BETA
Tetap Bermakna dalam Kesendirian
Sumber: telaga
Id Topik: 282

Abstrak:

Hidup dalam kesendirian memang tidak mudah, tetapi tiada sesuatupun yang terjadi tanpa sepengetahuan Allah. Ada hal-hal yang dapat kita lakukan di dalam kesendirian kita untuk tetap bermakna, jangan berpikir selama-lamanya tunas itu tidak akan pernah muncul yang baru, bersama dengan Tuhan kita dapat memunculkan tunas yang baru.

Transkrip:

Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso bersama Ibu Idajanti Raharjo dari LBKK (Lembaga Bina Keluarga Kristen), telah siap menemani Anda dalam sebuah perbincangan dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling dan dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Kali ini kami akan berbincang-bincang tentang "Tetap Bermakna dalam Kesendirian". Kami percaya acara ini akan sangat bermanfaat bagi kita semua, dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap

PG : Pak Gunawan dan Ibu Ida, kita ini cenderung mempersiapkan diri untuk berdua, itu yang dilakukan oleh para pemuda-pemudi dan memang itu adalah hal yang baik. Tapi kita kurang mempersiapkan iri untuk hidup sendiri, nah ada perbedaan yang besar antara dari dulu hidup sendiri alias lajang dan kita pernah hidup berdua dengan pasangan kita suami atau istri namun karena satu hal atau yang lainnya kita harus hidup sendiri lagi.

Nah yang hidup sendiri dari mula lajang itu tentu harus mempersiapkan hidupnya, tapi adakalanya orang yang dulu hidup berdua terpaksa hidup sendiri, adakalanya tidak siap untuk menghadapi status yang berbeda itu. Nah ternyata dalam kesendirian orang itu mengalami problem-problem yang berkecamuk dalam hidupnya. Pada siaran yang lampau kita telah membahas bahwa adakalanya orang merasakan penyesalan yang dalam atau merasa bersalah dengan kepergian pasangan hidupnya itu. Seolah-olah dia bertanggung jawab atas kematian atau malapetaka yang menimpa pasangannya. Tapi selain dari rasa bersalah yang juga akan kita fokuskan saat ini ialah rasa marah, rasa marah itu ternyata juga sering muncul pada diri yang ditinggalkan. Ada beberapa sumber kemarahannya, yang pertama adalah kalau hubungan suami-istri itu lumayan baik, kemudian seseorang meninggal dunia ada kemungkinan yang ditinggalkan merasa marah karena dia berpikir kenapa engkau tega meninggalkan aku sendirian. Nah di sini yang terjadi adalah sisi yang ekstrim dari yang pertama, kalau menyesal atau merasa bersalah itu berarti kita menimpakan semua tanggung jawab pada diri kita, seakan-akan kitalah yang mampu untuk mencegah peristiwa tersebut supaya tidak menimpanya. Di sini kita melakukan ekstrim yang satunya yaitu kita beranggapan bahwa pasangan kita itu seharusnya sudah tahu dan seharusnya bisa mencegah malapetaka itu menimpanya. Dengan kata lain, seharusnya engkau tidak mati dulu karena engkau mampu untuk mencegah kematian itu, nah ini terjadi misalkan pada pasangan hidup yang meninggal karena kematian mendadak, tidak diduga-duga. Kenapa engkau masih pergi juga, engkau tahu kamu sedang sakit, kenapa engkau masih makan sembarangan, engkau tahu 'kan engkau sakit. Nah semua itu akan dilihat sebagai engkau memang sengaja ingin meninggalkan aku, nah sudah tentu kita sekarang dalam bincang-bincang ini bisa berkata yaitu pikiran irrasional. Tepat sekali sangat irrasional dan sama irrasionalnya dengan seolah-olah semua tanggung jawab kita. Nah di sini kita bisa melihat dalam menghadapi kehilangan karena kematian terutama kita memang cenderung bersifat atau bersikap irrasional, dari satu kubu ke kubu yang lainnya.
GS : Apakah itu sebenarnya bisa dihindari, Pak Paul?

PG : Dihindari dengan cara kita benar-benar mengakui bahwa hidup ini di tangan Tuhan, jadi seseorang ini mesti berpegang teguh pada pengertian yang tepat tentang Tuhan. Tuhanlah yang berdaulat tas kehidupan manusia meskipun seolah-olah kita beranggapan peristiwa malapetaka itu dapat dihindarkan, namun sesungguhnya dalam rencana Tuhan memang itu harus terjadi.

GS : Jadi gejolak itu sifatnya sementara saja Pak Paul, tidak menetap dalam diri orang itu?

PG : Gejolak dalam pengertian penyesalan, kemarahan itu biasanya ya, biasanya hanya berlangsung beberapa bulan setahun, dua tahun setelah peristiwa itu terjadi. Tapi seperti saya singgung pada iaran yang lampau kalau hidup kita tidak membaik malahan menjadi lebih buruk, nah rasa penyesalan atau rasa marah terhadap pasangannya juga susah surut meskipun hubungan kita lumayan baik.

Sebab kita akan merasakan kenapa engkau tega meninggalkan, karena engkau tidak senang hati makanya engkau akhirnya mengalami peristiwa ini.
GS : Selain penyesalan dan kemarahan itu tadi Pak Paul, apakah ada perasaan yang lain?

PG : Yang lain adalah kita merasa marah karena kita mempersalahkan dia sebagai penyebab penderitaan kita. Nah ini sedikit berbeda dari yang pertama, kalau yang pertama kita ini menyesali dan measa marah karena kenapa dia tega, dia tidak melihat diriku, tidak memikirkanku, tega-teganya meninggalkanku sendirian, seolah-olah nasib di tangan pasangannya.

Yang berikutnya adalah kita ini terus terang akhirnya mengalami banyak kesusahan, nah ini bisa dialami baik yang kehilangan pasangan karena kematian atau karena perceraian. Nah yang biasa terjadi adalah kesusahanlah yang memancing rasa marah itu, penderitaan karena perpisahan tersebut yang membuat kita merasa susah hidup, nah sekali lagi bisa kematian, bisa juga karena perceraian. Kalau perceraian, anak-anak kita makin besar, makin melawan, memprotes kita, kita makin kesulitan mengendalikan perilaku mereka, nah ini membuat kita makin jengkel atau kita akhirnya harus bekerja banting tulang sedangkan pasangan kita kok sedang memperhatikan tanggung jawabnya, kita diamuk oleh kemarahan pasangan kita itu.
GS : Biasanya orang marah itu ada obyek yang dia marahi, nah kalau dalam kasus seperti itu kepada siapa dia harus marah Pak Paul, atau bagaimana dia itu mengekspresikan kemarahannya itu?

PG : Nah kalau dalam kasus seperti ini dan dia itu mempunyai anak Pak Gunawan, yang menjadi sasaran kemarahannya pasti anak-anaknya. Kalau dia harus tinggal bersama orang tuanya kembali kemungknan besar yang menjadi amuk amarahnya adalah orang tuanya.

Jadi dalam hal ini siapa saja yang ada di dekatnya itu bisa menjadi target kemarahannya, itu sebabnya ini yang terjadi pada orang yang harus membesarkan anak-anaknya sendiri, baik akibat perceraian atau akibat kematian. Dia harus bekerja keras, sehingga waktu dia pulang ke rumah, dia sudah sangat letih, misalnya anak belajarnya kurang serius atau apa, kenakalan yang sebetulnya wajar. Tapi karena hidup si ibu atau si bapak itu begitu tertekan karena harus menanggung hidup sendiri, dia akan melampiaskan kemarahannya pada si anak. Sehingga si anak justru merasakan orang tuanya itu lebih ganas atau lebih buruk daripada sebelumnya, nah ini kadang kala sering terjadi. Yang lainnya lagi Bu Ida dan Pak Gunawan, kemarahan itu sering kali muncul pada diri orang yang sewaktu masih bersama pasangannya menjadi korban, menjadi sasaran, amuk amarah si pasangannya sekarang sudah meninggalkannya. Dulu waktu dia masih tinggal serumah, dia tidak berkuasa untuk mengekspresikan kemarahannya, mungkin karena takut, karena terlalu tertekan, karena dia marah, kalau dia marah makin dipukuli misalnya, atau makin dicaci maki oleh pasangannya. Jadi dia harus menyimpan kemarahannya itu dalam hatinya, sekarang dia tidak lagi tinggal serumah dengan pasangannya, baik karena kematian atau perceraian. Tiba-tiba kemarahan yang dulu terpendam akibat menjadi sasaran, amuk amarah pasangannya muncul, muncul sehingga dia menjadi seorang yang pemarah sekali. Nah sekali lagi kalau menjawab pertanyaan Pak Gunawan siapa yang menjadi sasaran amarahnya ya orang yang dekat dengan dia baik anak-anak atau siapa saja. Sebab apa, sebab kebenciannya itu tiba-tiba dibolehkan muncul, dulu tidak dibolehkan muncul karena tidak dimungkinkan pasangannya yang lebih bertenaga nah sekarang dibolehkan. Jadi mulailah muncul kemarahan itu satu persatu dan mungkin sekali dia melihat betapa bodohnya saya dulu, betapa jahatnya orang itu memperlakukan saya seperti itu. Tapi kenapa saya terima, kenapa saya tidak berbuat apa-apa, nah perasaan-perasaan benar-benar muncul dengan begitu besarnya dan begitu seringnya sehingga bisa membuat dia membenci pasangannya itu dengan lebih-lebih lagi, tapi juga bisa membenci dirinya apalagi kalau dia merasa berbelasan tahun dia telah membuang hidupnya, dia bisa makin marah dengan pasangannya atau dengan dirinya sendiri. Nah kalau dengan dirinya sendiri yang saya khawatirkan adalah dia bisa menderita depresi, dia merasa hidup saya sia-sia, yang telah saya lewati berbelasan tahun itu semua sudah terlambat. Nah akhirnya penyesalan, kemarahan menumpuk menjadi satu.
IR : Nah Pak Paul akibat dari itu semua menimbulkan sikap seseorang itu berubah Pak Paul, kira-kira perubahan apalagi yang timbul dalam penderitaan itu?

PG : Kalau tidak hati-hati Bu Ida, dia bisa bersikap pahit, dia bisa bersikap sangat apatis dalam hidup ini, bisa merasa tidak ada lagi tujuan hidup, justru kehilangan makna. Karena dia merasa ang telah dia lewati itu tidak bisa dikembalikan, jarum jam tidak bisa diputar.

Dia benar-benar merasa dia telah menghancurkan hidupnya atau pasangannya, itulah yang telah menghancurkan hidupnya dan tidak ada kesempatan bagi dia memperbaikinya. Nah ini yang membuat dia sangat pahit dengan hidup, nah malanglah orang yang hidup di dekat dia, anak-anaknya akan menjadi sasaran kepahitannya itu.
GS : Padahal sebenarnya apakah orang yang memang hidup sendiri seperti itu, memang betul-betul tidak berguna lagi, kalau saya rasa tidak Pak Paul..

PG : Betul Pak Gunawan, justru saat inilah yang kita pergunakan untuk justru membangkitkan semangat bagi anak-anak Tuhan yang ditinggalkan sendiri. Dan mengalami peristiwa-peristiwa yang mungki sekali menyakitkan hidupnya.

Ada beberapa saran yang dapat kita berikan, yang pertama adalah kita mesti mengubah sikap mental kita, kita harus mengerti bahwa kita tetap manusia yang utuh bahkan tanpa kehadiran pasangan kita sekalipun. Waktu dia pergi itu tidak berarti kita telah menjadi orang yang cacat, memang kalau hubungan kita baik dan akrab kepergiannya akan benar-benar seolah-olah membelah hidup kita, ada sebagian jantung hati kita yang dibawanya pergi. Sehingga kita merasa kita tidak lagi lengkap, nah sudah tentu ini akan terjadi karena keduanya sudah menjadi satu dan sewaktu dia tidak ada kita akan merasakan ada yang kosong. Namun kita harus ingat bahwa hidup kita tetap utuh meskipun tanpa dia; dengan kata lain, kita tetap bisa menjalankan hidup ini kembali meskipun tanpa dia. Kita pernah hidup tanpa dia dan sekarangpun kita hidup tanpa dia, keutuhan hidup kita tetap bisa dimunculkan kembali, jadi dengan kata lain seolah-olah tunas itu akan bisa muncul lagi jangan berpikir selama-lamanya tidak akan pernah muncul tunas yang baru. Dengan Tuhan di samping kita, kita bisa memunculkan tunas yang baru.
(1) IR : Jadi langkah-langkah apa Pak Paul yang kira-kira bisa ditempuh oleh orang tersebut sehingga orang itu mempunyai arti hidup lagi?

PG : Yang pertama ialah saya kira harus mengupayakan pemenuhan kebutuhan emosional kita. Sering kali apalagi dalam kasus kematian, yang akan hampa dalam hidup kita adalah rongga-rongga emosiona kita, sebab pasangan kita itu telah mengisi ruangan atau rongga emosional, kita dicintai, dihargai, dibuat penting, diperhatikan, diamati, adanya teman bisa bicara itu semua adalah kebutuhan-kebutuhan emosional kita.

Yang pertama-tama kita harus lakukan adalah mencoba mengisinya dengan cara yang lain misalnya kita bisa giatkan diri kita dalam persekutuan dengan Tuhan, di gereja dengan anak-anak lain kita terlibat dalam pelayanan. Jadi jangan biarkan diri kita terbenam di rumah, nah kecenderungannya adalah benar-benar membenamkan diri kita di rumah, merasa orang pasti tidak menerima saya lagi karena saya sendiri dan sebagainya. Justru tidak boleh, justru kita harus mengeluarkan diri kita dari rumah, adakalanya kita merasa saya tidak lagi bisa ke depan karena saya sendirian, dulu berdua ke gereja atau berdua ke pesta, tidak apa-apa. Kita sendiripun pergi ke pesta tidak apa-apa, tidak harus berdua karena justru kita bertemu dengan orang-orang dan terlibat dalam kehidupan orang, kita akan mendapatkan isian. Waktu kita membesuk orang, menjenguk, mendoakan orang, kita mendapatkan isian, masukan-masukan kembali dari orang-orang lain itu, dengan cara itulah kebutuhan emosional kita terpenuhi kembali.
GS : Tetapi sebenarnya ada sebagian orang yang memang tidak siap Pak Paul, kembali ke masyarakat normal karena masyarakat sendiri juga memperlakukan dia seolah-olah memang tidak normal, nah itu bagaimana Pak Paul dia menghadapi itu?

PG : Ini terutama ditujukan pada orang yang bercerai Pak Gunawan, sering kali itulah stikma masyarakat dan kita harus mengerti perceraian akan menimbulkan luka baik di pihak yang mengalaminya aau di pihak orang-orang yang peduli dengan mereka.

Perceraian sesuatu yang akan menusuk hati orang, tapi kita juga harus mempunyai sikap seperti Tuhan Yesus. Tuhan tidak menghakimi perempuan yang sudah berzinah, Tuhan hanya berkata pergilah dan jangan berbuat dosa lagi, Aku tidak menghakimimu. Nah sebagai orang Kristen apapun yang kita tetap berusaha menerima, menerima dalam pengertian memang orang itu orang yang juga luka. Dan lain perkara kalau dia memang sengaja menceraikan istrinya karena mendapatkan wanita yang lebih muda, nah itu kasus yang lain, itu adalah kasus seseorang yang jelas-jelas berdosa dan tidak mau melihat dosanya, nah untuk orang seperti itu kita tidak harus mengeluarkan tangan menjangkau dia. Tapi untuk kasus orang yang memang berjuang untuk mempertahankan pernikahannya dan akhirnya harus bercerai nah kita jangan memberikan sikap yang negatif kepada mereka, kita harus tetap menyambut mereka ke dalam persekutuan kita. Ada kecenderungannya seperti ini Pak Gunawan, orang yang ditinggalkan karena kematian suami atau istri atau karena perceraian merasa tidak layak bertemu dengan teman-teman lamanya, itu yang sering terjadi. Tidak layak lagi ke gereja, tidak layak lagi untuk pergi dengan teman-teman dulu, sebab beranggapan bahwa gara-gara ini mereka sekarang tidak lagi menerima saya. Atau mungkin timbul pemikiran o....dulu kalian baik karena ada suami atau ada istri saya mungkin sekarang kalian tidak terlalu baik dengan saya. Jadi meragukan penerimaan orang , ini acapkali dialami orang yang hidup sendiri, apakah temanku masih menerimaku, apakah mereka tulus sungguh-sungguh menerimaku atau belas kasihan saja karena aku sekarang sendirian, sesungguhnya mereka tidak lagi mau berteman denganku karena dulu mereka lebih mau berteman dengan pasanganku suami atau istri. Nah meragukan penerimaan orang kadang kala muncul dalam hati orang yang ditinggalkan, ini yang harus ditepis, kita harus berani, benar-benar berani keluar untuk berteman lagi dengan teman-teman lama kita.
IR : Tapi ada suatu kasus Pak Paul, istri yang ditinggalkan mati suaminya, dia selalu menghindar pada teman-teman yang masih berpasangan, itu kenapa Pak Paul?

PG : Dia merasa menjadi gangguan karena dia sendiri dan teman-temannya berpasangan, nanti kalau saya pergi dengan mereka, menjadi canggung karena mereka berpasangan, saya sendiri. Nanti berbicaanya bagaimana tidak ada suami saya atau istri saya rasanya tidak pas, jadi sering kali orang yang ditinggalkan itu membuat banyak peraturan-peraturan pada dirinya.

Nah yang juga kasihan adalah kalau orang itu masih muda baik itu wanita muda atau pria muda karena kematian misalnya atau karena perceraian. Ada kecenderungan orang suka mengaitkan perginya dia dengan orang lain sebagai hal-hal yang bisa berkembang ke arah yang tidak sehat, jadi ada kecenderungan dia sendiripun menjadi orang yang tahu diri. Dan bisa-bisa tahu dirinya berlebihan dengan cara apa, ya dia tidak mau pergi dengan teman-teman yang berpasangan, apa sebabnya ya dia berpikir nanti kalau saya pergi, nanti saya disangka saya mau dekat dengan istrinya atau mau dekat dengan suaminya. Nah nanti timbul masalah di antara mereka gara-gara saya, nah pemikiran-pemikiran itu akhirnya membuat yang ditinggalkan lebih mau sendirian. Atau dia akhirnya berubah, dia mencari teman orang-orang yang sejenis dengan dia, yang juga ditinggalkan karena perceraian atau yang janda karena kematian ya dia mencari orang yang janda seperti dia pula.
GS : Jadi sebenarnya pemulihan terhadap diri orang itu, sangat juga dipengaruhi oleh lingkungannya Pak Paul, kalau lingkungannya menerima dia apa adanya dia bisa lebih cepat pulih?

PG : Betul, kalau kita di gereja sebaiknya kalau kita tahu ada beberapa yang seperti itu dikumpulkan dalam suatu wadah sehingga mereka merasakan adanya wadah yang bisa mengerti mereka dan merek merasa diterima di situ dan dari sinilah dia bisa kembali untuk berani keluar dan bisa menceritakan apa yang mereka gumulkan itu.

Tepat sekali kalau lingkungan tidak menerima atau mulai menjauhkan diri dari mereka, ini makin mengucilkan mereka. Dan kita harus selalu ingat orang yang baru sendirian sering kali peka jadi kita justru harus mengeluarkan tenaga ekstra menarik mereka kembali ke dalam persekutuan kita. Kalau kita diamkan kecenderungannya adalah sudah hilang .
GS : Padahal ketabahan mereka menghadapi kematian pasangan, atau diceraikan dan sebagainya itu sebenarnya menjadi suatu kesaksian yang bagus Pak Paul ya?

PG : Betul, betul sekali, dan yang seharusnya kita ingat tapi karena saya juga maklum kita ini orang yang sibuk dengan kehidupan rutin kita, akhirnya setelah lewat kematian itu kita tidak lagi emberikan waktu dan perhatian kepada dia, seolah-olah hidupnya akan beres setelah ini.

Ternyata ya tidak, justru banyak pergumulan yang harus dilewatinya, setelah dia hidup sendiri, salah satunya yaitu perubahan peran. Dia misalkan masih punya anak-anak yang masih kecil, dia harus menjadi seorang ayah, seorang ibu sekaligus nah ini menimbulkan tekanan yang berat karena dia perlu lagi orang yang menolong anak-anaknya, beban itu menjadi dobel atau ganda pada pundaknya dan sering kali kita tidak siap dengan perubahan peran seperti itu. Nah perlu sekali bantuan orang yang bisa memberikan wejangan, bagaimana mengasuh anak, bagaimana mengatakan ini kepada anak, karena itu sangat diperlukannya. Kadang kala dan ini sering kali terjadi pada wanita kalau pria masih ada kesempatan untuk menikah kembali atau maksud saya kesempatan itu lebih terbuka lebar. Kalau bagi wanita biasanya kesempatan ini jauh lebih sempit setelah hidup sendiri, berarti dia harus menjadi mama dan papa sekaligus, bukan tugas yang mudah.
GS : Tetapi memang sering kali ekspresi penyesalan atau kasih, kemarahan itu tadi yang Pak Paul katakan dicurahkan pada orang yang terdekat. Berarti kalau mereka mempunyai anak, nah anak ini bisa menjadi korban dari curahan perasaan orang tuanya itu, Pak Paul?

PG : Korban negatif, tepat sekali. Dan si anak bisa-bisa makin memunculkan masalah karena merasa ibunya tidak lagi dekat, tidak lagi perhatian malah sering marah jadi makin menjauhkan si ibu, dn dia makin sendirian lagi di rumah.

Jadi kita bisa melihat memang kehidupan orang yang harus hidup sendiri lagi butuh sekali topangan, jadi di sinilah kita sebagai anak-anak Tuhan bisa berperan setelah menyadari masalah ini. Gereja bisa membentuk persekutuan khusus untuk mereka sehingga ada topangan yang mereka dapatkan mungkin kalau mengharapkan jemaat umum ya bisa terlupakan, dan adanya wadah ini mereka tidak terlupakan.
GS : Tapi dalam wadah yang Pak Paul sarankan itu 'kan sebaiknya yang janda sendiri, yang duda sendiri Pak Paul, tidak mungkin dicampurkan atau mungkin dicampurkan?
IR : Bisa jadi jodoh.
GS : Bukan maksud saya itu beban perasaan mereka, beban persoalan mereka 'kan beda-beda.

PG : Tapi dicampurkan tidak apa-apa karena begini, karena mereka juga bisa melihat dari sisi yang satunya sebab dudapun mempunyai pergumulannya, yang jandapun mempunyai pergumulannya. Dan bagi aya kalau mereka nanti harus saling tertarik dan bisa membangun rumah tangga bagi saya tidakapa-apa.

GS : Tapi yang pasti kehidupan sendiri lagi itu masih mempunyai makna baik di hadapan Tuhan maupun sesama itu.

PG : Tepat sekali.

(2) GS : Untuk itu firman Tuhan yang mendukung hal itu di mana Pak?

PG : Saya akan sekali lagi bacakan Yosua 1 ini nasihat Tuhan kepada Yosua; "Hanya kuatkan dan teguhkanlah hatimu dengan sungguh-sungguh, bertindaklah hati-hati, sesuai dengan eluruh hukum yang diperintahkan kepadamu oleh hambaku Musa, janganlah menyimpang ke kanan atau ke kiri supaya engkau beruntung kemanapun engkau pergi".

Dan pada akhir nasihatnya Tuhan berkata : "Janganlah kecut dan tawar hati sebab Tuhan Allahmu menyertai engkau kemanapun engkau pergi." Jadi nasihat Tuhan sangat jelas Tuhan akan menyertai kita waktu kita harus sendiri lagi sebagaimana Tuhan menyertai Yosua setelah Musa meninggalkannya. Tapi Tuhan minta satu syarat, hidup hati-hati jangan menyimpang ke kanan atau ke kiri, artinya jangan kita berbuat dosa, taati Tuhan dan Tuhan akan meluruskan jalan kita yang di depan ini, nah jangan sampai gara-gara kita sendiri kita melewati batas. Tadi kita sudah bicara meskipun tekanan besar hati-hati jangan berdosa, kita akhirnya memaki-maki anak sembarangan, kita terlalu menekan orang di rumah terlalu sembarangan, karena kita dalam keadaan stres. Jangan sampai kita akhirnya merugikan atau merusakkan orang lain atau karena kita butuh kebutuhan emosional kita dipenuhi, kita mengambil jalan yang salah. Dekat dengan orang terlalu cepat memilih orang sembarangan, akhirnya jatuh ke dalam dosa yang lebih besar lagi. Jadi jangan sampai kita ini menyimpang ke kiri ke kanan meskipun kita dalam keadaan susah.
GS : Baik Pak Paul untuk perbincangan kita yang menarik kali ini. Demikianlah tadi para pendengar yang kami kasihi kami telah persembahkan kehadapan Anda sebuah perbincangan dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang bermakna dalam hidup kesendirian. Dan bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK Jl. Cimanuk 58 Malang, saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami harapkan. Dan dari studio kami mengucapkan terima kasih.

PERTANYAAN KASET T 58 B

  1. Langkah-langkah apa yang ditempuh bagi orang yang sudah ditinggalkan itu untuk tetap mempunyai arti hidup iniā€¦?
  2. Apa yang dikatakan firman Tuhan, mengenai hidup tetap bermakna dalam kesendirianā€¦?

Ringkasan:

Sebagai manusia, kita cenderung mempersiapkan diri untuk hidup berdua, tapi kita kurang mempersiapkan diri untuk hidup sendiri.

Selain rasa bersalah, rasa marah ternyata juga sering muncul pada diri yang ditinggalkan. Ada beberapa sumber kemarahannya:

  1. Yang pertama adalah kalau hubungan mereka lumayan baik suami-istri itu, kemudian seseorang meninggal dunia ada kemungkinan yang ditinggalkan merasa marah karena dia berpikir mengapa engkau tega meninggalkan aku sendirian. Kemudian yang terjadi adalah menyesal atau merasa bersalah, itu berarti kita menimpakan semua tanggung jawab pada diri kita, seakan-akan kitalah yang mampu untuk mencegah peristiwa tersebut supaya nggak menimpanya.

  2. Merasa marah karena kita mempersalahkan dia sebagai penyebab penderitaan kita. Ini sedikit berbeda dari yang pertama.

  3. Yang lainnya lagi, kemarahan itu seringkali muncul pada diri orang yang sewaktu masih bersama pasangannya telah menjadi korban, menjadi sasaran, amuk amarah si pasangannya sekarang sudah meninggalkannya. Kalau tidak berhati-hati, dia bisa bersikap pahit dan bersikap sangat apatis dalam hidup ini. Bisa merasa tidak ada lagi tujuan hidup justru kehilangan makna.

Beberapa saran yang dapat saya berikan adalah sebagai berikut:

  1. Pertama, sebagai orang yang sendiri lagi kita harus mengubah sikap mental, kita harus mengerti bahwa kita tetap manusia yang utuh bahkan tanpa kehadiran pasangan kita sekalipun.

  2. Kita harus mengupayakan pemenuhan kebutuhan emosional. Yang kita harus lakukan adalah mencoba mengisinya dengan cara yang lain, misalnya kita bisa giatkan diri kita dalam persekutuan dengan Tuhan, di gereja dengan anak-anak lain kita terlibat dalam pelayanan. Jangan biarkan diri kita terbenam di rumah.

Pemulihan terhadap diri orang itu, sangat dipengaruhi oleh lingkungannya. Kalau lingkungannya menerima dia apa adanya dia bisa lebih cepat pulih. Kita harus selalu ingat, orang yang baru sendirian seringkali lebih peka. Kita justru harus mengeluarkan tenaga ekstra untuk menarik mereka kembali ke dalam persekutuan kita. Kalau kita diamkan kecenderungannya adalah mereka bisa hilang.

Dalam bagian firman Tuhan di Yosua 1 ada nasihat Tuhan kepada Yosua; "Hanya kuatkan dan teguhkanlah hatimu dengan sungguh-sungguh, bertindaklah hati-hati, sesuai dengan seluruh hukum yang diperintahkan kepadamu oleh hambaku Musa, janganlah menyimpang ke kanan atau ke kiri supaya engkau beruntung kemanapun engkau pergi". Dan pada akhir nasihatnya Tuhan berkata : "Janganlah kecut dan tawar hati sebab Tuhan Allahmu menyertai engkau ke mana pun engkau pergi."

Nasihat Tuhan sangat jelas, Tuhan akan menyertai kita waktu kita harus sendiri lagi sebagaimana Tuhan menyertai Yosua setelah Musa meninggalkannya. Tapi Tuhan minta satu syarat, hidup hati-hati jangan menyimpang ke kanan atau ke kiri, artinya jangan kita berbuat dosa, taati Tuhan dan Tuhan akan meluruskan jalan kita yang di depan, jangan sampai gara-gara kita sendiri kita melewati batas. Meskipun tekanan hidup lebih besar, tetaplah hati-hati jangan berdosa.


Questions:

GS : Apakah itu sebenarnya bisa dihindari, Pak Paul?

GS : Jadi gejolak itu sifatnya sementara saja Pak Paul, tidak menetap dalam diri orang itu?

GS : Selain penyesalan dan kemarahan itu tadi Pak Paul, apakah ada perasaan yang lain?

GS : Biasanya orang marah itu ada obyek yang dia marahi, nah kalau dalam kasus seperti itu kepada siapa dia harus marah Pak Paul, atau bagaimana dia itu mengekspresikan kemarahannya itu?

GS : Padahal sebenarnya apakah orang yang memang hidup sendiri seperti itu, memang betul-betul tidak berguna lagi, kalau saya rasa tidak Pak Paul..

GS : Tetapi sebenarnya ada sebagian orang yang memang tidak siap Pak Paul, kembali ke masyarakat normal karena masyarakat sendiri juga memperlakukan dia seolah-olah memang tidak normal, nah itu bagaimana Pak Paul dia menghadapi itu?

GS : Jadi sebenarnya pemulihan terhadap diri orang itu, sangat juga dipengaruhi oleh lingkungannya Pak Paul, kalau lingkungannya menerima dia apa adanya dia bisa lebih cepat pulih?

GS : Padahal ketabahan mereka menghadapi kematian pasangan, atau diceraikan dan sebagainya itu sebenarnya menjadi suatu kesaksian yang bagus Pak Paul ya?

GS : Tetapi memang sering kali ekspresi penyesalan atau kasih, kemarahan itu tadi yang Pak Paul katakan dicurahkan pada orang yang terdekat. Berarti kalau mereka mempunyai anak, nah anak ini bisa menjadi korban dari curahan perasaan orang tuanya itu, Pak Paul?

GS : Tapi dalam wadah yang Pak Paul sarankan itu 'kan sebaiknya yang janda sendiri, yang duda sendiri Pak Paul, tidak mungkin dicampurkan atau mungkin dicampurkan?

GS : Bukan maksud saya itu beban perasaan mereka, beban persoalan mereka 'kan beda-beda.

GS : Tapi yang pasti kehidupan sendiri lagi itu masih mempunyai makna baik di hadapan Tuhan maupun sesama itu.

GS : Baik Pak Paul untuk perbincangan kita yang menarik kali ini. Demikianlah tadi para pendengar yang kami kasihi kami telah persembahkan kehadapan Anda sebuah perbincangan dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang bermakna dalam hidup kesendirian. Dan bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK Jl. Cimanuk 58 Malang, saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami harapkan. Dan dari studio kami mengucapkan terima kasih.