BETA
Menikah dengan Pribadi Borderline
Sumber: telaga
Id Topik: 752

Abstrak:

Dalam satu kata dapat disimpulkan pengalaman menikah dengan pribadi borderline: mustahil! Kenapa mustahil karena sifat-sifat dari pribadi borderline ini sangat menyusahkan. Bagaimana cara menolongnya?

Transkrip:

Lengkap

Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Menikah Dengan Pribadi Borderline". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

GS : Beberapa waktu yang lalu kita memperbincangkan tentang tumbuhnya pribadi yang borderline, dan orang-orang yang seperti ini sangat menyulitkan. Suatu saat orang ini akan menikah, Pak Paul, dan dampaknya di dalam hidup pernikahan seperti apa ?

PG : Seperti yang telah kita bahas, Pak Gunawan, gangguan borderline adalah gangguan kepribadian yang berada di perbatasan. Ada dua gangguan yang besar yaitu gangguan neurotik dan gangguan psiksis.

Gangguan neurotik mencakup gangguan-gangguan misalkan seperti gangguan kecemasan, depresi dan biasanya gangguan-gangguan emosional. Sedangkan gangguan psikosis adalah gangguan dimana pola pikir sudah tidak lagi seturut dengan realitas, dilusi, berpikir yang tidak rasional dan sebagainya. Orang yang terkena gangguan borderline itu adalah orang yang di perbatasan, makanya namanya borderline, di perbatasan. Disebut perbatasan karena dia memiliki ciri-ciri gangguan emosional, emosinya bermasalah yakni mudah naik turun, bisa depresi, marah. Pikirannya juga mulai terganggu meskipun belum benar-benar psikotik, benar-benar belum kehilangan kemampuan untuk melihat realitas tapi cara dia berpikir mulai berbeda dengan realitas. Kita bahas pada pertemuan yang lampau bahwa rasanya gangguan ini akan makin menjamur karena di zaman inilah orang hidup, dimana tuntutan makin meningkat, kompetisi dimana-mana, orang tua pun makin membebankan tuntutan pada anak harus begini dan begitu, di pihak lain orang tua makin sibuk sehingga waktu untuk anak makin berkurang, kasih sayang, kedekatan makin tidak ada. Kombinasi inilah yang melahirkan atau menciptakan gangguan borderline apalagi bila dalam keluarga tersebut ada banyak pertengkaran, kemarahan-kemarahan. Apalagi kalau ada ayah atau ibu yang benar-benar meninggalkan rumah. Ini suatu gangguan borderline yang lengkap dan yang sangat kuat sekali. Di zaman ini banyak hal yang sudah saya sebut seperti di atas itu terjadi. Jadi kita mengantisipasinya jangan sampai masalah ini makin menjamur karena kalau nantinya menjamur maka akan merusak keluarga. Kita akan coba melihat beberapa hal kenapa gangguan borderline adalah gangguan yang cepat merusak sendi pernikahan. Yang pertama adalah orang yang menderita gangguan borderline adalah orang yang tidak bisa menyesuaikan diri. Sedangkan tuntutan pernikahan adalah penyesuaian diri, tapi semua orang harus mengikuti caranya, harus ikuti kemauannya sebab bagi dia yang dia pikirkan itu yang paling baik, kalau orang lain tidak bisa mengikuti berarti orang lain yang bermasalah. Dengan pola pikir seperti ini, maka sangat susah untuk bekerjasama dan pola pikirnya juga sangat hitam putih. Sehingga kalau ada apa-apa selalu bertengkar atau konflik dia tidak bisa menempatkan diri di posisi pasangan, susah buat dia berempati, "Kenapa sampai orang begini, kenapa orang berbuat itu?" sebab semua dilihat dari kacamata dia. Sangat hitam putih sekali. Kalau orang itu tidak mengikuti dia, berarti orang itu tidak bisa diajak bekerjasama. Bagaimana mungkin menjalin relasi nikah dengan orang seperti ini dan ini menciptakan relasi yang mustahil dalam pernikahan.
GS : Hal itu bisa saja terjadi bukan saja pada pasangan Pak Paul, tetapi kepada orang lain dan itu akan berdampak kepada pernikahan itu sendiri ?

