BETA
Anak dan Kemarahan
Sumber: telaga
Id Topik: 773

Abstrak:

Salah satu emosi yang kerap menjadi masalah dalam hidup adalah kemarahan. Alangkah baiknya kalau kemarahan itu dapat diatur mulai anak berusia dini dan ini adalah tugas dari orangtua untuk mendidik anak mengatur kemarahannya dan tugas orangtua pula mengajarkan bagaimana caranya agar kemarahan itu tidak terjadi?

Transkrip:

Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Anak dan Kemarahan". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap
GS : Kemarahan memang bisa menguasai siapa saja, bukan hanya orang dewasa. Anak-anak pun juga sering kali terlihat marah-marah. Tentu kita sebagai orang tua tidak menghendaki kalau anak-anak kita mengungkapkan sesuatu dengan kemarahan. Dan bagaimana kita sebagai orang tua bisa memberikan arahan atau didikan kepada anak supaya, kalau dia marah tidak harus seperti itu. Dan ini bagaimana, Pak Paul ?

PG : Memang kemarahan adalah emosi yang saya kira menimbulkan masalah paling banyak dalam kehidupan ini. Kita tidak berkata bahwa kita tidak boleh marah, atau kita juga boleh marah, tapi jangansampai kemarahan itu terus hingga matahari terbenam.

Namun yang terpenting adalah kita mesti belajar mengaturnya, saya kira kebanyakan dari kita paling sulit belajar mengatur kemarahan. Ternyata saya perhatikan orang-orang yang punya masalah dengan kemarahan di usia dewasa sebetulnya sudah mulai mengembangkan problem kemarahan itu sejak usia kecil. Jadi dengan kata lain, kalau orang tua berhasil menangani si anak, menolong si anak mengatur kemarahannya sejak usia kecil, bukankah si anak itu tidak harus hidup dengan masalah kemarahan di usia dewasanya. Sebaliknya kalau orang tua gagal menolong anak mengatasi kemarahannya, bukankah sayang kalau anak ini nanti saat sudah besar harus mempunyai masalah dengan kemarahannya. Itu sebabnya sekarang ini kita akan mengambil waktu untuk membicarakan bagaimana orang tua dapat menolong anak mengatasi kemarahannya. Dan supaya orang tua bisa memulai dengan suatu perspektif, maka saya akan bagikan dulu secara umum apa yang seringkali menjadi respons kita terhadap kemarahan. Yang pertama adalah orang-orang yang berkata bahwa, "Saya marah" berarti ini tanggung jawab saya, sayalah yang telah memilih untuk memberi respons. Tapi ada jenis yang kedua yaitu orang-orang yang berkata, "Kamu yang membuat saya marah" kalau kamu tidak memancing saya untuk marah, saya pun tidak akan marah. Dengan kata lain beda dari yang pertama dan yang kedua adalah yang pertama meletakkan tanggung jawab pada dirinya sendiri sedangkan yang kedua meletakkan tanggung jawab pada orang lain sebagai penyebab kemarahannya. Sebagai orang tua, inilah arah yang dia mesti tempuh atau mendorong si anak untuk sampai ke sana yaitu mengajar anak untuk bertanggung jawab atas kemarahannya dan belajar mengatasinya.
GS : Tapi kalau kemarahan anak itu disebabkan oleh tindakan orang lain yang merugikan dia dan kita melihat memang dia pantas untuk marah, itu bagaimana, Pak Paul ?

PG : Sudah tentu sekali lagi marah itu bukanlah sebuah emosi yang harus kita lenyapkan. Jadi boleh saja marah, namun sebagai orang tua kita mesti bisa menolong anak untuk bisa mengatur kemaraha dengan tepat, memberi respons yang sesuai.

Sebab intinya adalah kemarahan menjadi problem jikalau kita tidak bisa lagi mengaturnya sehingga kemarahan itulah yang mengatur kita atau menguasai kita. Dan kita tahu sewaktu kemarahan menguasai kita, kita akan melakukan hal-hal yang sebenarnya belum tentu kita ingin lakukan dan sering kali pada akhirnya kita sesali, dan hal ini yang kita mau cegah. Jadi sebenarnya bukannya bagaimana untuk tidak marah, tapi bagaimana mengatur kemarahan, menguasainya sehingga kemarahan itu tidak menguasai kita.
GS : Berarti ada beberapa faktor yang menyebabkan seorang anak itu mudah marah?

