Etos Kerja Kristiani
Sumber: telaga
Id Topik: 2439
Abstrak:
Etos kerja adalah gabungan antara pemikiran, semangat dan motivasi yang melandasi dalam bekerja, tiga poin penting etos kerja sebagai orang percaya adalah bekerja dengan hati gembira dan kreatif bersama Allah, bekerja yang terbaik untuk Allah lewat proses dan hasil yang unggul, rayakan hari-hari kerja lewat perhentian Sabat.Transkrip:
Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi di mana pun Anda berada, Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (TEgur Sapa GembaLA KeluarGA). Acara ini diselenggarakan oleh Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) bekerjasama dengan radio kesayangan Anda ini. Saya, Yosie, akan berbincang-bincang dengan Bapak Ev. Sindunata Kurniawan, MK. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling keluarga. Perbincangan kami kali ini tentang "Etos Kerja Kristiani". Kami percaya acara ini bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
Y : Sebuah tema yang menarik ya, Pak Sindu. Etos Kerja Kristiani, karena sebagian besar hidup kita, waktu-waktu kita ini ‘kan dihabiskan di pekerjaan, tetapi topik ini jarang dibahas atau dibicarakan sebagai tema yang utama dalam khotbah-khotbah atau pertemuan-pertemuan ibadah kita.
SK : Betul, Bu Yosie, bahwa sesungguhnya 2/3 waktu hidup kita habis di dunia kerja dan ini menjadi sebuah medan peperangan rohani sekaligus medan pelayanan kita karena itu dunia kerja perlu juga diwarnai dengan nilai-nilai Kristiani agar kita menjadi murid Kristus yang berintegritas.
Y : Benar sekali, Pak karena banyak juga yang masih mengkotak-kotakkan.
SK : Ya untuk itu, Bu Yosie, saya ingin menjelaskan lebih dahulu apa yang dimaksud dengan etos kerja. Jadi etos kerja itu adalah gabungan antara pemikiran, semangat dan motivasi yang melandasi dalam bekerja. Jadi memang etos kerja itu perlu dibahas karena pada dasarnya setiap kita manusia yang hidup dengan sendirinya memiliki etos kerja, yaitu memiliki hal-hal yang menggerakkan kita, memotivasi kita, menyemangati kita untuk bekerja dan sekaligus etos kerja yang setiap kita dengan sendirinya miliki itu sesungguhnya memengaruhi kemudian ‘performance’ kerja atau hasil kerja atau kinerja kita. Jadi ketika kita menjalani hidup itu akan lahir produknya/buahnya dari etos kerja kita. Maka pertanyaan kemudian, apakah etos kerja kita, sudahkah sesuai dengan jati diri kita sebagai orang percaya? Karena etos kerja merupakan ekspresi dari jati diri kita, terlebih kita sebagai murid Kristus sepatutnya menampilkan etos kerja Kristiani.
Y : Setuju sekali, pak. Nah, pertanyaannya bagaimana kita mengetahui seperti apa seharusnya etos kerja kita sebagai orang percaya?
SK : Dalam hal ini, Bu Yosie, kita perlu pertanyakan ini kepada Allah yang menciptakan kita, apa yang sesungguhnya Allah desainkan saat penciptaan manusia?
Y : Jadi kembali ke Kejadian, begitu Pak ?
SK : Ya, kembali pada kitab Kejadian dimana pada kitab Kejadian pasal 1 dinyatakan bahwa setelah Allah menciptakan manusia, Allah memberikan berkat dan mandat kepada manusia untuk mewakili Allah, mengelola alam semesta yang baru saja selesai diciptakan selama enam hari kerja Allah, dan dimana Allah pada hari ke 7 beristirahat. Sebagai perwujudannya, kemudian Allah menempatkan manusia pertama dalam taman Eden untuk mengusahakan, mengerjakan dan memelihara taman itu secara bertanggungjawab sebagaimana ditulis dalam Kitab Kejadian 2:15. Maka disini, Bu Yosie, kita mendapatkan gambaran jelas bahwa bekerja adalah sifat asali Allah, sifat natur, sifat alamiah Allah yang kemudian dilekatkan pada manusia sebagai gambar Allah, maka kalau Allah bekerja bahkan hingga hari ini adalah Allah yang bekerja, maka manusia adalah juga makhluk yang bekerja. Bekerja itu bagian hakiki kemanusiaan kita yang kudus dan mulia dan bukan produk kutukan atas kejatuhan manusia dalam dosa.
Y : Menarik sekali, ya Pak. Bahwa sebetulnya bekerja itu adalah hakekat kita sebagai gambar Allah. Tetapi banyak dari kita malas bekerja, Pak. Malah yang "I hate Monday" kenapa, karena bekerja itu identik dari kutukan, uh karena dosa kita harus berjerih lelah. Menarik sekali, Pak. Silakan dibahas lebih dalam.
SK : Benar, bekerja itu melelahkan. Bekerja itu menjengkelkan, sehingga "I hate Monday", saya benci hari Senin karena itu hari awal kerja kita. Itu bukan fiksi, itu bukan tipuan, itu fakta, tetapi itu kenyataan yang terjadi setelah Kejadian pasal 3 bahwa ketika manusia jatuh dalam dosa, salah satu wujud hukuman Allah atas manusia bahwa manusia harus berjerih lelah, bersusah payah untuk bekerja, mengusahakan tanah untuk bisa makan dan hidup dan susah payah ini akan terus dibawa sampai ke liang lahat, sampai mati! Jadi kalau kita "I hate Monday" itu tidak salah, tapi maaf, itu berarti konsep kerja kita, etos kerja kita masih dikuasai oleh semangat Kejadian pasal 3. Allah merancang kita kerja dengan etos bukan Kejadian pasal 3, tapi dengan etos Kejadian pasal 1. Bekerja adalah kesukaan, bekerja adalah kegembiraan, bekerja adalah sebuah kesempatan berkreasi, sebagaimana Allah yang berkreasi menciptakan hal-hal yang berbeda dari hari pertama sampai hari yang keenam. Jadi seharusnya hari-hari kerja kita, baik enam hari kerja atau lima hari kerja, membawa semangat penciptaan Allah yang kreatif, yang memuaskan jiwa.
Y : Berarti kita harus mengubah "mind-set" kita, ya Pak ?
SK : Tepat, "mind-set", pola pikir, paradigma, itulah etos yang benar. Karena itu kenapa kita kerja dengan menggerutu, berkeluh kesah? Karena etos yang kita hidupi, etos yang salah. Kita sudah ditebus oleh darah Kristus, tapi kemudian kita lupa untuk mengalami juga penebusan didalam konsep kita bekerja. Jadi keselamatan hanya nanti di surga, nanti ada kemuliaan, ada istirahat, ada sukacita, tapi di dunia ini hanya air mata, kesedihan, keliru. Penebusan itu bukan hanya untuk nanti di surga tapi sejak kita lahir baru hidup di dunia, termasuk dalam dunia kerja kita perlu juga mengundang kuasa penebusan kita alami di jam-jam kerja kita, apa pun pekerjaan kita yang kita lakukan dengan halal, kita lakukan dengan semangat yang benar. Dari Kejadian pasal 1.
Y : Bahkan kalau kita melihat bahwa bekerja adalah kesukaan dan kegembiraan, seharusnya kita tidak boleh gampang-gampang untuk berpikir pensiun atau cuti atau putus asa, begitu ya Pak ?
SK : Tepat, jadi kita boleh pensiun dari sebuah pekerjaan, pensiun dari sebuah profesi itu sah, itu benar, tapi kita tidak boleh pernah pensiun dari bekerja, beraktifitas dan berkarya positif karena ketika kita berhenti bekerja, berkarya positif maaf itu sebuah kematian. Coba lihat fakta, orang-orang yang pensiun pada umur misalnya 50 tahun atau 60 tahun, atau pensiun dini, kemudian hidupnya hanya diwarnai dengan berleha-leha semata, bersenang-senang semata, akhirnya ia akan mengalami : 3 hal kemungkinannya, yang pertama akhirnya mengalami kebosanan, kejenuhan, main-main ya senang, tapi main terus akhirnya bosan juga, jenuh. Yang kedua, ada yang mengalami kematian dini, karena tidak lagi bekerja, otaknya, tidak bekerja lagi tubuhnya, akhirnya otaknya menyusut mengalami kepikunan lebih dini, akhirnya sakit ini dan sakit itu, tubuhnya tidak bergerak, akhirnya metabolisme tidak lancar dan meninggal lebih dini. Atau yang ketiga, karena dia tidak bekerja, berkarya positif, apa yang terjadi? Jatuh dalam dosa, iseng ini iseng itu, akhirnya terlibat dalam perilaku-perilaku dan kebiasaan berdosa.
Y : Menarik sekali, ya Pak, karena tadi ya keluar dari gambar Allah, hakekat kita kalau kita tidak bekerja, ya Pak.
SK : Benar dan Allah mendesainkan kita, bu Yosie, manusia bekerja adalah untuk mengelola alam semesta ini, sesuai kemauan Allah. Jadi bekerja, itu sesungguhnya Allah desain untuk membawa kebaikan bagi dunia, sekaligus membawa kemuliaan bagi Allah. Jadi kita bukan bekerja untuk perjudian, bekerja mau jual narkoba, itu ‘kan bekerja, eh nanti dulu, Allah memberi kita berkat dan mandat untuk bekerja, itu untuk mewakili Allah mengelola alam ini supaya dikelola menurut kemauannya Allah, desainnya Allah. Dan itu terjadi sebelum Kejadian pasal 3, jadi kemauan Allah yang kudus, membawa kebaikan yang memberkati alam semesta, bukan merusak alam semesta atau bahkan merusak orang lain.
Y : Kalau orang melakukan pekerjaan yang seperti itu pasti karena paradigma yang salah tadi mungkin karena pekerjaan hanya untuk cari uang, mendatangkan keuntungan bagi diri kita saja, ya Pak.
SK : Tepat dan itu bukan desain Allah. Maka tidak heran kemudian Rasul Paulus menangkap etos kerja ini dari Kejadian 1, dia tuangkan dalam suratnya di I Korintus 10:31, "Jika engkau makan atau jika engkau minum atau jika engkau melakukan sesuatu yang lain, lakukanlah semuanya itu untuk kemuliaan Allah". Kemudian didalam surat Kolose 3:23, rasul Paulus oleh hikmat Roh Kudus juga menuliskan, "Apa pun juga yang kamu perbuat, perbuatlah dengan segenap hatimu seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia". Jadi dengan kata lain, apa pun yang kita lakukan itu sesuatu yang kita semangati. Sebuah persembahan untuk Allah, sebuah ibadah untuk Allah. Jadi kerja adalah sebuah ibadah, sebagaimana kita mensakralkan ibadah Minggu, mensakralkan sebuah mezbah keluarga, pujian penyembahan kepada Allah, maka sesungguhnya kerja kita adalah juga sebuah mezbah untuk memuliakan Allah. Dengan perkataan lain, kalau kita bekerja kita akan melakukan yang terbaik, bukan ala kadarnya karena itu wujud syukur dan pengabdian kita kepada Allah.
Y : Menarik sekali ya, Pak. Tapi kenyataannya saya melihat banyak orang Kristen justru menomorduakan pekerjaan. Padahal tadi Pak Sindu itu menyebutkan itu harusnya sama utamanya. Kenyataannya banyak yang misalnya minta izin atas nama pelayanan, atau terlambat tadi atas nama sesuatu yang dianggap lebih penting ke gereja, seperti pelayanan apa kamp, bagaimana kita menyikapinya dan bagaimana seharusnya?
SK : Kembali di bagian awal yang saya bahas tadi, etos kerja merupakan ekspresi dari jati diri kita. Kalau tadi kerjanya melakukan dichotomi, bahwa ini di kantor, itu sekuler, sesuatu yang membosankan, duniawi, tidak ada Tuhan. Tapi pelayanan di gereja, sesuatu yang kudus, mulia dan bernilai kekal. Harus kita kerjakan yang terbaik, tapi di dunia kerja sekadarnya saja. Itu berarti jati diri kita tulalit, bahwa sebenarnya kita tidak memahami jati diri yang asli. Tanpa sadar, jati diri kita jati diri yang abal-abal. Artinya kita salah berteologi, salah memahami desain Allah, desain yang kita pegang bukan berdasarkan Kejadian pasal 1 tapi Kejadian pasal 3, jadi sesungguhnya tidak ada dichotomi, apa yang kita lakukan apa pun itu, perbuatlah seperti untuk Tuhan. Rasul Paulus tidak mengatakan, "Kalau kamu di gereja, di dalam sekian meter persegi bangunan gereja, lakukanlah seperti untuk Tuhan", tapi apa yang kamu lakukan di luar gedung gereja, lakukanlah sebagaimana untuk manusia yang berdosa. Tidak demikian ! Jadi rohani itu bukan apa kegiatannya, tapi apa spiritnya. Kalau kita melayani Tuhan dengan semangat kedagingan supaya aku mulia, populer, supaya aku dipuji, itu rohana bukan rohani, tapi apa yang kita lakukan di pekerjaan, sehari-hari menyapu, mengepel, jadi kasir, jadi pebisnis, jadi guru, jadi buruh, jadi pemimpin perusahaan, tapi dengan spirit/semangat untuk Tuhan maka pekerjaan kita rohani.
Y : Kalau begitu apa poin-poin pentingnya yang perlu kita pegang lebih lanjut?
SK : Saya rumuskan secara ringkas, bu Yosie, ada tiga etos kerja Kristiani utama yang perlu kita hidupi. Yang pertama, bekerjalah dengan hati gembira dan kreatif bersama Allah.
Y : Maksudnya seperti apa, Pak ?
SK : Jadi seperti saya ceritakan tadi di awal, di Kejadian pasal 1, Allah adalah sosok pribadi yang begitu kreatif dan bersukacita melakukan, mengekspresikan kreatifitas-Nya didalam membuat penciptaan dunia ini dari hari pertama sampai hari keenam. Kita sebagai gambar Allah kita juga dalam setiap kesempatan bisa bekerja, ekspresikan hati yang gembira itu, ekspresikan daya cipta, daya imajinasi, daya kreatifitas kita sehingga sekalipun kita bekerja sebagai tukang sapu jalan raya, mari kita lakukan dengan menghayati bahwa Allah bersama denganku dalam tiap sapuanku di jalan raya. Maka dengan kegembiraan aku sebagai tukang sapu, aku akan menyapu jalan raya ini dengan sukacita dan kesadaran bahwa aku diizinkan, dipercayakan oleh Allah untuk memberkati semesta raya ini lewat sumbangsih kebersihan jalan yang aku lakukan, lewat setiap sapuanku di jalan raya.
Y : Mungkin dengan perkataan lain, seperti memaknai pekerjaan kita ini untuk Tuhan tadi, ya Pak ?
SK : Benar, jadi pekerjaan sesederhana apapun, sesimpel apapun, hanya juru packing barang, hanya kurir, mari lakukan, Oh aku sedang memuliakan Allah. Aku lakukan bersama dengan Allah, dengan apa yang aku lakukan ini memberkati orang lain yang akan menerima barang kiriman, orang lain yang akan makan makanan yang aku masak. Orang akan menikmati kursi meja yang aku bersihkan ini.
Y : Memaknainya, tapi kreatif itu mungkin maksudnya juga punya kerinduan untuk melakukan dengan lebih baik, jangan monoton.
SK : Benar, jadi artinya bahwa Allah memberikan kita akal budi, akal budi yang luar biasa. Kita bukan sekadar kalau bahasa komputer, sekadar pentium 4, pentium 5 dan lain-lain, kita jauh lebih hebat dari prosessor yang manusia bisa buatkan dalam teknologi komputer, dalam teknologi robotik. Jadi lakukan sesuatu yang mungkin bagi dunia sederhana. Apa sih pekerjaanmu hanya tukang sapu, hanya tukang atap, hanya tukang masak. Itu dunia memandang, tapi kita memandang dengan mata Allah, dengan etos kerja sebagai milik Allah maka kita akan menghayati dan mengekspresikan secara berbeda.
Y : Yang kedua, Pak ?
SK : Yang kedua adalah bekerjalah secara unggul untuk Allah. Dalam hal ini, bu Yosie, saya suka dengan kata "unggul". Kata "unggul" ini menggantikan kata "perfektionist", kadang kita salah mengerti. Aku orangnya perfektionist lho, apa-apa yang dikerjakan pasti yang terbaik. Maaf itu keliru. Perfektionist itu maaf, terminologi yang menggambarkan gangguan jiwa, gangguan kepribadian ‘obsessive compulsive’, dia mengejar kesempurnaan sehingga disebut perfektionist karena dia mengalami ketidakyakinan tentang harga dirinya, dia mengalami kekosongan jiwa dan dia menggantikan kekosongan jiwa itu diisinya dengan karya-karya yang pokoknya dengan harga berapa pun dengan cara apa pun harus sempurna….sempurna. Itu ekspresi masalah kepribadian tapi yang Allah rancang, bekerjalah yang terbaik untuk Allah, perbuatlah apapun seperti untuk Allah, itu bukan perfektionist, tapi "excellency" dalam bahasa Inggris. Menggunakan standard keunggulan, maka bekerjalah secara unggul untuk Allah baik dari proses kerjanya maupun dari hasil kerjanya. Artinya sekalipun tidak ada pimpinan, ya aku tetap lakukan secara berintegritas. Aku tidak akan mencuri-curi waktu, menggunakan jam kerjaku untuk main game. Terlambat, memanipulasi, titip untuk absen, tidak ada yang melihat, tidak ada satpam, tapi ya kita lakukan yang terbaik.
Y : Mungkin ini juga berlaku untuk anak-anak yang kuliah, ya Pak ? Maksudnya etos kerja, sering titip absen, tidak jujur dalam menggunakan waktu kuliah.
SK : Kita akan ada pembahasan dalam sesi yang lain, tentang "Membentuk Etos Kerja pada Anak", karena bicara etos kerja bukan hanya untuk orang dewasa yang bekerja formal, mendapatkan uang, tapi etos kerja sudah dihidupi sejak balita. Apa pun yang dia lakukan, beraktifitas, sekolah juga bekerja. Jadi apa yang kita lakukan dengan hidup kita, ada yang bekerja untuk mendapatkan uang, ada yang bekerja untuk studi, ada yang bekerja dalam aktifitas sehari-hari. Itu semua mengekspresikan sebuah etos. Etos mana yang kita hidupi? Lha kembali ke tadi, prosesnya unggul, hasilnya juga unggul. Kadang orang berpikir untuk apa, ini ‘kan barang murahan, kamu hanya digaji sekian, kerja yang terbaik ya rugi ! Bosmu yang untung, perusahaan yang untung. Maaf, itu etos Kejadian pasal 3. Orang percaya etosnya Kejadian pasal 1, bahwa aku lakukan memang untuk Allah. Ini persembahanku, persembahan pujianku, persembahan waktuku, bukan hanya waktu ibadah Minggu, pelayanan gerejawi. Tapi di luar kegiatan pelayanan gerejawi juga sebuah pelayanan, sebuah ibadah untuk Allah dan saya yakin akhirnya kita yang diberkati. Siapa yang setia dalam perkara kecil, siapa yang setia mengerjakan sebuah proses dan hasilnya unggul, kita berarti akan siap dipercayakan hal-hal yang lebih besar. Itu hukum Allah sendiri, setia dalam perkara kecil berarti dia akan setia dalam perkara besar dan akhirnya bos kita akan melihat juga. Customer kita akan melihat, "Oh, dia ini benar, tidak mencuri timbangan, kualitasnya A ya A, B ya B dan harganya memang harga yang rasional". Bos juga percaya, memberi kepercayaan untuk jabatan yang lebih tinggi atau pelanggan kita akan percaya kalau ke ibu ini atau bapa ini, tutup mata, harga berapa pun diberi, pasti berkualitas, jujur, loyalitas konsumen, loyalitas ‘customer’. Kita yang untung, jadi jangan hanya melihat hal-hal yang instan. Itu semangat Kejadian pasal 3, semangat Kejadian 1 kembali melihat kekekalan, melihat dari perspektif Allah, pasti hasilnya kekal dan kembali. Kitalah yang diberkati.
Y : Bahkan saya pernah dengar cerita, hanya sekadar penjaga toilet, Pak. Tapi waktu dia ramah, menyapa, diviralkan di medsos, dihargai, dipanggil oleh pimpinannya dan diberi hadiah. Kisah nyata, iya ya, kadang-kadang kita menganggap yah cuma penjaga toilet. Tapi kalau kita melakukan dengan hati, pasti ada ‘reward’nya, ya Pak.
SK : Juga ada sebuah peristiwa, saya jadi teringat kisah relawan lalu lintas, ada yang melakukan dengan ekspresif, dengan tarian, akhirnya orang kagum, tertarik dan diberkati.
Y : Akhirnya pekerjaan yang sederhana sekalipun, dihargai. Berarti hukumnya Tuhan nyata, maksudnya bukan cuma nanti kekekalan kita pasti mendapatkan. Di dunia pun kita akan menerima, barangsiapa setia dalam hal yang kecil, akan dipercaya hal yang besar.
SK : Saya sepakat, bu Yosie, hukum Tuhan apa yang ada didalam firman Tuhan bukan sesuatu yang ……tapi yang kita lakukan justru dunia mengakui, dunia menyukainya.
Y : Baik, Pak. Yang poin ketiga ?
SK : Jadi ada 3 poin, etos kerja utama kita sebagai orang percaya. Yang pertama, bekerjalah dengan hati gembira dan kreatif bersama Allah; yang kedua, bekerjalah secara unggul untuk Allah; yang ketiga, rayakanlah hari-hari kerja kita lewat perhentian sabat. Jadi Allah sendiri beristirahat setelah bekerja setelah enam hari kerja penciptaan, apalagi kita manusia yang bukan kalibernya Allah. Kerja, kerja, kerja tanpa istirahat, akhirnya stroke, serangan jantung. Tidak bisa, enam hari bekerja, hari berikutnya istirahat. Jadi istirahat bukanlah kemalasan, istirahat setelah bekerja membuat perayaan kecil untuk sebuah pencapaian tertentu, itu rohani, itu Alkitabiah, itu desainnya Allah. Jadi kalau kita pimpinan mari berikan juga hak cuti kepada anak buah kita. Kalau pun kita adalah pemimpin, pengusaha, wirausahawan, mari juga berilah waktu cuti bagi diri kita. Itu sehat, waktu cuti, waktu sabat, sehat secara rohani, sehat secara fisik, sehat secara mental kita dan itu akan membuat kita makin produktif juga. Jadi orang berpikir kalau dia akan menggergaji, menggergaji, menggergaji, dia akan lebih banyak berkarya tapi akhirnya tumpul juga. Kenapa tidak akan berhenti, nanti tidak akan banyak pohon yang ditebang. Gergajinya tumpul, berilah waktu, setop menggergaji berilah waktu sabat untuk mengasah gergaji, agar berikutnya bisa mengasah secara efektif karena gergajinya sudah dipertajam lewat sabat perhentian.
Y : Setuju, Pak karena banyak orang juga berpikir kalau etos kerja sungguh-sungguh semangat, sampai lupa istirahat. Hari Minggu juga bekerja terus, ini bagian dari kesungguhan. Salah juga, tidak bijaksana.
SK : Itu kembali etos kerja Kejadian pasal 3, kerja… kerja… kerja hanya untuk diri sendiri, lupa Allah. Etos kerja Kristiani berdasarkan Kejadian pasal 1 itu kerja dari Allah, sebuah berkat, oleh Allah bersama dengan Allah dan untuk Allah. Kalau kita menghayati dari Allah, oleh Allah untuk Allah dan Soli Deo Gloria, semua untuk kemuliaan Allah maka kita tidak akan "workaholic" tidak akan gila kerja, kerja yang sesuai porsi, ada istirahat, ada ‘recharge’ pengisian ulang baterei jiwa, baterei tubuh, baterei relasi sosial kita. Itulah pekerjaan yang memuliakan Allah. Sebagaimana Allah bekerja dan beristirahat, maka kita pun perlu bekerja dan juga beristirahat.
Y : Dengan demikian kita menjadi gambar Allah yang menyenangkan hati-Nya.
SK : Amin.
Y : Terima kasih banyak, Pak Sindu. Para pendengar sekalian, terima kasih. Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bapak Penginjil Sindunata Kurniawan, MK dalam acara TELAGA (TEgur sapa GembaLA KeluarGA). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Etos Kerja Kristiani". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini, silakan menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK), Jl. Cimanuk 56 Malang. Atau Anda juga dapat mengirimkan e-mail ke telaga@telaga.org. Kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Akhir kata dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa dalam acara TELAGA yang akan datang.
Ringkasan:
Etos kerja adalah gabungan antara pemikiran, semangat dan motivasi yang melandasi dalam bekerja. Setiap manusia yang hidup dengan sendirinya memiliki etos kerja yakni hal-hal yang menggerakkannya untuk bekerja dan sekaligus memengaruhi performansi kerja atau kinerjanya. Jadi pertanyaannya kemudian, apakah etos kerja kita sudah sesuai dengan jati diri kita sebagai orang percaya. Karena etos kerja merupakan ekspresi dari jati diri kita.
Untuk memahami etos kerja sebagai orang percaya, kita perlu pertanyakan kepada Allah: apa sesungguhnya yang Allah disainkan saat penciptaan manusia.
Maka kita perlu menilik pada Kitab Kejadian. Kejadian 1 menyatakan, setelah Allah menciptakan manusia, Allah memberikan berkat dan mandat kepada manusia untuk mewakili Allah mengelola alam semesta yang baru saja selesai diciptakan selama 6 hari kerja Allah di mana para hari ke-7 Allah beristirahat. Sebagai perwujudannya, kemudian Allah menempatkan manusia pertama dalam Taman Eden untuk mengusahakan dan memelihara taman itu secara bertanggung jawab (Kejadian 2:15).
Di sini kita mendapatkan gambaran jelas bahwa bekerja menurut sifat asali Allah yang kemudian dilekatkan pada manusia sebagai gambar Allah. Allah bekerja, maka manusia bekerja. Jadi bekerja merupakan bagian hakiki kemanusiaan kita yang kudus dan mulia serta bukan produk kutukan atas kejatuhan manusia dalam dosa sebagaimana baru terjadi dalam Kejadian 3.
Maka sesungguhnya bekerja merupakan kesukaan dan kegembiraan dan bukan penderitaan serta hukuman. Juga, sesungguhnya tak ada pensiun dari bekerja dan berkarya sepanjang kita hidup di dunia. Pensiun dari sebuah pekerjaan dan profesi itu ada dan sah, namun pensiun dari bekerja, beraktivitas dan berkarya positif itu sebuah kematian.
Tak mengherankan, orang-orang yang memilih pensiun, terlebih pensiun dini dan berleha-leha tanpa berkarya positif, malah jatuh ke dalam situasi buruk: antara hidupnya merasa kosong, kesehatannya menurun drastis atau malah sebagian jatuh ke dalam berbagai perbuatan dosa.
Dalam disain Allah, manusia bekerja untuk mengelola semesta raya ini sesuai kemauan Allah. Berarti, bekerja untuk membawa kebaikan bagi dunia dan sekaligus membawa kemuliaan bagi Allah. Sebagaimana yang kemudian dituliskan Rasul Paulus dalam:
1 Korintus 10:31, "Jika engkau makan atau jika engkau minum, atau jika engkau melakukan sesuatu yang lain, lakukanlah semuanya itu untuk kemuliaan Allah".
Kolose 3:23, "Apa pun juga yang kamu perbuat, perbuatlah dengan segenap hatimu seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia".
Kalau untuk Allah, berarti pasti kita melakukannya yang terbaik dan bukan ala kadarnya sebagai wujud syukur dan pengabdian kita kepada-Nya.
Dari sini kita mendapatkan poin penting bahwa etos kerja kita sebagai orang percaya:
Pertama : Bekerjalah dengan hati gembira dan kreatif bersama Allah.
Allah adalah sosok yang kreatif dan bersuka dengan kreativitasnya. Allah melihat setiap produk karya penciptaan-Nya baik dan sungguh amat baik setelah menciptakan manusia. Ada kegembiraan dan kepuasan yang tersirat. Sekalipun pekerjaan kita adalah tukang sapu jalan raya. Ketika kita menghayati Allah bersama kita dalam tiap sapuan kita, maka akan ada kegembiraan karena menyadari diri diizinkan dipercayai Allah untuk memberkati semesta lewat sumbangsih kebersihan jalan yang kita persembahkan.
Kedua : Bekerjalah yang terbaik untuk Allah lewat proses dan hasil yang unggul. ‘Excellent’. Menggunakan standar keunggulan. Standar keunggulan atau ‘excellency’ tidak sama dengan perfeksionis. Sesungguhnya kata perfeksionis mengandung makna gangguan jiwa. Apapun dilakukan untuk kesempurnaan demi mengisi kekosongan jiwa dan mendapatkan penghargaan diri. Kalau standar keunggulan atau ‘excellency’ mengandung pengertian mengerjakan yang terbaik sesuai kesempatan dan potensi yang dimiliki yang lahir dari dedikasi untuk Allah dan bukan untuk mengisi kekosongan jiwa.
Biarpun tak ada atasan atau konsumen yang melihat, kita bekerja dengan kualitas unggulan. Tanpa curi-curi waktu karena tak ada bos atau tanpa tipu-tipu merugikan konsumen atau pemakai jasa kita. Jujur dan berintegitas. Jujur, mengatakan apa adanya. Berintegritas, tetap melakukan yang benar, meski tak dilihat dan menggenapkan janji sesuai yang dikatakan.
Di masa sekarang, mudah orang tergoda berkata:"Untuk apa susah-susah mengerjakan yang terbaik, bukankah gaji kecil? Bukankah untungnya kecil kalau jujur timbangannya?"
Fakta di lapangan, siapa setia dalam perkara kecil, akan dipercayakan perkara yang besar. Kita yang menerapkan standar keunggulan, awalnya seperti orang bodoh. Namun, waktu akan membuktikan, justru akhirnya menguntungkan. Kita yang setia pada standar keunggulan, membuat rasa percaya atau ‘trust’ orang lain terhadap diri kita akan meningkat. Karena kepercayaan orang tinggi, maka loyalitas konsumen dan klien akan kita dapatkan. Orang pun akhirnya berani bayar lebih tinggi karena kepuasan yang didapatkannya.
Ketiga : Rayakan hari-hari kerja lewat perhentian Sabat.
Allah saja beristirahat setelah bekerja selama enam hari kerja penciptaan, apalagi kita manusia.
Sabat mingguan adalah sarana untuk kita bersyukur, mengisi kembali energi fisik dan jiwa.