PG : Bisa, Pak Gunawan. Jadi misalkan kalau dia sudah mendapatkan masalah-masalah di luar dengan orang-orang di sekelilingnya seperti tidak ada teman, dikucilkan oleh lingkungannya, di gereja uga dia tidak banyak sahabat, dia mungkin saja tidak suka lagi ke gereja karena tidak punya teman dan sebagainya, hal-hal itu akan dibawa pulang.

Bisa juga dia nanti melarang suaminya untuk bertemu dengan teman-teman tertentu, "Buat apa bertemu mereka lagi orangnya seperti ini dan itu." Misalnya pasangannya ingin melibatkan diri dalam pelayanan dan dia juga melarang, "Buat apa orang ini seperti ini dan itu." Jadi akhirnya yang menderita adalah pasangannya.
GS : Bagaimana seharusnya sikap pasangan dalam menghadapi partnernya yang mempunyai kepribadian borderline, Pak Paul ?

PG : Dalam kasus seperti ini memang tidak ada yang namanya "win-win solution", benar-benar jalan keluarnya tidak ada, kalau yang satu menang maka yang satu kalah, sebab dia tidak bisa memberika kemenangan kepada orang lain tapi dia mesti menang dan orang lain harus kalah, artinya kalau dia benar orang lain salah.

Jadi kalau kita menjadi pasangannya maka kita akan frustrasi luar biasa, sebab kalau kita mau keras kepada dia, boleh dikata nanti kita akan berkelahi dan dia adalah orang yang sanggup berkelahi setiap hari. Jadi karena daya emosinya yang begitu liar dan kuat dia akan sanggup berdebat, berkelahi, berteriak-teriak setiap hari, kita tidak akan sanggup dan lelah. Maka kalau menikah dengan orang yang borderline, kebanyakan pasangannya baik istri maupun suami pada akhirnya akan menyerah, dan untuk menyelamatkan pernikahan akhirnya pasangan memilih untuk diam, sebab begitu berbantahan mulai dan menyulut kemarahannya maka masalah akan menjadi panjang lebar, tentu tidak sehat karena kalau dia mendiamkan berarti kemarahannya, kontrolnya akan bertambah merajalela. Tapi kalau ditegaskan, diberitahu dan sebagainya dia menjadi ribut besar, sehingga tidak ada pilihan lain, yakni diam.
GS : Dalam hal ini Pak Paul apakah ada hal lain lagi yang menjadi penyebabnya dalam pernikahan ?

PG : Kenapa ini menjadi satu gangguan yang berbahaya bagi pernikahan karena emosinya itu begitu kuat. Jadi waktu dia marah daya destruktifnya besar sekali seperti dia histeris, dia kalab, dia bnting barang, dia pecahkan sesuatu dan kadang-kadang ini yang saya lihat yaitu istri itu memukuli suaminya.

Kalau sedang marah dia tidak bisa mengendalikan diri, dia pukul suaminya, dia tampar anaknya, benar-benar tidak ada lagi kontrol, kenapa ? Intinya bagi dia adalah sewaktu orang tidak melakukan yang dia minta itu berarti orang jahat kepadanya, orang tidak menghargainya dan itu adalah dua tema dalam hidupnya, orang jahat kepada dia dan orang tidak menghargai dia, maka dia akan marah sekali. Memang sudah tidak ada lagi rasionalitasnya makanya dikatakan borderline, karena sudah mulai masuk ke arah psikosis gangguan ke arah pikiran, dia menuntut yang begitu susah, yang begitu tidak mungkin kepada anak kecil. Misalnya anak yang baru berumur satu tahun atau lebih, dia menuntut anaknya harus bisa misalkan makan pada jam tertentu, tidur pada jam tertentu, kalau tidak dia akan marah sekali. Jadi tuntutan-tuntutan yang tidak masuk akal, padahal orang tua seharusnya menyadari, "Anak saya masih kecil tidak bisa untuk diajak berdialog" tapi dia tidak peduli, yang penting kalau harus maka harus dilakukan, cara ini yang baik maka cara ini yang harus dilakukan. Misalkan cara memberi makan anaknya seperti yang dia sukai seperti ini, suaminya berkata, "Nanti dia muntah dan sebagainya" dia tidak terima walaupun terbukti anaknya muntah terus-menerus dan dia berkata, "Anak ini harusnya menyesuaikan diri" tapi apakah benar dan baik membiarkan anak muntah berminggu-minggu, memang akhirnya anak menyesuaikan diri tapi membuat dia menderita sampai berminggu-minggu, itu tidaklah benar. Tapi dia tidak bisa melihat hal itu, tidak punya belas kasihan seperti misalnya "Kasihan anak ini" kalau pun ada, emosi belas kasihan itu hanya sesaat, kalau dia dipengaruhi oleh sesuatu maka akan secara tiba-tiba muncul rasa kasihan, tapi belas kasihannya bukan dari pertimbangan rasional, bukan dari empati tapi penguasaan emosi. Jadi emosinya yang tiba-tiba keluar, kebetulan emosi berbelas kasihan maka dia berbelas kasihan, tapi bukan bersumber dari kemampuan berempati, menempatkan diri pada diri orang sehingga bisa memahami derita orang dan itu yang dia tidak bisa lakukan.
GS : Pak Paul untuk orang-orang yang memiliki pribadi borderline ini, Pak Paul tadi katakan orang-orang yang kekurangan kasih sayang, dan di dalam hidup pernikahan bagaimana kalau pasangannya itu melimpahkan kasih sayang kepada dia ?

PG : Memang itu yang harus dilakukan, Pak Gunawan. Jadi kalau kita adalah pasangannya kita harus meyakinkan dia bahwa kita mengasihi dia dan kita tidak akan meninggalkan dia sebab memang dia taut kalau ditinggalkan.

Jadi terus yakinkan kalau kita mengasihi dia, namun perlahan-lahan kita mesti dengan bijak mulai menerapkan batas, sehingga dia tidak merajalela. Kalau saja pasangan kita yang borderline ini akhirnya melihat bahwa kita sungguh-sungguh mengasihi dia, maka dia akan lebih bisa menoleransi batas-batas yang kita terapkan kepada dia, karena sekarang dia tahu kalau kita mengasihinya dan tidak akan meninggalkan dia. Lewat perjalanan yang panjang seperti ini perlahan-lahan barulah dia mulai berubah karena tabung kasihnya sudah mulai terisi, sehingga dia tahu kalau dia dikasihi dan dia berharga dan lama-lama dia nanti mulai menyingkirkan konsepnya yang salah yaitu suaminya hanya mengasihinya karena dia cantik, dia bisa ini dan itu, dia mampu ini dan itu, tidak dia harus tinggalkan semua itu dan berkata, "Suami saya mengasihi saya karena saya adalah orang yang layak dikasihinya dan saya adalah istrinya," titik, tidak ada alasan lain. Kalau dia sudah sampai ke point itu maka dia bisa berkata, "Saya dikasihi apa adanya maka gejolaknya itu sudah mulai berkurang dan dia akan lebih bisa mendengar dan menerima batasan-batasan yang diberikan oleh suaminya, teguran-teguran yang disampaikan oleh suaminya, barulah perlahan-lahan dia bisa berubah, tapi ini melewati rentang waktu yang panjang.
GS : Karena membutuhkan waktu yang panjang, maka ada kemungkinan si suami ini berbuat kesalahan yang membuat orang berkepribadian borderline ini merasa lagi bahwa suaminya ini tidak mengasihi dia lagi, berarti sia-sia apa yang telah dilakukan ?

PG : Tepat sekali, Pak Gunawan. Memang sepertinya kita sudah membangun bangunan, dan tahu-tahu yang telah dibangun dicabut dan runtuh semua, memang seperti itu sebab tidak ada yang sempurna. Jai ini akan terjadi seolah-olah membuang semuanya yang telah dilakukan oleh suaminya dan suaminya memang harus tetap mengatakan kepada dia, "Saya mengasihimu, saya tidak kemana-mana, saya di sini."

Jadi harus terus berusaha meyakinkan dia seperti itu meskipun luar biasa lelahnya karena kita merasa semua usaha kita sia-sia, semuanya tidak ada lagi yang dihargai atau diingatnya lagi.
GS : Apakah orang dengan kepribadian borderline ini seringkali mengancam pasangannya bahwa dia akan meninggalkan kalau tidak dikasihi ?

PG : Betul. Jadi mereka takut sekali ditinggalkan, maka dari pada ditinggalkan mereka buru-buru atau lebih dahulu mau meninggalkan. Jadi dia mau melihat gelagatnya dan di sini kita melihat carapikir yang sudah tidak lagi rasional.