PG : Sebetulnya, ya. Jadi kadang-kadang kita terlalu menyederhanakan masalah dan hanya menyimpulkan bahwa kalau orang itu sering marah berarti sifatnyalah yang pemarah. Jadi sekurang-kurangnya da 5 faktor penyebab yang menyebabkan orang itu lebih mudah marah.

Yang pertama adalah latar belakang keluarga yang buruk karena tidak ada panutan yang tersedia sehingga si anak hanya melihat satu model atau cara mengungkapkan kemarahan. Misalnya si ibu, kalau tidak senang dia akan marah dan berteriak, kalau si ayah marah dia akan berteriak atau bahkan memukul atau membanting. Semua model atau contoh-contoh yang seperti itulah yang nanti akan diserap oleh si anak dan pada masa kecil, dia mulai mencontoh atau melakukannya akhirnya kemarahan-kemarahan itu menjadi bagian dalam hidupnya yang tidak bisa diatasinya.
GS : Anak juga punya pengalaman kalau ayahnya marah lalu dia melihat ayahnya mendapatkan apa yang diinginkan, bukankah ini akan dipakai sebagai suatu cara oleh anak ini untuk mendapatkan apa yang dia inginkan ?

PG : Betul, Pak Gunawan. Jadi waktu anak ini melihat si ayah marah dan ayah mendapatkan apa yang diinginkannya, sewaktu si ayah marah dan dia menjadi takut akhirnya dia melakukan apa yang diingnkan ayahnya.

Akhirnya itu yang dia pelajari bahwa untuk mendapatkan apa yang dia inginkan, dia hanya perlu membuat orang takut dengan kemarahannya. Cara-cara inilah yang nanti diserap olehnya dan itu yang dia gunakan.
GS : Bagaimana kalau anak ini mempunyai kakak-kakak yang juga sering marah, Pak Paul ? Apakah ini juga akan menunjang anak ini menjadi anak yang pemarah ?

PG : Jadi tidak harus hanya orang tua, tapi kakak-kakaknya juga punya tegangan tinggi, cepat sekali marah. Tidak bisa tidak dia akan terpengaruh, jadi dia pun akan cepat marah.

GS : Jadi sebenarnya sejak kecil anak ini tidak mempunyai bakat tertentu untuk marah.

PG : Memang ya pada dasarnya. Memang ada anak-anak yang mulai dari lahir, nanti kita juga akan bahas tentang anak yang berenergi. Kalau dia memang berenergi, dia memang akan mudah marah. Dia seetulnya kalau diberikan contoh-contoh yang positif maka dia juga akan lebih mampu untuk mengutarakan kemarahannya dengan lebih baik.

GS : Orang yang berenergi itu bagaimana, Pak Paul ?

PG : Pada akhirnya kita simpulkan bahwa tingkat energi yang tinggi membuat anak sukar mengatasi gejolak kemarahannya, cenderung melampiaskan secara fisik dan langsung. Jadi anak-anak yang meman dari lahir berenergi sangat tinggi, dia memang lebih rentan terhadap kemarahan.

Itu sebabnya sebagai orang tua kita mesti memahami hal ini dan mendorong si anak untuk menguras energinya dengan cara-cara yang lebih konstruktif, seperti berolah raga, permainan-permainan, tapi tetap tugas orang tua sama, waktu anak kesal mau marah dan mau melampiaskannya secara fisik, orang tua harus langsung bertindak mencegahnya dan menyuruh si anak untuk mengutarakannya melalui ucapan secara verbal, sehingga dia tidak terburu melampiaskannya secara fisik. Jadi itu adalah tindakan yang kita harus lakukan kalau kita menyadari bahwa anak kita berenergi tinggi.
GS : Energi yang tinggi ini juga bisa diperoleh dari makanan yang dia konsumsi setiap hari, apakah itu berpengaruh juga ?

PG : Untuk anak-anak yang berenergi tinggi, kita juga harus memerhatikan makanan yang dimakannya, sudah tentu kalau banyak sekali protein yang yang dimakan maka akan banyak sekali energi yang dperolehnya.

