BETA
Ciri-Ciri Pernikahan Sehat
Sumber: telaga
Id Topik: 326

Abstrak:

Pernikahan yang sehat itu adalah pernikahan yang tidak sempurna, di dalamnya ada 7 aspek yang akan menerangkan pernikahan yang sehat. Dan salah satunya adalah adanya suatu pertengkaran, namun kita dituntut untuk bagaimana bisa menyelesaikan pertengkaran itu dengan baik.


Transkrip:

Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari LBKK (Lembaga Bina Keluarga Kristen), bersama Ibu Esther Tjahja, S.Psi. dan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi, beliau berdua adalah pakar konseling keluarga dan juga dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang, akan menemani Anda dalam sebuah perbincangan yang menarik dan bermanfaat. Perbincangan kali ini kami beri judul ciri-ciri pernikahan sehat, dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap
(1) GS : Pak Paul, pada kesempatan yang lalu kita telah membicarakan pernikahan yang tidak sehat atau pernikahan yang depresif, tentunya kita juga ingin tahu pernikahan yang sehat itu yang bagaimana.

(2) PG : OK! Pak Gunawan, yang pertama-tama saya ingin tekankan bahwa pernikahan yang sehat itu adalah pernikahan yang tidak sempurna. Jadi jangan sampai kita ini mempunyai idealisme yang tidakrealistik tentang pernikahan itu, saya membaginya dalam 7 kategori.

Yang pertama adalah pernikahan yang sehat bukannya berarti tidak pernah bertengkar namun bisa menyelesaikan pertengkaran sehingga tidak berlarut-larut. Nah, salah satu keterampilan yang harus dimiliki oleh setiap pasangan adalah keterampilan menyelesaikan pertengkaran. Pertengkaran saya kira sesuatu yang tidak bisa kita hindarkan. Nah waktu saya baru menikah, saya sendiri terus terang Pak Gunawan, mempunyai harapan bahwa istri saya dan saya tidak harus bertengkar. Waktu kami mulai bertengkar hal itu cukup mengganggu saya. Jadi harapan saya, saya kira itu sangatlah tidak realistik akhirnya saya belajar untuk menerima fakta bahwa orang yang saling mencintaipun bisa bertengkar. Jadi yang harus dikuasai, dimahiri oleh suami atau istri adalah keterampilan untuk menyelesaikan pertengkaran itu sendiri. Pasangan yang tidak bisa atau tidak mempunyai keterampilan untuk menyelesaikan pertengkaran tinggal menunggu waktu sampai pernikahan itu benar-benar retak. Karena pernikahan yang terus-menerus diganggu oleh pertengkaran akan menjadi pernikahan yang sakit dan tidak sehat. Ibarat pertengkaran itu seperti virus, Pak Gunawan, yang akan meracuni dan membuat daya tahan tubuh pernikahan kita itu lemah.
GS : Menyelesaikan pertengkaran dalam hal ini betul-betul menghadapi dan menyelesaikannya, Pak Paul, bukan melarikan diri atau menganggap tidak ada dan sebagainya.

PG : Ya, jadi jangan sampai kita ini menyangkali seolah-olah tidak ada masalah di antara kita, kalau ada masalah harus diakui memang ada. Namun khusus untuk masalah pertengkaran, saya juga haru akui bahwa ada masalah yang bisa kita selesaikan dengan segera, ada masalah yang kita bisa selesaikan dalam waktu yang agak panjang bisa berhari-hari bahkan bisa berminggu-minggu.

Juga akan ada masalah atau perbedaan yang belum ada jalan keluarnya, jadi ini bisa makan waktu bahkan berbulan-bulan atau bertahun-tahun. Tapi harapan saya atau harapan kita semua adalah yang ketiga itu tipe yang berat sehingga tidak bisa diselesaikan haruslah sangat sedikit, yang lebih banyak adalah yang bisa kita selesaikan dengan segera. Yang makan waktu boleh ada, namun juga tetap dalam jumlah yang sedikit. Yang tidak bisa kita selesaikan dan harus berlangsung untuk waktu yang panjang boleh ada, tapi benar-benar kita minimalkan misalkan hanya satu atau dua saja. Tadi Pak Gunawan sudah singgung bahwa kita harus menghadapinya, jangan lari, saya kira Pak Gunawan, kita memang mempunyai beberapa reaksi terhadap pertengkaran. Ada orang yang tidak suka pertengkaran sehingga waktu masalah muncul dan pertengkaran sudah diambang pintu, misalnya dia akan melarikan diri tidak mau menghadapinya. Atau dia menekan pasangannya supaya tidak mengeluarkan keluh kesahnya sehingga tidak terjadi pertengkaran. Atau yang ketiga ada orang yang cepat-cepat mengikuti permintaan pasangannya agar tidak terjadi pertengkaran. Ketiganya itu bukan berarti semuanya salah dan selalu salah, ada waktunya kita sudah mendiamkan, ada waktunya kita menuruti kehendak pasangan kita. Namun kita tahu cara yang lebih sehat bukanlah itu, cara yang lebih sehat adalah memang masing-masing pihak membicarakan harapan tuntutannya kenapa tidak suka dan apa yang dia minta, baru setelah itu mencoba untuk dikompromikan. Jadi sekali lagi keterampilan menyelesaikan pertengkaran harus ada, baru pernikahan itu bisa sehat.
GS : Salah pengertian yang lain apa, Pak Paul?

PG : Saya kira pernikahan yang sehat bukannya berarti tidak pernah kecewa, tidak pernah marah, tidak pernah sedih, atau tidak pernah menyesal. Setiap orang yang menikah saya kira akan mengalamikekecewaan, rasa marah dan sebagainya, namun yang penting adalah setelah merasakan semua itu kita masih bisa menerimanya kembali.

Yang parah adalah kalau kita sampai ke titik dimana setelah kecewa benar-benar tidak ada lagi penghiburan yang ditawarkannya kepada kita, nah ini yang parah setelah merasa menyesal menikah dengan dia benar-benar kita menutup pintu. Pernikahan yang sehat saya kira tidak sampai pada kadar seperti itu. Jadi belum sampai separah itu, pernikahan yang sehat mungkin mempunyai perasaan-perasaan kecewa, marah, dan sebagainya namun setelah itu terjadi masih bisa menerima pasangan kita. Artinya apa, artinya nomor 1 adalah kita tidak terlalu sering merasa begitu, kalau terlalu sering merasa kecewa, kesal, menyesal, otomatis makin susahlah untuk menerima dia kembali. Jadi pernikahan yang sehat memang tidak terus-menerus dilanda oleh krisis yang membuat kita marah, membuat kita menyesal menikah dengan dia, membuat kita sedih. Terlalu banyak krisis yang menimbulkan perasaan-perasaan ini, makin menyulitkan kita di kemudian hari menerima pasangan kita apa adanya.

ET : Rasanya memang komunikasi dua arah ini yang menjadi kunci, karena pasti itu akan terjadi. Kalau memang seseorang merasa kecewa, marah, sedih dan dia tidak sempat mengungkapkannya tapi dipedam sendiri, ataupun dia ungkapkan tapi tidak mendapatkan reaksi yang memadai dan yang diharapkan dari pasangannya untuk memahami kalau saya sedang kecewa tidak terjadi, maka mereka bertengkar.

Kalau sampai tidak ada pemahaman, akhirnya bisa susah untuk menerima perasaan-perasaan itu.

PG : Betul, betul, jadi waktu dia merasa marah, sedih dan sebagainya, yang dia harapkan adalah respon yang sesuai dari pasangannya. Kalau dia marah tidak digubris, dia sedih, dia dimasabodohkan dia kecewa malah dikatakan mau terima syukur kalau tidak mau terima ya masa bodoh, akhirnya dia seolah-olah harus menelan kembali perasaan-perasaan kecewa itu.

Akhirnya dia susah sekali menerima perbuatan pasangannya. Atau adakalanya yang terjadi Ibu Esther, pasangan kita memang melakukan hal yang sangat salah, itu bisa terjadi juga, tidak banyak sekali atau dua kali tapi melakukan hal yang sangat salah. Kecewa kita terlalu dalam, marah kita terlalu dalam, rasa menyesal kita terlalu dalam. Dengan perkataan lain, memang hati kita terkoyak, robek. Nah untuk menjahitnya, bisa menerima dia kembali memang akan susah. Jadi pernikahan yang sehat harus dijaga, jangan sampai melukai sedalam itu karena kalau sudah sedalam itu pasangan akan susah menerima kita kembali.

ET : Susah menjahitnya ya?

PG : Susah menjahitnya, betul, jadi pernikahan yang sehat memang pernikahan yang dijaga. Pernikahan tidak dengan otomatis bertumbuh dengan sehat, harus dijaga dengan hati-hati, kalau tidak dijaa lalu ada yang robek susah dijahit kembali.

GS : Tetapi kedekatan secara fisik ya Pak Paul, apakah menjamin bahwa pernikahan itu akan sehat?

PG : Nah ini membawa kita ke butir yang ke-3, Pak Gunawan, yaitu ternyata pernikahan yang sehat bukannya selalu mesra penuh kasih seperti di film-film, itu hanya terjadi di film saja. Pada awalawal pernikahan masih ada seperti itu, tapi saya kira setelah menikah beberapa waktu kemesraan dan penyataan kasih sayang tidak lagi sesemarak pada masa berpacaran.

Tapi ada tapinya, di sini meskipun perasaan-perasaan mesra itu tidak lagi bermunculan dengan semarak, tapi lebih sering ada perasaan sayang. Jadi jangan sampai tidak ada lagi perasaan sayang, tidak ada lagi perasaan mesra begitu. Saya berbicara dengan istri saya beberapa waktu yang lalu tentang perasaan kami, tentang pernikahan kami, apa yang membuat kami sampai sekarang terus saling mencintai. Nah kami memang membicarakan beberapa hal, intinya adalah kami tidak menyerah, kami terus berusaha, bekerja, yang perlu kami poles kami poles, yang perlu dibereskan kami bereskan dan itu akhirnya mulai membuahkan hasil. Dan waktu membuahkan hasil ini yang kami mulai petik yaitu perasaan sayang. Jadi saya mengintisarikannya waktu saya berbicara dengan istri saya, kalau di masa lampau saya seolah-olah tergila-gila dengan dia waktu saya masih berpacaran, sekarang setelah saya menikah 16 tahun kalau dia tidak disamping saya sudah benar-benar seperti orang gila karena benar-benar hidup ini sengsara kalau tidak ada dia. Jadi dengan perkataan lain, saya mengasihi dia seolah-olah seperti barang yang berharga, dulu mengasihi dia seperti barang yang menarik pada masa berpacaran, sekarang sebagai barang yang berharga karena memang dia telah menjadi begitu berharga buat kehidupan saya. Nah, jadi saya kira perasaan itu harus ada, pernikahan yang sehat ditandai oleh adanya perasaan sayang bahwa pasangan kita adalah seseorang yang berharga dalam hidup kita.

ET : Saya pikir ini mungkin memang satu ciri yang kadang-kadang disalahmengerti, maksudnya banyak pasangan muda ukuran cinta kasihnya itu kemesraan dan rasanya selalu harus apinya berkobar-kobar. Jadi ketika mungkin sudah mulai memasuki tahap yang wajar untuk tidak seperti itu, malah sepertinya ini tanda pernikahan kita jadi tidak sehat karena kita sudah tidak semesra dulu lagi, tidak berkobar-kobar seperti dulu lagi, jadi konsep ini sepertinya terbalik untuk kebanyakan orang.

PG : Betul, betul jadi memang harus mengantisipasi bahwa perasaan tidak bertahan terus-menerus pada level tertentu. Perasaan marah tidak terus-menerus ada, kita marah dua hari, hari ketiganya eda.

Perasaan sedih 2, 3 hari setelah itu normal lagi, jadi perasaan sayang juga begitu. Hari Valentine hanya setahun sekali bukan setahun 365 kali, jadi terimalah ini sebagai bagian yang nyata dan tidak apa-apa. Namun tetap saya harus ingatkan meskipun perasaan yang berbunga-bunga itu tidak ada lagi atau jarang ada namun perasaan sayang bahwa dia adalah seorang yang berharga dalam hidup kita, saya kira tetap harus ada. Kalau tidak ada sama sekali memang berarti pernikahannya mulai bahaya.
(2) GS : Bagaimana dengan pertengkaran Pak Paul, apakah mereka yang tidak bertengkar atau jarang sekali bertengkar itu sehat?

PG : Wah, saya sungguh-sungguh berharap Pak Gunawan, saya dan istri saya bisa senantiasa seia sekata dalam segala hal terutama dalam pengambilan keputusan. Tapi kenyataannya tidak demikian, mislkan contoh yang paling sederhana hari ini anak kami sekolah atau tidak karena sedikit sakit.

Yang satu berkata sekolah, yang satu berkata biar dia diam di rumah. Misalkan yang paling mudah lagi waktu menyuruh anak-anak untuk turun makan sekarang sudah jamnya makan, yang satu berkata biarkan dia main dulu, dia lapar akan makan sendiri, yang satu akan berkata ini jamnya makan semua harus makan. Sudah berbeda dan itu keputusan yang begitu ringan Pak Gunawan, apalagi yang lebih serius. Jadi memang pernikahan yang sehat bukannya berarti selalu seia sekata, namun meskipun tidak selalu seia sekata, kita masih menghormati pandangan pasangan kita dan lebih banyak keberhasilan menemukan titik temu. Jadi meskipun kita berbeda pandang jangan sampai menghina dia. Pernikahan yang tidak sehat ditandai oleh penghinaan. Waktu beradu pandangan tidak setuju, pandangan pasangannya tidak saja dianggap sebagai pandangan yang berbeda tapi langsung dicap pandangan yang salah, pandangan yang memang sempit, tidak melihat banyak, pandangan yang bodoh dan sebagainya, nah saya kira pernikahan yang sehat tidak demikian. Mengakui memang berbeda tapi ya sudah berbeda, tidak harus disertai dengan caci maki terhadap perbedaan tersebut. Meskipun ada perbedaan namun lebih banyak kesuksesan menemukan titik temunya, kalau terus-menerus tidak ada titik temu, tidak seia sekata saya kira pernikahan itu mudah sekali retak.
GS : Bagaimana dengan anak-anak kalau ada di tengah-tengah mereka?

PG : Wah, ini salah satunya Pak Gunawan, saya kira kita sebagai orang tua berharap anak-anak hidup rukun dan kalau kita perintahkan mau menurut, tidak membangkang. Nah kenyataannya tidak demikin, anak-anak itu kadang-kadang bertengkar, kadang-kadang tidak mendengarkan perintah kita.

Namun yang penting adalah kita dapat mendamaikan pertengkaran mereka sebagai orang tua dan mereka pun anak-anak itu relatif bisa dengan cepat mendamaikan pertengkaran mereka. Jadi kalau anak-anak sudah dihinggapi oleh semangat bermusuhan sehingga mudah sekali bertengkar dan susah sekali berdamai, saya kira kita perlu evaluasi kembali pernikahan kita. Apa yang terjadi sehingga anak-anak mempunyai sikap yang mudah marah dan susah sekali memaafkan. Memang tidak selalu anak-anak mengikuti perintah kita, tapi pernikahan yang sehat ditandai oleh rasa hormat anak terhadap orang tua. Artinya orang tua itu memang dianggap sebagai figur yang konsisten, figur yang bisa mereka hormati. Mereka kadang-kadang marah dan kadang-kadang meletup emosinya terhadap kita, tapi tidak kurang ajar karena masih menghormati kita. Pernikahan yang tidak sehat biasanya kehilangan rasa hormat anak-anak, mereka tidak lagi menggubris orang tua meskipun takut dalam hati, tapi tidak lagi menghormati mereka.

ET : Nah, mungkin itu yang sering kali terabaikan yaitu masalah dihormati, karena cukup banyak saya mendengar orang tua yang mengatakan pokoknya kalau saya di rumah anak-anak tidak bertengkar. api begitu orang tuanya tidak di rumah anak-anak perang dan selalu begitu yang terjadi, mungkin anak-anak hanya takut kalau ada figur orang tuanya tetapi belum tentu rasa hormat itu ada.

PG : Betul dan saya harus tetap berkata kalau anak-anak sering bertengkar kita di rumah ataupun tidak di rumah, saya kira kita perlu mengevaluasi kenapa. Sebab seharusnya kalau kita sebagai orag tua berhasil menciptakan iklim yang harmonis di rumah tangga kita, seyogyanya anak-anak meskipun kadangkala bertengkar seharusnya bisa menyelesaikannya dengan relatif cepat.

Kalau hampir bermusuh-musuhan kemungkinan kita harus memeriksa diri kita apakah kita kurang campur tangan, kurang mendidik mereka untuk bisa menyelesaikan konflik mereka. Jadi keluarga yang sehat saya kira juga ditandai dengan kerukunan antara anak-anak.
(3) GS : Nah ini khususnya di kalangan keluarga Kristen Pak Paul, ada yang setiap malam atau setiap pagi mereka mengadakan ibadah keluarga bersama. Apakah itu otomatis mencerminkan keharmonisan, Pak Paul?

PG : Saya kira tidak selalu kita ini bisa bersekutu, adakalanya saya juga dengan anak-anak dan istri saya tidak bersekutu bersama. Akhirnya kami misalnya ada yang mengganjal tidak berdoa bersam, kadang-kadang itu kami lakukan.

Tapi memang jarang, yang penting adalah meskipun jarang terjadi kami tahu itu salah, kami tahu keesokan harinya harus kami bereskan. Jadi kami tidak mendiamkan diri kami dalam suasana tidak enak berhari-hari, sehingga tidak bisa bersekutu bersama. Kalaupun harus kehilangan satu hari saja, keesokan harinya kami berusaha kembali untuk bisa bersekutu dan berdoa bersama.
GS : Memang cukup banyak ciri-ciri tentang pernikahan yang sehat, nah kalau seandainya itu tidak terpenuhi akibatnya apa, Pak Paul?

PG : Saya kira kalau tidak terpenuhi perasaan yang timbul adalah perasaan kecewa, marah, perasaan bahwa kita ini seolah-olah berseberangan dengan pasangan kita. Kita tidak lagi berdua, bersatu engan dia terpecahlah kita ini.

Dalam keadaan seperti itu saya kira kita perlu untuk berdamai, berekonsiliasi sebab kalau itu semua terjadi kita tidak lagi bersatu dengan istri kita atau suami kita, tentu tinggal tunggu waktu pernikahan kita ini akan retak.
GS : Tapi bukankah itu harus ada yang memulai lebih dahulu, yang menjadi pemula untuk mau berinisiatif itu siapa. Semua berkata dalam hati, suami merasa bukan saya yang salah, istri juga merasa seperti itu apalagi anak-anak. Lalu kapan bisa terjadi rekonsiliasinya?

PG : Saya akan bacakan dari Matius 18:21-22 "Kemudian datanglah Petrus dan berkata kepada Yesus: "Tuhan, sampai berapa kali aku harus mengampuni saudaraku jika ia berbuatdosa terhadap aku? Sampai tujuh kali?" Yesus berkata kepadanya: Bukan! Aku berkata kepadamu: Bukan sampai tujuh kali melainkan sampai tujuh puluh kali tujuh kali."

Nah pada waktu itu orang-orang Israel mempunyai keyakinan batas maksimum orang memaafkan adalah tujuh kali sebab tujuh dianggap angka sempurna. Tuhan menambahkan tujuh puluh kali tujuh artinya di atas yang sempurna masih ada yang sempurna. Pada batas engkau mengampuni engkau berkata: tidak bisa lagi mengampuni, masih bisa mengampuni, itu kira-kira intinya yang Tuhan ingin katakan. Saya kira pernikahan harus dilandasi atas hukum rekonsiliasi, ini yang saya berikan judul pada ayat-ayat tadi. Rekonsiliasi terjadi jika ada pihak yang meminta ampun atau bertobat dan ada yang memberi ampun atau ada yang berbelaskasihan. Jadi memang kalau orang tidak mau berubah atau tidak mau berkata saya salah minta ampun, susah terjadi rekonsiliasi. Seseorang harus maju ke depan dan berkata saya salah, mohon maaf, dan yang satunya berkewajiban memberikan pengampunan. Dan yang kedua adalah pengampunan yang tidak terbatas menandakan hati yang penuh belas kasihan, nah ini yang kadangkala susah untuk kita miliki kalau sudah terlalu sering dilukai. Untuk ini saya kira kita perlu berdoa minta kuasa Tuhan, karena hanya kuasa Tuhan yang bisa memunculkan kembali belas kasihan kalau hati kita sudah mengeras. Jadi pertanyaannya maukah kita berdoa meminta Tuhan mengaruniakan belas kasihan itu kepada diri kita dulu, bukan kepada pasangan kita yang bersalah kepada kita misalnya. Maukah kita berdoa meminta Tuhan memberikan belas kasihan dalam hati kita, agar kita berbelaskasihan kepada pasangan kita yang telah bersalah kepada kita, jadi itu langkahnya. Nah yang terakhir adalah kita perlu mengintrospeksi diri artinya bukankah kita ini sama-sama orang yang pernah bersalah baik kepada sesama kita ataupun kepada Tuhan. Dan bukankah kita orang yang sama-sama telah menerima anugerah pengampunan, kita adalah orang yang telah ditebus, diampuni oleh Tuhan Yesus. Jadi Tuhan meminta kita mengingat bahwa kita juga penerima pengampunan, ingatlah kita sama seperti dia, kita juga harus memberikan pengampunan pada pasangan kita. Nah sekali lagi ini memang mudah kita ucapkan secara teoritis, kenyataannya akan sangat susah sekali. Tapi langkah pertama adalah berdoa meminta Tuhan memberikan kita belas kasihan lebih dulu, kalau tidak ada belas kasihan yang lain-lainnya tidak akan muncul.
(4) GS : Sebagai pria kadang-kadang memang sulit, Pak Paul untuk mengakui kesalahan kepada istri apalagi kepada anak, itu sebenarnya apa yang melatarbelakanginya?

PG : Saya kira kita menganggap bahwa sebagai seorang kepala keluarga kita harus berwibawa dan berwibawa berarti tidak salah, kalau salah kita kehilangan wibawa. Maka kita takut mengakui kesalahn, takut kalau-kalau akan mengurangi wibawa kita.

Tapi saya kira justru wibawa diperoleh bukan dari mempertahankan kalau kita salah, wibawa justru akan kita dapatkan kalau kita berani mengakui kita salah. Apakah dia nanti akan memanfaatkan pengakuan kita bahwa kita salah, itu tergantung kita. Kalau dia memanfaatkannya kita tidak harus menerimanya. Kita tetap bisa menolak dia untuk menggunakan pengakuan kita untuk menyerang kita kembali. Dan yang paling penting harus kita ingat, kita bertanggung jawab kepada Tuhan, yang Tuhan minta adalah kita mengampuni atau memberikan pengakuan kalau kita salah. Itu yang Tuhan minta, tindakan orang terhadap kita itu tanggung jawabnya kepada Tuhan, yang penting kita telah melakukannya untuk Tuhan.

ET : Dan yang saya lihat kalau memang kepala keluarga bisa punya sikap yang seperti itu dampaknya luar biasa, kebaikan seperti ini akan tertular. Kalau anak-anak melihat papanya dengan besar hai bisa minta maaf dan juga memaafkan, otomatis ke istri, ke mamanya anak juga akan belajar hal sama, ini saya lihat kekuatan dari pengampunan ini.

PG : Betul, betul kalau orang tua tidak menularkannya kepada anak-anak, maka anak-anak tidak tertularkan. Saya lihat memang pucuknya di suami atau kepala keluarga. Sering kali istri belajar dar kita sebagai suami, anak-anak pun belajar dari kita sebagai papanya.

GS : Dan itu harus diucapkan dengan sungguh-sungguh Pak Paul, kadang-kadang sambil bergurau, "sorry-sorry" tapi cara seperti itu tidak berdampak.

PG : Betul, karena orang akan melihat kita tidak tulus.

GS : Tidak serius, tidak tulus dan Tuhan Yesus sendiri mengajarkan doa Bapa kami, "ampuni kami seperti kami mengampuni orang yang bersalah kepada kami".

PG : Betul.

ET : Tapi itu justru bisa dipelencengkan jadi begini, misalnya salah satu pihak suami atau istri katakanlah misalnya suami merasa saya selalu baik, tidak pernah menyakiti. Jadi sepertinya tidaktimbal balik, kecuali mungkin yang Pak Paul katakan sama-sama berhutang pengampunan rasanya lebih mudah mengampuni.

Kalau salah satu merasa lebih baik, rasanya sangat susah untuk mengampuni pasangannya itu.

PG : Betul, kecenderungan kita memang menghitung berapa kali kita telah mengaku salah, berapa kali dia telah mengaku salah, kalau tidak sebanding antara debet dan kreditnya kita menjadi jengkel.

ET : Tidak terima ya?

GS : Bisa negatif nanti saldonya. Jadi saya rasa itu suatu pembicaraan, perbincangan kita yang sangat menarik tentang ciri-ciri pernikahan yang sehat dan saudara-saudara pendengar demikian tadi kami telah persembahkan sebuah perbincangan bersama Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang ciri-ciri pernikahan yang sehat. Kalau Anda berminat untuk melanjutkan acara tegur sapa ini, kami persilakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK Jl. Cimanuk 58 Malang. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Dan dari studio kami mengucapkan terima kasih.


Ringkasan:

Pernikahan yang sehat itu adalah pernikahan yang tidak sempurna. Saya membaginya dalam 7 kategori yaitu:

  1. Pernikahan yang sehat bukan berarti tidak pernah bertengkar, namun bisa menyelesaikan pertengkaran sehingga tidak berlarut-larut. Nah salah satu keterampilan yang mesti dimiliki oleh setiap pasangan adalah keterampilan menyelesaikan pertengkaran. Pernikahan yang terus-menerus diganggu oleh pertengkaran akan menjadi pernikahan yang sakit, yang tidak sehat, ibarat pertengkaran itu seperti virus yang akan meracuni dan membuat daya tahan tubuh pernikahan kita itu lemah.

  2. Pernikahan yang sehat bukan berarti tidak pernah kecewa, tidak pernah marah, tidak pernah sedih, atau tidak pernah menyesal. Setiap orang yang menikah saya kira akan mengalami kekecewaan, rasa marah dsb namun yang penting adalah setelah merasakan semua itu kita masih bisa menerimanya kembali.

  3. Pernikahan yang sehat bukannya selalu mesra, penuh kasih. Setelah menikah beberapa waktu, kemesraan dan penyataan kasih sayang tidak lagi sesemarak pada masa berpacaran. Tapi meskipun perasaan-perasaan mesra itu tidak lagi bermunculan dengan semarak tapi lebih sering ada perasaan sayang. Jadi perasaan itu harus ada, pernikahan yang sehat ditandai oleh adanya perasaan sayang bahwa pasangan kita adalah seseorang yang berharga dalam hidup kita.

  4. Pernikahan yang sehat bukan berarti selalu seia sekata, namun meskipun tidak selalu seia sekata, kita masih menghormati pandangan pasangan kita dan lebih banyak keberhasilan menemukan titik temu. Jadi meskipun kita berbeda pandang jangan sampai menghina dia. Mengakui memang berbeda tapi nggak harus disertai dengan caci maki terhadap perbedaan tersebut.

  5. Pernikahan yang sehat juga tidak selalu anak-anaknya tidak bertengkar, kadang-kadang bertengkar tetapi yang penting adalah kita dapat mendamaikan pertengkaran mereka sebagai orangtua dan mereka pun anak-anak itu relatif bisa dengan cepat mendamaikan pertengkaran mereka.

  6. Pernikahan yang sehat ditandai oleh hormat anak terhadap orangtua. Artinya orangtua itu memang dianggap sebagai figur yang konsisten, figur yang mereka bisa hormati. Mereka kadang-kadang marah dan kadang-kadang meletup emosinya terhadap kita, tapi tidak kurang ajar karena masih menghormati kita. Pernikahan yang tidak sehat biasanya kehilangan hormat anak-anak, tidak lagi menggubris orangtua, meskipun takut dalam hati tapi tidak lagi menghormati mereka.

  7. Keluarga yang sehat juga ditandai dengan kerukunan antara anak-anak.

Kalau ciri-ciri di atas tidak terpenuhi dalam suatu pernikahan yang sehat yang muncul adalah perasaan kecewa, marah, perasaan bahwa kita ini seolah-olah berseberangan dengan pasangan kita. Kita tidak lagi bersatu dengan dia terpecahlah kita, nah dalam keadaan seperti ini kita perlu berdamai, berekonsilisasi.

Matius 18:21-22, "Kemudian datanglah Petrus dan berkata kepada Yesus: "Tuhan, sampai berapa kali aku harus mengampuni saudaraku jika ia berbuat dosa terhadap aku? Sampai tujuh kali?" Yesus berkata kepadanya : "Bukan! Aku berkata kepadamu: Bukan sampai tujuh kali, melainkan sampai tujuh puluh kali tujuh kali." Pernikahan harus dilandasi atas hukum rekonsiliasi ini, jika ada pihak yang meminta ampun atau bertobat dan ada yang memberi ampun alias ada yang berbelaskasihan.


Questions:

GS : Menyelesaikan pertengkaran dalam hal ini betul-betul menghadapi dan menyelesaikannya, Pak Paul, bukan melarikan diri atau menganggap tidak ada dan sebagainya.

GS : Salah pengertian yang lain apa, Pak Paul?

GS : Tetapi kedekatan secara fisik ya Pak Paul, apakah menjamin bahwa pernikahan itu akan sehat?

GS : Bagaimana dengan anak-anak kalau ada di tengah-tengah mereka?

GS : Memang cukup banyak ciri-ciri tentang pernikahan yang sehat, nah kalau seandainya itu tidak terpenuhi akibatnya apa, Pak Paul?

GS : Tapi bukankah itu harus ada yang memulai lebih dahulu, yang menjadi pemula untuk mau berinisiatif itu siapa. Semua berkata dalam hati, suami merasa bukan saya yang salah, istri juga merasa seperti itu apalagi anak-anak. Lalu kapan bisa terjadi rekonsiliasinya?

GS : Dan itu harus diucapkan dengan sungguh-sungguh Pak Paul, kadang-kadang sambil bergurau, "sorry-sorry" tapi cara seperti itu tidak berdampak.

GS : Tidak serius, tidak tulus dan Tuhan Yesus sendiri mengajarkan doa Bapa kami, "ampuni kami seperti kami mengampuni orang yang bersalah kepada kami".

GS : Bisa negatif nanti saldonya. Jadi saya rasa itu suatu pembicaraan, perbincangan kita yang sangat menarik tentang ciri-ciri pernikahan yang sehat dan saudara-saudara pendengar demikian tadi kami telah persembahkan sebuah perbincangan bersama Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang ciri-ciri pernikahan yang sehat. Kalau Anda berminat untuk melanjutkan acara tegur sapa ini, kami persilakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK Jl. Cimanuk 58 Malang. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Dan dari studio kami mengucapkan terima kasih.