Konseling untuk Mereka yang Berkabung I
Sumber: artikel_c3i
Id Topik: 2732
Saya baru saja menyelesaikan penguburan Stan Conners, penguburan kedua dalam jemaat di mana saya baru pindah. Semua kelihatannya berjalan cukup baik, pikir saya. Penyanyi solo bernyanyi dengan baik, saya rasa khotbah saya baik dan keluarga yang ditinggalkan merasa senang dengan kebaktian penguburan itu. Saya pikir saya telah menyelesaikan tujuan saya dalam memberikan penghiburan rohani kepada keluarga yang berduka. Tapi sebuah komentar dua hari kemudian, ternyata memaksa saya mempertanyakan kesimpulan saya ini.
Saya berhenti di rumah seorang janda muda. Suami wanita ini meninggal dunia karena serangan jantung tiga tahun yang lalu. Dia membagi kenangannya: menemukan suaminya yang terjatuh di dekat ban mobil di garasi, mengatakan kepada anak-anaknya yang berusia sekolah bahwa ayah mereka telah meninggal, memulai pergumulan sebagai orang tua tunggal.
Dia mengamati saya, "Hamba Tuhan dan gereja tidak melayani kebutuhan saya yang paling besar. Memang mereka mengunjungi saya setelah kematian, dan menjumpai saya sebelum kebaktian. Mereka mengucapkan beberapa kata pada saat penguburan. Tetapi saya tidak pernah melihat mereka lagi sehubungan dengan kematian suami saya. Setelah minggu pertama, tidak seorang pun dari jemaat mengunjungi kami karena perkabungan itu. Pergumulan saya sehubungan dengan kematian suami saya sebenarnya baru mulai dua minggu setelah penguburan, dan pada saat itu, semua orang telah menghilang dari pandangan."
Kita, para gembala jemaat, biasanya mempunyai pelayanan yang berarti terhadap keluarga-keluarga menjelang kematian. Dalam banyak situasi, kematian mengikuti korbannya secara perlahan, mengharuskan kita untuk berjalan bersama dengan keluarga itu melalui lembah bayang- bayang kematian. Pelayanan kita penting dan diterima.
Pada saat-saat yang lain, kematian memukul tanpa peringatan: terjadi secara tiba-tiba, serangan jantung yang hebat, kejadian fatal di tengah malam. Dalam situasi-situasi ini kita memberikan perhatian rohani darurat, dengan mengunjungi keluarga itu beberapa kali, kadang-kadang berjam-jam. Kemudian kita mengundurkan diri bersama dengan kebaktian penguburan.
Tetapi dalam kasus yang lain, saya mulai menyadari bahwa kebaktian memperingati kematian bukanlah tempat untuk mengakhiri pelayanan. Itu adalah tempat untuk memulai sesuatu yang lain yang juga tidak kurang pentingnya.
Dalam usaha melayani keluarga dengan lebih efektif, kami membuat suatu program kunjungan bagi yang berkabung. Saya telah menemukan bahwa pelayanan itu menolong orang-orang menghadapi perkabungan mereka dengan cara yang lebih penuh dan sehat.
Kunjungan Awal
Kunjungan bagi yang berkabung dimulai sebelum kebaktian penguburan, namun mungkin akan memerlukan satu tahun bahkan lebih untuk bekerja melewati perkabungan mereka. Adakalanya para anggota keluarga berkata, "Segera setelah penguburan ini berakhir, kami dapat menata kembali hidup kami" atau "Hanya beberapa jam lagi dan kami dapat meneruskan kehidupan kami." Kita perlu dengan lembut mengingatkan bahwa kematian mempengaruhi kita lebih lama daripada beberapa hari yang singkat.
Sebagian besar orang tidak memahami perkabungan. Mereka yakin suasana akan kembali normal dalam satu atau dua bulan. Jika lebih lama dari itu biasanya dikatakan bahwa mereka tidak menangani kematian dengan baik, mereka bukan "orang Kristen yang baik, yang kuat". Jadi, jika menitikkan air mata di tempat perbelanjaan setelah mendengar lagu yang mengingatkan mereka akan orang yang dikasihi, ini akan membingungkan dan membuat mereka malu. Ini sangat tidak betul. Kejadian-kejadian di atas sungguh menolong kita menyadari bahwa mereka hanyalah manusia biasa.
Langkah kedua adalah serangkaian percakapan lewat telepon dan kunjungan seminggu setelah penguburan. Saya biasanya mengunjungi keluarga yang ditinggalkan, karena biasanya anggota keluarga lain telah kembali ke rumah dan pekerjaan mereka, dan para sahabat serta tetangga telah kembali memusatkan perhatian kepada pergumulan mereka sendiri. Kesibukan selama penguburan telah berakhir, hidup menjadi sunyi, dan tinggallah keluarga itu sendiri dalam kesepian.
Seringkali saat inilah kenyataan kehilangan memukul mereka paling berat. Kunjungan saya pada keluarga itu memberikan kesempatan untuk mengungkapkan pertanyaan sehubungan dengan duka cita mereka yang muncul atau membicarakan lagi hal-hal yang lampau.
Saya banyak kali mendengar ungkapan kesepian. Mary bercerita tentang malam-malam yang tak tertahankan tanpa suaminya. Tom meratapi keharusan untuk membuat makan malamnya sendiri dan betapa sunyinya di meja dapur tanpa isterinya. David muda menyinggung bagaimana rumah kosong dan menakutkan ketika dia pulang dan ibunya tidak ada di sana untuk berjumpa dengannya. Kunjungan saya tidak mengangkat kesepian atau ketakutan mereka tetapi membuat keluarga itu membagi duka cita mereka dan menyadari bahwa seseorang bersedia memahaminya.
Adakalanya, saya mendengar suara penyangkalan yang lembut. Donna mengakui bahwa ia sering membayangkan suaminya akan segera berjalan melalui pintu dapur dan menyambutnya dengan ciuman, sebagaimana yang selalu dilakukannya. "Tampaknya," katanya, "dia hanya berada dalam perjalanan yang panjang." Jerry mendapatkan dirinya sedang menunggu di dekat telepon menunggu isterinya menelepon dari rumah sakit dan memintanya untuk menjemputnya. Pergumulan seperti itu adalah normal bagi perkabungan dan bukan tanda mereka menjadi gila; peneguhan yang menghibur mereka yang kehilangan sangat dibutuhkan.
Kunjungan saya mengingatkan keluarga itu bahwa dukacita tidak berakhir pada penguburan. Ya, mereka harus meneruskan kehidupan tetapi juga perlu menanggung luka-luka karena dukacita dan membiarkan waktu penyembuhan luka-luka itu.
Kunjungan Selanjutnya
Saya mengadakan kunjungan atau telepon sekitar tiga minggu kemudian. Salah satu tujuan utama adalah meyakinkan keluarga yang ditinggalkan bahwa mereka tidak dilupakan. Mereka tetap ada dalam pikiran dan doa saya, juga mereka dalam jemaat. Tujuan lain kunjungan ini untuk menekankan bahwa saya selalu bersedia menolong.
Seringkali ini merupakan kunjungan yang menandakan titik perubahan. Saya tidak yakin mengapa. Mungkin setelah beberapa kunjungan, anggota keluarga itu akhirnya percaya bahwa saya sungguh-sungguh memperhatikan mereka lebih dari sekedar melakukan "tugas profesional hamba Tuhan" saya.
Mungkin memerlukan beberapa minggu kunjungan terhadap anggota keluarga supaya saya bisa berjalan bersama mereka dalam suasana dukacita yang mereka alami. Mempercayai seseorang -- bahkan seorang hamba Tuhan -- untuk menjadi dekat ketika seseorang sedang mengalami kedukaan, sama sekali berbeda.
Atau mungkin tiga minggu setelah kehilangan, secara sederhana merupakan saat dimana orang mulai menghadapi persoalan yang lebih dalam. Orang-orang melontarkan kepada saya pertanyaan-pertanyaan teologia: "Di manakah Allah dalam kematian orang yang kukasihi?" "Apakah Allah yang menyebabkan kematian, apakah Allah membiarkannya? atau apakah Dia tidak berkuasa atasnya?". "Saya takut kehilangan iman saya. Bagaimana saya harus bertahan?" "Saya tidak yakin akan adanya kehidupan setelah kematian. Apakah ada jalan untuk bisa meyakinkan saya?" Kemarahan terhadap Allah bisa terjadi: "Mengapa Allah membiarkan ini terjadi?" "Allah yang pengasih seperti apakah Dia, sehingga membiarkan terjadi terhadap kita?"
Kadang kala orang-orang bisa mengungkapkan kemarahan terhadap Allah dengan cara yang tidak langsung. Saya mengunjungi Linda beberapa minggu setelah kematian ayahnya. Linda tampaknya menguasai duka citanya dengan baik tetapi selama percakapan dengan saya dia menyinggung dengan serampangan, bahwa ia mempunyai kesulitan berdoa. Kemudian ia mengungkapkan kemarahan kenapa ayahnya harus begitu menderita sebelum kematiannya. "Apakah itu adil?" dia meratap. Sambil berbicara, Linda menyalahkan Allah yang membuat ayahnya menderita. Kemarahannya yang tanpa suara terhadap Allah mempengaruhi kehidupan doanya. Kunjungan penggembalaan saya menurunkan keadaan yang bisa menjadi berbahaya.
Beberapa keluarga tampak tidak memerlukan banyak perhatian penggembalaan. Keluarga itu tertutup, dan mereka saling melayani secara efektif. Keluarga-keluarga ini, saya lihat, tetap menghargai kunjungan penggembalaan. Sebagian keluarga memanfaatkan kunjungan ini untuk membagi kenangan, keluarga yang lain untuk mengungkapkan ucapan syukur kepada Allah atas berkat hubungan mereka dengan mendiang. Yang lainnya meyakinkan saya, bahwa walaupun pergumulan tetap ada, mereka sedang memungut kepingan-kepingan kehidupan mereka.
Biasanya saya mengadakan kunjungan ketiga kira-kira tiga atau empat bulan setelah penguburan. Pada saat ini kesulitan-kesulitan berarti dalam proses perkabungan menjadi kelihatan. Saya mendorong pribadi itu untuk mencari pertolongan profesional tambahan jika ada gejala- gejala mengandung depresi kronis, kecenderungan bunuh diri, atau makan dan tidur yang tidak teratur. Pada waktu yang lain, pandangan rohani semata dibutuhkan.
Tunangan David tewas dalam kecelakaan mobil dua bulan menjelang tanggal pernikahan mereka. Mulanya David merasa amat marah. Kemarahan itu berubah menjadi depresi yang digumulkannya selama berbulan-bulan. Saya mengusulkannya untuk menemui seseorang penasihat profesional, tetapi David memilih serangkaian kunjungan penggembalaan.
Selama satu kunjungan, David menyatakan tidak sanggup mencintai seseorang karena takut terluka untuk kedua kalinya. Secara bertahap, dia semakin menjadi penyediri. Namun setelah berjam-jam percakapan, dia mulai melihat akibat dari ketakutannya. Sekarang dengan berhati- hati ia melangkah untuk mencintai lagi. Kunjungan duka menolongnya menghadapi ketakutannya sebelum itu menjadi semacam penyakit.
Seseorang mungkin memperoleh kesan bahwa saya tidak melakukan apa pun kecuali mengunjungi yang berduka. Saya mengakui, saya menganggap kunjungan penggembalan penting. Tetapi saya hanya memiliki sepuluh sampai lima belas waktu kunjungan seminggu. Maka saya membuat kunjungan kepada keluarga yang berkabung sebagai bagian dari kunjungan penggembalaan tetap saya. Segera setelah penguburan, saya membuat catatan pada kalender -- satu minggu, tiga minggu, dan tiga bulan kemudian. Ketika minggu itu tiba, saya memasukkan keluarga yang ditinggalkan dalam kunjungan minggu itu.
Setelah penguburan, saya atau sekretaris gereja juga menandai tanggal-tanggal perayaan dan hari ulang tahun pada catatan kecil untuk menelepon keluarga yang ditingalkan. Karena peristiwa- peristiwa khusus dapat menambah duka, maka telepon dari seorang hamba Tuhan, betapapun singkatnya, membawa berita yang menghiburkan bahwa seseorang memahami keadaan mereka. Juga sekitar hari pengucapan syukur dan Natal, saya menelepon keluarga-keluarga mereka yang anggota keluarganya meninggal selama tahun itu.
Kunjungan yang Lebih Berkembang
Pelayanan bagi keluarga Grace yang berduka tidak semata-mata jatuh di atas pundak saya. Berapa minggu setelah penguburan, saya menghubungi seseorang yang telah melalui keadaan serupa dan meminta anggota itu untuk mengunjungi keluarga yang berduka itu. Dengan mengalami situasi yang serupa, pengunjung itu biasanya mengerti dengan tepat kata-kata mana yang melukai dan yang menyembuhkan.
Bagian program kami ini sedang dalam pertumbuhan. Namun, kami mulai menawarkan serangkaian enam minggu pelajaran tentang dukacita, mendengar secara aktif dan tanggap, serta pemahaman teologi tentang penderitaan.
Ini yang saya harapkan bagi para pengunjung:
- Komitmen Satu Tahun.
Saya mengusulkan kunjungan paling sedikit tiap empat sampai enam minggu selama satu tahun. (Pertama saya meminta izin keluarga yang berduka apakah mereka bersedia menerima kunjungan seorang anggota. Saya menunjukkan bahwa kunjungan ini akan menjadi kesempatan membagi pergumulan mereka.) - Persahabatan dan Perhatian.
Saya menekankan tujuan kunjungan mereka adalah menjadi seseorang yang ramah untuk diajak berbicara. Pergumulan perkabungan tidak harus menjadi topik pembicaraan setiap kunjungan, tetapi tetap harus senantiasa sesuai dengan keadaan. - Laporan Permasalahan atau Kebutuhan.
Saya meminta para pengunjung untuk menghubungi saya jika mereka mempunyai pertanyaan tentang topik yang timbul atau perhatian tentang bagaimana keluarga yang ditinggalkan menangani dukacita.
Walaupun baru mulai, program ini telah mempunyai dampak. Baru-baru ini suami seorang wanita berusia 80 tahun meninggal. Pasangan ini telah menikah selama 55 tahun dan selama itu sang suami mengatur masalah-masalah keuangan. Setelah kematian suaminya, wanita itu kewalahan dengan keputusan-keputusan keuangan dan kertas kerja.
Anggota yang saya minta untuk mengunjungi wanita ini juga seorang janda penatua. Melalui campur tangannya, kepada janda yang baru itu diberikan latihan dalam perencanaan keuangan dan tata buku oleh anggota organisasi warga pensiunan. Karena pengunjung itu telah melalui situasi serupa, dia dapat meyakinkan bahwa Allah sungguh menolongnya dalam tugasnya dan bahwa dengan kekuatan Allah dia akan sanggup melaksanakannya.
Kunjungan Sewaktu-waktu
Inilah arti pelayanan yang kita lakukan: Kehidupan yang dijamah oleh kasih dan kuasa Injil Yesus Kristus.
Suatu ketika saya menerima surat dari seorang anggota jemaat yang kehilangan suaminya lebih dari setahun yang lalu. Kemudian saya membuka surat itu dan mulai membaca:
"Gembala yang terkasih, Kata-kata tidak dapat mengungkapkan penghargaan saya untuk kunjungan-kunjungan Anda. Kehadiran Anda menolong saya melalui pergumulan yang paling berat yang pernah saya alami dalam hidup saya, kematian suami saya ..."
Surat ini mengingatkan saya bahwa pelayanan terjadi kapan saja, yaitu ketika kasih diungkapkan dan usaha dilakukan untuk membagi kuasa Injil.
[Kevin E. Ruffcorn adalah Gembala, Grace Lutheran Church di Oconto Falls, Wisconsin.]