Sehingga memang perlu keseimbangan, saya memang bukan ahli dalam gizi jadi saya tidak berani mengatakan berapa banyak dan sebagainya. Mungkin orang tua harus konsultasi langsung dengan ahli gizi.
GS : Memang kemarahan itu sendiri sebenarnya menguras energi yang cukup besar sebagai orang dewasa, apakah hal itu juga dialami oleh anak-anak ?

PG : Sudah tentu setelah mereka mengutarakan kemarahannya secara fisik, dia akan merasakan letih, lelah dan sedikit banyak akan mengurangi energinya. Namun sebagai orang tua itu yang mesti kitacegah, jangan sampai dia terbiasa mengutarakan kebiasaannya segera dan secara langsung lewat tindakan-tindakan fisik.

GS : Ada faktor yang lain, Pak Paul ?

PG : Yang ketiga adalah tingkat kepekaan yang tinggi. Jadi umumnya anak-anak dengan kepekaan yang tinggi sensitif sekali, dia jadi mudah terganggu karena perasaannya sangat sensitif, dia akan lbih mudah tersinggung dan dia akhirnya lebih mudah marah.

Itu sebabnya kepada anak-anak ini kita sebagai orang tua harus lebih proaktif karena anak-anak kita itu peka sekali. Waktu kita melihat dia sudah terganggu, kita ajak dia bicara, "Apa yang mengganggu kamu ? Kenapa kamu merasa seperti itu ?" biarkan dia belajar mengutarakannya dan kita berikan masukan-masukan dan pertimbangan sehingga anak-anak perlahan-lahan belajar untuk menggunakan pemikirannya, tidak hanya mendasari tindakannya atas perasaannya yang peka itu. Sekali lagi di sini dibutuhkan peran orang tua yang aktif, kalau orang tua tidak berperan, jadinya apa pun emosi anak maka itulah yang dia akan ikuti. Kalau orang tua bisa melihat atau mendeteksinya dengan cepat, mengajaknya berbicara dan mulai memertimbangkannya secara rasional maka si anak akan dilatih mengembangkan kemampuan nalarnya untuk mengatasi gangguan-gangguan dalam hatinya.
GS : Mengapa ada sebagian anak yang tingkat kepekaannya begitu tinggi, tapi ada anak yang acuh. Jadi dia bisa saja meremehkan hal-hal itu sehingga dia tidak marah.

PG : Ini sebenarnya disebabkan oleh faktor lahiriah, genetik. Kalau orang tua memiliki kepekaan seperti itu besar kemungkinan anak kita itu mewarisinya. Itu sebagai warisan dari orang tua. Dan ertanyaannya, dari mana ini semua ? Maka kembali kepada susunan syaraf yang ada di otak kita, itulah yang menentukan reaksi seperti apakah yang kita akan berikan, ada yang super peka, ada yang biasa-biasa saja dan ada juga yang sangat tidak sensitif.

GS : Faktor yang lain apa, Pak Paul ?

PG : Yang lain adalah cara pandang yang berorientasi detail, anak-anak dengan kecenderungan mendetail sekali, tidak bisa tidak dia akan melihat masalah dengan begitu jelas, melihat semuanya denan teliti.

Tidak bisa tidak, makin banyak melihat maka makin terbuka kemungkinan melihat hal-hal yang tidak disukai. Sebaliknya ada anak-anak yang berpandangan lebih global tidak begitu melihat hal-hal kecil, dia akan lebih susah marah karena yang lebih melihat banyak sudah tentu akan lebih terganggu dan akhirnya cepat marah. Kalau kita sadar anak-anak kita seperti itu, maka sekali lagi kita harus menolongnya. Sudah tentu komunikasikan pengertian kita, "Karena kamu melihat dengan lebih mendetail atau lebih banyak maka kamu lebih mudah marah, namun kalau bisa kamu memberikan jarak pada dirimu, jangan terlalu dekat, sementara kamu memikirkan masalah itu, maka doronglah kehendakmu atau halau peristiwa itu sehingga kamu tidak terlalu terpengaruh." Kemudian mengajak anak untuk bisa melihat gambar utuh, "Coba lihat globalnya, umumnya" sehingga tidak terlalu diganggu oleh hal-hal yang mendetail itu.
GS : Hal-hal yang mengganggu itu bisa saja orang, bisa saja keadaan atau macam-macam hal.

