Bintang Masa Lampau
Sumber: artikel_c3i
Id Topik: 3237
Natal membangkitkan berbagai kenangan. Sebagai seorang anak laki-laki, aku masih ingat ketika aku berada di tengah-tengah kegembiraan yang tak dapat dilukiskan antara kereta api listrik, sepeda-sepeda, sarung tangan baseball, dan sepatu roda. Sebagai seorang ayah muda, aku ingat ketika mata anak-anakku yang kecil bercahaya. Mereka melihat keajaiban pada hari itu. Tetapi di antara itu semua, ada sebuah Natal yang tak dapat kulupakan.
Pada Natal tahun 1945, aku bekerja sebagai tentara yang ditugaskan di daerah yang ditaklukkan, yaitu di Frankfurt, Jerman. Aku harus menjaga keamanan dan ketertiban di tempat itu. Perang telah berakhir kira-kira tujuh bulan sebelumnya dan meninggalkan puing-puing yang merupakan reruntuhan sebagian besar kota. Banyak di antara rumah-rumah yang ditinggalkan dalam keadaan utuh kemudian diambil alih untuk perumahan tentara AS. Di antara para perwira angkatan bersenjata, kami bertiga tinggal di sebuah rumah bertingkat tiga. Rumah itu cukup untuk menampung kami. Setiap hari kerja, kami pergi ke kantor dan pulang malam hari. Ketika kami pulang, tempat tidur sudah dibereskan oleh seorang wanita tua dengan sangat rapi. Rumah kami pun sudah dibersihkan olehnya. Ia berkebangsaan Jerman dan dipekerjakan oleh angkatan bersenjata AS sebagai pengurus rumah tangga untuk beberapa rumah di daerah itu. Karena ia sangat sibuk, kami hanya sesekali melihat wanita yang lemah itu. Percakapan kami terbatas karena ia tidak dapat berbahasa Inggris dan bahasa Jerman kami pun buruk. Melalui bahasa isyarat dan senyuman, kami menunjukkan kepuasan kami atas pekerjaannya.
Seminggu sekali, aku pergi ke kantin tentara untuk mengambil ransum gula-gula yang berbentuk batangan, sabun, dan keperluan-keperluan tambahan. Kadang-kadang aku mengomel karena tidak ada banyak pilihan di tempat itu. Tetapi aku selalu membeli semua yang boleh kubeli. Aku menyimpan kelebihannya di dalam lemari kecilku yang dapat dikunci. Ketika Natal sudah dekat, aku sepantasnya memberi sedikit hadiah kepada pengurus rumah tangga itu. Aku memberinya beberapa barang dari kelebihan barang yang kusimpan. Aku mengisi sebuah kotak kardus yang besar dengan gula-gula yang berbentuk batangan, sabun, dan beberapa kaleng jus buah. Dalam sistem barter di antara orang-orang Jerman, hadiahku kepadanya bernilai banyak dan jumlah dolarnya pun banyak. Tetapi bagiku, harganya tak berarti.
Aku tahu bahwa wanita itu tak akan bekerja pada hari Natal. Ketika aku berangkat ke kantor pada 24 Desember, aku taruh kotak hadiahku dan sebuah kartu ucapan selamat Natal di atas meja yang bisa dilihatnya. Sepanjang hari, aku merasa agak bangga bila mengingat banyaknya hadiah yang kuberikan kepadanya. Dia seperti seorang ahli waris wanita di daerahnya yang miskin.
Ketika aku pulang dalam kegelapan di malam hari pada bulan Desember, aku melihat dari jendela sebuah cahaya lampu yang temaram. Rumah itu sepi. Hadiahku dan si penerima hadiah tidak kelihatan. Tetapi di bawah cahaya lampu, aku melihat ada kartu Natal dan hadiah dari wanita itu untukku. Aku tak mengharapkan hadiah, tetapi ternyata itu ada. Ia memberikan hadiah sesuai kemampuannya, dan itu diberikannya dengan semangat Natal yang sesungguhnya.
Ada sepuluh lembar kartu pos bergambar yang sudah tua dan ujung-ujungnya sudah terlipat. Kartu pos itu menggambarkan kota Frankfurt, dan diletakkan di atas meja yang diterangi lampu temaram itu. Selain itu, ada selembar kertas dan tulisan rapi yang berbunyi, "Selamat Natal". Kartu-kartu ini adalah harta yang sangat berarti baginya. Kartu-kartu ini memunyai makna tersendiri di samping gambar-gambar yang memesona di dalamnya. Ia menaruh setiap kartu pada ujungnya dan menyatukannya sehingga setiap dua kartu membentuk suatu titik dan kesepuluh kartu itu membentuk sebuah bintang Natal.
Aku melihat hadiah itu dan memikirkan wanita ini. Saat itu, aku dapat membayangkannya sedang berada di Frankfurt pada tahun-tahun yang lalu. Toko-tokonya terang dan penduduknya larut dalam kegembiraan. Aku dapat membayangkan gedung opera yang megah, gedung-gedung pemerintah, taman-taman, dan jembatan-jembatan di kota itu. Aku pun dapat membayangkan hari-hari penuh keceriaan sebelum semuanya diporak-porandakan oleh perang. Itu terjadi ketika kota yang dicintainya, Frankfurt, masih penuh kehidupan.
Sekarang, kondisi Frankfurt amat menyedihkan dan hancur. Pengurus rumah tangga yang kecil ini pun sudah tua dan lemah. Apa yang dapat diberikan oleh seorang wanita kecil yang tua dan miskin? Ia hanya bisa memberi dari kemiskinannya dan dari hatinya. Tetapi, aku tahu bahwa ia telah memberikan sesuatu dari harta bendanya yang paling berharga. Barang itu ialah kenangan yang paling disayanginya dari kota cantik yang dicintainya.
Hanya sedikit yang dapat ia berikan, tetapi hanya itulah yang dimilikinya. Lima puluh tahun kemudian, bila aku sesekali membelai gambar-gambar yang pudar pada kartu-kartu pos yang tersimpan di dalam kotak, aku diingatkan kembali pada rasa cinta dan cara memberi yang sejati pada masa Natal. Setiap tahun, kadang-kadang kami menyusun kartu-kartu itu di atas meja untuk membentuk bintang Natal seperti yang dilakukannya di Jerman malam itu. Sekali lagi, aku menyadari bahwa ada kebajikan yang jauh lebih banyak di dalam hadiahnya yang sederhana. Ini lebih daripada apa yang kuberikan kepadanya. Mudah bagiku untuk mendapatkan barang-barang yang kuberikan kepadanya. Aku mungkin bangga karena bisa memberikan semua itu untuknya. Itulah pelajaran yang diberikan kepadaku.
Mukjizat sebenarnya yang memengaruhi hatiku pada malam itu adalah pengetahuan yang kuperoleh secara tiba-tiba. Bintang yang diberikan wanita itu kepadaku ternyata mewakili sebuah bintang lain yang muncul sembilan belas abad yang lalu (pada saat cerita ini ditulis -- Red). Cinta yang lahir dari bintang itu dapat mengatasi segala hambatan bahasa, ras, dan agama di seluruh dunia. Bahkan di sebuah negara dan di dunia yang tercabik-cabik oleh perang, pengaruh dan cinta Natal yang pertama itu telah membuat kami semua bersaudara.
(Kesaksian dari John B. Matheson, JR., Salt Lake City, Utah)