Bagaimana Mengatur Keuangan Anda?
Sumber: artikel_c3i
Id Topik: 7729
Berapa banyak uang yang Anda perlukan untuk mencukupi biaya hidup secara normal? Berapa pun besarnya uang yang kita dapatkan, selalu saja kita berkata, "Belum cukup." Uang memang merupakan benda yang sangat menggoda. Kita mencari, menyimpan, mengembangkan, mengkhawatirkan, dan memimpikannya.
Paulus mengatakan kepada Timotius bahwa cinta akan uang adalah akar dari segala kejahatan (lihat 1 Timotius 6:10). Jika Anda ingin mengatur keuangan Anda dan hidup sejahtera tanpa dikejar perasaan khawatir berkenaan dengan uang, berikut ini ada beberapa saran yang dapat Anda lakukan.
1. Ujilah ukuran dan nilai yang Anda pegang selama ini.
Ukuran dan nilai yang kita jadikan patokan dalam hidup ini berpengaruh terhadap cara kita mengatur keuangan. Tentu, kita akan membelanjakan uang yang kita miliki untuk hal-hal yang kita anggap penting dan bernilai. Oleh sebab itu, tidak berlebihan jika ada orang yang berkata bahwa bila kita ingin mengetahui hal-hal apa saja yang berharga dalam pandangan seseorang, amatilah bagaimana ia membelanjakan uangnya.
Kita hidup dalam masyarakat dengan prinsip, "Beli dahulu, bayar kemudian, gaya dulu, urusan belakangan." Sering kali sebagai orang percaya kita membelanjakan uang dengan mental seperti itu. Secara tidak sadar kita sebenarnya sedang mengembangkan sikap "aji mumpung", maksudnya selagi hidup, mengapa kita tidak bersenang-senang? Namun Yesus tidak menyarankan kita untuk hidup seperti itu.
Oleh sebab itu, ada baiknya kita mengkaji ulang cara kita membelanjakan uang. Berapa banyak yang kita gunakan untuk membeli berbagai peralatan atau fasilitas yang memudahkan hidup dan berapa banyak uang yang kita pakai untuk meningkatkan penampilan? Berapa banyak uang yang kita pakai untuk keperluan orang lain dan berapa banyak uang yang kita pakai untuk memenuhi kebutuhan diri sendiri?
Berapa banyak uang yang kita gunakan untuk membeli benda-benda yang memang diperlukan dan berapa banyak uang yang kita gunakan hanya sekadar untuk memenuhi keinginan? Berapa banyak uang yang kita gunakan untuk membeli hal-hal yang sifatnya sementara dan berapa banyak uang yang kita belanjakan untuk hal-hal yang berdampak panjang?
2. Mengatur anggaran belanja.
Sebagian besar uang yang kita peroleh biasanya kita belanjakan untuk hal-hal penting yang memang harus diprioritaskan. Sebagai contoh, kita mendahulukan pembayaran tagihan rekening listrik, sampah, air, uang sekolah anak-anak, biaya transportasi ke tempat kerja dan sekolah, telepon atau PBB. Apa jadinya kalau tagihan listrik tidak dibayar selama beberapa bulan? Tentu, Perusahaan Listrik Negara (PLN) akan memutus saluran listrik ke rumah kita sehingga rumah menjadi gelap gulita.
Jika kita perhatikan jumlah tagihan yang wajib dibayar, kadang kala kita harus mengelus dada sebab hampir separuh penghasilan kita digunakan untuk membayar semua tagihan tersebut, namun dari sisi lain kita juga membutuhkan semua itu dan tidak punya pilihan lain. Oleh sebab itu, hendaknya kita tidak mencoba-coba memakai uang yang seharusnya digunakan untuk membayar semua tagihan itu untuk membeli atau membayar sesuatu yang lain dengan alasan apa pun.
Anggaran keuangan adalah acuan pembelanjaan keuangan kita. Uraian tidak perlu terlalu rinci sehingga terkesan rumit. Yang terpenting adalah kita mengetahui secara garis besar penggunaan keuangan kita sehingga kita tidak akan berbelanja dalam jumlah begitu rupa sehingga mengorbankan hal-hal yang harus kita prioritaskan. Ada saatnya kita harus memutuskan apakah kali ini kita akan makan di rumah makan atau memasak sendiri, membeli pakaian baru yang sedang mendapat potongan 50% atau memakai pakaian yang ada, membayar polis asuransi pendidikan anak atau melunasi angsuran sepeda motor. Kita dapat melihat dan mempertimbangkan secara bijaksana sesuai dengan kondisi keuangan yang ada. Kita tidak akan dapat menyusun anggaran keuangan dengan baik sebelum kita dapat memisahkan antara kebutuhan dan keinginan.
Biasanya kita mudah tergelincir membelanjakan uang untuk hal-hal yang bukan prioritas utama pada awal bulan. Kita berbelanja tanpa perencanaan matang. Akibatnya, kita terkejut pada saat persediaan uang menipis, padahal masih setengah bulan lagi kita akan menerima gaji. Di situlah kita kemudian menyadari pentingnya anggaran pengeluaran. Tapi semuanya sudah terlambat. Untuk membiayai kehidupan selanjutnya, akhirnya kita terpaksa kas bon ke kantor yang berarti mengambil lebih dahulu gaji bulan depan.
Sebagai teladan bagi anak-anak kita, pola pemakaian keuangan kita pun akan ditiru oleh anak-anak kita. Peragaan dalam mengelola keuangan keluarga akan menjadi pelajaran bagi anak-anak tentang bagaimana mengatur keuangan dalam kehidupan mereka kelak.
Dalam keluarga kami, anak-anak tahu bahwa sumber keuangan kami terbatas. Mereka juga tahu kapan kami mendapatkan gaji. Oleh sebab itu, jika mereka memerlukan sesuatu yang harganya cukup mahal, maka mereka memberitahukan kepada kami jauh-jauh hari agar kami dapat mulai menyisihkan sedikit demi sedikit. Mereka juga kami ajak untuk menabung sehingga pada saat mereka membutuhkan sesuatu yang bersifat mendadak, mereka dapat membuka tabungan mereka dan kami sebagai orang tua cukup menambah kekurangannya. Itulah cara kami mengajar anak-anak kami hidup bijaksana dalam hal pemakaian uang. Bagaimana mungkin kami mengajar mereka hidup hemat sementara kami hidup tanpa perencanaan sehingga cenderung membelanjakan keuangan kami untuk hal-hal yang sesungguhnya tidak terlalu kami perlukan?
3. Hindari membeli karena dorongan perasaan.
Belanja dengan mengandalkan perasaan akan membawa kita masuk ke daerah bahaya. Satu-satunya jalan keluar dari daerah bahaya tersebut adalah segera pergi dari pusat perbelanjaan sebelum kita ditarik untuk berbelanja lebih banyak lagi. Bagaimanapun, semakin banyak yang kita lihat, semakin banyak pula yang kita inginkan. Pusat perbelanjaan memang didesain sedemikian rupa untuk mendorong perasaan orang supaya terus-menerus berbelanja.
Untuk menghindari hal semacam itu, kami sekeluarga biasanya mencatat hal-hal yang akan dibeli sebelum masuk ke pusat perbelanjaan. Sebelum pergi, kami telah memutuskan benda apa yang akan kami beli. Kepada anak-anak, kami juga memberitahukan keputusan tersebut sehingga mereka tidak dapat seenaknya memasukkan apa saja yang mereka inginkan ke dalam kereta dorong belanjaan kami.
Sesekali, mungkin ini bukan gagasan yang baik, kami membawa anak-anak ke pusat-pusat grosir tempat harga barang sedikit lebih murah. Dengan demikian, kita dapat memberikan sedikit kebebasan bagi anak-anak untuk membeli hal-hal yang mereka inginkan dengan jumlah anggaran yang sama. Saya pernah membaca bahwa istri biasanya akan membelanjakan uang mereka secara bijaksana jika suami memberinya kebebasan penuh, bahkan ada kalanya ia akan masih dapat menyisihkan sedikit tanpa mengorbankan kebutuhan yang ada.
Idealnya, suami ataupun anak-anak hendaknya juga belajar memakai uang secara bijaksana dan tidak berbelanja atas dasar dorongan perasaan. Di sinilah pentingnya mempersiapkan catatan belanja sebelum pergi berbelanja. Sebaliknya, sangat mudah membuat alasan untuk membeli hal-hal yang sesungguhnya tidak terlalu diperlukan, yang di kemudian hari hanya akan mengakibatkan penyesalan karena uang kita habis sebelum waktunya.
4. Hati-hati membeli benda mahal.
Kita perlu ekstra hati-hati sebelum memutuskan untuk membeli benda-benda mahal seperti mobil, rumah, barang elektronik, perlengkapan mebel, dan lain-lain. Cobalah sedapat mungkin untuk menghindari metode pembelian dengan sistem angsuran kendatipun kelihatannya menguntungkan, sebab tanpa membeli dengan cara mengangsur, benda itu tidak akan pernah terbeli. Belum lagi bila mengingat tingkat kenaikan harga barang yang jauh lebih tinggi dibandingkan tingkat kenaikan suku bunga bank. Saran ini dimaksudkan agar saat ini kita tidak berbelanja sedemikian rupa namun di kemudian hari kita harus hidup menderita selama bertahun-tahun karena sebagian besar penghasilan kita habis untuk membayar angsuran, sementara benda yang dibeli tidak dapat kita manfaatkan secara maksimal.