PG : Betul sekali. Jadi tidak selalu hanya orang saja. Jadi bisa juga kondisi-kondisi tertentu apa yang dilihatnya, karena dia memiliki orientasi kognitif yang detail, dia akan melihat semuanya "Ada yang benar, ada yang tidak benar."

Kita harus mengajar anak untuk berkata, "Saya harus memisahkan diri dari hal yang kecil-kecil itu, meskipun menurut saya salah tapi tidak apa-apa."
GS : Dalam hal itu sebenarnya yang memicu kemarahan dia adalah dia sendiri.

PG : Benar. Karena dia memang melihat dengan lebih detail, lebih banyak hal yang tidak sesuai dengannya, dia cepat melihatnya.

GS : Apakah kemarahan ini ada kaitannya dengan ego seseorang ?

PG : Ada dan bahkan sangat erat. Jadi anak-anak dengan ego yang kuat artinya keras kepala, kemauannya keras, cenderung membuat dia menjadi mudah marah dan kalau marah umumnya lebih eksplosif, lbih kuat ledakannya karena memang egonya sangat kuat.

Kalau ada anak seperti ini tidak bisa tidak kita harus sering-sering mengajaknya berbicara, mengajarnya untuk menarik napas yang panjang sebelum mengatakan apa-apa, mengajarnya untuk keluar dari ruangan, jangan bicara apa-apa dulu sebab kalau sudah terlanjur berbicara akhirnya ledakannya yang terjadi. Maka kita ajak dia, "Mari kita keluar dulu, mari kita tenangkan diri dulu, coba hela napas yang panjang dan keluarkan pelan-pelan." Teknik-teknik seperti itu kita ajarkan kepada dia, sehingga dia bisa tenang, kemudian dia mengeluarkan isi hatinya.
GS : Pak Paul, bentuk kemarahan itu beragam. Ada anak-anak yang memang secara eksplosif menyatakan kemarahannya sehingga kita tahu kalau dia marah tapi ada anak yang kalau marah dia diam, namun kita tahu kalau dia sedang marah. Waktu kita bertanya, "Apakah kamu marah ?" dia menjawab, "Tidak" tapi jawaban "Tidak" itu dengan nada marah. Dan ini bagaimana kita mengatasinya?

PG : Kalau ada anak yang seperti itu, kita memang tidak bisa bicara saat itu juga. Jadi kita biarkan, kalau dia berkata "Tidak" maka kita biarkan saja. Setelah lewat satu masa dia sudah lebih tnang, dan dalam keadaan santai kita ajak dia berbicara, "Tadi Papa atau Mama melihat, kamu sepertinya sedikit terganggu dengan tindakan adikmu.

Mama mengerti kamu marah karena mungkin adikmu tidak sensitif dengan kamu, apakah seperti itu peristiwanya ?" barulah kita ajak bicara. Misalkan dia berkata ini dan itu, maka kita katakan, "Baik, kita bicarakan solusi-solusinya, sehingga dia bisa katakan atau lakukan pada adiknya. Dan kita katakan, "Meskipun kamu tidak bisa langsung mengutarakan perasaanmu atau pikiranmu saat itu, tidak apa-apa. Tunda sementara dan kemudian kamu harus bicara dengan adikmu sehingga dia akan tahu". Misalkan dia akan berkata "tidak perlu" nanti kita akan tawarkan bantuan kita, "Nanti Mama temani kamu." Kemudian kita panggil adiknya dan mengajaknya bicara dan membantu dia untuk berbicara. Waktu tindakan itu membuahkan hasil yang positif, kita berkata kepada dia, "Kamu lihat yang positif, adikmu sekarang mengerti, penting untuk mengutarakannya meskipun saat itu kamu tidak bisa, sekarang kamu lebih lega, tolong kamu utarakan."
GS : Jadi disini yang penting adalah cara mengatasinya, bagaimana anak bisa mengatasi kemarahannya. Selain dari itu, apakah ada hal-hal lain, Pak Paul ?

PG : Ada, Pak Gunawan. Memang ada beberapa yang orang tua perlu sadari. Misalnya kita mau mendidik anak mengembangkan kesabaran sebab kesabaran pada dasarnya adalah kemampuan untuk tinggal diambersama ketidak- nyamanan, artinya makin kita lama duduk dengan ketidaknyamanan makin tinggi tingkat kesabaran, ini yang kita mau anak-anak mulai mengembangkannya.

Kita tahu dari Firman Tuhan salah satu buah Roh Kudus adalah kesabaran di Galatia 5:22. Kalau begitu kita bantu si anak untuk mengembangkan kesabaran. Kadang-kadang kita tidak jelas tentang, "Apa itu sabar ?" jadi sekarang kita mengerti sabar itu artinya bisa duduk bersama ketidaknyamanan, bisa menoleransi ketidaknyamanan itu. Hal seperti ini yang mesti mulai kita tekankan kepada anak. Waktu dia tidak merasa nyaman maka kita mulai mengajak dia untuk duduk-duduk, dan bicara dulu, biarkan kamu tetap di sini, kamu jangan lari dulu, jangan kemana-mana dulu. Jadi ajar anak untuk berhadapan dengan ketidaknyamanan, kadang-kadang orang tua tidak menyadari ini dan terlalu cepat memberikan jalan keluar sehingga anak tidak harus tinggal di dalam ketidaknyamanan, tergesa-gesa melepaskannya dan ini menjadi bagian dari reaksinya terhadap ketidaknyamanan. Kalau tidak nyaman dia inginnya lari, kalau dia tidak bisa lari dan cepat-cepat keluar dia bisa langsung marah dan justru ini yang kita mau kembangkan.
GS : Dan yang menjadi kesulitan tersendiri kalau orang tuanya tidak sabar, Pak Paul. Orang tuanya sendiri justru ingin cepat-cepat lari dari kondisinya yang tidak nyaman yaitu anaknya yang marah-marah ini, Pak Paul.

PG : Seringkali itulah yang terjadi sehingga makin hari anak ini makin mengembangkan ketidaksabaran, begitu ada hal-hal yang tidak enak dia mesti mendapatkan solusi, dia mesti tergesa-gesa lepa sehingga kesabarannya tidak pernah ditumbuh kembangkan.

GS : Pak Paul, kalau orang tidak nyaman tapi harus tetap di situ, maka itu erat sekali dengan penyangkalan diri, Pak Paul ?

PG : Betul, Pak Gunawan, jadi kesabaran erat kaitannya dengan penyangkalan diri. Dan memang Tuhan sudah ajarkan pada kita bahwa untuk mengikutNya , kita harus menyangkal diri. Apa itu artinya enyangkal diri ? Saya definisikan meskipun kita layak untuk menerimanya namun kita harus mengekang diri untuk mendapatkan apa yang kita inginkan.

Sebagai orang tua ini yang mesti kita tekankan kepada anak yaitu meskipun kamu layak mendapatkannya namun secara berkala atau sekali-sekali itu tidak apa-apa kamu tidak mendapatkannya. Jadi sekali-sekali kamu mesti berkata tidak kepada dirinya. Sudah tentu kalau orang tua selalu menyuruh anak untuk menyangkal diri, maka anak akan sangat kasihan. Dia tidak pernah mengutarakan keinginannya, selalu harus mengalah dan itu tidak tepat. Tapi secara berkala orang tua memang mesti mengajar tidak kepada anak. Meskipun dia sebenarnya layak, dia harusnya mendapat, tidak apa-apa dia tidak harus mendapatkan apa yang dia inginkan.
GS : Apakah ada cara yang lain untuk mengatasi anak yang marah ini, Pak Paul ?

PG : Yang berikut adalah mendidik anak untuk menerima dan hidup dengan kenyataan bahwa dalam dunia ini tidak ada yang sempurna, semua ada kecacatannya. Jadi semua ada waktunya bagi anak untuk mlupakannya dan tidak mempermasalahkan hal yang mengganggunya.

Artinya "Ya sudah" jadi sekali-sekali harus seperti itu dan tidak apa-apa. Kenapa ? Karena memang kita hidup di dalam dunia yang tidak sempurna, tidak semua seperti yang dia inginkan. Memang ada anak yang secara bawaan inginnya sempurna, dia tidak bisa berkata, "Ya sudahlah". Justru kepada anak-anak yang seperti ini, kita sebagai orang tua harus berperan untuk mendorong dia, "Sudahlah jangan terlalu dipikirkan, jangan kamu terlalu menginginkan semuanya sempurna seperti apa yang kamu inginkan." Dengan cara inilah anak-anak dikondisikan untuk bisa melepaskan dan tidak selalu harus mengejar apa yang dia inginkan supaya terjadi.
GS : Mungkin itu akan lebih mudah diajarkan sejak kecil dari pada sudah menjadi dewasa ?

