BETA
Bencana Alam 2
Sumber: telaga
Id Topik: 576

Abstrak:

Lanjutan dari T205A

Transkrip:

T 205 B

Lengkap

"Bencana Alam (II)" oleh Pdt.Dr. Paul Gunadi

Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp.Pdt.Dr.Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara, Malang. Perbincangan kami kali ini merupakan kelanjutan perbincangan kami terdahulu yaitu tentang "Bencana Alam". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

GS : Pak Paul, pada kesempatan yang lalu kita sudah berbincang-bincang tentang bagaimana reaksi seseorang menghadapi bencana alam. Yang sudah kita bicarakan ada dua reaksi dan masih ada beberapa yang akan kita bicarakan dalam perbincangan kali ini. Namun agar para pendengar kita bisa mengikuti alur perbincangan kita, mungkin Pak Paul bisa uraikan secara singkat apa yang sudah kita perbincangkan pada kesempatan yang lalu.

PG : Reaksi pertama tatkala kita mengalami bencana adalah penyangkalan. Nah penyangkalan di sini bukanlah menyangkal pada peristiwanya bahwa bencana telah terjadi. Penyangkalan di sini mengac pada penyangkalan terhadap kehilangan.

Jadi misalkan kita kehilangan anak, kita kehilangan orangtua, tapi kita beranggapan bahwa ini adalah sebuah mimpi dan besok setelah saya bangun tidur saya akan mendapatkan bahwa orangtua saya masih hidup. Reaksi penyangkalan adalah reaksi yang alamiah, kebanyakan kita pada waktu mengalami bencana seperti ini akan mengeluarkan reaksi penyangkalan. Salah satu gunanya adalah tanpa kita sadari dengan menyangkal kita mempersiapkan diri kita untuk benar-benar mengalami kehilangan yang dasyat; kita tidak siap untuk langsung mengalaminya maka untuk mempersiapkan diri di bawah alam sadarlah kita memunculkan penyangkalan-penyangkalan ini. Biasanya penyangkalan hanya berlangsung beberapa hari karena pada akhirnya kita benar-benar melihat orang-orang yang tadinya ada di sekitar kita, sekarang sungguh-sungguh tidak ada. Tapi ada sebagian orang yang akhirnya memang gagal untuk bisa menerima fakta tersebut, mereka tetap hidup di dalam alam mimpi. Jadi akhirnya mereka tidak lagi hidup dalam alam yang nyata atau yang riil, mereka terus beranggapan bahwa orang-orang itu masih ada. Nah di sini akhirnya kita melihat ada sebagian korban yang menjadi tidak sehat secara jiwani, mengalami gangguan jiwa, berbicara sendiri, ngomong dengan anaknya padahal anaknya tidak ada. Setelah tahap penyangkalan, tahapan yang akan mereka lewati biasanya adalah kemarahan. Karena biasanya di saat ini mereka menyadari bahwa kehilangan itu telah sungguh-sungguh terjadi, marah kepada Tuhan karena menganggap Tuhan bertanggung jawab; kenapa Tuhan membiarkan semuanya ini terjadi pada hal Tuhan bisa mencegahnya, kenapa Tuhan tidak mau mempedulikan saya berarti Tuhan tidak mengasihi saya. Kemarahan juga bisa bertambah buruk karena kita menganggap Tuhan tidak adil. Ada orang yang hidupnya tidak sebenar kita tapi tidak kehilangan banyak sementara saya kehilangan banyak. Waktu kita melihat ke kanan atau ke kiri, membanding-bandingkan diri dan merasa bahwa kitalah yang paling malang kita bisa bertambah marah pada Tuhan. Kemarahan juga bisa diperpanjang berhubung kehidupan transisi ini sulit sekali. Kita merasa bahwa penderitaan ini tidak berarkhir, terus menerus kita harus hidup dalam kesusahan. Air susah didapat, makanan susah didapat, tidur pun tidak bisa nyenyak dan sebagainya. Penderitaan cenderung memperpanjang kemarahan, itu sebabnya waktu kita mencoba menolong para korban kita harus berani terbuka dengan ketidaksempurnaan upaya penolongan ini. Jangan sampai kita membela diri, mencoba untuk menutupi kekurangan; apa adanya kita katakan. Namun kita kembalikan tanggung jawab kepada mereka. Memang seperti ini kondisinya, tapi saling menuding tidak akan menolong, saling menyalahkan tidak akan membantu siapa pun, mari kita bangkit bersama-sama kita lalui masa yang sulit ini.
GS : Nah orang tidak mungkin akan marah terus-menerus, nah setelah reaksi kemarahan itu mulai reda apakah ada reaksi lain?