Istri saya sangat berhati-hati bila ia harus mengambil keputusan membeli benda-benda yang mahal harganya. Ia akan mencari informasi dari toko yang resmi dan harga pasti dari sumbernya. Dengan demikian, ia akan dapat mengetahui variasi harga yang ditawarkan di berbagai tempat lengkap dengan variasi model barang yang tersedia dengan kelebihan dan kekurangannya masing-masing.
Saya sendiri lebih cenderung langsung menuju ke sebuah toko dan membeli benda yang saya perlukan. Memang, sering kali saya mendapatkan harga yang sedikit lebih murah, namun kurang awet. Sementara jika istri saya yang membeli, biasanya benda itu akan lebih tahan lama karena memiliki mutu yang terbaik. Kendatipun sepintas lalu harganya lebih mahal, namun jika dapat dipakai lebih lama. Maka, secara tidak langsung kita telah menghemat keuangan.
5. Memberi untuk orang lain.
Satu hal penting yang perlu ditambahkan ke dalam daftar pengeluaran kita adalah memberi untuk orang lain. Ada kepuasan dan sukacita tersendiri ketika kita memberi untuk orang lain. Walaupun ada kalanya kita berpikir, bagaimana mungkin kita dapat memberi jika untuk memenuhi keperluan keluarga sendiri pun masih kurang. Sementara seandainya dipaksakan memberi, jumlahnya akan tidak banyak karena jumlah penghasilan yang ada pun sedikit.
Pengertian banyak atau sedikit sendiri sebenarnya relatif. Jika kita membandingkan apa yang kita miliki dengan orang lain yang kondisi ekonominya lebih lemah, tentu kita akan merasa memiliki banyak. Tetapi, kalau kita membandingkannya dengan orang lain yang penghasilannya jauh lebih tinggi dibandingkan kita, tentu kita merasa memiliki sedikit. Jadi, semuanya tergantung dengan siapa kita membandingkan diri.
Perlu disadari bahwa berapa pun penghasilan kita, semua itu adalah pemberian Tuhan dan Ia pun mau agar kita juga bersedia memberi untuk orang lain. Pentingnya memberi kepada orang lain yang memerlukan bantuan, berulang kali ditegaskan dalam seluruh Alkitab.
6. Belajar mencukupkan diri.
Dalam suratnya kepada Timotius, Paulus menulis, "Memang ibadah itu kalau disertai rasa cukup, memberi keuntungan besar. Sebab kita tidak membawa sesuatu apa ke dalam dunia dan kitapun tidak dapat membawa apa-apa ke luar. Asal ada makanan dan pakaian, cukuplah. Tetapi mereka yang ingin kaya terjatuh ke dalam pencobaan, ke dalam jerat dan ke dalam berbagai-bagai nafsu yang hampa dan yang mencelakakan, yang menenggelamkan manusia ke dalam keruntuhan dan kebinasaan. Karena akar segala kejahatan ialah cinta uang. Sebab oleh memburu uanglah beberapa orang telah menyimpang dari iman dan menyiksa dirinya dengan berbagai-bagai duka." (1 Timotius 6:6-10)
Sementara itu dalam suratnya kepada jemaat Filipi Paulus berkata, "...sebab aku telah belajar mencukupkan diri dalam segala keadaan. Aku tahu apa itu kekurangan dan aku tahu apa itu kelimpahan. Dalam segala hal dan dalam segala perkara tidak ada sesuatu yang merupakan rahasia bagiku; baik dalam hal kenyang, maupun dalam hal kelaparan, baik dalam hal kelimpahan maupun dalam hal kekurangan. Segala perkara dapat kutanggung di dalam Dia yang memberi kekuatan kepadaku." (Filipi 4:11-13)
Paulus dapat mencukupkan diri karena ia memiliki iman. Tentu ada satu rentang waktu tertentu tempat Paulus harus mengalami kekurangan dan kelaparan, namun di dalam hatinya ia menyadari akan kasih, kesetiaan, dan penyertaan Tuhan. Mungkin, keyakinan seperti itu tidak membuatnya kaya secara materi, namun hal itu membawanya kepada pengucapan syukur sebab Tuhan menyediakan segala sesuatu yang dia perlukan dalam jumlah yang cukup. (BS)
[Sumber disadur dari, "Parents & Children - How to Manage Your Finances ", by Gary R. Collins, edited by Jay Kesler, Ron Beers, & LaVonne Neff, Victor Books, USA, 1986]
Sumber: | ||
Judul Buku | : | Sahabat Gembala, Edisi Juli 2005 |
Penerbit | : | Yayasan Kalam Hidup, Bandung, 2005 |
Halaman | : | 10 - 15 |