PG : Betul sekali, Pak Gunawan. Kalau sudah dewasa memang sangat susah, justru itu harus dimulai saat dia masih sangat kecil misalnya usia 2 atau 3 tahun. Dan di saat-saat itulah kita harus muli memberikan masukan-masukan seperti ini.

GS : Dan untuk mulai mengajarkannya , khususnya seperti yang Pak Paul katakan untuk anak yang berusia 2 atau 3 tahun yang sangat kecil itu, bagaimana kita bisa mengajarkan kepada mereka, seperti "Semua itu tidak harus terlalu dipikirkan atau menimbulkan kemarahan," bagaimana Pak Paul ?

PG : Misalkan mainannya diambil oleh kakak atau adiknya, dia akan marah dan dia berkeinginan untuk mengambilnya kembali, tentu suatu saat kita akan minta si kakak untuk mengembalikan mainannya uga.

Namun ada waktu-waktu kita akan berkata, "Ya sudah biar kakak bermain mainanmu dulu dan kamu ikut Mama atau Papa dan kita mengerjakan hal ini." Jadi dengan tindakan seperti itu maka si anak akan berkata, "Ya sudahlah saya tidak ambil mainan yang itu dan saya akan mengerjakan yang lain", maka dia akan mulai mengalihkan perhatian dengan cara melupakan yang satu dan melakukan yang satunya.
GS : Dan sebetulnya itu juga bisa dilakukan oleh orang dewasa yaitu mengalihkan perhatian kepada hal lain yang mungkin lebih positif.

PG : Betul sekali. Jadi itu adalah satu cara yang efektif untuk bisa mengatasi kemarahan kita pula.

GS : Ada cara yang lain Pak Paul, untuk mengatasi kemarahan ini ?

PG : Ini juga penting yaitu mendidik anak untuk mengampuni. Tentu kita sudah tahu bahwa mengampuni bukanlah melupakan, karena kita pasti bisa mengingat karena kita mempunyai memori. Mengampuni ustru menuntut kita melihat dengan jelas apa yang telah terjadi namun memutuskan untuk tidak membalas dan memilih untuk tetap menjalin relasi.

Firman Tuhan berkata di Kolose 3:13, "Sabarlah kamu seorang terhadap yang lain, dan ampunilah se-orang akan yang lain apabila yang seorang menaruh dendam terhadap yang lain, sama seperti Tuhan telah mengampuni kamu, kamu perbuat jugalah demikian." Jadi pada waktu anak-anak masih kecil dengan kakak atau adiknya, kita mau anak-anak itu belajar mengampuni bukan hanya, "Sudah lupakan" jadi akui apa yang telah terjadi dan biarkan dia melihat, tapi ajar dia untuk tidak membalas, kalau mau membalas katakan, "Itu bukan hakmu" dan kita katakan, "Coba Mama yang mengurusi, coba Papa yang urus" jadi kita mulai alihkan tanggung jawab itu kepada kita, sehingga si anak tidak langsung harus membalas.
GS : Mungkin ada hal lain bagi kita untuk mengatasi kemarahan ini ?

PG : Dan ini yang terakhir dan yang penting dari Kolose 3:14 berkata, "Dan di atas semuanya itu: kenakanlah kasih, sebagai pengikat yang mempersatukan dan menyempurnakan." Hati yang penuh kasihsudah tentu akan lebih susah marah, dan hati yang hampa kasih sudah tentu mudah marah.

Maka kita mesti mendidik anak untuk mengasihi, belajar mempunyai belas kasihan kepada orang lain sehingga dia tidak mudah marah. Jadi tetap kita ajak dia untuk mengasihi, kita ajak dia untuk mendoakan orang, baik itu kakak atau adiknya yang telah melukai hatinya.
GS : Tapi sebagai orang tua, kita punya tugas untuk memberikan teladan atau memberikan contoh konkret kepada anak, bagaimana kita mengatasi kemarahan kita itu. Kalau tidak, apa yang kita ajarkan itu sia-sia kepada mereka.

PG : Jadi memang semua terpulang kepada kita sebagai orang tua, kalau kita hidup sesuai dengan yang kita ajarkan, maka anak akan dengan cepat meniru hal-hal yang positif dari diri kita.

GS : Terima kasih Pak Paul untuk perbincangan ini dan saya rasa akan menjadi berkat bagi banyak orang. Para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Anak dan Kemarahan." Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.


Ringkasan:

Salah satu emosi yang kerap menjadi masalah dalam hidup adalah kemarahan. Adalah tugas orangtua untuk mendidik anak mengatasi kemarahannya supaya pada akhirnya anak dapat nyaman sekaligus tahu bagaimana mengatur kemarahannya. Terkait dengan kemarahan, pada dasarnya ada dua respons yang umumnya terbentuk:

  • Mengatasinya sebagai bagian dari masalah pribadinya
  • Membuat orang lain mengatasi kemarahannya.

Singkat kata, respons pertama adalah respons yang menandakan tanggung jawab pribadi sedangkan respons kedua adalah respons yang lari dari tanggung jawab pribadi dan malah melimpahkan tanggung jawab ini kepada orang lain. Sudah tentu tugas kita sebagai orangtua adalah mendidik anak agar bertanggung jawab penuh atas kemarahannya sehingga ia dapat belajar mengaturnya dengan efektif.

Untuk dapat mengatur kemarahan, kita perlu mengetahui faktor apa sajakah yang mempengaruhinya:
  • Latar belakang keluarga yang buruk di mana tidak tersedia panutan yang sehat sehingga pada akhirnya anak belajar mengekspresikan kemarahan secara tidak sehat pula.
  • Tingkat energi yang tinggi yang membuat anak sukar mengatasi gejolak kemarahannya dan cenderung melampiaskannya secara fisik dan langsung.
  • Tingkat kepekaan yang tinggi yang membuat anak mudah terganggu, tersinggung, dan marah.
  • Cara pandang yang berorientasi detail yang membuat anak melihat segalanya dengan begitu jelas. Tidak bisa tidak, makin banyak melihat, makin terbuka kemungkinan ia melihat hal-hal yang tidak disukainya.
  • Ego yang kuat alias keras kepala yang membuat karakter anak cenderung tegas dan kasar.
Cara untuk mengatasinya:
  • Sudah tentu target kita bukanlah melarang anak untuk marah namun mendidiknya agar ia tahu mengapa, kapan, dan bagaimanakah seharusnya ia marah. Singkat kata, kita tidak memintanya untuk melenyapkan kemarahan dari hidupnya melainkan mengaturnya dengan efektif.
  • Mendidik anak untuk mengembangkan kesabaran yang pada dasarnya adalah kemampuan untuk tinggal diam bersama ketidaknyamanan. Jadi, makin lama kita dapat "duduk" bersama ketidaknyamanan, makin tinggi tingkat kesabaran.
  • Mendidik anak untuk belajar menyangkal diri. Dengan kata lain, meski ia layak mendapatkannya, namun secara berkala kita memintanya untuk tidak mendapatkan apa yang diinginkannya.
  • Mendidik anak untuk menerima dan hidup dengan kenyataan bahwa dalam dunia ini tidak ada yang sempurna. Semua ada kecacatannya. Jadi, ada waktunya bagi anak untuk "melupakannya" dan tidak mempermasalahkan hal yang mengganggunya.
  • Mendidik anak untuk mengampuni. Mengampuni bukanlah melupakan; mengampuni justru menuntut kita untuk melihat dengan jelas apa yang telah terjadi namun pada akhirnya memutuskan untuk tidak membalas dan memilih untuk tetap menjalin relasi. Firman Tuhan berkata,"Sabarlah kamu seorang terhadap yang lain dan ampunilah seorang akan yang lain . . . sama seperti Tuhan telah mengampuni kamu . . . . " (Kolose 3:13)
  • Pada akhirnya di atas segalanya kita mesti mendidik anak untuk mengasihi. Tuhan memanggil kita untuk mengasihi, "Dan di atas semuanya itu kenakanlah kasih sebagai pengikat yang mempersatukan dan menyempurnakan." (Kolose 3:14)

Questions: