Jika Tidak Memunyai Anak
Sumber: artikel_c3i
Id Topik: 2564
Salah satu alasan yang paling sering disebut oleh banyak orang, mengapa seseorang harus (atau sebaiknya) menikah adalah untuk meneruskan keturunan mereka. Merupakan satu kebanggaan tersendiri bagi seorang suami, bila ia dapat memiliki seorang anak. Demikian pula dengan seorang isteri, jika dia dapat memberi-kan seorang anak kepada suaminya. Tetapi, jika hal itu masih belum juga terwujud di dalam pernikahan, bagaimana sikap para suami isteri dalam menghadapi realita itu?
Siang itu, saya sedang berbincang dengan seorang hamba Tuhan. Ketika beliau tahu, bahwa belum ada seorang anak pun pada usia pernikahan kami yang telah memasuki tahun kelima, beliau bertanya kepada saya, "Apakah tidak ada masalah yang terjadi?" (Maksudnya, apakah dengan tidak mempunyai anak itu, maka hubungan pernikahan kami baik-baik saja). Mendengar pertanyaan itu, saya menjawab, "Oh, tidak! Sebab, kami telah membicarakan hal itu sebelum kami menikah. Tetapi bukan berarti kami tidak merindukan seorang anak. Kami belajar memahami, jika sampai hari ini kami masih belum diberikan seorang anak, pasti ada maksud Allah di balik semua ini. Termasuk, apabila Allah memang menghendaki untuk kami tidak memiliki seorang anak ." Mendengar jawaban saya, beliau tampak lega sekali. Katanya, "Puji Tuhan, kalau kamu memiliki pemikiran seperti itu. Sebab, tidak semua pasangan suami isteri dapat menerima kenyataan, bahwa mereka tidak dapat mempunyai anak."
Sebenarnya, saya telah berulangkali mendengar pertanyaan-pertanyaan yang senada (lengkap dengan nasihatnya) dari beberapa orang. Saya juga dengar pernyataan-pernyataan bernada sindiran (yang kadang-kadang terasa menyakitkan), mengapa saya dan isteri saya masih belum juga mempunyai seorang anak sampai saat ini. Tetapi, kami -saya dan isteri saya- sungguh bersyukur. Jauh sebelumnya kami telah mempersiapkan diri terhadap realita ini, dan juga terhadap pertanyaan dan sindiran dari orang-orang di sekitar kami. Sebab itu, hati kami tidak pernah sampai terganggu oleh semuanya itu. Saya tahu, semua itu terjadi, karena pekerjaan Roh Allah yang menopang hidup kami berdua selama ini.
Apakah ini berarti, bahwa kami tidak lagi menginginkan anak di dalam pernikahan kami? Atau, kami telah pasrah dengan keadaan ini, dan tidak lagi melakukan satu usaha pun untuk memperoleh seorang anak? Atau, kami tidak lagi memiliki pengharapan kepada Tuhan agar Ia memberikan seorang anak kepada kami? Tentu saja, tidak! Kami masih tetap merindukan seorang anak dan kami akan tetap terus berharap dan berusaha. Tetapi, kami tidak mau terobsesi oleh keinginan ini, agar hal ini jangan mengganggu hubungan kami, serta bertindak menurut pengertian kami sendiri dan tidak lagi bersandar kepada Tuhan. Sebaliknya, kami belajar menyerahkan keinginan kami kepada Tuhan sebagai Penguasa atas kehidupan kami, serta memahami bahwa Ia mengetahui akan rancangan-rancangan yang ada pada-Nya mengenai pernikahan kami.
Ada beberapa aspek pemahaman yang ingin kami bagikan kepada para pasangan suami isteri, mengapa kami tidak kebingungan sama sekali, ketika Tuhan masih belum juga menganugerahi kami seorang anak pun, sampai dengan hari ini.
Pertama, Tuhan mengetahui rancangan-rancangan apa yang ada pada-Nya
mengenai pernikahan kita, yaitu rancangan damai sejahtera dan bukan
rancangan kecelakaan (Yer 29:11).
Kesadaran bahwa Allah turut bekerja dalam segala sesuatu, termasuk di dalam
pernikahan kita akan memberikan satu pemahaman penting. Apabila sampai hari
ini kita masih belum (atau tidak) mempunyai anak, maka hal itu sepenuhnya
berada di dalam pengaturan kedaulatan Allah (Rom 8:28). Kita boleh merasa
aman, sebab kita tahu, rancangan Allah atas penikahan kita adalah rancangan
damai sejahtera dan bukan rancangan kecelakaan, yaitu untuk mendatangkan
kebaikan bagi kita. Sebab itu, jangan memiliki pemikiran yang suram, ketika
kita menghadapi kenyataan ini. Realita ini tidak membuat dunia pernikahan
kita kiamat, karena di balik semua itu ada maksud Allah, untuk mendatangkan
kebaikan bagi kita.
 
Kedua, Tuhan membuat segala sesuatu indah pada waktunya, tetapi manusia
tidak dapat menyelami pekerjaan yang dilakukan-Nya dari awal sampai akhir
(Pkh 3:11).
Kesadaran ini memberikan satu pemahaman penting, bahwa belum (atau tidak)
punya anak bukan berarti merupakan pertanda buruk bagi pernikahan kita.
Memang, secara manusia, kita tidak dapat memahami pekerjaan yang akan
dilakukan Allah dari awal sampai akhir. Tetapi satu hal yang kita tahu
pasti. Allah akan membuat realita yang tampaknya buruk ini, menjadi indah
pada waktunya.
 
Ketiga, bahwa Tuhan membuat segala sesuatu untuk tujuannya masing-masing
(Ams 16:4).
Apabila sampai dengan hari ini masih belum (atau tidak) mempunyai anak,
maka hal itu bukan terjadi tanpa satu tujuan yang tertentu dan penting.
Karena itu, kita boleh merasa yakin sekarang, bahwa realita 'masih belum
(tidak) mempunyai anak' yang (mungkin) sedang kita alami saat ini, tidak
terjadi dengan sia-sia, tetapi ada satu tujuan Allah yang tertentu, bagi
kepentingan Allah dan pernikahan kita sendiri.
 
Keempat,bahwa menjadikan pernikahan hanya sebagai sarana penerus keturunan
merupakan satu pemikiran yang sempit.
Tujuan utama Allah, dengan Ia mempersatukan kita -para suami isteri- di
dalam pernikahan (Kej 2:18), dan menganugerahkan anak-anak kepada kita (Kej
1:28), supaya kita menggenapi rencana-Nya secara maksimal di dalam hidup
kita. Jadi sebenarnya, punya anak atau tidak, itu bukan persoalan yang
hakiki dari sebuah pernikahan. Perkara yang utama di hadapan Allah adalah
bagaimana pernikahan kita boleh memuliakan-Nya. Sebab itu, jika pernikahan
kita hanya dijadikan sebagai sarana penerus keturunan merupakan pemikiran
yang sempit, dan merendahkan makna sesungguhnya dari tujuan pernikahan itu
sendiri.
 
Kelima,jangan pernah berhenti berharap kepada Tuhan, supaya Ia boleh
menganugerahi anak dalam pernikahan kita.
Bila sampai hari ini kita belum (atau tidak) mempunyai anak, bukan berarti
bahwa kita berhenti berharap kepada Allah, dan berusaha sesuai dengan
prinsip firman Allah. Tetapi, sebaliknya, kita harus tetap memiliki
pengharapan kepada Allah dan melakukan apa yang harus kita lakukan.
Akhirnya, jangan bersungut-sungut, apabila sampai hari ini kita masih belum (atau tidak) mempunyai anak, tetapi naikkanlah syukur kepada Tuhan! Pada satu sisi, kita perlu belajar, untuk menyerah di dalam kedaulatan kehendak-Nya, tetapi pada sisi yang lain, kita harus tetap berharap kepada-Nya, sampai Ia memberikan apa yang menjadi keinginan kita. Tuhan memberkati! (nirwan/wol)
GBU, Vonny Ambar 
-----------------------------------------------------------------------
* Dan apa saja yang kamu minta dalam doa dengan penuh kepercayaan, kamu akan menerimanya. * [Mat 21:22]