BETA
Terus Berkarya dengan Kaki Palsu
Sumber: artikel_c3i
Id Topik: 3217

"Amputasi? Saya nggak normal lagi? Kenapa saya? Kenapa? Tidak hanya kaki saya yang hancur, hati saya juga hancur! Saya mencoba untuk mengerti kejadian itu. Namun, sulit saya pahami. Saya ngambek sama Tuhan, tapi nggak lama. Saya gelisah, pikiran nggak tenang hampir sebulan nggak ke gereja. Hati saya berkata, apa pun yang terjadi, saya anak Yesus," kata Bernadus Setiawan (30 th) korban bom di Gereja Katolik Santa Anna, Duren Sawit, Jakarta Timur.

Bom Pagi Saat Homili Jakarta, 22 Juli 2001

Bernad tak sabar menunggu pagi. Sudah tiga bulan ia tidak ke Gereja St. Anna karena mengikuti pendidikan SATPAM di Lido. "Minggu itu saya berangkat bersama tunangan. Dia sebenarnya mengajak ibadah siang, tapi saya sudah kangen banget menyambut tubuh dan darah Kristus. Lagian kalau sudah ke gereja, perasaan saya enak. Saya datang dengan kegembiraan penuh damai," tutur mantan Satpam SMA Tarakanita, Kebayoran Baru Jakarta Selatan itu.

Seperti biasa suasana hening, umat mengikuti misa dengan khidmat. Di tengah Rm. Suryo Suryatma, SJ memberikan homili (khotbah -- red) terdengar bummm!!!! Ledakan bom amat dahsyat disusul teriakan umat. Sekejap mata, semua berubah. Tangis, jeritan, teriakan histeris, dan kebingungan menjadi satu.

"Beberapa saat ada peristiwa yang tidak bisa saya ingat, tiba-tiba saja seorang gadis remaja membangunkan saya, rambutnya menutupi wajah saya, "Kak, kak!" Dia histeris karena melihat kakinya yang hancur. Saya segera membantu dia, mengangkatnya ke luar. Hati saya tak tega melihatnya. Dalam hati saya sempat terpikir, bagaimana kalau mengalami seperti dia.

Amputasi Bernad merasakan sesuatu yang tidak beres di kakinya. Hah? Telapak kaki kanan terkelupas tak karuan, darah terus mengalir. Nyeri sekali. "Saya melihat tulang telapak kaki saya hancur, separuh telapak kaki kanan hilang, sisanya pun luka bakar. Bentuknya aneh. Saat itu, nggak cuma kaki saya yang hancur, hati saya juga hancur. Saya down. Tiba-tiba saya tak ingat apa-apa, pingsan."

Setelah sadar, Bernad memandangi dan mengelus-elus kakinya. Telapak kaki kanannya tampak sangat mengerikan.

"Seorang teman yang selamat menolong dan membawa saya ke RS Harum untuk mendapat pertolongan pertama saja. Seterusnya, saya dibawa ke RSCM."

"Darah saya ditampung di plastik, hampir tiga plastik kiloan. Dari RSCM, akhirnya seluruh korban dipindahkan ke RS St. Carolus. Di sana, kami mendapat pelayanan yang baik dan cepat. Saya langsung diperiksa, dokter pun langsung konsultasi dengan orang tua. Intinya, kaki kanan saya tidak dapat diperbaiki. Demi kesehatan saya, jalan keluarnya, kaki saya harus dipotong, amputasi. Saya sangat sedih," ujar pria kelahiran Jakarta, 7 September 1974.

Terbayang di mata Bernad, selama ini bermain sepak bola bersama teman-temannya atau kadang jadi wasit dalam permainan itu. Terbayang pula, pekerjaannya sebagai SATPAM. Bagaimana juga dengan rencana pernikahan? Ahhh, kenapa harus terjadi?

Sebelum operasi dilakukan, Bernad menerima sakramen perminyakan, "Itu diberikan pada orang-orang yang kondisinya sangat berat, misalnya orang yang sekarat dan hendak menemui ajal. Saya pasrah. Saat saya salaman dengan Bapak, Ibu, kakak, saya sampaikan permohonan maaf atas kesalahan-kesalahan saya. Saya seperti orang pamitan. Teman-teman banyak mendoakan saya, seorang suster berkata, `Jangan khawatir, tumbuhkan imanmu.` Yah, saya relakan untuk menjalani operasi."

"Selama 23 hari di rumah sakit, banyak orang membesuk saya. Teman gereja, tetangga, bahkan jemaat gereja lain yang nggak saya kenal. Saya terharu juga meskipun masih ada perasaan marah sama Tuhan atas kejadian ini," kenang anak pasangan Albertus Moeki dan Christina Sih Prihatini ini. Sementara tunangannya, Theresia Tri Suhartati telah sembuh total setelah mengalami kebutaan selama 12 jam.

Setelah amputasi, ia menggunakan tongkat untuk berjalan. Perubahan besar di kaki kanannya itu mengaburkan harapannya akan masa depan. Bernad kerap merenung, mereka-reka apa yang bakal terjadi pada hari depannya. Dengan keadaan kaki seperti itu, rasanya tidak mungkin melanjutkan pekerjaan sebagai SATPAM.

Marah Sama Tuhan Lembaga tempat Bernad bekerja memberi bantuan honor lima bulan kerja dan membiayai kursus komputer. "Suster memanggil saya dan bilang bahwa di tata usaha sudah ada tenaga. Karena dianggap sudah bisa cari pekerjaan lain, saya dilepas. Meskipun berat, saya mengerti."

Kadang kala, rasa marah atas kejadian yang mengakibatkan cacat, timbul tenggelam. "Saya ngambek sama Tuhan. Saya bilang sama Tuhan, saya belum bisa menemui-Mu. Sebulan saya nggak ke gereja. Pikiran saya kacau, hati saya gundah. Saat saya merenungkan kisah Tuhan Yesus dan sabda-Nya, saya nggak tahan. Hati saya menjerit, `Maaf ..., maaf ya Tuhan atas pikiran dan perasaan jelek saya terhadap-Mu. Padahal Engkau memikul salib untuk menyelamatkan jiwa saya.` Saya ingat-ingat kembali penderitaan dan pengorbanan-Nya. Saya nggak tahan, akhirnya saya mengambil keputusan, `Tuhan, apa pun yang terjadi, aku tetap anak-Mu. Tuhan, saya terima pemberian-Mu ini.` Minggu berikutnya saya ke gereja."

Tak lama kemudian Bernad, mendapat sumbangan dua kaki palsu dari pundi amal SCTV dan gereja. Ia belajar berjalan dan juga naik motor dengan kaki palsunya. "Dulu beberapa orang menjanjikan pekerjaan untuk saya, tapi terus terang saja nggak ada yang menjadi kenyataan. Saya melamar ke mana-mana belum dapat. Susah juga mencari pekerjaan karena kaki begini."

Hidup Baru dengan Kaki Baru Hidup terus berjalan dan Bernad tidak bisa terus-menerus memikirkan kesedihan. Ia harus mencari jalan keluar bagi pekerjaannya. Punya pekerjaan tanpa proses lamaran yang "menyakitkan", tanpa penolakan karena cacat. Bernad pun terpikir usaha sendiri, dagang! Itu bukan pekerjaan baru baginya. Kala SMA, ia pernah berjualan koran. Ia juga pernah berjualan madu.

"Saya lalu menelepon yang punya madu, saya bilang kalau saya mau dagang lagi. Lalu beberapa waktu kemudian, saudara saya di Solo memodali makanan kering seperti abon, usus, cakar, lele, semuanya. Nah ..., seperti ini," kata Bernad sambil membuka boks plastik besar berisi aneka makanan. Teman saya di gereja juga membuat kacang goreng, biji ketapang, dan saya ikut menjualnya. Saya juga menjual majalah. Itulah pekerjaan saya keliling Jakarta dengan motor yang ada di depan itu. Sehari tak kurang menempuh 100 km," jelas Bernad sambil menunjuk motor di teras rumahnya.

Pernikahan yang Mengharukan Selain pekerjaan, yang mengganggu pikiran Bernad ketika diamputasi adalah kelanjutan hubungannya dengan Tri. "Keluarga besarnya keberatan kalau Tri menikah dengan saya. Yahhh ..., saya kan nggak seperti dulu. Saya cacat. Mereka tentu berpikir bagaimana saya bisa punya pekerjaan dengan keadaan seperti ini. Laki-laki kan kepala keluarga. Harus bisa memberi nafkah."

Cinta mereka pun diuji. Syukurlah, Tri dan orang tuanya tidak mempersoalkan kondisi Bernard. Situasi seperti itu toh bisa menimpa siapa saja. Lebih-lebih Tri melihat sendiri kejadian itu. "Lewat proses yang agak panjang, kami menikah. Wah ..., haru banget. Sekarang kami sedang berdoa supaya Tuhan kasih momongan," tutur Bernad tersenyum. Di Altar Gereja Khatolik Santa Anna, 9 Februari 2003, gereja tempat Bernard kehilangan sebagian kakinya, mereka mengucapkan janji nikah yang agung. Janji setia dalam suka dan duka, dalam miskin dan kaya, dalam sakit dan sehat, sampai maut memisahkan.

Bernard juga merasa sedang diuji, seberapa besar kasihnya pada Tuhan. Akankah gelombang hidup yang menerpanya dapat merobohkan imannya? Atau sebaliknya, ia semakin kokoh dengan kesulitan dan penderitaan yang dihadapinya? "Saya mau lebih mendekatkan diri sama Tuhan. Saya sering bilang dalam doa, `Aku ini anak-Mu. Apa pun yang terjadi, aku ini anak-Mu.` Saya tak akan lari dari Kristus. Saya berserah penuh pada-Nya."

Pesona Sang Juruselamat, Sang Penebus dari Nazaret telah terpatri di hati Bernad. Ia patut menjagainya sepanjang hidup.