BETA
Pernak-Pernik Perjodohan 2
Sumber: telaga
Id Topik: 292

Abstrak:

Kelanjutan dari T63A

Transkrip:

Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso bersama Ibu Idayanti Raharjo dari LBKK (Lembaga Bina Keluarga Kristen), telah siap menemani Anda dalam sebuah perbincangan dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling dan dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Kali ini kami akan berbincang-bincang tentang pernak-pernik perjodohan. Kami percaya acara ini akan sangat bermanfaat bagi kita semua, dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap
(1) GS : Pak Paul, beberapa waktu yang lalu kita sudah membicarakan tentang pernak-pernik perjodohan, tapi namanya pernak-pernik makin dibicarakan makin banyak yang muncul. Kelanjutan pembicaraan itu saya akan mulai dengan menanyakan salah satu pertanyaan dari pendengar. Pada masa pacaran atau menjelang pernikahan bahkan seseorang itu menjadi ragu-ragu, apakah ini jodohnya. Keraguan yang muncul yang sebenarnya tadinya tidak ada, apakah suatu hal yang normal atau sebenarnya tidak boleh terjadi, Pak Paul?

PG : Saya kira itu tergantung pada kapan munculnya keragu-raguan itu. Seyogyanya yang bagi saya lebih natural adalah pada waktu bertemu, awal-awal kita berpacaran yang seringnya terjadi adalah idak ada keraguan, kita berpikir inilah jodoh kita, dialah yang paling cocok dengan kita, ini pasti kehendak Tuhan dan sebagainya.

Namun setelah melewati fase pertama itu mungkin hanya berlangsung katakanlah 6 bulan pertama, seyogyanya setelah itu mereka mulai memasuki fase kedua. Fase kedua adalah fase yang justru timbul keragu-raguan karena disitulah mereka mulai menemukan bahwa mereka tidak sama dengan pasangan mereka dan pasangan mereka tidak bisa selalu mengerti diri mereka. Pada saat itu keragu-raguan biasanya muncul dan ini adalah hal yang justru kita harus terima sebagai suatu bagian dari masa berpacaran yang sehat. Namun kalau hubungannya memang kuat dan harmonis seyogyanya mereka mulai dapat menyelesaikan perbedaan-perbedaan tersebut, sehingga pada waktu memasuki fase ke 3 mereka justru merasakan banyak kecocokan. Sehingga pada masa yang saya sebut dengan fase ke 3 antara 6 bulan sampai setahun sebelum pernikahan, seharusnya mereka justru merasa damai dan lebih banyak tentramnya daripada keragu-raguan atau lebih banyak pertanyaan apakah ini pasangan untuk saya atau bukan, baru memasuki pernikahan. Dengan kata lain tergantung kapan munculnya keragu-raguan itu, kalau dari awal muncul, fase kedua muncul, fase ketiga bisa akhirnya lepas dan tentram itu lebih aman. Tapi yang celaka adalah fase pertama dan fase kedua misalnya tidak ada keragu-raguan, fase ketiga sebelum menikah penuh keragu-raguan, saya bisa menyimpulkan mereka belum siap menikah. Apakah jodoh mereka, apakah mereka cocok, tidak tahu pasti, tapi yang pasti adalah mereka belum siap menikah pada saat itu. Sebab seyogyanya kira-kira 6 bulan atau setahun sebelum pernikahan justru mereka merasakan mantap tidak ragu-ragu, tapi sekali lagi harus didahului oleh fase ragu-ragu itu, mempertanyakan karena munculnya perbedaan-perbedaan. Kalau perbedaan tidak muncul sama sekali saya cenderung skeptik, saya cenderung mempertanyakan kenapa tidak muncul, apakah terlalu disembunyikan sehingga tidak terbuka antara satu sama lain ataukah kalau muncul dihindarkan sehingga tidak pernah diselesaikan atau membutakan mata atau apa. Jadi saya cenderung mempertanyakan kalau tidak ada sama sekali keragu-raguan itu.
GS : Kalau Pak Paul tadi sebutkan fase-fase seperti itu, yang seringkali terjadi masa pacaran itu tidak selama yang Pak Paul sebutkan tadi fase-fasenya?

PG : Itu sebabnya saya memang berasumsi, tersirat dalam perkataan tadi, masa berpacaran jangan terlalu cepat dan jangan terlalu lama. Misalkan saya selalu berkata kalau mau minimum, orang itu brpacaran tidak boleh kurang dari setahun, tapi setahun bagi saya terus terang terlalu singkat, yang ideal menurut saya orang berpacaran itu sekurang-kurangnya 2 tahun sampai 3 tahun atau 4 tahun.

Tapi jangan pacaran terlalu lama, 15 tahun misalnya.
IR : 5 tahun juga ideal.

PG : Ya, sampai kira-kira 5 tahun itu baik.

(2) IR : Pak Paul, sebagai anak Tuhan apa boleh berganti-ganti pacar?

PG : Pertanyaan ini memang susah dijawab, apakah boleh kita ini berganti pacar sebagai anak Tuhan, otomatis kalau berganti-ganti terlalu sering tidak baik. Karena kita harus menyadari bahwa aka ada dampak perasaan-perasaan akan menjadi korban, jadi berganti-ganti sudah tentu saya kira jangan karena tidak baik.

Namun apakah boleh berganti pacar, boleh sebab justru pacaran adalah waktu untuk menentukan kecocokan atau ketidakcocokan kita. Jadi jangan sampai kita diikat secara tidak perlu karena sudah berpacaran satu kali dengan orang ini, kita harus bertanggung jawab, kita harus menikah dengan dia, tidak. Saya percaya kita harus mempunyai pikiran pada waktu kita berpacaran, kita memang mau menjalankan hubungan ini sampai ke mahligai pernikahan, jadi jangan sampai orang berpacaran dengan pikiran mau main-main saja, mau coba-coba saja. Sebab kita sedang berhubungan dengan orang atau manusia, dengan perasaannya, harga dirinya, reputasinya, semua itu akan terkait dalam hubungan berpacaran, jadi kita jangan sembarangan. Namun walaupun tadi saya katakan kita serius membawa pacaran ini sampai ke mahligai pernikahan, tidak berarti kita harus membelenggu diri kita. Jadi salah kalau orang berkata karena saya sudah berpacaran, saya sudah berjanji saya akan menikahi dia, saya sudah mencintai dia, tapi terus kita melihat tidak cocok tapi terus mempertahankan, itu juga salah. Jadi berganti-ganti pacar itu jangan, kalau berganti dan memang harus berganti silakan dan harus berani untuk berkata tidak cocok.
(3) GS : Mungkin juga pengertian pacaran itu seringkali orang melihat kalau kita sudah pergi berdua terus dengan seseorang yang tertentu. Orang mengatakannya mereka pacaran, padahal sebenarnya itu baru tahap perkenalan, saling mengenal tapi karena terlalu sering yang satu mau saja diajak pergi dan yang satu juga senang mengajak ke mana-mana, lalu timbul konsep pacaran. Nah sebenarnya pacaran itu sendiri seperti apa, Pak Paul?

PG : Saya memberikan fase-fase dari yang paling umum sampai akhirnya ke yang spesifik, berpacaran serius. Tahap pertama saya menganjurkan kita ini bergaul dengan luas, maka saya tidak setuju ank SMP, SMA berpacaran.

Kalau mau berpacaran setelah SMA, setelah memasuki usia dewasa karena pada saat itulah kebutuhan kita untuk mempunyai teman yang khusus, yang akrab baru mulai timbul. Sebelum itu pada masa SMP, SMA memang pada tahap pertumbuhan, kita memang telah didesain Tuhan untuk mampu berkawan secara banyak, silakan berkawan dengan luas agar bisa mengenal baik laki-laki maupun perempuan. Setelah itu kita mulai mengenal pasangan kita atau orang tersebut dalam kelompok kecil, jalinlah hubungan dengan dia namun dalam kelompok 2, 3, 4, sehingga kita mulai bersahabat dengan dia. Dan dari jarak kelompok ini kita mulai memantau siapa dia, mulai mengerti siapa dia, jadi kita mulai mencocok-cocokkan, bisakah kita cocok atau tidak dan ini yang penting dalam kelompok kecil itu kita menjalin persahabatan. Sebab saya sangat-sangat menekankan pentingnya menjadikan persahabatan sebagai pendahuluan masuk ke dalam masa berpacaran. Nah yang seringkali terjadi kebalikannya, sekarang cinta yang didahulukan. Baru nanti pusingkan persahabatan, yang tidak cocok akhirnya dicocok-cocokan, kita membuta-butakan mata karena sudah terlanjur cintanya, tertariknya, itu hal yang keliru. Jadi langkah pertama justru adalah persahabatan, nah itu dimulai dari kelompok kecil, setelah kita mengenal dia dengan lebih baik, menjadi sahabat dia dengan baik, mulailah persahabatan dengan dia secara pribadi. Pada tahap ini saya anjurkan untuk mengatakan langsung kepada pasangan itu, pada orang tersebut bahwa kita berminat kepada dia tapi kita tidak tahu apakah memang ini kehendak Tuhan, jadi kita ajak dia mulai berdoa dan tetapkan suatu jangka waktu, bagaimana selama 6 bulan kita saling mendoakan, saling mengenal. Dan setelah 6 bulan kita akan duduk bersama dan mengevaluasi apakah kita cocok, apakah engkau tetap mempunyai perasaan yang sama atau makin bertambah atau tidak. Kalau tidak kita harus dua-dua konsekuen berkata memang bukanlah kehendak Tuhan, kita akan berpisah baik-baik. Jadi memang ada kejelasan masa 6 bulan ini masa evaluatif, masa yang digunakan untuk menguji coba, setelah 6 bulan itu berlangsung dan kita merasakan makin cocok dua-dua bisa berkata sekarang kita tuntaskan kita memasuki masa berpacaran. Tentukan 2 tahun 3 tahun dimuka sebagai masa berpacaran kita, dalam masa berpacaran itu tetap dimungkinkan kita berpisah kalau memang tidak cocok. Tapi kita tahu ini adalah persiapan kita untuk memasuki pernikahan, nah nanti tahap terakhir barulah kita menikahi dia.
GS : Tapi problemnya selama orang mulai suka dengan lawan jenisnya, emosinya lebih besar daripada akal sehatnya, Pak Paul. Untuk bisa mencapai pada tahapan berpacaran itu, orang seharusnya menggunakan akal sehatnya. Bagaimana mempersiapkan orang yang belum memasuki masa pacaran itu, Pak?

PG : Di sinilah orang tua harus berperan, artinya sejak kecil orang tua sesungguhnya sudah harus mulai menanamkan benih-benih kriteria yang baik. Siapakah istri yang baik, apakah suami yang bai, kriteria-kriteria itu harus mulai kita tanamkan pada diri anak kita.

Kita akan katakan kita mau mereka menikah dengan sesama orang yang percaya, sesama orang yang dalam Tuhan Yesus. Inilah orang yang cocok, inilah orang yang baik dan sebagainya. Kita mulai tanamkan hal-hal seperti itu, sehingga anak-anak dari kecil mulai mempunyai konsep yang saya inginkan adalah yang seperti ini. Itu menolong sekali, waktu dia sudah dewasa dan dia mulai mendekati atau didekati oleh seseorang tidak bisa tidak, kriteria itu yang telah tertanam akan dihidupkan. Namun kalau Pak Gunawan bertanya tapi apakah mungkin anak-anak yang kita perlengkapi seperti itu, akhirnya bisa lupa sewaktu bertemu dengan yang disukai, itupun bisa dan memang terjadi, seperti "buta".
GS : Kecenderungannya mungkin bukan buta, Pak Paul tetapi pengaruh-pengaruh lingkungan yang dia terima dari temannya, kehidupan di luar yang dia lihat itu membuat dia bingung sebenarnya, Pak Paul. Tetapi tidak sempat atau tidak mau bertanya pada orang tuanya, lalu dia mengambil kesimpulan tersendiri bahwa ini yang terbaik buat dia.

PG : Betul, itu sebabnya kita sebagai orang tua harus mengakui dan menyadari bahwa kita mempunyai tugas tapi wewenang kita terbatas. Tugas kita orang tua adalah memberikan dan menanamkan benih-enih itu, namun orang tua pasti akhirnya sampai pada satu kesadaran bahwa wewenangnya terbatas.

Wewenang maksud saya adalah tangannya tidak cukup panjang untuk terus bisa mengatur perilaku dan keputusan anaknya. Pada satu titik orang tua harus mengatakan tanganku hanya bisa menjangkau sampai disini, setelah itu tanganku tidak bisa menjangkaumu. Wewenang kita berhenti di situ, pada waktu wewenang kita berhenti anak memang mempunyai kebebasan memilih sesuai dengan yang dia kehendaki dan adakalanya dia memilih orang yang tidak sesuai, yang keliru.
GS : Pak Paul, tadi katakan jangkauan orang tua itu terbatas ya, tetapi kenyataannya di dalam pernikahan seringkali campur tangan orang tua itu besar sekali untuk meneruskan pacaran itu sampai ke pernikahan atau membatalkannya. Sebetulnya bagaimana hal itu ditinjau dari segi Kekristenan?

PG : Saya percaya bahwa kita bertugas memberikan didikan, penjelasan, pengarahan, namun keputusan terakhir memang ada di tangan anak kita. Karena mereka adalah orang yang dewasa, jadi waktu ana kita mengambil keputusan yang sangat bertentangan dengan kehendak kita dan kita tahu ini bertentangan juga dengan kehendak Tuhan, saya rasa kita dan Tuhan dua-duanya akan bersedih hati.

Namun kita terpaksa bersikap seperti Tuhan yaitu membiarkan, sebab ini nanti adalah hidupnya dan tanggungjawab akan ada pada pundaknya.
GS : Itu kalau ditinjau dari segi orang tua, sekarang kalau kita tinjau dari segi anaknya, Pak Paul. Anak itu seringkali juga diteror oleh lingkungannya yang mengatakan itu permintaan ayahmu atau ibumu yang sudah tua, apakah kamu tidak mau memenuhi permintaan itu, apa sulitnya. Misalnya justru orang tua ini bukan memutuskan untuk menjodohkan dengan seseorang lain yang dia rasa tidak cocok, tetapi demi menuruti orang tuanya, menghormati orang tuanya, maka dia jalani saja.

PG : Sebisanya, saya ini tidak bisa terlalu dogmatik dalam hal ini , tapi saya menghimbau sebisanya anak itu mengambil keputusan tidak didasari semata-mata atas permintaan orang tua. Dia harus uga memikirkan masa depannya apakah memang cocok, tapi sekali lagi saya mau gariskan ini dalam rambu-rambu Kristiani ya.

Jadi tidak bisa anak berkata saya mau menikahi orang yang tidak cocok dengan saya dan juga tidak seiman, itu tidak boleh. Tapi yang saya maksud misalnya orang ini tidak cocok, tidak sesuai tapi orang tua terus bersikeras kita harus menikahi orang itu karena utang budi atau apa, saya kira anak seharusnya tetap berkata tidak. Karena nanti yang akan menanggung resiko pernikahan ini bukan orang tua tapi si anak.
IR : Juga sebaliknya Pak Paul, kalau anak itu juga sering diteror oleh teman-teman sekelilingnya kalau orang tuanya melarang seringkali juga lingkungan memaksa, kamu 'kan bukan anak mama?

PG : Bisa, jadi adakalanya memang kemandirian itu kalau tidak terwujud dengan penuh tanggung jawab akan melenceng jauh sekali karena dipengaruhi oleh lingkungan.

GS : Memang masih ada sisa-sisa tempo dulu mungkin Pak Paul, dimana orang tua selalu berkata Papa dan Mama dulu juga dijodohkan oleh kakek nenekmu, dan ternyata bisa harmonis, kenapa kamu tidak mau coba permintaan ini.

PG : Saya akan kembalikan pertanyaan itu atau komentar tersebut dengan pertanyaan, kalau Papa dan Mama dulu diberikan dua pilihan, satu ditentukan kedua menentukan sendiri, jodoh yang mana Pap Mama akan pilih? Ditentukan atau menentukan sendiri, bukankah orang tua akan berkata, "ya sebetulnya kalau bisa menentukan sendiri."

(4) GS : Nah sebenarnya, Pak Paul dalam hal hubungan ini yang tadi orang tua mencarikan jodoh dan tidak cocok itu, sebenarnya apakah memang ada tipe kepribadian yang memang tidak cocok kalau mereka menikah, Pak Paul?

PG : Saya akan memberikan beberapa panduan karakteristik orang-orang yang cocok untuk menikah. Yang pertama adalah kita menikahi orang yang kita hormati, jadi jangan sampai kita ini menikah denan seseorang yang tidak kita hormati, tidak kita segani, sebaliknya kita harus menjadi orang yang disegani, dihormati oleh pasangan kita.

Kedua kita menikahi dengan orang yang kita percayai, dia tidak akan menyeleweng, menipu. Kalau kita tidak mempunyai rasa percaya itu jangan nikah, sebaliknya kita pun harus jadi orang yang dipercayai oleh pasangan kita. Yang ketiga, kita harus menikahi orang yang kita cintai, jadi orang itu layak dan dapat dicintai, dalam bahasa Inggrisnya orang itu mempunyai karakteristik yang "lovable". Yang kita kagumi yang membuat kita sayang kepada dia, sebaliknya kita juga harus menjadi orang yang layak dicintai yang lovable bagi pasangan kita. Berikutnya kita menikahi orang yang siap untuk meninggalkan kehidupan lajangnya, artinya kita harus menikahi orang yang memang siap untuk terikat. Ada orang yang berkata saya siap menikah, tapi tidak siap mengakhiri hidup lajangnya, masih mau pergi sembarangan, malam baru pulang dan tidak bisa ditegur oleh pasangannya, berkata ini hidup saya, orang itu belum siap mengakhiri hidup lajangnya, jangan nikahi orang seperti itu. Berikutnya kita menikahi orang yang siap berkeluarga artinya kalau mengakhiri hidup lajang tadi, siap menjadi suami dan istri, ini artinya siap menjadi ayah atau ibu. Ya artinya orang yang siap menjadi ayah dan ibu, adalah orang yang siap membagi dan mengorbankan hidupnya. Kalau orang pelit mengorbankan hidupnya, waktunya, dirinya untuk orang lain dia belum siap menjadi ayah atau ibu, dia belum siap berkeluarga. Jadi satu karakteristik yang penting dalam berkeluarga adalah siap untuk mengorbankan diri, jadi kita nikahi orang yang siap berkeluarga. Dan yang terakhir kita menikahi orang yang fleksibel, orang yang artinya bersedia menyesuaikan diri dengan perubahan, jangan kita menikahi orang yang kaku, yang tidak bersedia berubah meskipun keadaan sudah menuntutnya. Dalam segala hal dia mengharapkan orang lain yang berubah sesuai dengan keadaan atau tuntutan dia, kita akan kesulitan menikah dengan orang yang tidak fleksibel. Jadi kita ingat-ingatlah panduan-panduan tersebut dalam memilih pasangan hidup kita.
GS : Kalau perbedaan karakteristik atau kepribadian seseorang seperti yang sanguin dengan melankolik, itu semuanya masih bisa cocok ya Pak Paul?

PG : Semuanya masih bisa cocok asalkan memang kita ini bisa menerima bahwa ada hal-hal yang kita akan sulit kita terima karena perbedaan itu, tapi bisa dicocokkan. Nah misalkan kita senang dengn orang yang plegmatik karena apa kita katakan, dia orang yang mantap, tenang tidak terpengaruh keadaan.

Kita menikah dengan dia 5 tahun kemudian setelah menikah kita mengatakan capek menikah dengan dia, dia tidak peduli, tidak mau tahu orang, jadi karakteristik yang kita kagumi seringkali setelah menikah berubah menjadi karakteristik yang mengganggu atau menjengkelkan kita.
GS : Nah Pak Paul, itu semua membutuhkan kematangan di dalam diri seseorang ya, walaupun bukan sebuah pedoman yang mati tetapi sebagai macam pedoman. Tadi Pak Paul katakan setelah SMA seseorang itu baik untuk mulai berpacaran dan sebagainya. Kenyataannya sekarang itu lebih dini dari itu, jadi misalnya SMP akhir itu sudah mulai pacaran, sebenarnya pengaruhnya itu di mana, Pak?

PG : Kalau dia berpacaran pada usia dini, pertama-tama dia akan kehilangan kesempatan bergaul dengan lebih luas karena berpacaran itu menuntut energi, waktu, hanya diberikan pada satu orang. Jai dia kehilangan kesempatan bergaul dan mengenal orang lebih banyak lagi.

Yang kedua adalah pertumbuhannya sendiri pun akan terganggu karena pergaulan yang luas memperkaya jiwa kita. Sejak dini kita sudah berpacaran berarti jiwa kita tidak bisa bertumbuh dengan luas, akan terikat atau akan terbatasi.
GS : Tapi sebaliknya Pak Paul, kalau ada orang yang mulai pacaran sudah agak lanjut itu sekarang sudah mulai banyak Pak Paul, karena kesibukan masing-masing merintis karier di beberapa negara. Mereka sebetulnya dapat dikatakan berpacaran sudah agak terlambat. Sebenarnya apa itu pengaruhnya, Pak Paul?

PG : Dari segi kematangan memang kita berkata orang yang memulai berpacarannya pada usia yang sudah 30-an ke atas ya, akan lebih matang pertimbangan-pertimbangannya, saya setujui. Tapi yang say takuti adalah unsur-unsur pertimbangan rasional itu akan bisa mengalahkan kespontanannya, spontanitas cinta karena segalanya itu terlalu dipikirkan secara seolah-olah bisnis, keuntungannya, kerugiannya itu yang menjadi motivasi terutama di dalam membina hubungan berpacaran ini.

Jadi saya kira kalau terlalu tua juga tidak baik.
GS : Memang ini menjadi masalah yang timbul karena lingkungan masing-masing juga, Pak Paul; jadi sebelum kita mengakhiri pembicaraan kita pada kali ini, mungkin Pak Paul akan sampaikan ayat firman Tuhan?

PG : Saya akan mengacu kepada tadi yang Pak Gunawan katakan, bahwa Ibu Ida tadi juga singgung yaitu adakalanya anak-anak kita meskipun sudah tahu firman Tuhan namun setelah tergila-gila dengan eseorang akhirnya kehilanganlah pegangan yang sebetulnya dia sudah miliki.

Firman Tuhan di Amsal 31:30 mengingatkan "kemolekan adalah bohong dan kecantikan adalah sia-sia, tetapi istri yang takut akan Tuhan dipuji-puji." Saya boleh membaliknya untuk yang pria disini ya, kegantengan adalah bohong dan ketampanan adalah sia-sia, tetapi suami yang takut akan Tuhan dipuji-puji. Jadi sekali lagi jangan kita dibutakan oleh penampilan fisik, kita harus pegang yang paling penting yaitu carilah istri atau suami yang takut akan Tuhan.
GS : Saya percaya sekali Pak Paul bahwa masih ada banyak pendengar kita yang mempunyai banyak pertanyaan, melalui kesempatan ini mungkin kita bisa mengundang mereka untuk menyampaikan pertanyaan saran dan sebagainya kepada kita dan mungkin kita bisa bahas lagi pada kesempatan yang akan datang.

Jadi demikianlah tadi para pendengar yang kami kasihi, kami telah persembahkan kehadapan Anda sebuah perbincangan dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja melanjutkan perbincangan tentang pernak-pernik perjodohan. Dan bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK Jl. Cimanuk 58 Malang, saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami harapkan. Dan dari studio kami mengucapkan terima kasih.END_DATA


Ringkasan:

Keraguan yang muncul pada saat menjelang pernikahan dibagi dalam beberapa fase:

  1. Fase pertama, yaitu pada awal kita bertemu dan berpacaran, seyogyanya yang lebih natural sering terjadi adalah tidak ada keraguan, kita berpikir inilah jodoh kita, dialah yang paling cocok dengan kita, ini pasti kehendak Tuhan dsb.

  2. Fase kedua adalah fase di mana justru timbul keragu-raguan karena di situlah mereka mulai menemukan bahwa mereka tidak sama dengan pasangan mereka, dan pasangan mereka tidak bisa selalu mengerti diri mereka. Pada saat itu keragu-raguan biasanya muncul dan itu hal yang baik, ini adalah hal yang justru kita harus terima sebagai suatu bagian dari masa berpacaran yang sehat.

  3. Fase ketiga antara 6 bulan sampai setahun sebelum pernikahan, seharusnya mereka justru merasa damai dan lebih banyak tenteramnya daripada keragu-raguan.

Fase-fase berpacaran dari yang paling umum sampai yang spesfik:

  1. Pertama, saya ini menganjurkan kita ini bergaul dengan luas, maka saya tidak setuju anak SMP atau SMA berpacaran.

  2. Setelah itu kita mulai mengenal pasangan kita atau orang tersebut dalam kelompok kecil, jalinlah hubungan dengan dia namun dalam kelompok 2, 3, 4, sehingga kita mulai bersahabat dengan dia.

  3. Setelah kita mengenal dia dengan lebih baik, menjadi sahabat dia dengan baik, dalam kelompok kecil baru kita mulai persahabatan dengan dia secara pribadi. Kita ajak dia mulai berdoa dan tetapkan suatu jangka waktu, bagaimana selama 6 bulan kita saling mendoakan, saling mengenal.

  4. Setelah 6 bulan kita akan duduk bersama dan mengevaluasi apakah kita cocok, apakah engkau tetap mempunyai perasaan yang sama atau makin bertambah atau tidak.

  5. Setelah masa itu berlangsung dan kita merasakan makin cocok, dua-dua bisa berkata OK…..sekarang kita tuntaskan kita memasuki masa berpacaran.

Di sinilah orang tua harus berperan, artinya sejak anak kecil orang tua sesungguhnya sudah harus mulai menanamkan benih-benih kriteria yang baik. Siapakah istri yang baik, apakah suami yang baik, kriteria-kriteria itu harus mulai kita tanamkan pada diri anak kita. Sebagai orang tua kita harus mengakui bahwa kita mempunyai tugas, tapi wewenang kita terbatas, ini kita harus sadari.

Beberapa panduan karakteristik orang-orang yang cocok untuk menikah:

  1. Kita menikahi orang yang kita hormati, jadi jangan sampai kita menikah dengan seseorang yang tidak kita hormati atau tidak kita segani. Sebaliknya kita pun harus jadi orang yang disegani, dihormati oleh pasangan kita.

  2. Kita menikahi orang yang kita percayai, demikian juga sebaliknya kita pun harus jadi orang yang dipercayai oleh pasangan kita.

  3. Kita harus menikahi orang yang kita cintai, orang yang layak dan dapat dicintai, orang yang mempunyai karakteristik "lovable" yang kita kagumi, yang membuat kita sayang kepada dia. Sebaliknya demikian juga kita harus menjadi orang yang "lovable."

  4. Kita menikahi orang yang siap untuk meninggalkan kehidupan lajangnya. Artinya kita harus menikahi orang yang memang siap untuk terikat.

  5. Kita menikahi orang yang siap berkeluarga. Artinya siap menjadi suami-istri, siap menjadi ayah atau ibu. Orang yang siap menjadi ayah dan ibu, orang yang siap membagi dan mengorbankan hidupnya.

  6. Kita menikahi orang yang fleksibel atau orang yang bersedia menyesuaikan diri dengan perubahan.

Amsal 31:30 mengingatkan "Kemolekan adalah bohong dan kecantikan adalah sia-sia, tetapi istri yang takut akan Tuhan dipuji-puji." Saya coba balik untuk yang pria di sini, kegantengan adalah bohong dan ketampanan adalah sia-sia, tetapi suami yang takut akan Tuhan dipuji-puji. Jadi sekali lagi jangan kita ini dibutakan oleh penampilan fisik, kita harus pegang prinsip yang paling penting, yaitu carilah istri atau suami yang takut akan Tuhan.


Questions:

GS : Kalau Pak Paul tadi sebutkan fase-fase seperti itu, yang seringkali terjadi masa pacaran itu tidak selama yang Pak Paul sebutkan tadi fase-fasenya?

GS : Tapi problemnya selama orang mulai suka dengan lawan jenisnya, emosinya lebih besar daripada akal sehatnya, Pak Paul. Untuk bisa mencapai pada tahapan berpacaran itu, orang seharusnya menggunakan akal sehatnya. Bagaimana mempersiapkan orang yang belum memasuki masa pacaran itu, Pak?

GS : Kecenderungannya mungkin bukan buta, Pak Paul tetapi pengaruh-pengaruh lingkungan yang dia terima dari temannya, kehidupan di luar yang dia lihat itu membuat dia bingung sebenarnya, Pak Paul. Tetapi tidak sempat atau tidak mau bertanya pada orang tuanya, lalu dia mengambil kesimpulan tersendiri bahwa ini yang terbaik buat dia.

GS : Pak Paul, tadi katakan jangkauan orang tua itu terbatas ya, tetapi kenyataannya di dalam pernikahan seringkali campur tangan orang tua itu besar sekali untuk meneruskan pacaran itu sampai ke pernikahan atau membatalkannya. Sebetulnya bagaimana hal itu ditinjau dari segi Kekristenan?

GS : Itu kalau ditinjau dari segi orang tua, sekarang kalau kita tinjau dari segi anaknya, Pak Paul. Anak itu seringkali juga diteror oleh lingkungannya yang mengatakan itu permintaan ayahmu atau ibumu yang sudah tua, apakah kamu tidak mau memenuhi permintaan itu, apa sulitnya. Misalnya justru orang tua ini bukan memutuskan untuk menjodohkan dengan seseorang lain yang dia rasa tidak cocok, tetapi demi menuruti orang tuanya, menghormati orang tuanya, maka dia jalani saja.

GS : Memang masih ada sisa-sisa tempo dulu mungkin Pak Paul, dimana orang tua selalu berkata Papa dan Mama dulu juga dijodohkan oleh kakek nenekmu, dan ternyata bisa harmonis, kenapa kamu tidak mau coba permintaan ini.

GS : Kalau perbedaan karakteristik atau kepribadian seseorang seperti yang sanguin dengan melankolik, itu semuanya masih bisa cocok ya Pak Paul?

GS : Nah Pak Paul, itu semua membutuhkan kematangan di dalam diri seseorang ya, walaupun bukan sebuah pedoman yang mati tetapi sebagai macam pedoman. Tadi Pak Paul katakan setelah SMA seseorang itu baik untuk mulai berpacaran dan sebagainya. Kenyataannya sekarang itu lebih dini dari itu, jadi misalnya SMP akhir itu sudah mulai pacaran, sebenarnya pengaruhnya itu di mana, Pak?

GS : Tapi sebaliknya Pak Paul, kalau ada orang yang mulai pacaran sudah agak lanjut itu sekarang sudah mulai banyak Pak Paul, karena kesibukan masing-masing merintis karier di beberapa negara. Mereka sebetulnya dapat dikatakan berpacaran sudah agak terlambat. Sebenarnya apa itu pengaruhnya, Pak Paul?

GS : Memang ini menjadi masalah yang timbul karena lingkungan masing-masing juga, Pak Paul; jadi sebelum kita mengakhiri pembicaraan kita pada kali ini, mungkin Pak Paul akan sampaikan ayat firman Tuhan?

GS : Saya percaya sekali Pak Paul bahwa masih ada banyak pendengar kita yang mempunyai banyak pertanyaan, melalui kesempatan ini mungkin kita bisa mengundang mereka untuk menyampaikan pertanyaan saran dan sebagainya kepada kita dan mungkin kita bisa bahas lagi pada kesempatan yang akan datang.