BETA
Bagaimana Menangani Anak Yang Egois 1
Sumber: telaga
Id Topik: 269

Abstrak:

Pada dasarnya setiap anak lahir ke dunia memiliki sikap egois atau sikap mementingkan diri sendiri. Kita sebagai orangtua harusnya dapat menciptakan pertumbuhan yang sehat yang dapat mendorong anak bukan saja mementingkan dirinya namun juga mementingkan diri orang lain. Dan juga menciptakan keseimbangan antara mementingkan diri sendiri dan juga mementingkan diri orang lain.

Transkrip:

Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso bersama Ibu Idajanti Raharjo dari LBKK (Lembaga Bina Keluarga Kristen), telah siap menemani Anda dalam sebuah perbincangan dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling dan dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Kali ini kami akan berbincang-bincang tentang menangani anak yang egois. Kami percaya acara ini akan sangat bermanfaat bagi kita semua, dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap

PG : Pak Gunawan dan Ibu Ida, ada satu pengamatan yang kadang kala terlihat oleh saya yaitu anak-anak yang luar biasa egoisnya. Kadang kala saya melihat itu di restoran atau di tempat-tempatumum, di mana ada anak-anak yang begitu beraninya menuntut orang tua untuk memberikan sesuatu.

Dan yang membuat hati saya kurang nyaman adalah saya melihat betapa takutnya orang tua terhadap si anak sehingga si anak meskipun dia masih kecil justru dia bertindak seperti raja di dalam rumah itu. Nah saat ini ada baiknya kita meluangkan waktu untuk membahas sejenak tentang anak-anak yang egois, agar semua orang tua bisa melihat lebih jelas apa duduk masalahnya dan bisa mencegah agar mereka tidak menjadi orang tua yang menumbuhkan anak yang egois.
GS : Mungkin masalah yang terlintas di benak saya adalah yang pertama apakah anak itu sendiri menyadari bahwa dia itu egois, saya rasa belum Pak Paul ya, dia belum menyadari hal itu. Dan yang kedua mungkin orang tuanya juga tidak menganggap bahwa anaknya itu egois, hanya manja saja.

PG : Bagus sekali pengamatan Pak Gunawan, kedua hal itu memang sering kali terjadi, jadi yang pertama adalah sudah tentu si anak tidak menganggap dirinya egois, si anak merasakan bahkan dia anyalah mengutarakan keinginannya dan memang cukup banyak orang tua yang tidak menyadari hal ini.

Nah sering kali masalah mulai muncul tatkala anak-anak yang egois ini menginjak usia remaja atau usia praremaja misalkan sekitar usia 10-11 tahunan. Sebab pada saat-saat praremaja itulah anak-anak ini akan mulai membutuhkan banyak barang-barang yang misalkan dia membutuhkan sepatu yang bermerk, mainan tertentu yang bermerk atau menuntut dia itu diajak pergi menonton film yang baru keluar, nah yang akan kita lihat adalah anak-anak ini tidak mudah untuk mengalah dan dia akan benar-benar memunculkan sifat egoisnya.
(1) IR : Kemudian ciri-ciri yang egois itu bagaimana, Pak Paul?

PG : Nah pertama-tama Bu Ida, memang kita harus melihat ke belakang terlebih dahulu, anak-anak dilahirkan sebagai individu yang egois, tidak bisa tidak itu adalah suatu kodrat yang memang diawa oleh anak di dalam dunia ini.

Dia menjadi egois karena pada saat bayi si anak itu tidak mampu mencukupi kebutuhannya sendiri, harus bergantung kepada ibu atau figur pengasuhnya untuk memenuhi kebutuhannya. Nah dengan kata lain si anak itu akan menuntut si ibu untuk mencukupi apa yang dia inginkan, dia lapar dia tinggal menangis dan berteriak, dia mau minta perhatian untuk digendong dia tinggal menangis dan berteriak. Dengan cara-cara itulah ibu atau si figur pengasuh memberikan semua yang dibutuhkan oleh si anak. Jadi secara kodrati memang anak-anak itu "egois" pada masa kecilnya, namun anak yang sehat seharusnya akan mulai bergeser dalam pertumbuhannya. Dari titik di mana dia sangat egois mementingkan kepuasan dirinya menuju keseimbangan antara baik mementingkan dirinya atau keinginannya dan juga kepentingan orang lain. Tidak sehat juga kalau seorang anak hanya mementingkan diri orang lain, kepuasan anak-anak lain atau kepuasan orang lain, dia menjadi seseorang yang kehilangan dirinya pula, itupun tidak sehat, tapi itu memang masalah yang berbeda. Jadi yang sehat adalah anak yang memang bisa menyeimbangkan antara mementingkan dirinya dan sekaligus mementingkan kepentingan orang lain. Nah anak-anak yang egois adalah anak-anak yang tidak bisa menyeimbangkan kedua hal ini, dia hanya bisa mengutamakan dan hanya mengutamakan kepentingannya bahkan kadang-kadang tidak bisa menomerduakan kepentingan orang lain sebab baginya tidak ada kepentingan orang lain; yang ada adalah kepentingan diri sendiri.
GS : Sampai sebegitu jauh mungkin orang tua hanya memandang anak ini, ah dia 'kan masih kecil, jadi wajarlah kalau dia itu menuntut perhatian, pandangan yang seperti itu bagaimana Pak?

PG : Sampai titik tertentu memang orang tua harus menyadari itulah yang dibutuhkan oleh anak apalagi pada masa anak-anak itu berusia di bawah 5 tahun, anak-anak akan kesulitan untuk mengertikepentingan orang lain.

Karena kemampuannya berpikir juga masih terbatas, namun perlahan-lahan orang tua memang harus mengajar anak untuk juga belajar, jadi keinginannya itu ditempatkan ke yang paling tepat, yang utama.
GS : Tapi bagaimana dia itu belajar mengalah kalau dia itu hanya satu-satunya anak dalam keluarga itu, Pak Paul?

PG : Saya pernah membaca suatu hasil riset Pak Gunawan dan ini diadakan di Tiongkok dan ternyata dalam riset yang menggunakan subyeknya anak-anak tunggal; diperlihatkan bahwa anak-anak tunggl memang berpotensi besar menjadi anak-anak yang mementingkan diri sendiri.

Nah saya kira dinamika adanya adik dan kakak itu sedikit banyak menolong anak untuk tidak egois, kalau dia bertumbuh besar sendirian tanpa adanya adik atau kakak, tuntutan untuk dia membagi dirinya atau mengalah atau mementingkan kepentingan adik atau kakaknya juga sangat-sangat mustahil untuk ada karena memang tidak ada orangnya. Nah akhirnya keegoisan bisa makin bertumbuh, atau kasus yang lain yang juga mirip, Pak Gunawan, dengan kasus anak tunggal, adalah anak yang berjarak jauh dengan adiknya. Di mana misalkan si kakak sudah berumur 5, 6 tahun baru si adik dilahirkan, dengan kata lain dia sudah menikmati status sebagai anak tunggal bukan hanya 5 tahun sebetulnya sebab kira-kira dua tahun pertama si adik itu belum bisa mengambil barangnya atau mainannya, belum bisa mengganggunya karena masih bayi. Dengan kata lain sekitar 7 tahun dia terbiasa hidup sendirian.
IR : Apakah juga seorang anak yang sakit-sakitan itu juga bisa egois, Pak Paul? Biasanya yang berpenyakitan itu terlalu disayang.

PG : Contoh yang baik sekali, Bu Ida, jadi anak yang memang mempunyai kebutuhan-kebutuhan khusus, sering kali mendapatkan perhatian khusus. Jadi kalau tidak hati-hati si anak ini bisa bertumuh egois, karena dia menganggap semua harus dipusatkan pada dia.

Itulah sebabnya salah satu ciri juga anak-anak yang egois adalah dia menganggap diri sebagai kasus khusus, artinya keinginannya harus didahulukan sebab dia merupakan kasus perkecualian. Anak-anak lain tidak boleh bermain video game pada hari biasa o....dia bisa. Anak-anak lain harus membagi mainannya dengan adiknya o.....dia tidak usah, jadi ada kecenderungan anak-anak yang super egois ini menganggap dirinya itu lepas dari norma-norma yang berlaku di lingkungannya atau dalam keluarganya atau dalam sekolahnya. Anak-anak lain misalnya kalau di sekolah harus melapor ke guru kalau terlambat, o....dia merasa tidak harus, dia langsung masuk ke kelas dan dia menolak untuk melapor kepada guru. Anak-anak lain kalau bersalah harus meminta maaf o....dia tidak usah, dia tidak usah minta maaf, orang lainlah yang harus minta maaf kepada dia. Jadi kita melihat adanya suatu ciri menganggap diri senantiasa sebagai kasus perkecualian atau kasus khusus yang tidak bisa disamakan dengan anak-anak lainnya. Maka itulah kalau orang tua berusaha berkata kamu harus melihat dong anak-anak lain juga begini atau kakakmu begitu o....dia tak akan terima sebab dia menganggap dia berbeda, harus diperlakukan berbeda pula.
GS : Jadi keegoisan itu muncul atau bertumbuh tambah subur dalam diri anak itu ketika dapat stimulan dari orang-orang di sekitarnya?

PG : Betul, jadi adakalanya orang tua itu menyuburkan perilaku egois si anak, meskipun saya percaya orang tua tidak berniat seperti itu. Saya berikan contoh, saya pernah mengamati seorang ank yang mulai bertingkah di hadapan orang tuanya, dia mulai berteriak, dia mulai bersuara dengan keras, menuntut orang tuanya.

Dan saya melihat si orang tua itu seolah-olah tidak berdaya untuk membuat si anak itu berhenti berteriak, nah masalahnya anak ini bukanlah seorang anak yang berusia 14 tahun dan kalau saya tidak salah anak itu berusia di bawah 5 tahun, tapi saya melihat betapa paniknya si orang tua menghadapi anak yang seperti itu, nah sekali lagi tidak seharusnya ini terjadi.
(2) GS : Apakah ada bedanya anak yang manja dengan anak yang egois?

PG : Saya kira ada bedanya, meskipun kalau tidak berhati-hati anak yang manja itu bisa menjadi anak yang sangat egois. Anak yang manja sudah tentu adalah anak yang memang nyata-nyata membutukan perhatian yang khusus, tapi belum tentu dia menjadi anak yang tidak bisa memperhatikan kepentingan orang lain.

Ada anak yang manja sekaligus dia bisa juga mendahulukan kepentingan orang lain, bisa mengalah, namun dalam kemanjaannya dia meminta perhatian yang lebih khusus. Tapi anak yang egois tidak harus manja, yang jelas nyata adalah dia menuntut dan ciri ini juga sangat dominan yaitu tuntutannya memang tidak mengenal batas, seolah-olah kapanpun dia memintanya, di manapun dia memintanya, apapun yang dimintanya harus dituruti. Nah reaksi yang normal yang sering kali muncul adalah kalau tidak diberikan yang dia inginkan dia akan mengadat. Mengadat itu artinya dia akan berteriak, dia membanting diri di lantai, dia menangis meraung-raung, jadi dia akan menggunakan segala taktik-taktik itu guna mendapatkan perhatiannya atau guna memperoleh yang dia inginkan. Nah ini yang dalam bahasa Inggrisnya di sebut "temper tantrum", jadi mengadat seperti itu meraung-raung, berteriak-teriak dengan suara yang sekeras mungkin, sehingga orang tuanya itu panik. Nah di sini saya kira seharusnya orang tua itu tidak panik, namun adakalanya orang tua panik, nah itu membuat si anak tahu o....ini cara yang efektif yang ampuh sekali membuat orang tua saya memberikan yang saya minta.
(3) GS : Kalau begitu apa sebenarnya peran orang tua Pak Paul, dalam hal ini?

PG : Sebetulnya ada dua kondisi Pak Gunawan, yang menyebabkan anak-anak ini menjadi egois. Nah masalahnya yang menarik adalah dua kondisi ini sangat berseberangan mungkin dalam siaran kali ii kita hanya bisa membahas satu di antara dua, dan pada siaran berikutnya kita akan membahas yang keduanya itu.

Yang pertama adalah orang tua atau keluarga yang memberi perhatian kepada anak secara berlebihan, nah kadang kala itu terjadi tanpa disengaja. Ada keluarga atau orang tua yang menanti-nantikan anak selama 5 tahun tidak pernah bisa punya anak, akhirnya si anak itu lahir. Wah...luar biasa bergembiranya si orang tua dan akhirnya memberi perhatian yang berlebihan kepada si anak. Nah saya akan berikan beberapa ciri-cirinya, yang pertama misalnya orang tua yang memberikan perhatian berlebihan kepada anak adalah orang tua yang terlalu memuja-muja anak, baik secara langsung atau tidak langsung. Contoh konkretnya misalnya adalah terlalu memuji anak, saya katakan secara langsung atau tidak langsung misalnya seperti begini, yang langsung adalah orang tua berkata kepada si anak wah.....kamu luar biasa pintarnya ya, wah...kamu memang cantik sekali ya, wah.....kamu memang hebat, pujian-pujian itu baik, tidak ada salahnya dan anak perlu mendengarkan pujian orang tua. Namun kalau terus-menerus diberikan itu akan menggelembungkan ego si anak secara berlebihan atau secara tidak langsung yang sering orang tua juga lakukan adalah dengan membandingkan anak-anak lain dengan anaknya, lihat si anak itu, lihat si itu kok begitu wajahnya ya, kamu tidak begitu. Atau misalnya mencela lagi kekurangpandaian anak yang lain, jadi dengan seringnya orang tua mencela anak-anak yang lain, orang tua sedikit banyak mengagungkan anaknya ini bahwa dia atau anak itu tidak seperti anak-anak yang lain. Atau memberikan barang-barang yang bagus terus- menerus, memberikan mainan, pakaian yang bagus yang mahal-mahal yang tidak perlu pun juga diberikan, anak tunggal bersuara sedikit langsung orang tua membelikan, nah ini adalah bentuk-bentuk pemujaan anak.
GS : Dalam hal ini berkaitan dengan yang saya akan tanyakan, sekarang ini semakin banyak saja anak-anak ini dilombakan Pak Paul, bahkan sejak kecil sekali, dilombakan untuk merangkak dan sebagainya. Nah itu kalau dia menang 'kan secara tidak langsung atau langsung bahkan di puji-puji Pak Paul, itu berdampak atau tidak?

PG : Kalau sekali-sekali tidak apa-apa ya, misalnya dilombakan hanya sekali, tapi kalau setiap tahun dilombakan atau 6 bulan sekali dilombakan dan terus dipuji-puji kamu anak yang cantik, ank yang cakep, kamu anak yang tampan dan pemujaan itu melalui mimik muka yang mengagumi si anak terus-menerus.

Nah sekali lagi kekagumana yang dipancarkan secara terus-menerus dan berlebihan akan menggelembungkan ego si anak, jadi orang tua memang harus berhati-hati dengan pujian-pujiannya, jangan sampai berlebihan.
IR : Kemudian ciri-ciri perlakuan orang tua yang lain Pak Paul?

PG : Adakalanya orang tua ini, kurang menyoroti kelemahan anak, artinya apa, karena terlalu meninggikan, mengagungkan si anak, sehingga jarang membicarakan kelemahan si anak dan akibatnya kuang menuntut anak memperbaiki dirinya di dalam kekurangan-kekurangannya.

Sebab seolah-olah orang tua itu terlalu siap untuk memaklumi si anak, sudah tentu orang tua perlu menerima si anak apa adanya. Namun itu tidak berarti orang tua membutakan mata terhadap kekurangan atau kelemahan anak, nah saya kira penting sebagai orang tua kita mengenal anak-anak kita dari dekat karena anak-anak punya kelemahannya masing-masing. Anak saya tiga, saya dan istri saya kadang berbicara tentang masing-masing kelemahan anak-anak kami, ada sifat-sifat tertentu dalam diri anak kami yang kami anggap suatu kelemahan dan kami doakan secara khusus supaya dia mengalami bentukan Tuhan, agar kelemahannya itu bisa diperbaiki oleh si anak. Nah bagian-bagian ini yang harus orang tua mulai soroti, dan mulai munculkan pada si anak, supaya si anak itu sadar bahwa dia mempunyai kelemahan dalam hal-hal ini. Nah orang tua yang tidak membicarakan mengenai kelemahan anak sama sekali membuat si anak berpikir dia sempurna, dia tidak memiliki kelemahan sama sekali. Sehingga pandangannya terhadap dirinya menjadi pandangan yang tidak tepat, tidak realistik, terlalu positif jadi ini justru akan menumbuh-suburkan sikap egois pada si anak.
GS : Tapi kalau saya Pak Paul, lebih condong menunjukkan kelemahan sifat-sifatnya dia itu, tapi kalau kelemahan-kelemahan fisik misalnya matanya juling atau badannya pendek dan sebagainya 'kan kita tidak perlu ekspos itu?

PG : Betul sekali Pak Gunawan, terima kasih Pak Gunawan memberikan tambahan yang memang penting sekali. Yang saya maksud dengan kelemahan bukanlah kelemahan yang dia tidak bisa, misalnya memng kekurangan fisiknya atau kekurangan mentalnya atau kekurangan kecerdasannya, jadi kita tidak membanding-bandingkan si anak dalam hal-hal seperti itu.

Kemampuan fisiknya atau kemampuan intelektualnya, sebab memang itulah yang Tuhan berikan kepadanya. Namun kelemahan yang lebih berkaitan dengan sifatnya atau karakternya itu yang harus kita mulai tonjolkan, misalkan dia kurang begitu rajin kita munculkan, misalkan dia kurang begitu ramah kita munculkan, misalkan dia mempunyai jiwa yang agak keras dan kejam kalau menyakiti adiknya atau kakaknya atau temannya, tidak mempunyai perasaan sama sekali atau tidak ada rasa bersalah sama sekali, nah itu yang kita munculkan. Jadi kita mulai menyoroti dan memunculkan kelemahan si anak supaya dia tahu ada bagian dalam hidupnya yang perlu diperbaiki dan dia harus perbaiki. Nah ini bukan saja akan memperbaiki si anak, namun yang paling penting adalah si anak melihat dirinya dengan lebih realistik, tidak menggelembungkan ego, seolah-olah dia anak yang sempurna.
GS : Yang lainnya ada kira-kira, Pak Paul?

PG : Nah ini yang klasik, Pak Gunawan, yaitu orang tua itu kadang kala kurang mendisiplin anak, karena apa, ya banyak faktor. Misalkan dalam kasus yang terlalu sibuk dia tidak ada energi untk mendisiplin anak.

Atau adakalanya karena dia terlalu mengagungkan si anak seolah-olah si anak begitu luar biasa sempurnanya, sehingga tidak tega untuk mendisiplin si anak, terlalu memaklumi anak. Nah anak yang bertumbuh besar dengan tanpa disiplin berpotensi menjadi anak yang egois, yang tidak mengenal batas di mana kehendaknya harus dituruti. Orang tua harus mendirikan pagar-pagar yang bisa merintangi anak untuk senantiasa mendapatkan yang dia inginkan, meskipun orang tua mampu untuk membelikannya. Misalnya setiap keluar komputer yang baru anak minta, setiap keluar permainan video yang baru minta dan harus dibelikan, tidak, meskipun orang tua berkemampuan namun tidak harus orang tua senantiasa memberikan barang-barang yang baru keluar itu. Nah adakalanya itu menjadi trend bagi anak-anak tertentu dan dia di kenal di kelas sebagai anak yang memulai trend yang baru, belum pakai NIKE dia pakai NIKE dulu, belum ada yang pakai ADIDAS dia pakai ADIDAS dulu, belum ada yang beli walkman dia dulu yang pakai walkman. Jadi hal-hal itu menjadi identitas dirinya sebagai pemula, dia akan menuntut orang tua untuk senantiasa memberikan yang paling mutakhir itu, nah orang tua jangan sampai terjebak ke dalam perilaku seperti ini.
GS : Disiplin itu saya rasa memang perlu ditanamkan sedini mungkin dalam kebiasaan-kebiasaan kecil Pak Paul, dalam makan di meja makan, buang air kecil di kamar mandi. Karena saya pernah menjumpai seorang anak dalam sebuah keluarga Pak Paul, anak kecil itu yang belum sekolah itu kencing di mana saja Pak Paul, dia mau kencing di mana ya dia kencing di sana. Tapi orang tuanya bangga malah jadi tertawa-tawa melihat itu, dia cuma mengambil kantongan plastik lalu di mana dia suka mau kencing, tapi tidak disiplin sama sekali; saya rasa 'kan hal-hal seperti itu. Atau kalau bangunnya kesiangan tidak dibanguni walaupun akhirnya dia mesti sekolah TK kecil tapi tidak dibanguni, katanya ah... kasihan tadi malam tidurnya agak kemalaman.

PG : Betul sekali, banyak hal-hal kecil yang dapat menjadi ajang latihan anak untuk mendisiplin dirinya, nah yang memang susah adalah kalau orang tua adalah orang tua yang sangat berada, sehngga di rumah tersedia pembantu rumah tangga yang akan memunguti barang-barang si anak.

Nah orang tua di sini harus berhati-hati jangan sampai membuat si anak, kecil-kecil menjadi raja, sebab nanti dia akan menuntut dirinya untuk diperlakukan sebagai raja pula, tatkala menginjak usia dewasa. Hal kecil misalnya membereskan tempat tidur, meletakkan handuk yang benar, dan menaruh sepatu di tempat sepatu, bukan hanya dibuka didepan pintu dan sembarangan, jadi hal-hal kecil seperti itu bisa dipakai sebagai ajang latihan mendisiplin si anak. Nah kadang kala orang tua di sini juga gagal, adakalanya orang tua yang terlalu sayang kepada anak berkata tidak usahlah dia sudah capek, yang penting dia belajar, yang penting belajar, yang lainnya tidak usah, keliru. Yang lainnya itu juga sama pentingnya dengan belajar itu.
GS : Mungkin orang tua perlu belajar disiplin dulu ini Pak Paul? Saya rasa yang tidak disiplin ini orang tuanya.
IR : Kemudian ada ciri perlakuan orang tua yang lain, Pak Paul?

PG : Ya ini bu Ida, adalah orang tua yang terlalu bergantung pada anak sebagai pemenuh kebutuhan emosional mereka sendiri. Jadi mereka ini misalkan tidak terlalu ganteng dan cantik, kebetula punya anak terlalu cantik dan ganteng.

Lucu sekali itu menjadi pemenuh kebutuhan mereka, si anak itu seolah-olah menjadi suatu yang indah yang terjadi dalam hidup mereka. Akibatnya mereka sepertinya menjadi anak, si anak menjadi orang tua, mereka sangat membutuhkan penerimaan si anak. Mereka sangat membutuhkan agar anak menyukai mereka, nah ini yang berbahaya karena orang tua takut kalau-kalau anaknya itu marah kepada mereka sudah pasti akan dikuasai oleh si anak. Oleh si anak, dalam pengertian si anak ini akan menjadi anak yang egois dan si orang tua senantiasa harus menuruti keinginannya. Jadi jangan sampai orang tua terlalu meninggikan anak seolah-olah anak itu adalah hal terindah, terhebat dan sebagainya dalam kehidupannya, jangan sampai itu terjadi .
GS : Yang mungkin tentang keinginan anak itu bagaimana?

PG : Nah adakalanya tadi yang sudah kita singgung, anak-anak itu mendapatkan semua yang diinginkannya tanpa batas. Jadi penting orang tua mengingat bahwa meskipun mereka mampu memberikan, teap harus diberikan dalam batas tertentu, anak kecil harus mengerti yang namanya batas, dia tidak selalu mendapatkan yang dia inginkan.

Kalau dia terus mendapatkan yakinlah dia akan bertumbuh besar menjadi anak yang egois.
GS : Tapi biasanya orang kewalahan kalau anaknya minta ini lalu tidak dituruti 'kan bisa melakukan tindakan-tindakan destruktif, Pak Paul?

PG : Nah itu adalah dalam kasus di mana sudah agak terlambat, sebab kalau orang tua memulainya sejak anak-anak berusia 2 tahun atau 1,5 tahun setelah anak itu usia 4, 5 tahun tugas orang tuabukan makin berat, makin ringan.

Karena si anak sudah tahu struktur orang tuanya sehingga dia tidak meminta sembarangan atau menuntut orang tua tanpa batas.
IR : Jadi seawal mungkin ya?

PG : Tepat sekali, Bu Ida, seawal mungkin memang.

IR : Tapi kalau masih kecil 'kan dia punya rasa takut, jadi orang tua yang harus bertindak tegas ya Pak Paul?

PG : Tepat sekali, nah ini bukan berarti sejak kecil kita harus terus menyengsarakan si anak ya, ini topik berikutnya yang akan kita bahas ya kalau berlebihan juga tidak memberikan perhatiankepada si anak.

GS : Dalam hal ini Pak Paul, firman Tuhan memberikan bimbingan apa kepada kita khususnya orang tua?

PG : Saya akan mengutip dari Kejadian 22:11-12, Tetapi berserulah malaikat Tuhan dari langit kepadanya, "Abraham, Abraham!" sahutnya "ya Tuhan", lalu Ia berfirman : "Jangan bunu anak itu dan jangan kau apa-apakan dia, sebab telah Ku ketahui sekarang bahwa engkau takut akan Allah dan engkau tidak segan-segan untuk menyerahkan anakmu yang tunggal kepadaKu."

Kita tahu ini adalah cerita Abraham di mana Tuhan meminta dia mengorbankan anaknya Ishak, tapi Abraham tidak segan-segan memberikan putranya dan ternyata memang Tuhan hanya menguji dia. Janganlah kita sampai terlalu sayang pada Ishak-Ishak kita sehingga kita menomerduakan Tuhan. Prinsip itu harus kita pegang dengan patuh, Tuhan nomor satu, anak tidak boleh menjadi yang nomor satu bahkan dalam keluarga sendiri anak tidak boleh menjadi yang nomor satu, anak perlu dididik dan dibatasi.
GS : Ya, jadi demikianlah tadi para pendengar yang kami kasihi, kami telah persembahkan sebuah perbincangan tentang bagaimana menangani anak yang egois. Dan perbincangan ini kami lakukan bersama Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami masih akan membahas lebih lanjut tema ini pada sesi berikutnya, dan kami mengharapkan Anda bisa mengikutinya pada acara TELAGA yang akan datang. Dari studio kami mohon juga tanggapan saran serta pertanyaan-pertanyaan dari Anda yang bisa Anda alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK Jl. Cimanuk 58 Malang. Dan dari studio kami mengucapkan terima kasih.

PERTANYAAN KASET T 52 A

  1. Apa ciri-ciri anak-anak yang egois….?
  2. Apakah bedanya anak yang manja dengan anak yang egois….?
  3. Apakah yang melatarbelakangi atau yang menyebabkan anak berperilaku egois …?

Ringkasan:

Pada dasarnya setiap anak lahir ke dunia memiliki sikap egois atau sikap mementingkan diri sendiri. Pertumbuhan yang sehat harusnya mendorong anak bukan saja mementingkan dirinya, namun juga mementingkan kepentingan orang lain. Harus ada keseimbangan antara keduanya, saya kira anak yang terlalu mementingkan diri orang lain, sehingga tidak lagi melihat kepentingan dirinya menjadi anak yang tidak terlalu sehat. Jadi yang dituju adalah keseimbangan antara mementingkan diri sendiri dan juga mementingkan kepentingan orang lain.

Adakalanya orang tua memberikan perlakuan kepada anak secara tidak sadar malah menumbuhkembangkan sikap egois pada anak. Sehingga anak akhirnya tidak pernah berhasil memperhatikan kebutuhan orang-orang lain, namun malah hanya mengutamakan kepentingannya sendiri. Ada beberapa perlakuan orang tua yang bisa membuat anak-anak itu menjadi anak-anak yang egois.

Beberapa ciri anak yang egois:

  1. Anak-anak yang egois adalah anak-anak yang tidak bisa menyeimbangkan kedua hal ini, dia hanya bisa mengutamakan dan hanya mengutamakan kepentingannya bahkan kadang-kadang tidak bisa menomerduakan kepentingan orang lain sebab baginya tidak ada kepentingan orang lain; yang ada adalah kepentingan diri sendiri.

  2. Menganggap diri sebagai kasus khusus. Dalam arti keinginannya harus didahulukan sebab dia merupakan kasus perkecualian.

  3. Tapi anak yang egois tidak harus manja, yang jelas nyata adalah dia menuntut. Dan ciri ketiga ini juga sangat dominan yaitu, tuntutannya memang tidak mengenal batas. Seolah-olah kapanpun dia memintanya, dimanapun dia memintanya, apapun yang dimintanya harus dituruti.

Ada dua kondisi utama yang menyebabkan anak-anak menjadi egois sbk:

  1. Orang tua atau keluarga yang memberi perhatian kepada anak secara berlebihan. Kadangkala itu terjadi tanpa disengaja.
    Saya akan berikan beberapa ciri-cirinya:

    1. Orang tua yang memberikan perhatian berlebihan kepada anak adalah orangtua yang terlalu memuja-muja anak, baik secara langsung atau tidak langsung.

    2. Adakalanya orang tua kurang menyoroti kelemahan anak karena terlalu meninggikan dan mengagungkan si anak. Sehingga jarang membicarakan kelemahan si anak, dan akibatnya kurang menuntut anak memperbaiki dirinya di dalam kekurangan-kekurangannya.

    3. Orang tua terlalu bergantung pada anak sebagai pemenuh kebutuhan emosional mereka sendiri.

    4. Orang tua kurang mendisiplin anak.

  2. Orang tua yang tidak mendisiplin anak dengan baik sehingga semua yang anak-anak minta dituruti tanpa batas.

Kejadian 22:11,12, "Tetapi berserulah malaikat Tuhan dari langit kepadanya, "Abraham, Abraham!" sahutnya "ya Tuhan", lalu Ia berfirman : "Jangan bunuh anak itu dan jangan kau apa-apakan dia, sebab telah Ku ketahui sekarang bahwa engkau takut akan Allah dan engkau tidak segan-segan untuk menyerahkan anakmu yang tunggal kepadaKu."

Kita tahu ini adalah cerita Abraham dimana Tuhan meminta dia mengorbankan anaknya Ishak, tapi Abraham tidak segan-segan memberikan putranya dan ternyata memang Tuhan hanya menguji dia. Janganlah kita sampai terlalu sayang pada Ishak-Ishak kita sehingga kita menomerduakan Tuhan, tidak bisa. Prinsip itu harus kita pegang dengan patuh, Tuhanlah yang nomor satu, anak tidak boleh menjadi yang nomor satu. Sekalipun dalam keluarga sendiri, anak tidak boleh menjadi yang nomor satu, anak perlu dididik dan dibatasi.

Beberapa ciri orang tua yang kurang memberikan perhatian kepada anak:

  1. Orang tua yang memberikan sedikit waktu pada si anak, jadi benar-benar waktu yang diberikan sangat minim. Mereka misalkan repot bekerja, pulang sudah malam, akhir pekan juga mungkin bekerja atau pun kalau tidak bekerja menjadi orangtua yang terlalu letih, akibatnya adalah tidak memberikan waktu yang lebih kepada si anak.

  2. Orang tua yang terlalu banyak menolak atau terlalu memberikan banyak penolakan pada anak Anak yang disebodohkan tidak mendapatkan cinta kasih, dia merasa justru sangat diabaikan.

  3. Anak yang didisiplin terlalu ketat atau terlalu berkelebihan juga bisa menjadi anak yang egois.

Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan untuk mengatasi sifat egois:

  1. Kita harus membesarkan anak dengan suatu pengertian bahwa anak itu membutuhkan dua hal yang hakiki. Yang pertama adalah anak-anak membutuhkan cinta kasih, yang kedua anak-anak juga membutuhkan disiplin.

  2. Yang sulit justru untuk menolong orang tuanya, apalagi kalau orang tua yang sudah terlanjur misalnya mencurahkan perhatiannya yang terlalu banyak kepada anak, sehingga anaknya jadi egois. Atau orang tua yang sebaliknya. Sebab adakalanya memang orangtua memberi perhatiannya berlebih kepada anak, atau kebalikannya kurang memberi perhatian kepada anak karena mereka sendiri bermasalah dalam hubungan nikah mereka.

  3. Memang akhirnya dalam upaya menolong si anak kita harus libatkan si orangtua dan menunjukkan bagaimana si anak menjadi egois.

Anak-anak yang ditempatkan dalam situasi yang berbeda dan dibentuk lingkungannya dengan kuat, mempunyai dua pilihan.

  1. Pilihan yang pertama adalah dia bersikukuh tidak mau berubah.

  2. Yang ideal adalah yang kedua itu di mana dia akhirnya akan berubah.

Anak-anak yang dibesarkan oleh baby-sitter dari kecil akan kehilangan kesempatan sebagai berikut:

  1. Pertama-tama untuk menerima kasih sayang langsung dari orang tua. Itu suatu kerugian besar bagi si anak.

  2. Kedua dia kehilangan kesempatan melihat orangtua bereaksi atau bersikap dalam hidup, sedangkan anak-anak perlu melihat orang tua bereaksi dalam hidupnya, sehingga dia bisa mulai mencontoh orang tuanya. Otomatis dia akan kehilangan waktu-waktu tersebut dan kehilangan model-model itu.

  3. Ketiga ia kehilangan kesempatan untuk berinteraksi atau bergaul dengan orang tuanya. Dan itu sebetulnya salah satu hal yang mutlak diperlukan oleh seorang anak.

1 Timotius 3:12, "Diaken haruslah suami dari satu istri dan mengurus anak-anaknya dan keluarganya dengan baik". Saya garisbawahi kalimat mengurus anak-anaknya dan keluarganya dengan baik. Tuhan meminta orangtua mengurus anak-anak dengan baik karena memang itulah tanggung jawab yang Tuhan embankan kepadanya. Mengurus berarti sekaligus, bukan saja mengelola supaya rumah tangganya itu berjalan dengan damai, tenteram, menerapkan disiplin yang seharusnya, tapi juga menyediakan kebutuhan emosional si anak.


Questions:

GS : Mungkin masalah yang terlintas di benak saya adalah yang pertama apakah anak itu sendiri menyadari bahwa dia itu egois, saya rasa belum Pak Paul ya, dia belum menyadari hal itu. Dan yang kedua mungkin orang tuanya juga tidak menganggap bahwa anaknya itu egois, hanya manja saja.

GS : Sampai sebegitu jauh mungkin orang tua hanya memandang anak ini, ah dia 'kan masih kecil, jadi wajarlah kalau dia itu menuntut perhatian, pandangan yang seperti itu bagaimana Pak?

GS : Tapi bagaimana dia itu belajar mengalah kalau dia itu hanya satu-satunya anak dalam keluarga itu, Pak Paul?

GS : Jadi keegoisan itu muncul atau bertumbuh tambah subur dalam diri anak itu ketika dapat stimulan dari orang-orang di sekitarnya?

GS : Dalam hal ini berkaitan dengan yang saya akan tanyakan, sekarang ini semakin banyak saja anak-anak ini dilombakan Pak Paul, bahkan sejak kecil sekali, dilombakan untuk merangkak dan sebagainya. Nah itu kalau dia menang 'kan secara tidak langsung atau langsung bahkan di puji-puji Pak Paul, itu berdampak atau tidak?

GS : Tapi kalau saya Pak Paul, lebih condong menunjukkan kelemahan sifat-sifatnya dia itu, tapi kalau kelemahan-kelemahan fisik misalnya matanya juling atau badannya pendek dan sebagainya 'kan kita tidak perlu ekspos itu?

GS : Yang lainnya ada kira-kira, Pak Paul?

GS : Disiplin itu saya rasa memang perlu ditanamkan sedini mungkin dalam kebiasaan-kebiasaan kecil Pak Paul, dalam makan di meja makan, buang air kecil di kamar mandi. Karena saya pernah menjumpai seorang anak dalam sebuah keluarga Pak Paul, anak kecil itu yang belum sekolah itu kencing di mana saja Pak Paul, dia mau kencing di mana ya dia kencing di sana. Tapi orang tuanya bangga malah jadi tertawa-tawa melihat itu, dia cuma mengambil kantongan plastik lalu di mana dia suka mau kencing, tapi tidak disiplin sama sekali; saya rasa 'kan hal-hal seperti itu. Atau kalau bangunnya kesiangan tidak dibanguni walaupun akhirnya dia mesti sekolah TK kecil tapi tidak dibanguni, katanya ah... kasihan tadi malam tidurnya agak kemalaman.

GS : Mungkin orang tua perlu belajar disiplin dulu ini Pak Paul? Saya rasa yang tidak disiplin ini orang tuanya.

GS : Yang mungkin tentang keinginan anak itu bagaimana?

GS : Tapi biasanya orang kewalahan kalau anaknya minta ini lalu tidak dituruti 'kan bisa melakukan tindakan-tindakan destruktif, Pak Paul?

GS : Dalam hal ini Pak Paul, firman Tuhan memberikan bimbingan apa kepada kita khususnya orang tua?

GS : Ya, jadi demikianlah tadi para pendengar yang kami kasihi, kami telah persembahkan sebuah perbincangan tentang bagaimana menangani anak yang egois. Dan perbincangan ini kami lakukan bersama Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami masih akan membahas lebih lanjut tema ini pada sesi berikutnya, dan kami mengharapkan Anda bisa mengikutinya pada acara TELAGA yang akan datang. Dari studio kami mohon juga tanggapan saran serta pertanyaan-pertanyaan dari Anda yang bisa Anda alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK Jl. Cimanuk 58 Malang. Dan dari studio kami mengucapkan terima kasih.