Bagi yang Sedang Berpacaran
Sumber: artikel_c3i
Id Topik: 2896
Setiap orang yang berpacaran cepat atau lambat harus mengambil keputusan! Pada umumnya dilema yang dihadapi sama, yakni memastikan bahwa kekasih kita adalah pasangan hidup kita yang tepat. Nah, memastikan inilah yang sering kali menjadi masalah, sebab adakalanya hari ini kita merasa yakin, besoknya malah merasa bingung. Untuk mereka yang sedang berpacaran dan termasuk dalam kategori "ya-bing" (ya yakin, ya bingung), di bawah ini ada beberapa butir petunjuk yang mudah-mudahan bermanfaat.
PERTAMA, nikahilah seseorang yang mengasihi Tuhan. Mungkin ada sebagian Saudara yang berteriak, "Saya tidak setuju! Orang tua saya adalah orang Kristen, namun pernikahan mereka tidak harmonis." Kepada Saudara yang berkata demikian, saya menjawab, "Saya setuju dengan keberatan Saudara!" Tidak dapat dimungkiri, di dunia ini ada pernikahan Kristen yang harmonis, namun ada pula yang tidak harmonis. Pernikahan bukan hanya berkaitan dengan hal surgawi, pernikahan juga merupakan ajang di mana hal yang surgawi dijelmakan dalam interaksi dengan sesama manusia. Di sinilah kita bergumul karena kita tidak senantiasa hidup dalam kehendak Tuhan yang menekankan pentingnya hidup damai satu sama lain.
Namun demikian, izinkan saya sekarang menjelaskan pandangan saya ini. Dalam 1 Korintus 7:39, Rasul Paulus menyampaikan firman Tuhan kepada para istri yang suaminya telah meninggal, "... ia bebas kawin dengan siapa saja yang dikehendakinya, asal orang itu adalah seorang yang percaya." Menikah dengan sesama orang yang percaya kepada Tuhan Yesus adalah kehendak Tuhan sendiri. Dengan kata lain, unsur ketaatan memang diperlukan untuk hidup sesuai dengan kehendak-Nya.
Selain itu, pilihlah pasangan hidup yang bukan sekedar mengaku bahwa ia seorang Kristen, melainkan seseorang yang mengasihi Tuhan dengan segenap hati, jiwa, dan akal budinya. Saya dan Santy (istri saya) tidak berani mengklaim bahwa kami senantiasa mengasihi Tuhan dengan segenap hati, jiwa, dan akal budi. Namun, kami berani berkata bahwa kami berupaya untuk senantiasa mengasihi (mengutamakan) Tuhan dengan segenap hati, jiwa, dan akal budi. Tatkala saya memintanya untuk kembali ke Indonesia, ia mengalami pergumulan yang berat (adakalanya masalah ini masih mencuat sampai sekarang) sebab situasi kami saat itu sudah lebih berakar di Amerika Serikat. Secara manusiawi, kedua pandangan ini sukar ditemukan karena kami berdua tidak mau sembarangan menggunakan nama Tuhan untuk mengesahkan keinginan pribadi masing-masing. Faktor mengasihi Tuhanlah yang akhirnya menyelesaikan masalah ini. Berbekal keinginan dan tekad untuk hidup menyenangkan hati Tuhan, Santy memutuskan untuk pulang mendampingi saya.
Hati yang rindu menyenangkan hati Tuhan, yang keluar dari kasih kita kepada-Nya adalah faktor pertama yang harus dimiliki oleh pasangan kita (sudah tentu oleh kita pula). Keharmonisan dalam pernikahan bergantung pada kemampuan kita menyesuaikan diri satu sama lain. Kemampuan kita menyesuaikan diri tidaklah terlepas dari keinginan untuk menyesuaikan diri; sedangkan keinginan untuk menyesuaikan diri sering kali harus timbul dari ketaatan kita pada Tuhan.
KEDUA, nikahilah seseorang yang mengasihi diri Saudara. Pasti ada di antara Saudara yang bergumam, "Sudah pasti ia mengasihi saya, kalau tidak, mana mungkin ia bersedia menjadi pacar saya sekarang." Komentar saya untuk tanggapan Saudara adalah, "ya dan tidak", dalam arti tergantung pada pemahaman kita akan makna kasih itu sendiri. Dalam salah satu episode kisah "Return of The Condor Heroes", si Gadis Naga Kecil berkata kepada Yoko, "Asalkan aku dapat bersamamu, aku akan bahagia." (Saya tidak ingat secara persis kalimatnya, tapi kira-kira itulah intinya). Sudah tentu ungkapan seperti ini adalah salah satu akibat dari perasaan kita tatkala sedang mengasihi seseorang. Namun, ungkapan ini sekali-kali bukanlah kasih itu sendiri.
Saya akan menjelaskan apa yang saya maksudkan. Bedakanlah kedua makna pernyataan ini. Pertama, "Karena saya mengasihimu, maka saya ingin hidup bersamamu." Kedua, "Saya ingin hidup bersamamu, oleh sebab itu pastilah saya mengasihimu." Kedua kalimat ini tidaklah sama meskipun secara sepintas terdengar serupa. Kalimat pertama menunjukkan bahwa keinginan hidup bersama timbul dari kasih; jadi kasih dahulu setelah itu baru muncul keinginan untuk hidup bersama. Kalimat kedua memperlihatkan bahwa keinginan hidup bersama mendahului kasih dan kasih seolah-olah dianggap pasti ada, oleh karena adanya keinginan hidup bersama.
Menurut saya, yang sehat adalah yang pertama. Kita mengasihi seseorang dan karena mengasihinya, kita mulai berhasrat untuk hidup bersamanya dalam mahligai pernikahan. Namun jika kita tidak berhati-hati, kita bisa terperangkap dalam kesalahpahaman yang berkaitan dengan kalimat kedua tadi. Kita bisa saja ingin hidup bersama dengan seseorang, misalnya karena ia membuat kita bahagia. Sebelum kehadirannya, hidup kita bak awan mendung dirundung kekecewaan. Setelah kita bertemu dengannya, hidup kita ceria ibarat rumput yang diselimuti embun pagi. Reaksi seperti ini tidak selalu salah, tetapi apabila tidak mawas diri, kita bisa berpikir bahwa kita mengasihi seseorang, padahal yang terjadi adalah kita senang berada di dekatnya sebab ia berhasil memenuhi kebutuhan kita atau membawa perubahan tertentu dalam hidup kita. Saya kira ini bukan kasih.
Kasih, sebagaimana yang diajarkan oleh Tuhan kita, dapat disarikan dalam satu kalimat, "Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal ...." (Yohanes 3:16) Dengan kata lain, kasih bersifat mengutamakan kebutuhan atau kepentingan orang lain, sebagaimana Tuhan Allah mengaruniakan Anak-Nya agar kita dapat menikmati hidup yang bebas dari kuasa dan kutukan dosa. Jadi, nikahilah seseorang yang mengasihi kita, yang bersedia berkorban demi kebutuhan dan kepentingan kita. Kasihnya kepada kita diwujudkan dalam kerelaannya mengutamakan kita, sekurang-kurangnya ia berusaha untuk melakukannya meskipun tidak sempurna. (Tidak usah saya tekankan lagi, sudah tentu kita pun harus menjadi orang yang mengasihi dia seperti itu pula, baru kita layak mengharapkan kasih yang serupa).
KETIGA, nikahilah seseorang yang dapat mengasihi dirinya. Secara sepintas, saran ini bertentangan dengan butir kedua tadi. Bukankah kalau kita mengutamakan kepentingan orang lain, hal itu berarti kita mengesampingkan kepentingan pribadi? Betul, kita harus dapat mengesampingkan kepentingan diri dahulu baru bisa mengasihi seseorang sedemikian rupa, namun ini tidak berarti bahwa kita menjadi orang yang tidak mengasihi diri kita sendiri. Mengasihi diri hanya dimungkinkan apabila kita telah mengenal siapa kita dan tidak berkeberatan menerima diri apa adanya. Mengasihi diri hanya dapat muncul apabila kita sudah memiliki konsep yang jelas dan tepat akan siapa kita serta memandang diri dengan "kacamata" yang positif. Mengasihi diri berarti mengutamakan kepentingan dan kebutuhan diri; dengan kata lain, menganggap diri cukup berharga untuk diperhatikan dan dipenuhi kebutuhannya.
Butir kedua dan ketiga harus berdampingan; apabila tidak, timbullah masalah yang serius dalam pernikahan. Seseorang yang hanya mengutamakan kebutuhan orang lain tanpa menghiraukan kebutuhannya sendiri mungkin sekali adalah seseorang yang belum memiliki kepribadian yang mantap. Sebaliknya, seseorang yang mengutamakan kepentingannya belaka ialah seseorang yang egois dan serakah. Keseimbangan antara mengutamakan orang lain dan mengutamakan diri sendiri memang harus dijaga dengan hati-hati. Namun, yang jelas orang yang dapat menghargai dirinya barulah bisa menjadi orang yang menghargai orang lain. Tanpa penghargaan diri, penghargaan kita terhadap orang lain merupakan kewajiban semata-mata atau keluar dari rasa kurang aman.
Pada awal pernikahan kami, Santy dan saya juga terjebak dalam perangkap "hanya mengutamakan kebutuhan yang lain". Ternyata sikap seperti ini tidak dapat bertahan lama, karena kebutuhan dan kepentingan kami masing-masing tidak bisa dikesampingkan terus menerus. Sampai pada suatu titik, kami harus lebih vokal menyuarakan apa yang menjadi kebutuhan kami. Setelah itu kami pun harus dan baru bisa belajar memenuhi kebutuhan satu sama lain secara lebih terarah. Apabila kita tidak mengomunikasikan kebutuhan kita dengan jelas, bagaimana mungkin pasangan kita memenuhinya dengan tepat pula?
Ketiga butir ini sesungguhnya merupakan penguraian dari perintah agung Tuhan kita, "Kasihilah Tuhan Allahmu dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu. Itulah hukum yang terutama dan yang pertama. Dan hukum yang kedua, yang sama dengan itu ialah: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri." (Matius 22:37-39) Singkat kata, nikahilah seseorang yang hidup dalam perintah dan firman Tuhan yang agung ini. Barulah setelah itu kita dapat menikmati pernikahan yang agung.
Sumber diedit dari: | ||
Judul Buletin | : | Parakaleo, Vol.2/2 April-Juni 1995 |
Penulis | : | Pdt. Dr. Paul Gunadi, Ph.D. |
Penerbit | : | STTRII |
Halaman | : | 1 - 3 |