Yang dia maksud dengan gelagat bisa jadi bukanlah suatu sinyal bahwa suaminya akan meninggalkan, tapi sesuatu yang sangat alamiah yaitu misalkan dengan berjalannya waktu, cinta yang tadinya 'intens' akan mulai meredup karena akan mulai mengambil akar-akar yang lebih kuat di bawah, kemudian tentang perhatian karena waktu mulai terbatas maka perhatian juga akan terbatas dan sebagainya. Bagi orang yang menderita gangguan borderline dia susah menerima ini, dia mengharuskan suaminya tetap memberikan semua persis sama seperti dulu, waktu cinta dari suaminya mulai luntur maka dia akan langsung panik dan dia akan langsung berpikir jauh sekali bahwa suaminya akan meninggalkan dia, dia tidak lagi orang yang menarik, tidak lagi orang yang memang dicintai oleh suaminya maka lebih baik saya pergi. Ini yang membuat menyelesaikan konflik dengan dia sangat susah sebab daya juangnya untuk menyelesaikan masalah sangat rendah, belum apa-apa dia mau berhenti, menyerah. Kalau mau bicara selalu ribut maka dia akan marah, "Sudah stop jangan bicara lagi," atau "Percuma bicara dengan kamu sudah stop saja" di sini si suami akan bingung bagaimana bisa bicara, mau menyelesaikan, mau menjelaskan karena sudah di suruh stop, stop, stop. Kenapa ? Karena daya tampung stresnya lemah, dia tidak bisa menampung daya stres yang banyak sehingga pada akhirnya harus meledakkan semua dan daya juangnya untuk menyelesaikan problem juga sangat lemah, sehingga akhirnya dia mengambil jalan pintas. Atau lama-lama dia akan berkata, "Sudah stop disini, kita tidak perlu lagi bicara, pisah ranjang saja" dan lama-lama nanti pisah rumah saja dan sebagainya.
GS : Kalau pun dinasehati Pak Paul, dia akan sulit menerima nasihat orang lain ?

PG : Sulit. Semua nasehat harus sama dengan keinginannya, begitu nasehat itu berbeda dari yang diinginkannya maka dia tidak akan terima. Jadi benar-benar sesuai dengan konsepnya saja. Dan yang embuat suaminya tidak tahan adalah dia akan terus-menerus memonitor suaminya, Pak Gunawan, karena sekali lagi suaminya adalah sumber kasihnya, supply kasih, dia tidak boleh kehilangan, maka dia akan terus memonitor jangan sampai suaminya ada apa-apa dan sama siapa dia akan jaga terus, makanya mulai membatasi pergaulan.

Kalau ada perempuan yang menelepon, maka suaminya tidak boleh menerima, dia akan sangat marah sekali kecuali orang ini adalah orang yang sangat dia percaya sekali. Jadi kecemburuannya ini, daya possesifnya ini bukan hanya dengan teman, tapi juga bisa terhadap kakak atau adiknya, kalau kakaknya perempuan atau adiknya yang perempuan mulai baik-baik dengan suaminya maka dia bisa marah, "Kenapa mesti dekat-dekat dengan dia, kamu sudah tahu kalau dia sudah punya suami," dia bisa marah, dia tidak bisa mengerti kalau kakak atau adiknya hanya biasa-biasa saja dengan kakak iparnya dan dia tidak bisa mengerti, dia merasa bahwa ini adalah ancaman buat dia, mau mengobok-obok rumah tangga dia, semua dianggapnya mau mengobok-obok rumah dia, mau campur tangan. Jadi memang luar biasa protektif dan possesifnya terhadap apa yang dimilikinya, tidak ada orang yang boleh menyentuhnya, tidak ada orang yang boleh menegur-negur, memberitahu atau menasehati dan semua harus dengan cara dia.
GS : Mungkin ada masalah lain yang timbul dalam keluarga seperti itu, Pak Paul ?

PG : Misalnya yang lain adalah pernikahan dengan penderita borderline akhirnya sama dengan hidup dalam hukum dan peraturan, semua harus sesuai aturan yang dibuatnya, baik pasangan maupun anak tdak boleh melanggarnya, tuntutan demi tuntutan akhirnya membuat pasangan dan anak letih, apalagi jika tidak disertai cinta dan kehangatan, akhirnya dia akan dijauhi dan ini yang membuatnya tambah marah, makin memaksakan kehendak, dia tidak terima.

Jadi waktu dia melihat kalau anaknya lebih dekat dengan suaminya, karena suaminya lebih berperasaan maka dia tambah marah, dia akan berkata, "Kamu yang membuat anak makin melawan saya," padahal suaminya tidak berbuat apa-apa. Tapi dia akan marah kepada suaminya, "Ini gara-gara kamu, anak berpihak kepada kamu, benci sama saya dan tidak hormat kepada saya, kamu harus memberi tahu anakmu harus menghormati saya," itu adalah omelan-omelan yang akan sering terdengar dalam benak, karena semua harus sesuai dengan aturan-aturan yang dibuatnya dan dia harus terapkan aturan-aturan itu dengan sangat kaku sehingga tidak akan ada yang tahan. Kalau anak ada di rumah sudah pasti anak akan mencari Papanya yang memang lebih berperasaan, lebih bisa diajak bicara. Dan si penderita borderline akan makin dijauhi, tapi makin dijauhi maka dia akan makin kalap, makin tidak bisa dikontrol.
GS : Karena sikapnya yang seperti itu Pak Paul, mau tidak mau anak akan menjauhi penderita borderline ini, Pak Paul dan dengan dia ditinggalkan maka dia akan makin susah, makin timbul masalah baru lagi. Maka akan tambah repot, Pak Paul?

PG : Maka dalam kasus-kasus tertentu Pak Gunawan, ini mungkin mengejutkan. Jadi ada ibu-ibu yang menderita gangguan borderline yang akan sanggup berkata, "Sudah saya akan pindah, saya akan tingalkan kamu semua," termasuk anak-anaknya dan dia bisa benar-benar tidak mau ketemu dengan anak lagi, tidak ada perasaan kehilangan si anak, dia bisa hidup sendirian dan ini benar-benar bisa dilakukannya.

Jadi karena hatinya tidak pernah diisi oleh kasih sayang sejak kecil maka menjadi hati yang mati, benar-benar menjadi sebongkah daging yang tidak ada lagi rohnya. Bahkan anak yang dikandung dan dilahirkan pun kalau dijauhkan dari dia, dia tidak akan merasa kehilangan, tidak ada perasaan ingin tahu anaknya. Dan anaknya yang bingung dan kehilangan Mamanya, tapi memang si Mama bisa bersikap seperti itu. Kita bisa melihat betapa parahnya gangguan borderline di dalam sebuah keluarga, sangat-sangat payah.
GS : Kalau dia bisa memutuskan hubungan dengan anaknya, Pak Paul, berarti dia bisa merasa dikhianati oleh anak-anaknya, dia tidak merasa diperlakukan sebagai seorang ibu yang baik. Apakah perasaan-perasaan ini bisa muncul di dalam penderita borderline ini ?

PG : Dan itulah satu-satunya perasaan yang bisa dirasakannya. Jadi dia selalu meneropong semuanya dari kacamata satu itu, yaitu baik dan jahat, saya orang baik dan kamu orang jahat termasuk kepda anak-anaknya.

"Saya Mama yang baik dan kamu anak-anak yang jahat makanya kamu memihak kepada Papamu" dan kepada suaminya dia berkata, "Kamu suami yang jahat karena kamu lebih memihak kepada anakmu dari pada saya." Jadi itulah pola pikirnya sangat-sangat terkotak-kotak dan hitam-putih. Maka dalam pengertian dia, dia memisahkan diri, dia tidak peduli dengan anaknya. Dia tidak memiliki perasaan apa-apa, karena dia merasa saya memang dijahati, mereka ini memang tidak setia kepada saya, mereka memang mengkhianati saya. Dan dia bisa mengeraskan hatinya sekeras itu, Pak Gunawan. Ini memang mengherankan buat kita, kita sebagai orang tua kadang-kadang juga marah kepada anak tapi tidak tahan lama karena kita akan berpikir, "Kasihan anak ini dan sebagainya," tapi orang borderline tidak bisa memikir seperti itu. Dan pikirannya terus dipenuhi oleh yang dia pikir yaitu saya dijahati, mereka jahat kepada saya dan itu cukup untuk membunuh semua perasaan-perasaan lainnya.
GS : Katakan anak atau suaminya meminta maaf kepada orang ini, apakah dia tetap tidak bisa memberikan maaf, Pak Paul ?

PG : Tidak bisa, karena bagi dia dari pada dia harus menderita karena dia menganggap bahwa dia itu korban, jadi mereka inilah yang jahat, daripada dia terus menerus menjadi korban lebih baik tiak perlu diberi maaf.

Bahkan misalnya kita tidak membicarakan suaminya itu berselingkuh, tapi misalnya suaminya pernah dekat dengan orang bahkan saudaranya sendiri, suaminya pernah baik sepertinya mau menolong dan sebagainya, itu cukup bagi dia untuk mengembangkan pemikiran bahwa suaminya sudah tidak mencintai dia lagi, suaminya mau menjelaskan seperti apa pun maka akan susah sekali dia terima, dia akan berkata "Tidak, saya sudah bisa lihat bahwa kamu sekarang sudah tidak sama lagi, kamu sudah tidak mencintai saya, kamu sekarang suka dengan si ini." Bisa jadi suaminya sudah tidak terlalu mencintai dia sebab siapa yang bisa tahan hidup dengan dia. Dan dia juga tahu kalau suaminya memang bukan orang yang mudah jatuh cinta dan sekarang dia bisa lihat sendiri bahwa pasangannya sudah mulai berubah. Dia bisa merangkai suatu cerita bahwa nanti suaminya akan meninggalkan dia, karena suka dengan orang ini dan sebagainya, meskipun tidak terjadi dan tidak ada buktinya. Akhirnya itulah yang dia pegang untuk berkata, "Susah stop di sini, tidak perlu ada lagi hubungan, saya tinggalkan kamu dan sebagainya." Jadi sebegitu drastik dia mengambil keputusan.
GS : Dan apa dampak terhadap anak, Pak Paul ?

PG : Ini yang paling parah Pak Gunawan, besar kemungkinan salah satu anaknya akan seperti dia. Dan ini adalah hal yang memang menyedihkan sebab saat mereka hidup dengan dia, mereka akan menerim persis seperti yang dia terima dulu yaitu menerima tuntutan dan juga tidak menerima kasih sayang seperti yang dulu mamanya juga tidak menerima.

kalau ada Papa yang hangat yang bisa mengerti itu lebih baik karena akan menetralisir dan itu menolong besar sekali. Jadi saya anjurkan dalam rumah tangga kalau ada kasus yang seperti ini maka lebih baik yang satunya yang harus bertindak ekstra dalam memberikan kasih sayang kepada anak, sekaligus juga menurunkan standart, lebih mengerti anak. Inilah yang diperlukan oleh anak dan nanti bisa menutupi atau menyeimbangkan. Memang anak-anak ini akan terpengaruh oleh kemarahannya, penghinaannya karena kalau sedang marah dia akan sangat kalap. Jadi akan ada anak-anak yang dibesarkan oleh misalkan ibu atau ayah borderline akan dibawah trauma terus-menerus membawa trauma karena mengingat yang histeris itu.
GS : Kalau anak misalnya sudah berkeluarga artinya tidak di rumah itu lagi, maka pengaruhnya tidak terlalu terasa, Pak Paul ?

PG : Kalau sudah besar. Tapi masalahnya kalau sudah terlanjur menerima semua pengaruh buruk itu dan biasanya akan diteruskan ke generasi berikutnya, ini keprihatianan kita semua. Mudah-mudahan engan apa yang telah kita kita perbincangkan ini orang lebih menyadari, dan sebelum menikah membereskan masalah ini dulu.

Jangan membawa masalah borderline ke dalam pernikahan, kalau kita melihat, "Benar ini diri saya," rendahkanlah hati untuk mencari bantuan untuk membereskan masalah ini jangan gara-gara satu masalah pada satu orang akhirnya semua orang menderita hal yang sama.
GS : Tapi biasanya ini tidak terlalu jelas nampak ketika mereka masih berpacaran, Pak Paul ?

PG : Sebetulnya memang tidak terlalu terlihat jelas tapi seharusnya itu sudah mulai kelihatan yaitu sikap-sikap kerasnya, sikap-sikap susah berkomprominya, sikap-sikap kakunya. Kalau sudah mula tercium adanya sikap-sikap seperti itu berhati-hatilah.

Memang betul tidak terlihat jelas, dan setelah menikah baru benar-benar meledak.
GS : Kadang-kadang setelah beberapa tahun menikah baru hal-hal itu muncul, Pak Paul?

PG : Ya, memang bergantung pada kedekatannya kalau makin dekat dan makin dekat, maka makin keluar semua gejala-gejalanya.

GS : Pak Paul, apakah ada kesimpulan yang ingin Pak Paul sampaikan sekaligus ada ayat Firman Tuhan yang ingin Pak Paul bacakan ?
GS : Hidup dengan penderita borderline memang amat sulit, hanya pertobatan rohanilah yang sanggup mengubahnya. Firman Tuhan berkata "Hari orang berkesusahan buruk semuanya, tetapi orang yang gembira hatinya selalu berpesta," di Amsal 15:15. Orang dengan kepribadian borderline sesungguhnya adalah orang yang berkesusahan, itu sebabnya semua hari-harinya buruk, dia harus mencari pertolongan namun untuk itu diperlukan kerendahan hati maka datanglah dan akuilah bahwa saya bermasalah, Tuhan tengah menunggu untuk menolong.

GS : Terima kasih Pak Paul untuk perbincangan ini. Dan para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Menikah Dengan Pribadi Borderline". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Akhirnya dari studio kami mengucapkan terimakasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara Telaga yang akan datang.


Ringkasan:

Dalam satu kata dapat disimpulkan pengalaman menikah dengan pribadi borderline: mustahil! Kenapa mustahil adalah dikarenakan oleh beberapa penyebab :

  • Pernikahan mensyaratkan adanya keinginan dan kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan satu sama lain. Masalah dengan orang yang berkepribadian borderline adalah ia sukar menyesuaikan diri. Baginya caranya adalah yang paling benar, jadi pasanganlah harus menyesuaikan diri. Pola pikirnya yang hitam-putih membuatnya sukar memahami persoalan dari sisi pasangan. Tidak bisa tidak, untuk mencegah timbulnya konflik, akhirnya pasangan memilih untuk mengalah. Masalahnya adalah, sikap ini makin membuatnya merajalela dengan kemauannya.
  • Emosi marahnya yang begitu kuat berdaya destruktif. Ia kerap main tangan, baik kepada pasangan dan anaknya. Pokoknya jika pasangan atau anak tidak melakukan yang dituntutnya, ia marah besar. Pada dasarnya ia sudah beranggapan bahwa orang selalu berusaha melawan dan menyusahkannya, itu sebabnya ia cepat marah tatkala melihat orang tidak melakukan apa yang dimintanya. Orang dengan kepribadian borderline adalah kandidat pelaku penganiayaan pasangan dan anak.
  • Oleh karena ia takut ditinggalkan, ia kerap berprinsip, sebelum ditinggalkan, lebih baik meninggalkan pasangan terlebih dahulu. Daya juangnya untuk menyelesaikan masalah rendah; itu sebabnya ia cepat menyerah dan mengeluarkan ancaman untuk bercerai. Ketakutannya untuk ditinggalkan juga membuatnya cepat cemburu dan posesif. Ia akan berusaha mengendalikan pasangan sedemikian rupa sehingga pasangan tidak mungkin meninggalkannya.
  • Pernikahan dengan penderita borderline sama dengan hidup dalam hukum dan peraturan. Semua harus sesuai aturan yang dibuatnya; baik pasangan maupun anak tidak boleh melanggarnya. Tuntutan demi tuntutan membuat pasangan dan anak letih, apalagi jika tidak disertai kasih dan kehangatan. Akhirnya ia akan dijauhi dan ini membuatnya bertambah marah dan makin memaksakan kehendak.
  • Namun dampak terburuk hidup dengan penderita borderline adalah akibat yang ditimbulkannya pada anak. Pada akhirnya ia merusak jiwa anak lewat tuntutannya, kemarahannya, penghinaannya, dan kehampaan kasih. Malangnya, anak yang menderita ditangan orangtua yang seperti ini berkemungkinan besar mengikuti jejak orangtuanya. Maka dimulailah sebuah siklus destruktif.

Kesimpulan :
Hidup dengan penderita borderline memang amat sulit; hanya pertobatan rohanilah yang sanggup mengubahnya. Firman Tuhan berkata, "Hari orang berkesusahan buruk semuanya, tetapi orang gembira, hatinya selalu berpesta." (Amsal 15:15) Orang dengan kepribadian borderline sesungguhnya adalah orang yang berkesusahan. Itu sebabnya hari-harinya semua buruk. Ia harus mencari pertolongan namun untuk itu diperlukan kerendahan hati. Datanglah dan akuilah bahwa memang, saya bermasalah. Tuhan tengah menunggu untuk menolong.


Questions: