BETA
Pertengkaran Racun atau Bumbu dalam Keluarga
Sumber: telaga
Id Topik: 443

Abstrak:

Dalam berkeluarga pasti terjadi pertengkaran dan harus diselesaikan dengan berbagai macam solusi. Pertengkaran itu ada beberapa bentuk antara lain konflik, pertengkaran, perkelahian. Selain itu banyak orang mengatakan kalau habis bertengkar justru makin mesra, benarkah seperti itu?

Transkrip:

Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen, akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Pertengkaran, Bumbu atau Racun dalam Keluarga", kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian, dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap
GS : Pak Paul, meski kehidupan suami-istri itu normal-normal saja pasti pernah terjadi pertengkaran di antara suami dan istri itu, bahkan orang mengatakan kalau tak pernah bertengkar itu belum keluarga yang sesungguhnya atau kadang-kadang antara orang tua dan anak, tetapi kalau keseringan juga tidak sehat. Nah bagaimana kita bisa menentukan bahwa ini masih dalam taraf yang wajar Pak Paul?

PG : Sebetulnya segala jenis pertengkaran merupakan bentuk-bentuk dari perbedaan pendapat Pak Gunawan, jadi memang suami-istri dengan latar belakang yang berbeda tidak bisa tidak mereka menjalai jalan hidup bersama dan relasi mereka makin mendalam makin merasa bebas untuk mengekspresikan diri, nah akan keluarlah pandangan-pandangan atau sikap-sikap yang memang kalau dalam situasi biasa tidak keluar akhirnya waktu keluar ternyata tidak sama dengan pasangannya nah itulah sebetulnya yang menimbulkan perselisihan.

Sebetulnya semua perselisihan merupakan bentuk perbedaan pendapat, yang membedakan adalah cara penyelesaiannya Pak Gunawan. Jadi kita akan membahas sekurang-kurangnya ada tiga jenis. Sebetulnya segala jenis perselisihan merupakan upaya untuk menyelesaikan perbedaan pendapat itu, jadi secara positifnya kita bisa katakan semua perselisihan merupakan upaya untuk menyelesaikan, tapi memang kita akan melihat bahwa ternyata tidak semua cara-cara itu merupakan cara-cara yang sehat.
GS : Bentuknya apa saja yang disebut pertengkaran itu Pak Paul?

PG : Yang paling rendah, yang paling ringan adalah yang kita sebut konflik, konflik merupakan perbedaan pendapat dan biasanya dicoba diselesaikan melalui argumentasi atau perdebatan, dengan kat lain saya simpulkan yang menjadi metode untuk menyelesaikan konflik adalah persuasi secara verbal, jadi kita hanya berbicara membawakan argumen dukungan kita dan sebagainya itu yang paling rendah dan yang paling ringan.

Pada tahap menengah saya panggil pertengkaran, pertengkaran di sini ini perbedaan pendapat diselesaikan melalui misalkan tuduhan, ancaman yang bermuatan emosi, ledakan-ledakan suara, kemarahan-kemarahan, wajah yang mengeras, merah, mata melotot dan mungkin kata-kata yang kasar di sini saya juluki atau saya katakan pertengkaran merupakan persuasi emosional, jadi orang mencoba menyelesaikan perbedaannya itu melalui persuasi tapi secara emosional. Nah tahap yang paling berat yang kita sebut perkelahian, di sini perbedaan pendapat diselesaikan melalui tindak pemukulan, menggampar, menjambak, mendorong, menendang, nah ini yang saya sebut persuasi fisik jadi mencoba menyelesaikan persoalan tapi dengan persuasi fisik, kira-kira inilah tiga jenis perselisihan dari ringan sampai ke beratnya.
WL : Pak Paul saya sering mendengar banyak wanita terutama istri-istri mengatakan kalau habis bertengkar, cuma mereka tidak menjelaskan perbedaan antara tiga ini yang mana, pokoknya dia mengatakan kalau habis bertengkar justru kami lebih mesra loh katanya begitu, nah apakah benar seperti itu atau justru itu pola yang tidak sehat Pak Paul?

PG : Sebetulnya sangat bergantung sekali pada faktor penyelesaiannya kalau mereka bertengkar dan kemudian menemukan solusinya, betul mereka akan merasakan kedekatan yang tidak dirasakan sebelumya jadi ada betulnya kalau orang berkata pertengkaran itu bisa memperkaya, memperdalam relasi suami-istri tapi tergantung sebetulnya bukan pada pertengkarannya tapi pada solusinya.

Misalkan ada suami yang memang menggunakan metode perkelahian, metode yang paling berat tadi kalau berselisih pendapat dengan istrinya dia pukul dia gampar istrinya, istrinya akan diam nah apakah si istri akan merasakan dekat dengan si suami setelah digampar dan dipukuli, sudah pasti tidak, jadi tidak akan membawa perkembangan atau kemajuan dalam relasi mereka. Yang membawa kemajuan adalah tatkala keduanya mendapatkan solusi yang mereka memang cari, baik itu melalui cara yang pertama konflik, perbedaan bisa diselesaikan melalui persuasi verbal atau yang kedua mungkin ada marah-marahnya tapi akhirnya ketemu juga solusinya, yang ketiga tadi saya kira tidak akan pernah menemukan solusi.
GS : Tapi di sana di dalam penyelesaian masalah atau pencarian solusi itu 'kan masih sering kali terjadi perselisihan pendapat lagi Pak Paul?

PG : Betul jadi ini bukan sesuatu yang sekali ditemukan akan bisa bertahan untuk selama-lamanya, jadi setelah kita menemukan satu solusi untuk masalah kita ini di kemudian hari akan muncul lagimasalah yang lain dan kita harus bekerja dengan keras lagi untuk menemukan solusi itu.

Tapi ini catatan yang harus kita garisbawahi semakin banyak keberhasilan menemukan solusi, semakin memudahkan kita menemukan solusi, jadi kalau kita balik juga betul semakin sulit, semakin jarang menemukan solusi semakin tidak akan mudah kita menemukan solusi jadi relasi yang baik, yang sehat makin hari makin sehat, merelasi yang buruk bertahan pada level seburuk itu saja sudah susah sebab kecenderungannya makin hari makin memburuk.
WL : Apakah benar kalau saya menganggap orang yang berani konflik atau bertengkar itu berarti orang yang berani maksudnya bukan pengecut, karena kalau misalnya dia menyampaikan kesannya atau beda pendapat itu 'kan ada resiko yang harus dia tanggung, ada penolakan jadi justru malah tegang dan sebagainya dibandingkan misalnya ah sudahlah diamkan saja ya sudah berlalu begitu saja akhirnya tidak selesai lagi nanti muncul lagi masalah lain.

PG : Dari salah satu segi memang betul, kita bisa melihatnya sebagai tindak keberanian, berani mengungkapkan pikiran dan perasaannya dan tidak hanya menyimpannya, tapi dari segi yang lain saya uga harus mengatakan bahwa ada orang-orang yang sangat ketakutan, ketakutan kehilangan pasangannya dan akan menggunakan suara keras pemukulan dan sebagainya untuk mengontrol supaya pasangannya tidak ke mana-mana.

Jadi sebetulnya kekerasan suara dan pemukulannya itu wujud dari ketakutannya, namun dia kamuflase, dia tutupi tindakan-tindakan kasar seperti itu agar dia bisa mengontrol pasangannya agar tidak ke mana-mana.
GS : Penyelesaian masalah yang berbeda tadi, jadi misalnya tadi yang Ibu Wulan katakan si istri itu menghendaki menyelesaikan dengan diam tapi si suami menghendaki dengan verbal itu 'kan sudah tidak ketemu, yang satu bilang saya diam saja nanti kita selesaikan lain kali atau bahkan dilupakan, tapi yang laki-laki minta hari ini juga harus selesai nah itu 'kan mesti dicarikan solusinya lagi Pak Paul?

PG : Nah, dalam kasus seperti itu keduanya memang mesti menyepakati bahwa misalkan tidak bisa segera sebagaimana diharapkan si suami, tapi juga tidak boleh selambat sebagaimana diharapkan oleh i istri.

Betul si istri tidak bisa langsung mengeluarkan isi hatinya dan mencoba menyelesaikannya pada saat itu juga, ok! Kalau begitu disepakati misalkan sampai kapan hari ini, besoknya atau paling lama misalkan sampai besok tapi harus dibicarakan. Jadi si suami juga harus menahan diri, dia tidak bisa memaksa istrinya langsung berbicara karena ada orang yang memang tidak bisa langsung berbicara tapi sebaliknya dalam kasus ini si istri juga tidak boleh terus-menerus merasa nyaman dalam kepompongnya dan tidak keluar dan berkata inilah saya, saya tidak biasa untuk mengungkapkan perasaan atau pikiran saya nah tentukan besoknya harus bicara, jadi itulah yang harus disepakati oleh kedua belah pihak.
GS : Ya, itu kalau masalah verbal dan diam Pak Paul, tapi kalau tadi yang ketiga tentang perkelahian di mana si suami memukul menggunakan kekerasan padahal si istri diam itu 'kan sudah penganiayaan Pak Paul?

PG : Betul ini cukup sering terjadi, saya ingat jurnal perempuan edisi yang dua edisi yang lalu sebelumnya kita berbicara hal ini memang memuat satu tema yaitu tentang kekerasan dalam rumah tanga dan itu memang menjadi masalah di tengah-tengah masyarakat kita, banyak sekali istri yang menjadi korban penganiayaan suami mereka.

GS : Pak Paul ada pasangan-pasangan tertentu yang sering kali bertengkar, tapi ada pasangan yang lain yang mungkin bertengkar tetapi tidak terekspos keluar sehingga kita tidak melihat, itu apa Pak Paul?

PG : Kendati memang banyak faktor yang bisa berpengaruh tetapi ada beberapa Pak Gunawan yang bisa kita kenali kenapa pasangan-pasangan ini mudah bertengkar. Yang pertama adalah memang terlalu brbeda, itu memudahkan orang untuk bertengkar karena terlalu berbeda penyesuaiannya memakan lebih banyak waktu dan usaha, makanya pakar pernikahan seperti Norman Wright menekankan bahwa kesamaan dalam pernikahan itu sebetulnya faktor plus, faktor yang menguntungkan karena lebih sedikit hal-hal yang harus disesuaikan lebih banyak perbedaan akan lebih banyak upaya dan waktu yang harus dikeluarkan untuk menyesuaikan diri, nah itu salah satu faktor yang membuat orang rawan untuk bertengkar.

WL : Sering kali saya mendengar slogan justru perbedaan itu saling melengkapi itu berarti salah Pak Paul?

PG : Tidak salah sepenuhnya, perbedaan kalau saya boleh koreksi perbedaan yang akhirnya dapat berubah menjadi saling melengkapi itu yang memang positif tapi dari perbedaan mengubahnya menjadi sling melengkapi itu perlu usaha yang tidak mudah cukup susah itu kalau bisa mencapai titik di mana saling melengkapi ya sangat indah sekali kelemahan kita dikompensasikan oleh kekuatan pasangan kita namun untuk bisa sampai ke titik itu perlu upaya yang sangat keras, nah dalam upaya ini tidak jarang mereka akan konflik besar.

GS : Contoh perbedaannya apa Pak Paul?

PG : Misalkan ada orang yang tadi itu Pak Gunawan katakan ya pendiam tidak bisa mengutarakan pikirannya, perasaannya secara langsung pasangannya kebalikannya semua akan dikeluarkan, dibicarakan dan marah detik ini harus marah, kalau bertengkar detik ini juga harus selesai, harus ada penyelesaiannya kalau tidak; tidak bisa tidur nah itu berarti kan dua perbedaan yang sangat jauh itu nah untuk si pasangan yang diam untuk bisa bicara itu sangat sulit karena dia tidak terbiasa nah untuk memaksa besoknya dia juga harus berbicara itu juga sangat sulit kebalikannya buat si pasangannya yang satunya dia biasa mengumbar mau selesai sekarang tiba-tiba harus diam dan tunggu sampai besok, wah dia bisa tidak bisa tidur dia bisa tidak konsentrasi seharian tegang, gelisah nah akhirnya dia menuntut mesti bisa bicara sekarang juga nah itu untuk sampai ke tengahnya menjadi sangat-sangat sulit

WL : Tapi Pak Paul saya sering menemukan banyak pasangan yang justru "terjebak" tidak melihat ini sebagai perbedaan yang membahayakan, tapi justru melihat perbedaan itu sebagai poin yang membuat dia tertarik misalnya seorang pria tidak pandai bergaul terus bertemu wanita wah supel sekali begitu nah justru dia tertarik dengan wanita ini mungkin merasa ini yang defisit/kurang pada saya, saya bisa temukan atau dapat dari dia, tapi akhirnya jadi fatal nah itu sering sekali Pak.

PG : Tepat sekali yang Ibu Wulan katakan yakni memang perbedaan itu dianggap sebagai sesuatu yang bisa melengkapinya yang bisa menguntungkan dirinya dia tidak sadarii bahwa perbedaan itu nantina mengganggu dia.

Nah jadi rumus yang bisa kita katakan universal; hal-hal yang membuat kita tertarik kuat kepada pasangan kita adalah hal-hal yang akan sangat menggangu kita dalam pernikahan kelak.
WL : Kalau yang berbeda itu maksudnya.

PG : Betul karena perbedaan itu memang akhirnya mengganggu kita, dan kita tidak mudah untuk menerima begitu saja.

GS : Apakah ada apa ciri yang lain Pak Paul?

PG : Ada Pak Gunawan, yang lain adalah kalau tidak dewasa atau ada individu yang tidak dewasa kemudian menikah, apa yang dilakukan olehnya? Dia akan menuntut pasangan untuk memenuhi kebutuhanny, dia tidak pernah belajar bertanggungjawab tidak pernah menghidupi, menafkahi, hidupnya selalu tidak ada tujuannya dari satu pekerjaan ke pekerjaan yang lain, tidak bekerja untuk waktu yang lama dan tidak pernah ada masalah karena dicukupi misalkan oleh orang tuanya.

Nah sekarang dia menikah dan dia akan bawa itu kebiasaannya dan dia tidak merasa salah dia tidak bekerja, dia tidak mencukupi, dia akan minta dari siapa dari orang tuanya dari mertuanya dan dia minta misalkan pasangannya harus mencukupi atau ada orang yang memang membawa kebutuhan untuk dimanja, tidak bisa itu kalau tidak dimanja, orang harus senantiasa mengerti keinginannya dan temperamennya nah akhirnya dia menuntut orang untuk memenuhi keinginan untuk dimanja itu. Nah itu kalau pasangan ada satu saja yang tidak dewasa mudah sekali terjadi konflik kecuali yang satunya bersedia mengikuti semua keinginannya, tidak akan ada pertengkaran tapi itu adalah pernikahan yang memang tidak sehat.
WL : Pak Paul yang mengherankan justru banyak sekali yang menikah seperti dengan pasangan orang yang tadi Pak Paul sebutkan nah saya berpikir apa waktu berpacaran itu tidak ketahuan begitu ya, sepertinya kalau waktu berpacaran justru ketahuan kan pasti pasangannya juga tidak mau 'kan, tapi sepertinya bisa muncul kebalikannya begitu si pria ini misalnya dengan ciri-ciri tersebut tapi dia bisa tidak kelihatan hal-hal seperti itu dia bisa memenuhi kebutuhan pasangannya bisa muncul sebagai orang yang baik dan lain sebagainya begitu itu kenapa Pak Paul?

PG : Karena ada hal-hal yang menguntungkan yang enak, yang baik, yang bisa diberikan oleh sifat itu meskipun negatifnya banyak tapi ada hal yang memang cukup memberikan kenyamanan bagi pasanganya misalkan tipe orang yang susah sekali bekerja, tidak bertanggungjawab hidupnya, ini punya banyak waktu untuk memberikan perhatian mengantarkan pacarnya shopping membeli sandal 10 jam pun dia akan rela banyak-banyak waktu untuk ngobrol di cafe menunggu pacarnya beli sandal 10 jam, nah si pacarnya akan berkata senang punya pacar seperti ini sabar menunggu saya 10 jam.

Nah sudah kawin baru dia sadar bahwa pacar saya bukan hanya sabar tapi juga malas, pengangguran, nah yang manja yang satu akan berkata ya enak pacaran dengan dia kolokan minta ini itu wah dia merasa dihargai sekali seperti orang paling spesial dalam hidupnya karena dimanja seperti itu. Lama-lama baru dia sadar wah saya berpacaran dengan orang yang manja tapi sangat kekanak-kanakan meminta semua dipenuhi, jadi biasanya ada hal-hal yang enaknya itu pada masa berpacaran. Yang kedua adalah kebanyakan orang akan berpikir begini ya siapa sih yang sempurna, tidak ada yang sempurna, kekurangan-kekurangan ini ya terimalah nanti juga orang bisa berubah, nah akhirnya harapan-harapan itu menguat dalam masa berpacaran yang membuat dia optimis nanti akan berubah ternyata tidak berubah seperti itu.
GS : Jadi kalau yang satu kekanak-kanakan pasangannya itu keibuan atau kebapakan begitu mungkin aman Pak?

PG : Ya untuk sementara lama-lama akan terjadi konflik.

GS : Bagaimana kalau ada orang itu yang mencoba menyelesaikan masalahnya itu dengan mencontoh keluarga yang lain atau pasangan yang lain, apa otomatis bisa Pak Paul?

PG : Nah ini salah satu penyebab Pak Gunawan kenapa mereka rawan konflik, ada pasangan yang sudah terlanjur mencontoh perilaku orang tuanya bertengkar, marah berteriak kalau ada apa-apa langsun harus marah tidak bisa menahan diri jadi dia akan ikut atau apa-apa lari dari rumah nah dia akan mengadopsi cara-cara yang tidak sehat itu, nah kalau dia bawa ke pernikahannya ya itu menjadi suatu bahan.

Saya langsung saja Pak Gunawan dan Ibu Wulan dengan beberapa ciri yang lain misalnya ada orang yang memang tidak takut akan Tuhan, orang yang tidak takut akan Tuhan cenderung menghalalkan segala cara, semua juga boleh mau berbohong lah apalah nah akhirnya ketahuan pasangannya berkelahi lagi karena tidak ada integritas, tidak ada standart moral semua boleh ya berzinah juga boleh nah akhirnya pasangannya tahu itu dan terjadilah pertengkaran.
GS : Ya mungkin pasangan itu mengira oh ini sudah Kristen, ini seiman dengan saya pasti takut akan Tuhan begitu pikirnya.

PG : Otomatis memang betul Pak Gunawan, ada orang yang memang mengklaim diri sebagai orang Kristen tapi tidak peduli dan tidak takut akan Tuhan, nah akan menghalalkan segala cara akhirnya terjailah banyak pertengkaran di rumah tangga mereka.

GS : Walaupun yang satunya takut akan Tuhan Pak Paul?

PG : Betul karena lama-lama dia tidak tahan juga dibohongi terus-menerus, pasangannya berjudi terus-menerus jadi bahan-bahan pertengkaran. Dan yang terakhir adalah berkepribadian bermasalah, ad orang yang saya sebut memakai orang mencintai benda dan diri sendiri, orang harusnya dicintai; tidak; orang dia pakai, benda harusnya dia pakai; tidak; dia cintai, dirinya sendiri juga sangat dicintai nah kepribadian bermasalah seperti ini kalau menikah tidak bisa tidak akan mudah sekali menimbulkan banyak pertengkaran di rumah karena sekali lagi dia hanya memikirkan dirinya, kepentingannya, semua berpusat pada dirinya sendiri, semua harus ikuti kehendaknya, pasangan tidak bisa tahan hidup dengan dia.

GS : Memang kalau salah satunya atau bahkan kedua-duanya mengalami gangguan kejiwaan seperti itu pasti memang bermasalah Pak Paul.

PG : Betul sekali mungkin sekarang pertanyaan yang mesti kita munculkan ialah bagaimana menyelesaikan konflik ini, saya kira tidak ada yang baru yang akan saya katakan Pak Gunawan dan Ibu Wulanprinsip-prinsip yang memang Firman Tuhan sudah ajarkan kepada kita.

Yang pertama adalah mesti ada kerendahan hati, saya sering mengatakan banyak masalah tidak selesai karena tidak ada kerendahan hati, tapi kalau ada kerendahan hati banyak masalah bisa selesai. Misalkan ya menyadarilah bahwa kitapun bisa keliru, kita tidak selalu melihat masalah dengan tepat, tidak selalu kita benar, kalau ada orang berpikiran saya pasti benar kamu pasti salah itu sudah dapat diduga pernikahannya akan banyak sekali ketidakcocokkan.
WL : Pak Paul cara ini apakah hanya efektif untuk yang konflik dan pertengkaran saja, tapi kalau untuk yang sudah sampai perkelahian, penganiayaan secara fisik segala apakah bisa memakai teori kamu rendah hati, kamu juga bisa salah dan sebagainya?

PG : Sudah tentu ada selalu ruangan untuk memeriksa diri bahkan yang dianiaya itupun perlu memeriksa diri apa yang saya lakukan, apakah saya juga benar, apakah saya mungkin terlalu cepat marah an menuduh, jadi ada ruangan untuk memeriksa diri tapi sudah tentu yang memukul itulah yang lebih harus mengingat prinsip kerendahan hati ini bahwa dia bukannya penjajah, dia bukannya penguasa, dia bukannya beli istri sebagai barang yang boleh dia perlakukan semau-maunya, dia harus menghormati pasangannya sebagai pasangan yang setara dengannya.

WL : Bukannya kalau lagi tenang memang suami-suami sering kali sadar akan hal ini tapi kalau lagi emosinya naik ke ubun-ubun Pak Paul langsung itu seperti reflek langsung tangannya mukul.

PG : Ya karena tidak ada ada rasa hormat pada pasangannya, kalau kita misalkan bertemu orang yang kita takuti, kita hormati, meskipun kita marah kita berusaha sekeras mungkin menahan emosi kita.

GS : Takut Pak Paul masalahnya, ini pun begitu kerendahan hati itu ada sebagian orang yang takut dinilai oleh pasangannya sebagai orang yang lemah Pak Paul.

PG : Ya intinya kalau kita sadari memang ya saya salah di sini, saya melihat ini keliru ya jadilah orang pertama yang berkata maaf ya, yang rendah hati untuk memulai dulu, berbicara dulu, nah iu langkah pertamanya.

Langkah kedua adalah berbelas kasihan, berbelas kasihan artinya kita harus mempunyai perasaan tidak sampai hati menyakiti pasangan kita, tidak sampai hati membuatnya bersedih, itu harus ada dalam diri kita. Dan yang terakhir adalah mesti bisa mengampuni, artinya apa mengakui kitapun memerlukan pengampunan Tuhan dan pengampunan dari sesama kita tidaklah bebas dari hutang ampunan, kita semua adalah penghutang pengampunan kita pernah bersalah dan diampuni oleh orang kenapa tidak mengampuni pasangan kita. Tapi sekali lagi ini memang saya harus ingatkan juga bagi istri yang sering dipukuli, dianiaya oleh pasangannya, bukan masalah mengampuni atau tidak, sudah tentu dia mengampuni suaminya yang memukulinya tapi dia harus pikirkan ya kesejahteraan, keselamatan jiwanya dan anak-anaknya, apakah sehat hidup dengan seseorang yang menegangkan menghancurkan jiwa dirinya dan anak-anaknya seperti itu jadi bukan masalah pengampunan lagi tapi masalah kesejahteraan hidup yang harus dia pelihara.
GS : Pak Paul ada suami sering kali berkelahi dengan istrinya, artinya memukuli istrinya lalu saat itu juga dia menyadari bahwa dia salah dia minta maaf bahkan minta ampun kepada istrinya dan istrinya mengampuni, tapi tidak lama berselang juga tetap terulang lagi begitu, itu kelainan atau bagaimana Pak Paul?

PG : Suatu pola pemukulan kalau sudah terbentuk akan susah sekali hilang jadi itu yang sering terjadi ya, seseorang memukuli istrinya merasa bersalah, meminta maaf menyesali istrinya memaafkan unggu tinggal nanti terjadi pertengkaran lagi memukul lagi, jadi bukannya kelainan tapi mungkin itu adalah cara yang telah diadopsinya dari masa kecilnya dulu dan dia melihat itu di rumahnya sehingga akhirnya sekarang menjadi bagian dari hidupnya dalam menyelesaikan konflik.

GS : Nah itu susahnya si istri juga menganggap dia akan mengampuni terus seperti yang Firman Tuhan katakan tujuhpuluh kali tujuh katanya.

PG : Betul makanya saya tekankan masalahnya bukan pada mengampuni atau tidak mengampuni, sudah tentu si istri mengampuni tapi dia harus pikirkan apakah ini baik untuk dirinya, untuk anak-anakny dan untuk hal-hal itu dia harus mengambil tindakan yang lebih tegas.

GS : Dalam hal ini apakah ada sabda Tuhan Yesus yang akan disampaikan?

PG : Saya bacakan Matius 7:1-3 "Jangan kamu menghakimi, supaya kamu tidak dihakimi. Karena dengan penghakiman yang kamu pakai untuk menghakimi, kamu akan dihakimi dan ukuran yang kamu pakai untk mengukur, akan diukurkan kepadamu.

Mengapakah engkau melihat selumbar di mata saudaramu, sedangkan balok di dalam matamu tidak engkau ketahui?" Intinya Tuhan ingin berkata: lihat diri dulu, orang yang melihat diri menyadari dirinya, kelemahan, kekurangannya lebih bisa melihat orang dengan tepat, orang yang tidak bisa melihat dirinya akan melihat orang dengan tidak tepat penuh kekurangan dan sebagainya. Nah orang seperti itu memang akan sangat sulit sekali untuk berumahtangga dengan harmonis
GS : Jadi kesimpulannya Pak Paul, pertengkaran itu bisa jadi suatu bumbu di dalam keluarga tapi juga bisa menjadi racun ya?

PG : Tepat kalau tidak terselesaikan, dan makin hari makin memburuk itu akan menjadi racun.

GS : Jadi cara penyelesaian itu yang harus didasarkan pada Firman Tuhan yang tadi Pak Paul bacakan.

PG : Tepat sekali

GS : Terima kasih Pak Paul, terima kasih juga Ibu Wulan dan para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Pertengkaran Bumbu atau Racun dalam Keluarga." Bagi anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan anda menghubungi kami lewat surat, alamatkan surat anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id saran-saran, pertanyaan serta tanggapan anda sangat kami nantikan dan akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian anda sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang


Ringkasan:

Segala jenis perselisihan sebenarnya merupakan bentuk-bentuk perbedaan pendapat. Yang membedakannya adalah cara penyelesaiannya. Ada tiga jenis perselisihan dalam keluarga dan akan diurutkan dari ringan ke berat:

  1. Konflik. Pada level ini perbedaan pendapat diselesaikan melalui argumentasi atau perdebatan-persuasi verbal.

  2. Pertengkaran. Pada level ini perbedaan pendapat diselesaikan melalui tuduhan dan ancaman yang bermuatan emosi-persuasi emosional.

  3. Perkelahian. Pada level ini perbedaan pendapat diselesaikan melalui pemukulan-persuasi fisik.

Pasangan yang rawan konflik:

  1. Terlalu berbeda: Sulit menyesuaikan diri.

  2. Tidak dewasa: Menuntut pasangan untuk memenuhi kebutuhannya.

  3. Telanjur mengadopsi metode penyelesaian konflik yang melibatkan kekerasan emosional atau fisik: Jika marah harus berteriak atau memukul.

  4. Tidak takut akan Tuhan: Menghalalkan segala cara.

  5. Berkepribadian bermasalah: Memakai orang, mencintai benda dan diri sendiri.

Sikap yang diperlukan untuk menyelesaikan konflik:

  1. Kerendahan hati: Menyadari bahwa kita pun bisa keliru dan tidak melihat masalahnya dengan tepat.

  2. Berbelas kasihan: Tidak sampai hati menyakiti hati pasangan dan membuatnya bersedih.

  3. Mengampuni: Mengakui kita pun memerlukan pengampunan dari Tuhan dan sesama.

Firman Tuhan, "Jangan kamu menghakimi supaya kamu tidak dihakimi. Karena dengan penghakiman yang kamu pakai untuk menghakimi kamu akan dihakimi dan ukuran yang kamu pakai untuk mengukur akan diukurkan kepadamu. Mengapakah engkau melihat selumbar di mata saudaramu sedangkan balok di dalam matamu tidak engkau ketahui?" Matius 7:1-3


Questions:

GS : Pak Paul, meski kehidupan suami-istri itu normal-normal saja pasti pernah terjadi pertengkaran di antara suami dan istri itu, bahkan orang mengatakan kalau tak pernah bertengkar itu belum keluarga yang sesungguhnya atau kadang-kadang antara orang tua dan anak, tetapi kalau keseringan juga tidak sehat. Nah bagaimana kita bisa menentukan bahwa ini masih dalam taraf yang wajar Pak Paul?

GS : Bentuknya apa saja yang disebut pertengkaran itu Pak Paul?

GS : Tapi di sana di dalam penyelesaian masalah atau pencarian solusi itu 'kan masih sering kali terjadi perselisihan pendapat lagi Pak Paul?

GS : Penyelesaian masalah yang berbeda tadi, jadi misalnya tadi yang Ibu Wulan katakan si istri itu menghendaki menyelesaikan dengan diam tapi si suami menghendaki dengan verbal itu 'kan sudah tidak ketemu, yang satu bilang saya diam saja nanti kita selesaikan lain kali atau bahkan dilupakan, tapi yang laki-laki minta hari ini juga harus selesai nah itu 'kan mesti dicarikan solusinya lagi Pak Paul?

GS : Ya, itu kalau masalah verbal dan diam Pak Paul, tapi kalau tadi yang ketiga tentang perkelahian di mana si suami memukul menggunakan kekerasan padahal si istri diam itu 'kan sudah penganiayaan Pak Paul?

GS : Pak Paul ada pasangan-pasangan tertentu yang sering kali bertengkar, tapi ada pasangan yang lain yang mungkin bertengkar tetapi tidak terekspos keluar sehingga kita tidak melihat, itu apa Pak Paul?

GS : Contoh perbedaannya apa Pak Paul?

GS : Apakah ada apa ciri yang lain Pak Paul?

GS : Jadi kalau yang satu kekanak-kanakan pasangannya itu keibuan atau kebapakan begitu mungkin aman Pak?

GS : Bagaimana kalau ada orang itu yang mencoba menyelesaikan masalahnya itu dengan mencontoh keluarga yang lain atau pasangan yang lain, apa otomatis bisa Pak Paul?

GS : Ya mungkin pasangan itu mengira oh ini sudah Kristen, ini seiman dengan saya pasti takut akan Tuhan begitu pikirnya.

GS : Walaupun yang satunya takut akan Tuhan Pak Paul?

GS : Memang kalau salah satunya atau bahkan kedua-duanya mengalami gangguan kejiwaan seperti itu pasti memang bermasalah Pak Paul.

GS : Takut Pak Paul masalahnya, ini pun begitu kerendahan hati itu ada sebagian orang yang takut dinilai oleh pasangannya sebagai orang yang lemah Pak Paul.

GS : Pak Paul ada suami sering kali berkelahi dengan istrinya, artinya memukuli istrinya lalu saat itu juga dia menyadari bahwa dia salah dia minta maaf bahkan minta ampun kepada istrinya dan istrinya mengampuni, tapi tidak lama berselang juga tetap terulang lagi begitu, itu kelainan atau bagaimana Pak Paul?

GS : Nah itu susahnya si istri juga menganggap dia akan mengampuni terus seperti yang Firman Tuhan katakan tujuhpuluh kali tujuh katanya.

GS : Dalam hal ini apakah ada sabda Tuhan Yesus yang akan disampaikan?

GS : Jadi kesimpulannya Pak Paul, pertengkaran itu bisa jadi suatu bumbu di dalam keluarga tapi juga bisa menjadi racun ya?

GS : Jadi cara penyelesaian itu yang harus didasarkan pada Firman Tuhan yang tadi Pak Paul bacakan.

GS : Terima kasih Pak Paul, terima kasih juga Ibu Wulan dan para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Pertengkaran Bumbu atau Racun dalam Keluarga." Bagi anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan anda menghubungi kami lewat surat, alamatkan surat anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id saran-saran, pertanyaan serta tanggapan anda sangat kami nantikan dan akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian anda sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang