuah kehormatan tersendiri. Kalau kita misalkan diijinkan berelasi dengan seorang petinggi, maka kita akan berkata bahwa ini adalah sebuah kehormatan. Tuhan lebih dari seorang petinggi, dari penguasa duniawi. Tuhan adalah Allah pencipta alam semesta ini dan kita diciptakan Tuhan agar kita dapat mencicipi relasi dengan-Nya, ini sebuah kehormatan yang amat besar. Jadinya singkat kata, baik dari sisi Tuhan maupun dari sisi manusia, penciptaan hanyalah mempunyai tujuan tunggal yaitu kemuliaan Allah. Dari sisi Allah supaya Tuhan melihat kemuliaan-Nya pada diri kita, dari sisi kita manusia, kita diciptakan supaya kita menikmati relasi dengan-Nya yang adalah sebuah kehormatan dan kemuliaan tersendiri. Jadi sekali lagi penciptaan manusia merupakan sebuah upaya untuk memantulkan dan menikmati kemuliaan dan kehormatan Tuhan. Jika itu tujuan penciptaan maka dapat kita tarik kesimpulan berikutnya bahwa tujuan pernikahan pun adalah juga untuk menjadi pantulan kemuliaan Allah. Sewaktu Tuhan melihat pantulan dari pernikahan yang diharapkan-Nya, Ia melihat kemuliaan-Nya sendiri di dalam dua orang yang sekarang menjadi satu. Dan untuk dapat menjadi pantulan kemuliaan Allah, pernikahan harus berjalan atas dasar anugerah yaitu mengasihi dan mengampuni, menerima satu sama lain. Maka dari Roma 15:7, telah kita baca bahwa perintah Tuhan sangat jelas, "Terimalah satu akan yang lain, sama seperti Kristus juga telah menerima kita, untuk kemuliaan Allah." Jadi dengan kata lain, kita hanya bisa memuliakan Allah jika kita saling menerima, kita tidak bisa memuliakan Allah jika kita saling gontok-gontokkan dan saling menjauhkan diri dari satu sama lain. Inilah yang dimaksud dengan anugerah dan inilah yang harus kita terapkan dalam pernikahan kita, Pak Gunawan, sebab pernikahan memang didesain Tuhan untuk dijalankan dengan anugerah, pernikahan tidak didesain Tuhan untuk dijalankan dengan prinsip Hukum Taurat yaitu kalau kamu memberikan saya satu maka saya akan memberikan kamu satu, kamu merugikan saya satu dan saya akan merugikan kamu satu. Pernikahan yang seperti itu pasti akhirnya akan berantakan. Pernikahan tidak seperti itu, desain awal pernikahan adalah dijalankan lewat anugerah, lewat kasih dan pengampunan.
GS : Memang kita mau menerima orang lain terutama pasangan kita tetapi itu bukanlah sesuatu yang mudah untuk kita kerjakan, banyak sekali hambatan dan rintangan, ini bagaimana, Pak Paul ?

PG : Saya mengerti bahwa kita sebagai manusia ini tidak mudah menerima kelemahan pasangan kita, kita telah bahas bahwa ada kelemahan yang memang bersifat kepribadian, gaya hidup yang berbeda atu kelemahan-kelemahan mental seperti mudah lupa, lamban, tidak berinisiatif.

Itu adalah kelemahan-kelemahan yang menjadi kerikil dalam pernikahan dan memang kita harus terima. Untuk hal itu saja tidak mudah, sudah tentu jauh lebih susah menerima kelemahan yang bersumber dari dosa seperti perjudian, kebohongan, perzinahan dan itu adalah kelemahan-kelemahan yang berasal dan berbobot dosa, dan itu susah sekali kita menerimanya. Sudah tentu dalam pengertian, bukanlah kita menoleransi tapi kita menerima, itu dalam pengertian kita harus hidup dengan dia dan kita harus bantu dia supaya dia bisa lepas dari kelemahan-kelemahan dosa itu. Sekali lagi tidak mudah untuk melakukannya namun kita ingat firman Tuhan yang tadi telah saya kutip di Roma 15:7, perintahNya adalah sangat jelas. "Terimalah satu akan yang lain, sama seperti Kristus juga telah menerima kita." Jadi dasarnya adalah kepatuhan kepada perintah Tuhan. Berdasarkan perintah Tuhan itu maka kita mau maju dan melakukannya tapi masalahnya adalah yang tadi Pak Gunawan juga telah kemukakan, tidak mudah karena ada rintangan-rintangan. Saya akan bacakan satu ayat, dari sini kita nanti akan melihat rintangan apa yang sebetulnya terbentang di depan kita. Roma 15:1-2 berkata, "Kita, yang kuat, wajib menanggung kelemahan orang yang tidak kuat dan jangan kita mencari kesenangan kita sendiri. Setiap orang di antara kita harus mencari kesenangan sesama kita demi kebaikannya untuk membangunnya." Jadi firman Tuhan yang telah kita baca ini memberikan kepada kita sekurang-kurangnya dua indikasi kenapa kita susah sekali untuk menerima kekurangan pasangan kita. Yang pertama adalah tadi firman Tuhan berkata, "Kita yang kuat wajib menanggung kelemahan orang yang tidak kuat." Berarti kalau kita memutuskan untuk menerima kelemahan pasangan kita, kita akhirnya juga akan menanggung kelemahannya, menanggung sisa-sisa tugas tanggung jawabnya yang tak dapat diselesaikan akibat kelemahannya. Misalnya gara-gara dia itu lambat, kita yang harus lebih cepat mengurus sesuatu. Gara-gara dia kurang berinisiatif, akhirnya kita yang harus mengambil inisiatif mengerjakan banyak hal atau menyuruhnya yang sudah tentu membuat kita lelah, "Dari dulu diberitahu tapi tetap tidak bisa berinisiatif sendiri" dan kita yang harus memberitahukannya. Gara-gara dia mudah lupa kita yang akhirnya harus repot mengingat semuanya, jangan sampai nanti ada masalah karena dia lupa. Kita ini pada dasarnya tidak suka menanggung beban ekstra dari orang lain sebab bagi kita beban kita sendiri sudah berat dan kenapa harus menanggung beban orang lain pula. Ini yang menjadi alasan pertama kenapa kita tidak suka menerima kelemahan pasangan kita.
GS : Kita memang menganggap itu sebagai kewajiban dia, tanggung jawab dia. Tadi Pak Paul sudah katakan, kita sendiri saja sudah kerepotan mengurusi diri sendiri tetapi kalau firman Tuhan tadi mengatakan ini "wajib" maka kita akan melakukan apa yang Tuhan perintahkan. Jadi walaupun kita repot tapi kita sempat-sempatkan harus ikut menanggung.

PG : Betul sekali. Jadi meskipun kita tidak suka tapi inilah perintah Tuhan dan kita tahu hanya dengan cara inilah pernikahan bisa jalan, begitu kita berkata, "Saya tidak mau, ini adalah bebanmu. Karena kelemahanmu kemudian saya harus menanggung bebanmu, saya tidak mau." Begitu kita berkata seperti itu, sebetulnya roda pernikahan sudah berhenti berjalan, sebab sekali lagi pernikahan itu dijalankan oleh roda anugerah, kasih dan pengampunan, menerima kelemahan satu sama lain. Sekali lagi kalau kita mulai perhitungan mulai menggunakan prinsip hukum taurat, maka pernikahan tidak akan berjalan dan pastilah terhenti. Maka kalau kita masih mau menjalankan roda pernikahan ini maka kita harus berusaha sekeras mungkin untuk berani atau bersedia menanggung beban akibat kelemahan pasangan kita.

GS : Ikut menanggung beban pasangan kita, itu bukan saja akan membuat kita repot tapi kita akan kehilangan apa yang kita senangi, misalnya waktu kita untuk bersenang-senang akan secara otomatis terkurangi atau mungkin bahkan hilang, Pak Paul, karena kita harus menanggung pekerjaan atau kewajiban pasangan kita.

PG : Betul sekali, misalkan kita ingin lebih terlibat dalam pelayanan, kita ingin terlibat dalam kegiatan-kegiatan sosial lainnya, kita ingin mengerjakan hobi-hobi kita, itu tidak bisa terlaksaa gara-gara kelemahan pasangan maka kita harus kehilangan kesenangan-kesenangan kita.

Ini sesuai dengan yang firman Tuhan katakan, "Kita, yang kuat, wajib menanggung kelemahan orang yang tidak kuat dan jangan kita mencari kesenangan kita sendiri." Firman Tuhan mengakui bahwa sebagai manusia kecenderungan kita memang mencari kesenangan kita, kita ingin melakukan kesenangan-kesenangan yang menyenangkan hati maka tatkala kita harus direpoti oleh kelemahan pasangan kita, kita menjadi tidak suka. Saya berikan contoh yang mungkin juga dialami oleh para pendengar kita. Misalkan kita sebagai suami beranggapan, tugas mengajar anak-anak adalah tugas si istri karena kita sudah repot bekerja dan sebagainya, tapi apa mau dikata istri kita itu bukan orang yang sabar untuk duduk berjam-jam bersama anak mengajarkan pelajarannya, sehingga akhirnya sering terjadi keributan antara istri dengan anak-anak. Akhirnya kita berkata, "Ya sudahlah, saya saja yang mengambil alih karena kalau kamu ribut itu juga tidak sehat bagi relasimu dengan si anak." Istri senang karena ada yang menggantikan, tapi gara-gara kita mengajari anak-anak akhirnya kita setiap hari pulang kerja yang tadinya kita bisa duduk relaks, nonton televisi, baca dan sebagainya, itu tidak bisa! Kita harus menghabiskan dua jam bersama anak-anak. Jadi kita berkata, "Dari pagi hingga sore saya sudah bekerja, sekarang sore sampai malam saya bekerja lagi di rumah." Kita rasanya tidak suka kehilangan kesenangan kita, apalagi kalau melihat, "Dia sekarang enak, dia tidak harus bekerja seperti saya," kita rasanya itu tidak terima, itu akhirnya yang membuat kita susah menerima kelemahan pasangan karena harga yang harus kita bayar, sehingga kita menjadi tidak mau. Maka kebanyakan dari kita berusaha mengelak dari tanggung jawab ini, tapi sekali lagi saya ingatkan bahwa roda pernikahan hanya bisa jalan jikalau kita melakukannya. Kalau kita memang bersedia menerimanya dan berusaha menghidupkan anugerah dalam keluarga.
GS : Memang kita harus berusaha sekuat mungkin untuk menerima kelemahan-kelemahan itu dan ikut menanggungnya, Pak Paul, tetapi ini tentu ada alasan-alasan lain yang kuat yang mendasari kita sehingga kita mampu melakukan itu dan itu apa saja, Pak Paul ?

PG : Dalam kekuasaan Tuhan, dalam kemurahan-Nya justru waktu kita melakukan perintah Tuhan kendati kita harus berkorban, kita itu nanti akan mendapatkan berkat dari Tuhan, kita akan dibangunkan Jadi dengan kata lain, kita tidak dirugikan, sekilas dari mata kita, kita dirugikan tapi sesungguhnya tidak.

Setidak-tidaknya ada tiga alasan Pak Gunawan, tiga penjelasan mengapa sebetulnya kita pun diuntungkan dan menerima berkat dari Tuhan kalau kita bersedia berkorban. Yang pertama, makin sering kita memikul beban yang ditinggalkan pasangan oleh karena kelemahannya, makin kita bertambah kuat. Kita ini tidak akan bertambah kuat bila kita hanya memikul beban yang seharusnya kita pikul atau yang menjadi porsi kita. Kita hanya akan bertambah kuat bila kita memikul beban yang ekstra, yang bukan menjadi porsi kita. Tuhan tidak menghendaki kita menjadi orang yang lemah, bila kita hanya mau memikul beban sendiri, kita tidak akan bertambah kuat malahan kita akan bertambah lemah. Misalkan saya berikan sebuah contoh, seorang atlet berkata, "Saya hanya mau mengangkat beban 25 kg dan sampai kapan pun hanya 25 kg," sebetulnya bila dia dibandingkan dengan atlet lain, dia makin lemah, dia bukan makin kuat, sebab atlet lainnya akan mulai menambahkan dari 25 ke 26 ke 27 dan terus seperti itu. Dengan kata lain, yang membuat kita kuat adalah beban ekstra ini. Waktu kita memikul beban pasangan karena kelemahannya, kita bertambah kuat dan dalam rencana Tuhan yang diinginkanNya adalah kita makin hari makin bertambah kuat. Sudah tentu kuat di sini bukan atas upaya kita, sebab mengasihi dan mengampuni apalagi menanggung beban pasangan karena kelemahannya itu mustahil kita lakukan dengan kekuatan kita. Kita harus kembali datang kepada Tuhan, memohon kekuatan-Nya, datang kepada Tuhan kemudian kembali memohon kekuatan-Nya. Berarti kita pun makin bersandar kepada Tuhan untuk mendapatkan kekuatan-Nya itu, kita makin bertumbuh dewasa. Jadi ujung-ujungnya tetap kitalah yang menerima berkat itu dari Tuhan.
GS : Jadi keluarga ini menjadi semacam pusat pelatihan bagi kita untuk makin lama makin bertumbuh menjadi kuat.

PG : Betul dan bayangkan kalau keduanya baik suami atau istri melakukan hal yang sama sebab inilah fakta bahwa keduanya, baik suami atau istri masing-masing mempunyai kelemahan masing-masing da kalau kedua-duanya menerapkan prinsip anugerah, maka saling menanggung beban masing-masing, bukankah kedua-duanya makin kuat dan makin kuat.

Maka kalau kita mau melihat pernikahan yang sehat, kita akan melihat dua orang yang makin hari makin kuat dan makin kuat, makin dewasa, makin benar-benar matang tapi kalau kita melihat pernikahan yang tidak sehat, yang kita lihat adalah keduanya tidak bertumbuh, keduanya tetap lemah karena dua-duanya menolak memikul beban satu sama lain. Atau kita melihat yang satu makin matang dan makin kuat dan yang satu tetap saja tidak matang-matang, tetap saja kekanak-kanakan, selalu bergantung semuanya minta dibereskan. Ini adalah pertanda bahwa ini bukanlah sebuah relasi yang setara, sebuah relasi yang keduanya itu tidak bertumbuh dengan sehat.
GS : Alasan yang lain apa, Pak Paul ?

PG : Ada satu prinsip yang ingin saya kenalkan kepada kita semua yaitu kemajuan yang terhambat, seringkali adalah kemajuan yang tersembunyi. Acapkali kita ini frustrasi karena merasa kemajuan kta terhambat oleh karena kelemahan pasangan.

Tadi saya sudah singgung sebagai contoh kita ini ingin lebih terlibat dalam pelayanan, tapi tidak bisa, karena kita sekarang harus diam di rumah, mengajarkan pelajaran anak-anak sebab istri kita atau suami kita tidak bisa melakukan tugas dan sebagainya. Kita merasa ini semua adalah sebuah hambatan, tapi di dalam Tuhan seringkali keterhambatan di suatu bidang justru merupakan kemajuan di bidang yang lain, yang memang diperlukan kendati kita tidak menyadarinya pada saat itu. Pengorbanan di suatu hal ternyata merupakan pengayaan di hal lainnya. Kita harus meyakini satu hal bahwa Tuhan tahu apa yang sebenarnya perlu ditumbuhkan di dalam diri kita dan seringkali Ia memakai kelemahan pasangan untuk menumbuhkan karakter yang penting tersebut. Jadi terimalah, sambutlah, jangan frustrasi dan marah karena kita merasa kemajuan kita terhambat oleh kelemahan pasangan. Justru seringkali keterhambatan itu merupakan sebuah kemajuan yang tersembunyi.
GS : Masalahnya kita tidak mengerti bahwa ini sesuatu yang tersembunyi, kita melihat ini merugikan dan hal itu baru kita ketahui selang beberapa tahun bahkan mungkin puluhan tahun setelah itu barulah kita bisa melihat hikmahnya.

PG : Betul. Maka kita mesti percaya, yang pertama hidup kita ini di bawah penguasaan Tuhan sepenuhnya artinya tidak ada yang lolos dari kedaulatan dan pengaturan Tuhan, tidak ada satu pun yang olos.

Jadi masalah yang kita hadapi pun tetap berada dalam pengaturan Tuhan dan tidak luput dari tangan-Nya, berarti akan ada berkat atau hikmah yang ingin diberikan kepada kita lewat keterhambatan ini. Waktu saya di Jakarta, saya dan istri saya sama-sama lelah, akhirnya kami menjadi orang yang kurang sabar terhadap satu sama lain akhirnya kami menjadi orang yang lebih sering bertengkar karena itu kami memutuskan untuk kembali ke Amerika, mendapatkan bimbingan pemulihan. Kami menjalani konseling selama 3 bulan setelah itu selama 1 tahun di sana kami akhirnya kembali lagi ke kota Malang. Saat itu saya tidak mengerti, saat itu saya hanya melihat bahwa tamatlah pelayanan saya di Indonesia. Tapi ternyata setelah melewati semua itu akhirnya saya menyadari itulah yang Tuhan kehendaki, itulah pelajaran yang saya harus terima, itulah berkat yang tersembunyi, kemajuan yang tersembunyi yang Tuhan berikan kepada saya, dibalik kemajuan yang terhambat tersebut. Apa yang saya dapat terima dari Tuhan yang lebih penting dari pelayanan saya saat itu ialah bahwa saya harus mengikuti jejak Tuhan, saya tidak boleh tergesa-gesa mendahului Tuhan dengan rencana-rencana saya, target-target saya harus saya kesampingkan sebab saya harus mendengarkan target dari Tuhan dan hanya mengikuti target-Nya.
GS : Terima kasih untuk berbagi pengalaman seperti itu karena ini menjadi suatu contoh yang sangat konkret sekali, Pak Paul, yang mungkin menjadi pengalaman bagi banyak pendengar kita dan kita semua. Tetapi apakah masih ada alasan yang lain ?

PG : Yang terakhir adalah dengan kita memikul beban pasangan, kita sebetulnya sedang melatih diri untuk tidak memfokuskan perhatian pada diri kita. Kita diarahkan untuk memperhatikan pasangan dn kebutuhannya.

Makin sering kita melihatnya dan apa yang dibutuhkannya, maka makin berkurang keegoisan kita, kita melihat pasangan sudah tentu bukan untuk mencari kesalahannya tapi untuk melihat apa yang dibutuhkannya. Kalau dua-dua orang sudah seperti itu, matanya tidak tertuju pada diri sendiri tapi matanya ditujukan pada satu sama lain, melihat apa yang dibutuhkan pasangan, maka dua-duanya makin bertumbuh karena bukan saja kebutuhan kita terpenuhi tapi kita pun dibangunkan oleh masukan-masukan yang kita terima dari pasangan. Inilah yang Tuhan kehendaki dalam pernikahan supaya dua-dua makin hari makin bertumbuh.
GS : Memang fokus kita melihat diri sendiri dari pada melihat pasangan kita, tetapi melalui pengalaman seperti ini sebenarnya kita itu diajar oleh Tuhan untuk melihat bahwa kita sendiri itu ada hasilnya untuk pertumbuhan. Dari perbincangan kita baik yang lalu maupun hari ini, apakah ada kesimpulan yang ingin Pak Paul sampaikan ?

PG : Membangun relasi sama seperti menanam pohon, sejak awal kita harus memberinya siraman dan pupuk serta melindunginya dari hama. Jika kita melakukan semua itu, setelah pohon tumbuh barulah kta dapat bernaung di bawah daunnya yang rindang dan memakan buahnya yang manis.

Pernikahan pun demikian, bila kita memberi siraman dan pupuk serta melindunginya dari ancaman pihak luar maka kita akan dapat bernaung di dalamnya dan dapat mencicipi buahnya yang manis. Kadang kita mengharapkan pasangan dengan cepat dan dengan sendirinya bertumbuh menjadi dewasa dan masak. Kita ingin menikmati langsung buahnya yang manis namun kenyataannya tidaklah demikian, hanya kita yang bersusah payah menginvestasi usaha keras, yang dapat mencicipi buah relasi pernikahan yang manis.
GS : Ini memang membutuhkan waktu sekali pun merupakan sebuah anugerah di dalam suatu pernikahan, tetapi untuk mengasihi, mengampuni ini memang membutuhkan sebuah proses yang panjang di dalam diri kita dan bagaimana pasangan kita menerima itu, Pak Paul, karena kalau kita memberi dan kita ditolak maka tidak akan terjadi suatu relasi yang baik.

PG : Betul sekali, Pak Gunawan. Kita ini jangan menunggu pasangan dulu yang memulainya, tapi mulailah dari diri kita.

GS : Dan tidak jemu-jemu melakukan penyiraman, pemupukan dan sebagainya itu.

PG : Betul.

GS : Terima kasih Pak Paul untuk perbincangan ini. Para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih, Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Anugerah dalam Pernikahan" bagian yang kedua dan yang terakhir. Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.


Ringkasan:

Ada orang yang melukiskan tiga jenis relasi pernikahan dengan tiga aksara:
  • "A" melambangkan relasi nikah di mana suami-istri begitu saling tergantung satu sama lain oleh karena mereka sesungguhnya tidak dapat dapat hidup mandiri. Relasi ini terlilit sehingga keduanya menjadi begitu menyatu sehingga tidak terbuka untuk menyampaikan masukan yang bersifat kritikan. Mereka pun sukar menerima masukan dari pihak luar karena cenderung melindungi satu sama lain secara membabi buta.
  • "H" melambangkan relasi yang tidak akrab di mana masing-masing menjaga jarak guna menghindari pertengkaran. Relasi ini telah kehilangan keintiman dan kehangatan kendati masih bersanding dalam pernikahan.
  • "M" melambangkan relasi nikah di mana suami dan istri bergantung satu sama lain namun keduanya dapat hidup sendiri. Mereka bergandeng tangan berarti ada kehangatan dan kerja sama di antaranya dan mereka pun dapat terbuka menyampaikan masukan kepada masing-masing sehingga relasi keduanya bertumbuh.
Untuk dapat mewujudkan relasi jenis aksara "M" diperlukan kedewasaan. Saya mendefinisikan kedewasaan sebagai "kesanggupan menerima kelemahan pasangan dengan senyum." Jadi, berdasarkan definisi ini dapat pula kita mengartikan ketidakdewasaan sebagai:
  1. Ketidakmampuan melihat kelemahan pasangan karena menganggap pasangan sebagai manusia sempurna tanpa kekurangan.
  2. Mampu melihat kelemahan pasangan namun dengan cemberut alias tidak dapat menerimanya.
Definisi Kelemahan :
  1. Kelemahan dapat bersumber dari dosa, seperti dusta, kebencian, perzinahan, dan perjudian. Sudah tentu jauh lebih susah menerima kelemahan pasangan yang bersumber dari dosa.
  2. Kelemahan dapat pula bersumber dari kepribadian, kebiasaan hidup dan keterbatasan mental seperti mudah lupa, kurang berinisiatif, lamban, dsb.
Mengapa Harus Saling Menerima
  • Firman Tuhan mengajarkan bahwa kita harus menerima satu sama lain, "Terimalah satu akan yang lain, sama seperti Kristus juga telah menerima kita, untuk kemuliaan Allah" (Roma 15:7). Dasar dari perintah ini adalah bahwa Kristus telah menerima kita. Jadi, sebagai orang yang telah diterima Tuhan kita mesti meneruskan penerimaan ini kepada sesama, terutama kepada pasangan sendiri.
  • Juga, kita harus menerima satu sama lain agar kita memuliakan Allah. Kita hanya dapat menerima satu sama lain lewat anugerah dan anugerah adalah kasih dan pengampunan. Bila kita menjadi orang yang beranugerah maka kita akan membawa kemuliaan bagi Allah sebab kasih dan pengampunan selalu mengingatkan orang akan Tuhan. Hal ini sesuai dengan tujuan pernikahan yakni memuliakan Allah. Berikut akan dipaparkan tujuan pernikahan.
Tujuan Pernikahan :
  • Untuk memahami tujuan pernikahan kita harus kembali melihat tujuan penciptaan alam semesta dan manusia. Tuhan menciptakan alam semesta beserta isinya agar semua ini memantulkan kemuliaan Tuhan. Inilah tujuan penciptaan dari sisi Allah. Firman Tuhan menjelaskan,
  • Ya Tuhan, Tuhan kami, betapa mulianya nama-Mu di seluruh bumi! Keagungan-Mu yang mengatasi langit dinyanyikan. Jika aku melihat langit-Mu, buatan jari-Mu, bulan dan bintang-bintang yang Kautempatkan, apakah manusia sehingga Engkau mengingatnya? Apakah manusia sehingga Engkau mengindahkannya? Namun Engkau telah membuatnya hampir sama seperti Allah dan telah memahkotainya dengan kemuliaan dan hormat. (Mazmur 8:2, 4-6)
  • Dari sisi manusia, tujuan penciptaan adalah agar ia dapat menikmasti sebuah relasi dengan pencipta-Nya dan sebuah relasi dengan pencipta alam semesta merupakan suatu kehormatan tersendiri. Singkat kata, bagi manusia kesempatan untuk menikmati relasi dengan Tuhan pencipta alam semesta adalah sebuah kemuliaan. Jadi, baik dari sisi Tuhan maupun manusia, penciptaan hanya mempunyai tujuan tunggal yaitu kemuliaan Allah.
  • Jika demikian, maka dapat kita simpulkan bahwa pernikahan pun diselenggarakan Tuhan untuk menjadi pantulan kemuliaan Allah. Sewaktu Tuhan melihat pernikahan manusia, yang diharapkan-Nya adalah melihat kemuliaan-Nya sendiri. Dan, untuk dapat menjadi pantulan kemuliaan Allah pernikahan harus berjalan atas dasar anugerah yaitu mengasihi dan mengampuni, menerima satu sama lain.
Rintangan Menerima Kendati kita tahu bahwa kita harus saling menerima namun tidaklah mudah untuk melakukannya. Berdasarkan Roma 15:1-2, "Kita, yang kuat, wajib menanggung kelemahan orang yang tidak kuat dan jangan kita mencari kesenangan kita sendiri. Setiap orang di antara kita harus mencari kesenangan sesama kita demi kebaikannya untuk membangunnya," kita dapat menyimpulkan dua alasan mengapa tidak mudah untuk menerima kelemahan pasangan :
  • Menerima kelemahan membuat kita wajib menanggung sisa kerja yang tidak dapat diselesaikannya. Dengan kata lain, kelemahan pasangan membuat kita letih dan repot karena kita harus mengambil alih tanggung jawabnya. Pada umumnya kita tidak suka menanggung beban ekstra.
  • Menerima kelemahan pasangan membuat kita kehilangan kesenangan sedangkan pada dasarnya kita adalah orang yang mencari kesenangan. Tidak bisa tidak, tatkala disusahkan oleh kelemahannya, kita pun dibuat susah.
Kendati demikian, kita tetap harus berusaha menerima pasangan dan berikut ini akan dipaparkan alasannya.
  1. Makin sering kita memikul beban yang ditinggalkan pasangan oleh karena kelemahannya, makin kita bertambah kuat. Kita tidak bertambah kuat bila kita hanya memikul beban yang memang seharusnya kita pikul atau yang menjadi porsi kita. Kita hanya akan dapat bertambah kuat bila kita memikul beban yang ekstra-yang bukan menjadi porsi kita. Tuhan tidak menghendaki kita menjadi orang yang lemah. Bila kita hanya memikul beban sendiri, kita tidak akan bertambah kuat, kita malah bertambah lemah.
  2. Kemajuan yang terhambat sering kali adalah kemajuan yang tersembunyi. Acap kali kita frustrasi karena merasa kemajuan kita terhambat oleh karena kelemahan pasangan. Namun mungkin sekali keterhambatan di suatu bidang merupakan kemajuan di bidang yang lain yang memang diperlukan, kendati kita tidak menyadarinya pada saat itu. Pengorbanan di suatu hal ternyata merupakan pengayaan di hal lainnya. Tuhan tahu apa yang sebenarnya perlu ditumbuhkan dalam diri kita dan sering kali Ia memakai kelemahan pasangan untuk menumbuhkan karakter yang penting tersebut.
  3. Memikul beban pasangan melatih kita untuk tidak memfokuskan perhatian pada diri sendiri. Kita diarahkan untuk memperhatikan pasangan dan kebutuhannya. Makin sering kita melihatnya dan apa yang dibutuhkannya, makin berkurang keegoisan kita. Pada akhirnya kita berdua makin bertumbuh karena bukan saja kebutuhan kita terpenuhi, kita pun dibangunkan oleh masukan yang kita terima dari pasangan.
Kesimpulan
Membangun relasi sama seperti menanam pohon. Sejak awal kita harus memberinya siraman dan pupuk serta melindunginya dari hama. Jika kita melakukan semua itu, setelah pohon tumbuh, barulah kita dapat bernaung di bawah daunnya yang rindang dan memakan buahnya yang manis. Pernikahan pun demikian. Bila kita memberi siraman dan pupuk serta melindunginya dari ancaman pihak luar, kita akan dapat bernaung dengan aman di dalamnya dan mencicipi buah nikah yang manis. Kadang kita mengharapkan pasangan dengan cepat dan dengan sendirinya bertumbuh menjadi dewasa dan masak. Kita ingin langsung menikmati buahnya yang manis namun kenyataan tidaklah demikian. Hanya kita yang bersusah payah menginvestasi usaha keras yang dapat mencicipi buah relasi pernikahan yang manis.

Questions: