Betapa Serius Dusta, Ternyata
Sumber: artikel_c3i
Id Topik: 7768
Mengapa Hukum Allah ada sepuluh pasal? Dengan perkataan lain, mengapa "dasa"? Mengapa bukan, misalnya "panca" atau "sapta"? Orang Yahudi punya semacam legenda yang cukup populer menjawab pertanyaan ini. Mengapa jumlahnya "sepuluh", itu pasti bukanlah karena angka itu angka keramat. Bagi orang Yahudi, angka "tujuh" secara simbolis lebih bermakna. Atau "dua belas". Kata yang empunya cerita, konon Allah tiba pada angka "sepuluh" itu, setelah proses tawar-menawar yang cukup panjang dengan Musa. Semula Yahweh menghendaki angka yang jauh lebih tinggi. Alasan-Nya, hukum itu mesti dibuat sejelas mungkin agar tidak disalahtafsirkan. Karena itu, mesti dibuat amat rinci. Tapi Musa keberatan. Pada satu pihak, ia mengakui, semakin spesifik sebuah perintah, semakin jelaslah ia. Dan semakin jelas sebuah perintah, orang tidak lagi punya dalih, kecuali mematuhinya. Misalnya, orang tidak bisa mengulur-ulur waktu dengan, misalnya, mengatakan "menunggu keputusan kasasi Mahkamah Agung". Perintah agar "jangan sering-sering jajan dari gerai cepat saji", tentu lebih jelas ketimbang perintah "jangan terlalu banyak mengonsumsi makanan yang mengandung lemak jenuh atau zat-zat kimiawi". Sebab yang disebut "terlalu banyak" itu seberapa banyak? Dan yang mengandung "lemak jenuh" atau "zat-zat kimiawi" itu apa saja? Namun di lain pihak, bila hukum dibuat terlalu rinci, sudah pasti daftarnya akan amat panjang. Orang akan sulit mengingatnya. Lha, kalau untuk mengingatnya saja sudah sulit apa lagi untuk menjalankannya, bukan? Sebab itu Musa memohon agar hukum Tuhan dibuat seringkas mungkin. "Cukup yang pokok-pokok saja, Tuhan, satu atau dua pasal saja kalau bisa".
Allah memahami keberatan tersebut. Hukum yang ringkas memang gampang diingat. Tapi bahayanya adalah, bila ia hanya menjadi slogan. Diucap-ucapkan, tapi tidak dijiwai. Diingat-ingat, tapi tidak dihayati. Disebut-sebut, tapi tidak ditindaki. Seperti kisah tragis Pancasila kita. Oleh karena itu, Musa menaikkan tawarannya dan Allah menurunkan tuntutan-Nya. Sampai ketika tiba di angka "sepuluh", Allah berkata, "Stop! Aku sudah tidak bisa membuatnya lebih rendah lagi. Take it or leave it". "Sepuluh" dipandang cukup ringkas untuk bisa diingat, sekaligus cukup rinci untuk tidak gampang disalahmengerti. Tapi lebih dari itu, yang pasti adalah, apa pun yang termasuk "sepuluh" itu, ia pasti adalah dosa yang dianggap Allah adalah dosa yang amat serius. Pertanyaan kita adalah, mengapa "dusta" sampai bisa menerobos ke "sepuluh besar"? Kalau membunuh, mencuri, berzinah, menyembah berhala, okelah — kita sedikit banyak dapat memahaminya. Tapi "dusta"? Apakah ia tidak terlalu remeh dan kecil? Kita mempertanyakannya karena dalam kehidupan nyata, lihatlah, alangkah "biasa" dan betapa "lumrahnya" dusta itu! Mana mungkin sukses berdagang, berpolitik, bahkan menyiarkan agama, tanpa sedikit banyak berdusta? Inilah salah satu dosa yang paling awal dilakukan oleh setiap orang sejak dini. Anak-anak tak perlu belajar dari siapa pun untuk mahir berdusta. Yang membedakan antara manusia yang satu dan lainnya, bukanlah bahwa yang satu berdusta sedang yang lain tidak. Setiap orang adalah "pendusta"! Bedanya cuma, yang satu lebih pintar bohongnya ketimbang yang lain. Atau, yang satu berusaha melawannya mati-matian, sedang yang lain justru memanfaatkannya habis-habisan. Namun, apa pun yang kita katakan, dusta yang bagi manusia dianggap "tidak serius-serius amat" itu, oleh Allah dipandang sebagai sesuatu yang amat serius. Sekali lagi, pertanyaan kita, adalah mengapa?
Dusta, menurut Allah, adalah dosa utama, pertama, karena kebenaran adalah hal yang terutama. Sedangkan dusta? Apa lagi, bila bukan "lawan" dari kebenaran! Ia menyembunyikan kebenaran, memutarbalikkan kebenaran, memalsukan kebenaran, menyajikan ketidakbenaran sedemikian rupa seolah-olah itulah kebenaran. Padahal kebenaran itu "apa"? Atau lebih tepat, "siapa"? Tidak lain adalah Allah sendiri! "Akulah jalan, kebenaran, dan kehidupan", begitu bukan kata Yesus (Yohanes 14:6)? Sebab itu, tak ada pilihan lain, kecuali, "Berkatalah benar seorang kepada yang lain dan laksanakanlah hukum yang benar .... Janganlah merancang kejahatan dalam hatimu seorang terhadap yang lain, dan janganlah mencintai sumpah palsu. Sebab semuanya itu Kubenci, demikianlah firman Tuhan" (Zakharia 8:16,17). "Cintailah kebenaran dan damai!" (Zakharia 8:19). Jadi, bagaimana sesuatu yang melawan Allah dan melawan Kristus bukan dianggap sesuatu yang serius? Anda ingat tatkala masyarakat Amerika Serikat dilanda heboh perselingkuhan antara Bill Clinton dan Monica Lewinsky. Kehebohan itu, konon, bukan terutama karena tindak perselingkuhan itu sendiri. Tindakan itu, walau tidak terpuji, namun bagi masyarakat Amerika, itu lebih banyak adalah urusan Hillary — urusan pribadi. Yang tidak mungkin mereka tolerir adalah — dan inilah yang hampir-hampir menjungkalkan sang presiden dari kekuasaannya — bila sebagai pejabat ia telah melakukan kebohongan publik. Membohongi rakyat. Sebab di sinilah terletak legitimitas seorang pejabat publik: pada kredibilitasnya, bahwa ia dapat dipercaya! Ini berbeda sekali bila dibandingkan dengan apa yang terjadi di negeri kita, bukan? Hampir setiap saat, kita tahu, pemimpin-pemimpin kita berbohong. Namun demikian, mereka tetap aman-aman saja di takhta mereka, kalau tidak malah semakin aman. Di negeri kita, "legalitas" lebih menentukan ketimbang "legitimitas".
Kedua, dusta adalah dosa utama karena kata-kata adalah hal utama. Dengan perantaraan kata-kata — firman Allah — segala sesuatu dari "tiada" menjadi "ada" — ex nihilo! (Kejadian 1). Kemudian, dengan bersenjatakan kata-kata, Iblis menyeret segenap ciptaan ke pusaran kebinasaan kekal; "ditaklukkan kepada kesia-siaan" (Roma 8:20). Namun, dengan perantaraan kata-kata juga, Allah — melalui semua utusan-Nya — dengan tanpa henti-hentinya memanggil manusia untuk kembali, seraya mengaruniakan firman-Nya sebagai "pedang Roh", untuk melawan Iblis dengan segala tipu dayanya (Efesus 6:16). Dan puncaknya adalah bahwa melalui SANG KATA — LOGOS — Allah menyelamatkan segenap umat manusia, bahkan seluruh ciptaan, dari kebinasaan yang kekal untuk dibimbing kepada kehidupan yang kekal (Yohanes 1). Bila kata-kata begitu vital dalam seluruh karya Allah, bagaimana mungkin kita mengatakan bahwa dusta yang melecehkan kata-kata tidak layak disebut sebagai dosa utama?
Alasan ketiga mengapa Allah menggolongkan dusta sebagai salah satu dari sepuluh dosa utama adalah karena sesama manusia itu juga hal yang utama. Oleh sebab itu, titah-Nya, "Jangan mengucapkan saksi dusta tentang sesamamu". "Sesama" adalah utama karena sejak awal penciptaan Allah melihat, "Tidak baik kalau manusia itu seorang diri saja" (Kejadian 2:18). Untuk sekadar hidup atau sekadar eksis, mungkin orang bisa hidup sendiri. Ingat kisah Robinson Crusoe? Tapi hidup seperti Robinson Crusoe juga "tidak baik". "Tidak baik" artinya tidak lengkap, tidak utuh, kualitasnya kurang sempurna. Menghadapi kenyataan ini, Allah tahu persis apa yang dibutuhkan manusia. "Aku akan menjadikan penolong baginya, yang sepadan dengan dia" (Kejadian 2:18). Itulah bagaimana seharusnya paradigma hubungan antara manusia dengan sesamanya! Masing-masing menjadi "penolong yang sepadan" bagi yang lain. Saling menjadi "penolong" artinya saling mengisi dan saling menghidupi. Saling menerima dan saling memberi. Bukan justru saling mengeksploitasi atau mensubordinasi. Yang ideal adalah kooperasi, saling menerima dan saling memberi pertolongan. Sedang predikat "sepadan", artinya adalah sembabat, sederajat, setara. Memang berbeda, sebab bila cuma sama, bagaimana bisa saling menolong? Namun begitu, perbedaan ini bukan perbedaan tinggi rendah. Yang mengulurkan tangan tidak boleh merasa "super", sedang yang menadahkan tangan tidak perlu merasa "minder". Karena pada satu saat, yang sekarang menolong boleh jadi justru perlu ditolong.
Oleh sebab itu, dalam hubungan antarmanusia berlaku prinsip saling menghargai. "Ojo dumeh". Jangan mentang-mentang. Dan bila itu adalah paradigma yang seharusnya, maka "bersaksi dusta tentang sesama" adalah antitesisnya. Sebab yang terjadi di sini bukanlah saling menolong, tapi saling memotong. Bukan saling memberdayakan, tapi saling memperdayakan. Di mana yang pintar mengeksploitasi kebodohan sesamanya, yang kuat menindas yang lemah. Dan lengkaplah penderitaan manusia! Itulah konsekuensinya, ketika "dusta" dibiarkan. Ketika kebenaran dipalsukan. Ketika kata-kata dibuat tak berharga. Ketika sesama menjadi subjek yang menindas atau objek yang diperas. Mengingat semua ini, masihkah Anda bertanya mengapa dusta bisa masuk ke "sepuluh besar"?
Bahan diambil dari sumber:
Surat kabar | : | Harian Sore Sinar Harapan, Kolom Sabda No. 4628 |
Edisi | : | Sabtu, 14 Februari 2004 |
Penulis | : | Pdt. Eka Darmaputera |
URL | : | http://www.sinarharapan.co.id/berita/0402/14/fea01.html |