PG : Biasanya kita akan memasuki tahap tawar-menawar, kita mencoba seolah-olah meminta Tuhan untuk mengurangi penderitaan kita. Dalam kasus bencana alam kita mungkin mencoba membujuk Tuhan denan doa-doa kita supaya kita cepat bangkit, berkat Tuhan cepat turun, penderitaan ini cepat berakhir.

Kita mulai berangan-angan meminta supaya Tuhan menolong kita. OK! Kita telah terima bahwa kita telah kehilangan banyak, kita telah menderita tapi kita terus berharap ini akan berakhir dengan cepat. Kita seolah-olah mau menawar dan kita mulai berjanji kepada Tuhan, "Tuhan, saya telah belajar sesuatu dari bencana ini, ini ada hikmahnya, ini ada manfaatnya buat saya; Tuhan sudah tahu saya belajar sekarang lepaskanlah saya dari penderitaan ini." Sebagai pembimbing dalam upaya menolong mereka kita perlu untuk menyadarkan mereka agar tetap realistik. Adakalanya pada tahap ini mereka tidak realistik, terlalu berpikir sederhana bahwa "kalau saya mengakui kesalahan dosa saya, maka dengan cepat Tuhan akan mengubah situasi saya. Penderitaan akan segera berhenti dan berkat Tuhan akan dikucurkan dari sorga supaya saya bisa bangkit." Ini yang perlu kita coba sadarkan pada para korban bahwa mungkin situasi ini akan berkepanjangan tapi tidak berarti Tuhan sudah menutup mata, tidak berarti Tuhan meninggalkan kita, dalam kesusahan Tuhan tetap bersama dengan kita. Tuhan bukan saja bersama dengan kita melewati padang yang berumput hijau Dia pun bersama dengan kita melewati lembah bayang-bayang maut yaitu lembah kesusahan dan penderitaan. Jadi kita mesti sadarkan mereka agar jangan sampai mereka masuk dan terjebak ke dalam angan-angan yang tidak realistik.
GS : Sebenarnya reaksi ini adalah reaksi awal dari bangkitnya seseorang dari keterpurukan akibat terjadinya bencana alam itu Pak Paul?

PG : Betul sekali, tadi Pak Gunawan katakan orang tidak bisa marah terus-menerus itu betul, meskipun biasanya fase marah cukup panjang dan mudah meletup kembali. Jadi ini bukan fase yang kalaukita sudah lewati selama-lamanya kita tidak akan kembali lagi, tidak demikian karena bisa jadi setelah kita melewati fase-fase ini ada lagi yang membuat kita marah dan kemarahan itu muncul lagi.

Tapi intinya adalah kalau kita berhasil melewati kemarahan, kita masuk ke tawar-menawar ini, inilah fase yang sebetulnya menunjukkan kita mau bangkit, makanya kita mulai berharap, kita mulai kembali berdoa, meminta belas kasihan Tuhan menolong kita. Tapi sekaligus kita mesti berhati-hati, jadi sebagai penolong kita mesti mengingatkan mereka tetap berdoa dan berharap tapi tetap juga realistik bahwa penderitaan ini tidak usai dengan segera.
GS : Tawar-menawar ini apakah bisa juga dilakukan terhadap sesamanya jadi bukan tehadap Tuhan, apakah ada bentuk tawar-menawar seperti itu?

PG : Saya kira secara tidak langsung kita melakukan itu juga dengan orang-orang yang kita anggap berada di posisi untuk menolong kita. Kita menuntut mereka untuk bisa melakukan sesuatu bagi kia jadi kita mulai meminta ini dan itu.

Sekali lagi secara positifnya ini adalah awal kebangkitan, awal berharap kembali tapi penting kita sebagai team penolong untuk berhati-hati, menyadarkan mereka untuk berhati-hati. Boleh berharap meminta ini dan itu kepada berbagai pihak tapi sekaligus juga realistik. Jangan sampai akhirnya terlalu berada di awan-awan dan mengharapkan nanti akan ada bantuan dan sebagainya, nanti akhirnya mereka mengalami disilusi.
GS : Bagaimana seandainya kalau yang mereka harapkan atau yang mereka tawar tidak menjadi suatu kenyataan?

PG : Kalau tidak menjadi kenyataan biasanya reaksinya adalah kemarahan lagi Pak Gunawan, kembali lagi ke fase marah. Atau kembali lagi marah kepada Tuhan misalnya aduh percuma saya berdoa kepaa Tuhan, saya sudah katakan kepada Tuhan kalau Tuhan berkati saya dan mengangkat saya dari keterpurukan ini maka saya akan melayani Tuhan, saya akan hidup dengan Tuhan, tapi bantuan ini tidak datang-datang percuma saya berdoa.

Kalau akhirnya kita makin marah karena yang kita minta tidak menjadi kenyataan, tapi sudah capek marah, tidak bisa lagi marah-marah, masuklah kita ke fase yang sangat serius yaitu fase putus asa. Kita depresi berat, kita benar-benar kehilangan pengharapan. Tadinya kita sudah berharap tapi tidak menjadi kenyataan; kita sudah berdoa tapi tak ada jawaban; kita sudah minta tolong pihak sini dan pihak sana tapi tidak ada uluran tangan, kita benar-benar merasa sendirian. Kita akhirnya merasa tidak ada lagi yang peduli kepada kita. Awal-awalnya bantuan datang, orang mengunjungi tapi sekarang tidak ada lagi, nah kita mulai merasakan bahwa kita dilupakan. Pada titik itu kita rentan sekali mengalami keputusasaan, pada titik yang sangat dalam makanya orang bisa bunuh diri dalam posisi seperti ini, karena banyak yang tidak lagi melihat adanya titik terang. Belum lama ini saya membaca artikel di surat kabar tentang kondisi di India, memang negara India banyak mengalami kemajuan tetapi ternyata di balik kemajuan itu begitu banyak orang yang hidup dalam kesusahan. Artikel itu membahas tentang statistik bunuh diri; cukup banyak orang-orang yang bunuh diri yaitu para kepala keluarga. Mereka tidak bisa lagi menghadapi hidup yang sebegitu beratnya, sama dengan masalah bencana ini. Para korban pun pada titik keputusasaan ini mungkin akan tergoda untuk mengakhiri hidup, daripada begini terus lebih baik saya akhiri hidup ini.
GS : Sekalipun itu dialami oleh sekelompok orang yang mengalami bencana alam, putus asa itu juga bisa terjadi?

PG : Nah tadi kita sudah membahas bahwa kita di dalam penampungan bisa mengalami dampak positif sekaligus negatif. Dampak positifnya saling tolong, saling dukung, saling menguatkan. Dampak neatifnya, kalau yang satu marah yang lain bisa ikut-ikut marah; dampak negatif yang lain adalah kalau satu putus asa yang lain pun bisa ikut putus asa.

Jadi putus asa itu bisa menular. Orang yang tadinya positif, semangat, terus akhirnya mendengar yang satu berbicara, "aduh percuma begini, putus asa," yang satunya juga putus asa, semua putus asa, dia akan susah bangkit sendirian. Tidak lama orang-orang itu mungkin akan berkata kepada dia, "Jangan kamu berkata begitu, tidak ada harapan, tidak ada gunanya ya sudah nasib kita begini." Akhirnya kita yang tadinya positif akhirnya bisa negatif. Itu salah satu dampaknya yang bisa menular dengan cepat sekali. Tapi kalau kebetulan ada orang-orang yang lumayan positif, justru karena tinggal dalam penampungan yang sama, orang-orang yang positif ini malah bisa membakar semangat. "Jangan dong, kamu jangan berpikir negatif ayo kita coba lagi." Nah itu bisa memercikkan api agar semangat itu muncul kembali.
GS : Kalau sampai terjadi ada yang putus asa dan sampai bunuh diri, itu bisa menimbulkan kemarahan lagi Pak Paul dalam diri orang-orang yang ada disekelilingnya?

PG : Kemarahan bisa muncul karena mungkin mereka menuntut tanggung jawab pada pihak yang menolong kenapa tidak memberikan perhatian. Bisa marah tapi dampak yang lebih berat sebetulnya adalah ptus asa.

Waktu seseorang melihat temannya akhirnya bunuh diri, tiba-tiba bunuh diri itu menjadi sebuah alternatif bagi banyak orang. Itu dampak buruknya, bisa benar-benar mempengaruhi suasana di dalam satu tempat penampungan itu sehingga akan makin banyak orang yang makin terpuruk karena satu orang telah menyerah. Ini sama seperti pertempuran, kalau satu serdadu lari ketakutan, akan diikuti oleh 10 serdadu yang ketakutan. Tapi sebaliknya satu serdadu maju terus ke depan, itu bisa membawa 10 serdadu ikut maju ke depan dan berani mempertaruhnya nyawa mereka. Jadi sama dampaknya, satu orang dalam camp penampungan mengakhiri hidupnya akan bisa menimbulkan dampak yang memang kelabu terhadap satu camp itu. Tiba-tiba suasana akan benar-benar turun, rendah sekali, mood itu tiba-tiba menjadi kelam. Takut, tidak ada lagi pengharapan, putus asa, 'siapa yang peduli mungkin lebih baik seperti dia tidak ada lagi kesusahan dia sudah bebas dari kesusahan.' Maka di dalam camp penampungan idealnya, team penolong harus banyak, rasionya benar-benar harus lumayan banyak. Misalkan dalam satu camp ada 1000 orang, hanya 5 orang yang menolong akan sangat-sangat susah, karena team sangat berperan besar untuk menetralisir keputusasaan. Karena keputusasaan akan menyebar seperti api yang merambah ke mana-mana, justru mesti banyak orang yang ada di situ. Team penolong yang positif itu akan bisa meng-counter, melawan omongan-omongan yang negatif ini terus memberi semangat lagi. Nah waktu para korban melihat banyak team penolong, berarti kami tidak ditinggalkan; masih banyak yang peduli dengan kami. Semangat mereka untuk membakar semangat para korban itu juga akan menolong sehingga mereka terbangkitkan kembali.
GS : Berarti pertolongan terhadap bencana alam itu bukan hanya sekadar makanan, pakaian dan sebagainya, terutama dukungan moril seperti ini sangat dibutuhkan.

PG : Betul sekali, bahkan kunjungan-kunjungan itu penting, meskipun mungkin sekali di sana kita tidak berbuat banyak, tak ada yang bisa kita lakukan tapi kita datang berkunjung secara teratur, edatangan atau kehadiran itu sudah berdampak besar.

Karena salah satu hal yang mereka nanti akan rasakan, kalau kita tidak datang adalah bahwa tidak ada lagi yang peduli dengan mereka, mereka sudah dilupakan; itu adalah sesuatu yang sangat menakutkan bahwa kami sudah dilupakan. Tapi dengan kedatangan secara teratur itu menolong sekali. Maka sebetulnya pertolongan ini harus berlanjut untuk waktu yang lama; untuk menjaga suasana di camp itu memang harus ada kesinambungan orang-orang yang datang terus-menerus secara berkala.
GS : Kalau kunjungan itu tidak bijak dilakukan itu bisa dianggap malah menimbulkan penderitaan bagi korban bencana alam. Mereka menganggap kami ini seolah-olah obyek saja, yang didatangi, dilihat dan sebagainya tapi tidak ada apa-apanya lagi.

PG : Ya memang perlu sekali kepekaan, jangan sampai dengan kedatangan kita itu justru menimbulkan goncangan-goncangan yang tidak perlu dalam camp itu. Misalnya cara berpakaian, atau kita secar tidak peka misalnya bercanda-canda dengan sesama teman, tertawa-tertawa sedangkan di sana orang sedang menderita.

Jadi mesti benar-benar peka, sensitif sekali dengan penderitaan orang, jangan sampai kita melupakan firman Tuhan yang berkata, "Kita menangis dengan orang yang juga sedang menangis." Jangan ada orang menangis kita tertawa-tertawa, itu sangat tidak peka. Dan juga ketulusan, kita datang dengan satu semangat mau menjadi pelayan bagi mereka, apa yang bisa kita lakukan untuk mereka. Jadi semangat melayani itu harus kita munculkan. Ini nanti yang akan memberikan dorongan kepada mereka untuk maju, sebab mereka memerlukan kekuatan tambahan dari luar; dari diri mereka sendiri tidak ada lagi kekuatan itu maka mereka perlu dukungan dari luar. Sehingga mereka akan berkata, "Iya....ya....kami tidak ada lagi semangat hidup, tapi mereka terus datang, mereka terus memberikan dorongan-dorongan, ah jangan mengecewakan mereka." Dalam pengertian itu kita sebetulnya meminjam kekuatan dari orang lain agar kita bisa kembali melangkah.
GS : Membandingkan penderitaan mereka dengan penderitaan orang lain itu sebenarnya bijak atau tidak Pak Paul?

PG : Tidak bijak Pak Gunawan, karena kita akan bisa selalu menemukan orang yang lebih menderita dari kita sekaligus orang yang lebih senang dari pada kita. Mungkin waktu kita melihat orang yan lebih menderita daripada kita, kita akan sedikit terhibur tapi masalahnya adalah kita bisa membandingkan dengan orang lain yang lebih senang daripada kita.

Jadi itu akhirnya yang membuat kita terpuruk. Lebih baik masing-masing melihat inilah porsi yang Tuhan telah tetapkan untuk kita yang penting kita harus hadapi fase ini.
GS : Apakah ada reaksi yang lain setelah seseorang itu putus asa dan bisa mengatasi?

PG : Reaksi akhir adalah bisa menerima dan bangkit kembali. Dengan kata lain kita berhasil melihat ke belakang apa yang telah terjadi dan menerimanya. Kita tidak lagi menyalahkan sana-sini, kta tidak lagi menuding-nuding kanan-kiri sebagai sumber penyebabnya, tapi kita menerima bahwa ini telah terjadi pada diri kita bukan pada diri orang lain.

Kita harus bisa mengatakan, "Ya, saya yang telah menjadi korban tapi sekarang apa tindakan saya selanjutnya? Apakah saya akan terus terpuruk ataukah saya sekarang mau berbuat sesuatu untuk mengubahnya." Pada fase ini kalau kita berhasil berkata seperti itu, berarti roda sudah mulai bergulir dan kita akan bangkit kembali. Sebagai team penolong, pada tahap-tahap seperti ini penting sekali kita mulai meberikan pengarahan, kira-kira apa yang mereka bisa kerjakan. Karena pada akhirnya di titik ini yang mereka ingin lihat adalah adanya kepastian bahwa mereka bisa hidup kembali, mereka bsa memulai kembali hidup ini. Mesti ada pilihan-pilihan yang bisa kita coba untuk gulirkan kepada mereka. Tapi sekali lagi penting kita ini realistik jangan menjanjikan yang tidak bisa kita tepati itu bahaya.
GS : Misalnya saja karena bencana alam biasanya itu dijanjikan satu tempat lain (relokasi) ke tempat yang lebih baik dari pada penampungan ini, tapi orang kadang-kadang masih terikat dengan tempatnya yang lama sehingga mereka membandingkan bahwa tempat relokasi ini belum tentu sebagus yang dulu dia tinggali yang sekarang sudah hancur lebur karena bencana alam. Nah ini bagaimana?

PG : Kita memang perlu memberikan keterangan sejelas-jelasnya tempat relokasi itu, jangan menutup-nutupi kekurangan, jangan kita menyajikan gambar yang terlalu indah atau lebih indah dari kenyaaannya.

Jadi kita mesti mengatakan apa adanya, tantangan seperti apa, baik buruknya seperti apa; justru sebelum mereka pindah sudah ada persiapannya untuk tantangan seperti ini. Ini yang akan kita lakukan, untuk masalah yang muncul seperti ini-ini yang akan kita lakukan. Jadi benar-benar persiapan sudah dilakukan sebelum mereka pindah. Ada kecenderungan kita beranggapan bahwa kalau bisa memindahkan mereka itu sudah bagus, itu belum selesai kita perlu mempersiapkan sebelumnya nanti setelah mereka pindah mereka bisa menghadapinya. Dan dalam menyajikan data-data yang riil itu kita juga akan menyebutkan tentang masalah misalnya, masalah air: di tempat yang dulu lebih banyak atau lebih mudah mendapatkan air, di sini lebih kurang. Tapi di sini ada ini, di tempat yang dulu tidak ada. Jadi kita membandingkannya dengan jelas, dengan realistik; kita tidak mencoba menutupi, kita tidak mencoba menggambarkan sesuatu yang lebih indah. Kita bandingkan masing-masing tempat kebaikannya ini dan keburukannya ini. Waktu mereka pindah dan waktu mereka mengalami faktanya seperti itu, walaupun ada yang tidak senang dan sebagainya tetapi setidak-tidaknya mereka telah siap, karena sudah diberitahukan dan sudah disiapkan bagaimana menghadapinya. Dan yang kedua, waktu mereka membandingkan dengan yang lama mereka sudah tahu bahwa inilah faktanya, dan mereka nanti bisa mengalahkan godaan itu. Karena dalam persiapan sudah diberitahukan bahwa kekurangannya di sini apa; di sana kekurangannya apa jadi mereka bisa menjawab dan berkata pada diri sendiri bahwa tidak ada tempat yang sempurna. Di tempat yang dulu ada kekurangannya yaitu ini, ini; di tempat yang baru ada kelebihannya seperti ini dan sebagainya. Dengan cara begitu mereka bisa lebih siap untuk memulai hidup yang baru.
GS : Memang ini butuh bimbingan, seperti tadi Pak Paul katakan bukan hanya direlokasi lalu selesai, tapi di tempat yang baru sebenarnya masih diberikan bimbingan dan pertolongan-pertolongan yang merupakan kelanjutan dari yang terdahulu.

PG : Betul, karena untuk membangun kembali nanti mereka akan mengalami jatuh bangun, jadi memang perlu sekali ada pendampingan di tempat yang baru. Waktu mereka mengalami jalan buntu akan dibeikan masukan lagi, jadi itulah yang bisa dikerjakan.

Atau kalau kita memang terbatas dalam sumber daya manusianya, kita bisa membuat komunitas kecil di kalangan mereka. jadi kita tetapkan bahwa komunitas ini menjadi satu kelompok, saling tolong. Kalau ada apa-apa mereka nanti akan saling menolong anggotanya. Jadi kita meminta mereka bertemu secara berkala, mungkin selama setahun setiap sebulan sekali mereka berkumpul membicarakan dan anggota itu saling mengingatkan dan saling menolong. Sistem seperti ini juga baik.
GS : Apakah ada firman Tuhan yang ingin Pak Paul sampaikan untuk memberikan kekuatan, memberikan motivasi kepada sebagian saudara kita yang mungkin saat ini sedang mengalami bencana alam?

PG : Di Roma pasal 8, Rasul Paulus mengatakan bahwa "Segala ciptaan sedang mengerang menantikan hari penebusan." Jadi ciptaan Tuhan di dunia ini tidak ada lagi yang sempurna, makanya muncul becana alam dan sebagainya.

Dan kita hidup di dalam dunia kita akan terus bisa terkena bencana. Tapi ingat Firman Tuhan di Yeremia 17:14, "Sembuhkanlah aku, ya Tuhan, maka aku akan sembuh; selamatkanlah aku, maka aku akan selamat, sebab Engkaulah kepujianku !" Apa pun situasinya kita bisa datang kepada Tuhan, memohon Tuhan menyembuhkan dan Dia akan menyembuhkan kita. Kita meminta Dia menolong dan Dia akan menolong sehingga kita bisa keluar dari masalah ini.

GS : Terima kasih Pak Paul, untuk firman Tuhan ini yang pasti menguatkan kita sekalian. Dan para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp.Pdt.Dr.Paul Gunadi dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Bencana Alam" bagian yang kedua. Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.


Ringkasan:

T 205 a+b "Bencana Alam" (I dan II) oleh Pdt. Paul Gunadi

Sebagaimana kita ketahui beberapa tahun terakhir ini, bencana alam susul-menyusul menghujam bumi Nusantara. Selain merenggut materi dan nyawa, sesungguhnya bencana alam memberi dampak mendalam pada korbannya. Berikut ini kita akan melihat dampak bencana pada manusia dan reaksi yang ditimbulkan pada diri korban. Setelah itu kita akan melihat upaya pemulihan yang diperlukan.

Elizabeth Kubler Ross memaparkan rangkaian reaksi yang tercetus tatkala kita menghadapi krisis. Karena bencana alam masuk dalam kategori krisis, maka saya kira pada tempatnya bila kita menerapkan rangkaian reaksi ini pada korban bencana alam.

Reaksi 1: Penyangkalan
Reaksi awal adalah ketidakpercayaan, bukan pada fakta bahwa bencana telah terjadi melainkan pada kehilangan yang ditimbulkannya, misalnya kehilangan kerabat, tempat tinggal, dan lainnya. Secara rasional kita tahu bahwa mereka telah tiada namun kita masih belum sepenuhnya menyadari bahwa mereka tidak ada untuk selamanya. Kita berharap bahwa esok tatkala kita terbangun dari tidur, mereka semua akan kembali ada sebab apa yang terjadi seakan-akan hanyalah mimpi buruk belaka. Pada tahap awal ini, kita seakan-akan berada di persimpangan antara mimpi dan kenyataan.

Reaksi 2: Kemarahan
Hari-hari selanjutnya kita benar-benar disadarkan bahwa mereka telah tiada dan bahwa ini bukanlah mimpi melainkan kenyataan. Pada umumnya kita marah kepada Tuhan yang kita anggap bertanggung jawab penuh atas semua kehilangan ini. Namun kemarahan ini dapat pula dilimpahkan kepada manusia-pihak yang kita anggap bertanggung jawab atas musibah ini. Itu sebabnya fase atau reaksi marah ini dapat berlarut dan meluas bila unsur peran kesalahan manusianya besar.

Kemarahan juga dapat memburuk tatkala kita mulai membandingkan diri dengan orang di sekitar. Jika kebetulan ada tetangga atau kenalan yang tidak mengalami kehilangan, di satu pihak kita bersyukur untuk mereka namun di pihak lain, kita makin dibuat marah karena merasa bahwa Tuhan atau hidup ini sungguh tidak adil. Itu sebabnya penting bagi pihak penolong atau siapa pun yang terlibat untuk memberikan perlakuan yang adil kepada korban. Ketidaksamaan perlakuan akan cepat menyulut kemarahan.

Makin susah dan berat penderitaan hidup setelah bencana berlalu, makin mudah terpancing kemarahan kita. Hidup dalam penampungan dapat menyuburkan kemarahan tetapi dapat pula mengurangi kemarahan. Menyuburkan kemarahan akibat keterbatasan yang harus kita lewati dan kesusahan yang kita tanggung hari lepas hari. Namun hidup dalam penampungan juga dapat mengurangi kemarahan akibat adanya kesamaan nasib. Bagaimanapun rasa sepenanggungan memberi kekuatan sebab kita tidak merasa sendirian menanggung derita. Itu sebabnya penting sekali dalam masa transisi, kesatuan dan rasa sepenanggungan terus dibangun.

Reaksi 3: Tawar menawar
Pada tahap ini kita mencoba tawar menawar dengan Tuhan agar dibebaskan dari penderitaan. Di dalam penampungan dan masa transisi, banyak waktu yang tersisa untuk merenungkan kehilangan. Pada momen seperti inilah biasanya kita memohon kepada Tuhan agar kita diberkati supaya cepat bangkit dari keterpurukan. Kita mulai mengembangkan pengharapan bahwa penderitaan ini segera berlalu dan pertolongan akan datang dengan segera. Penting bagi konselor untuk memandu korban untuk tetap realistik dalam berharap. Ada kecenderungan pada tahap ini kita terlalu berpikir terlalu sederhana dan tidak realistik; perlu bantuan agar korban dapat merencanakan hidup secara realistik berdasarkan apa yang ada, bukan apa yang diharapkan.

Reaksi 4: Putus asa
Tanpa perencanaan dan dukungan yang kuat, korban dengan mudah meluncur ke lembah depresi. Pada tahap ini, korban sungguh-sungguh menyadari kehilangannya dan mengalami dampak kehilangan. Misalnya, tidak ada lagi istri untuk diajak bercengkerama; tidak ada lagi suami yang dapat mencari nafkah; tidak ada lagi anak yang bisa dipeluk sayang; tidak ada lagi rumah untuk kita pulang. Kesadaran ini memukul korban dan berpotensi membuatnya kehilangan harapan dan semangat. Jika upaya bangkit atau proses penyaluran bantuan berjalan lamban, ini juga akan menambah beratnya penderitaan dan keputusasaan. Dalam kondisi rentan, korban bisa tergoda untuk mengakhiri hidup karena merasa tidak sanggup mengubah nasibnya.

Sebagaimana telah disinggung di atas, hidup dalam penampungan bersama teman senasib bisa berakibat positif karena adanya faktor sepenanggungan dan saling dukung. Namun hidup bersama dengan teman senasib juga bisa menimbulkan efek domino yang negatif. Tatkala satu putus asa, yang lain dapat turut putus asa. Hilangnya pengharapan dan semangat juang menulari satu sama lain; pemikiran negatif akhirnya makin menguat akibat pengaruh dari satu sama lain.

Itu sebabnya penting bagi penolong untuk hadir dalam jumlah yang relatif banyak sehingga kehadirannya bukan saja menambah semarak hidup tetapi juga memberi pengaruh kuat untuk tetap mempertahankan semangat dan pengharapan. Bilamana pemikiran negatif atau keputusasaan mulai menyebar, jumlah penolong yang relatif banyak akan dapat menetralisirnya.

Reaksi 5: Menerima dan bangkit
Dengan kesadaran penuh menerima semua kehilangan dan dengan realistik menyusun langkah untuk membangun kembali hidup. Pada fase ini, korban sudah berhasil berdamai dengan sumber kemarahannya dan menerima keterbatasan hidup akibat kehilangan yang dialami. Sekali lagi, dukungan moral dan moril sangat diperlukan pada tahap ini. Perlu pula pengarahan untuk memikirkan cara mengisi kehilangan dan merajut kembali kehidupan yang terputus. Kuncinya terletak pada kesediaan memulai dengan apa yang tersisa dan kejelasan masa depan, setidaknya untuk suatu jangka pendek misalnya setahun di muka. Makin tidak menentu masa depan, makin menyulitkan korban untuk bangkit.

Firman Tuhan : Sembuhkanlah aku, ya Tuhan, maka aku akan sembuh; selamatkanlah aku, maka aku akan selamat; sebab Engkaulah kepujianku! (Yeremia 17:14)


Questions:

GS : Pak Paul, pada kesempatan yang lalu kita sudah berbincang-bincang tentang bagaimana reaksi seseorang menghadapi bencana alam. Yang sudah kita bicarakan ada dua reaksi dan masih ada beberapa yang akan kita bicarakan dalam perbincangan kali ini. Namun agar para pendengar kita bisa mengikuti alur perbincangan kita, mungkin Pak Paul bisa uraikan secara singkat apa yang sudah kita perbincangkan pada kesempatan yang lalu.

GS : Nah orang tidak mungkin akan marah terus-menerus, nah setelah reaksi kemarahan itu mulai reda apakah ada reaksi lain?

GS : Sebenarnya reaksi ini adalah reaksi awal dari bangkitnya seseorang dari keterpurukan akibat terjadinya bencana alam itu Pak Paul?

GS : Tawar-menawar ini apakah bisa juga dilakukan terhadap sesamanya jadi bukan tehadap Tuhan, apakah ada bentuk tawar-menawar seperti itu?

GS : Bagaimana seandainya kalau yang mereka harapkan atau yang mereka tawar tidak menjadi suatu kenyataan?

GS : Sekalipun itu dialami oleh sekelompok orang yang mengalami bencana alam, putus asa itu juga bisa terjadi?

GS : Kalau sampai terjadi ada yang putus asa dan sampai bunuh diri, itu bisa menimbulkan kemarahan lagi Pak Paul dalam diri orang-orang yang ada disekelilingnya?

GS : Berarti pertolongan terhadap bencana alam itu bukan hanya sekadar makanan, pakaian dan sebagainya, terutama dukungan moril seperti ini sangat dibutuhkan.

GS : Kalau kunjungan itu tidak bijak dilakukan itu bisa dianggap malah menimbulkan penderitaan bagi korban bencana alam. Mereka menganggap kami ini seolah-olah obyek saja, yang didatangi, dilihat dan sebagainya tapi tidak ada apa-apanya lagi.

GS : Membandingkan penderitaan mereka dengan penderitaan orang lain itu sebenarnya bijak atau tidak Pak Paul?

GS : Apakah ada reaksi yang lain setelah seseorang itu putus asa dan bisa mengatasi?

GS : Misalnya saja karena bencana alam biasanya itu dijanjikan satu tempat lain (relokasi) ke tempat yang lebih baik dari pada penampungan ini, tapi orang kadang-kadang masih terikat dengan tempatnya yang lama sehingga mereka membandingkan bahwa tempat relokasi ini belum tentu sebagus yang dulu dia tinggali yang sekarang sudah hancur lebur karena bencana alam. Nah ini bagaimana?

GS : Memang ini butuh bimbingan, seperti tadi Pak Paul katakan bukan hanya direlokasi lalu selesai, tapi di tempat yang baru sebenarnya masih diberikan bimbingan dan pertolongan-pertolongan yang merupakan kelanjutan dari yang terdahulu.

GS : Apakah ada firman Tuhan yang ingin Pak Paul sampaikan untuk memberikan kekuatan, memberikan motivasi kepada sebagian saudara kita yang mungkin saat ini sedang mengalami bencana alam?

GS : Terima kasih Pak Paul, untuk firman Tuhan ini yang pasti menguatkan kita sekalian. Dan para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp.Pdt.Dr.Paul Gunadi dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Bencana Alam" bagian yang kedua. Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.