BETA
Memelihara Pernikahan 3
Sumber: telaga
Id Topik: 2427

Abstrak:

Kemarahan adalah bagian yang tidak terpisah dari pernikahan, begitu pula pengampunan. Mengampuni tidak putus-putusnya bila kita bisa menerima pasangan apa adanya. Kita juga perlu mengingat bahwa kita adalah orang berdosa yang telah diampuni Tuhan. Dengan kita mau mengampuni, maka Tuhan akan memberi kuasa pada kita untuk bisa melakukannya.

Transkrip:

Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi di mana pun Anda berada. Kita bertemu kembali dalam acara TELAGA (TEgur Sapa GembaLA KeluarGA). Acara ini diselenggarakan oleh Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) bekerjasama dengan radio kesayangan Anda ini. Saya, Necholas David, akan berbincang-bincang dengan Bapak Pdt. Dr. Paul Gunadi, seorang pakar dalam bidang konseling keluarga. Dan perbincangan kami kali ini tentang "Memelihara Pernikahan". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

ND : Pak Paul, di kesempatan yang lalu kita telah membicarakan upaya-upaya yang dapat kita lakukan untuk memelihara sebuah pernikahan. Apakah boleh Pak Paul menyegarkan kembali pikiran kita tentang apa saja isi percakapan kita?

PG : Kita membicarakan empat unsur yang diperlukan untuk memelihara pernikahan, Pak Necholas. Ada dua yang telah kita bahas yaitu komunikasi yang terbuka dan yang kedua adalah komitmen yang teguh. Jadi pernikahan itu mesti didasari atas komunikasi yang terbuka, adanya kejujuran, adanya kepercayaan, bisa membicarakan hal-hal yang pribadi dan mendalam dan sudah tentu idealnya adalah memunyai juga minat-minat yang banyak sehingga percakapan kita dengan pasangan bisa semarak, tidak hanya hal-hal yang bersifat rutin. Kedua, pernikahan itu juga harus dijaga atau dipelihara dengan komitmen yang teguh, artinya komitmen yang tidak gampang-gampang berubah, jadi kita bukan saja berjanji tapi kita mesti menepati janji kita, kita membuktikannya lewat apa? Lewat memang hal-hal yang sulit yang kita hadapi. Apakah bila kita menghadapi hal-hal yang sulit kita langsung mau cabut, mau meninggalkan, ataukah kita bertekad tidak, apa pun yang terjadi saya tetap disini karena apa, saya sudah menerima dirimu apa adanya. Pernikahan membutuhkan dua unsur itu, hari ini kita akan membahas dua unsur yang lain yang dibutuhkan memelihara pernikahan.

ND : Kalau melihat dari perbincangan kita yang lalu, ada aspek yang ketiga dalam perjuangan kita memelihara pernikahan yaitu pengampunan yang tidak putus-putus. Pak Paul bisa terangkan apa itu pengampunan yang tidak putus-putus dan mengapa ini perlu ada dalam pernikahan ?

PG : Oke, saya akan mulai dengan keterangan bahwa kemarahan adalah bagian yang tidak terpisahkan dari pernikahan. Saya kira kalau kita jujur apa adanya, saya kira kita semua akan mengakui bahwa kita pasti pernah marah kepada pasangan kita. Setidaknya ada dua penyebab mengapa kita marah kepada pasangan. Pertama, kita marah karena pasangan tidak berbuat atau menjadi seperti yang kita inginkan atau harapkan. Misalkan, kita tidak suka dengan orang yang tidak dapat mengambil keputusan atau kalau pun dapat, mereka memerlukan waktu yang lama dan setelah bertukar pikiran berkali-kali. Nah, kebetulan kita menikah dengan orang seperti itu, tidak dapat dihindari setiap kali kita harus mengambil keputusan bersama, kita marah walaupun kita sadar bahwa seharusnya kita menerima kelemahannya, kita tetap marah karena kelemahan dirinya atau perbedaan ini merepotkan dan mengganggu kita. Apalagi bila ini terjadi berulang kali selama bertahun-tahun. Itu penyebab yang pertama. Penyebab kedua mengapa kita marah kepada pasangan adalah karena pasangan menyakiti atau mengecewakan kita. Misalkan pasangan terbukti berbohong kepada kita, diam-diam dia menghabiskan uang tabungan untuk kepentingannya tanpa memberitahukan kita atau pasangan berkhianat dan menjalin relasi romantik dengan orang lain. Tidak bisa tidak semua perbuatan ini menyakitkan hati dan mengecewakan kita secara mendalam. Alhasil kita menjadi sangat marah kepadanya. Oleh karena kemarahan adalah bagian tak terpisahkan dari pernikahan maka pengampunan juga seharusnya menjadi bagian tak terpisahkan dari pernikahan. Sejak awal kita harus bertekad untuk mengampuni, dengan kata lain, dari mula pernikahan kita harus bersepakat untuk menjadikan pernikahan sebagai wadah kasih karunia bukan sebagai mitra usaha bersama. Pengampunan yang tak putus-putus adalah pertanda bahwa pernikahan bukanlah sebuah mitra usaha bersama melainkan sebuah wadah kasih karunia.

ND : Ini sebuah konsep yang menarik ya, Pak Paul. Pernikahan adalah wadah atau tempat untuk menampung kasih karunia, lalu bagaimana kita dapat mengampuni dengan tidak putus-putus?

PG : Kita hanya dapat mengampuni dengan tidak putus-putus bila kita menerima pasangan apa adanya. Kembali pada contoh tadi, Pak Necholas, meski jengkel karena merasa terganggu dan dibuat repot oleh ketidakmampuan pasangan mengambil keputusan, kita harus berkata bahwa itulah kelemahan pasangan dan kita mengampuni perbuatannya yang membuat kita terganggu dan repot. Sewaktu kita mengakui kelemahan pasangan, sesungguhnya kita tengah menerima dirinya apa adanya dan tidak lagi menuntutnya untuk menjadi pribadi seperti yang kita kehendaki. Jadi setiap kali kita marah, akuilah kelemahan pasangan kemudian ambillah keputusan untuk menerima dirinya apa adanya dan ampunilah perbuatannya yang menyusahkan kita sebagai akibat dari kelemahannya. Berikut kita hanya dapat mengampuni dengan tidak putus-putus jika kita mengingat siapa diri kita. Surat I Yohanes 1:8 mengingatkan, "Jika kita berkata bahwa kita tidak berdosa maka kita menipu diri kita sendiri dan kebenaran tidak ada dalam kita". Kita semua adalah orang berdosa yang telah menerima pengampunan Tuhan. Kalau pun kita lebih baik daripada pasangan dalam hal-hal tertentu, di hadapan Tuhan status kita tidak pernah berubah kita tetap adalah orang berdosa yang menerima pengampunan Tuhan.

ND : Jadi selain menerima pasangan kita apa adanya setiap hari kita perlu mengingat bahwa kita pun orang berdosa yang telah diampuni Tuhan. Saya jadi teringat Tuhan Yesus pernah memberi kita sebuah kisah tentang seorang hamba yang berutang 10.000 talenta kepada raja, tapi kemudian setelah dia dibebaskan dia malah mengancam temannya yang hanya berutang 100 dinar.

PG : Contoh yang baik ya, itu adalah kisah yang memang melukiskan betapa pentingnya kita ini memberikan, membagikan kasih karunia. Tidak heran Tuhan mengaitkan pengampunan dari-Nya dengan pengampunan yang kita berikan pada sesama. Sebagaimana dapat kita baca pula di Matius 6:14-15, "Karena jikalau kamu mengampuni kesalahan orang, Bapamu yang di sorga akan mengampuni kamu juga tapi jikalau kamu tidak mengampuni orang, Bapamu juga tidak akan mengampuni kesalahanmu". Peringatan ini begitu keras sebab dilandasi oleh asumsi bahwa pada dasarnya kita semua sanggup mengampuni. Jadi kalau sampai kita tidak mengampuni itu dikarenakan bukan karena kita tidak bisa, melainkan karena tidak mau. Itu sebab Tuhan tidak bersedia menerima orang yang tidak mengampuni. Orang yang tidak mau mengampuni tidak layak menerima pengampunan. Kemarahan akan tetap menjadi bagian dari pernikahan sebab kesalahan adalah bagian dari ketidaksempurnaan kita sebagai manusia yang berdosa. Selama ada kesalahan pasti akan ada kemarahan, namun sebagai anak Tuhan kita harus mengampuni dan terus mengampuni.

ND : Namun Pak Paul, ada sebagian orang yang bukannya tidak mau mengampuni tetapi memang pembawaannya sulit melupakan kesalahan orang lain. Sekali ada yang salah pada dia, dia ingat seterusnya. Bagaimana orang yang punya sifat seperti ini bisa mengatasi masalahnya ?

PG : Betul sekali, Pak Necholas, ada orang yang memang susah untuk mengampuni karena susah melupakan. Apa yang orang perbuat kepadanya terus diingat-ingat. Nah, memang sebetulnya ada dua kemungkinan, Pak Necholas, ada orang yang tidak bisa mengampuni karena terus mengingat-ingat, tapi ada pula orang yang tidak bisa mengampuni karena memang dalam dirinya sudah ada kepahitan. Coba kita lihat yang pertama, orang yang tidak bisa mengampuni karena sukar melupakan. Apa yang harus dilakukannya? Dia tetap akan mengingat, dia tidak bisa melupakannya, tapi setiap kali dia mengingat dia mesti memilih mengampuni. Jadi mengampuni tidak berarti menghapus ingatan. Kadang kita memunyai anggapan begitu kita mengampuni maka kita tidak lagi dapat mengingat perbuatan orang kepada kita. Tidak, mengampuni tidak menghapus ingatan, jadi apa yang orang perbuat kepada kita, tetap kita ingat. Maka dalam kasus yang pertama, orang ini susah mengampuni karena dia terus mengingat. Yang harus dia lakukan adalah nomor satu memang mengakui inilah dirinya yang susah mengampuni karena susah melupakan. Nomor dua yang mesti dia lakukan adalah dia tetap harus memilih mengampuni, karena pada waktu kita memilih mengampuni di saat itulah kuasa Tuhan bekerja, mendorong kita dan menolong kita mengampuni. Tuhan tidak akan memberikan kuasa untuk mengampuni kalau kita belum mau mengampuni. Seolah-olah roda itu harus kita putar, baru nanti akhirnya bisa benar-benar berjalan dengan cepat. Kitalah yang pertama harus menggenjot roda itu sehingga berputar. Begitu kita menggenjot dan roda itu mulai berputar, Tuhan akan mengirimkan angin yang kuat dari belakang untuk mendorong kita sehingga sepeda kita bisa berjalan dengan lebih cepat. Kedua, ada orang yang sukar mengampuni karena memang mereka sudah menyimpan banyak kepahitan dalam hidupnya. Orang yang merasa dari dulu mengapa saya yang jadi korban, mengapa dari dulu orang seenaknya pada saya. Orang seenaknya menginjak saya, nah orang-orang yang merasa dirinya adalah korban dan berulang kali menjadi korban seringkali akhirnya susah mengampuni karena kepahitan itu sudah bersarang, sehingga sewaktu datang satu masalah lagi yang melukai dia, bercampurlah sehingga mungkin sekali kesalahan orang itu tidak besar tapi karena bercampur dengan kepahitan yang sudah begitu banyak dalam dirinya, dia akan sulit mengampuni kesalahan yang sebetulnya tidak begitu besar. Sudah tentu perlu kesadaran kalau orang itu tidak menyadari atau tidak mau mengakui bahwa sesungguhnya dia menyimpan banyak kepahitan ya susah, tapi kalau dia bisa mengakui memang saya banyak kepahitan, saya terlalu sering menjadi korban, orang seenaknya menindas saya. Kita memang mesti bereskan yang lampau-lampau itu. Kita mesti melihatnya satu per satu, mungkin dengan pertolongan seorang hamba Tuhan atau seorang konselor, kita memilih untuk mengampuni satu per satu perbuatan orang kepada kita itu. Kalau kita bisa bereskan masalah-masalah di masa lampau itu barulah kita lebih mudah mengampuni orang yang bersalah kepada kita sekarang ini. Terakhir adalah caranya begini, Pak Necholas, kita mesti mengakui bahwa mengampuni memang adalah sifat Allah, bukan sifat manusia. Sifat manusia yang sesungguhnya adalah bukan mengampuni tapi membalas. Jadi kalau kita mau mengampuni kita mesti meminta pertolongan Tuhan. Kita tidak bisa melakukannya sendiri, kita bisa berkata apa adanya kepada Tuhan, "Saya tidak mampu, saya tidak memunyai kekuatan mengampuni orang itu, tapi karena Engkau memerintahkan saya untuk mengampuni, saya meminta berilah kuasa-Mu untuk mengampuni itu kepadaku. Ampunilah orang itu melalui aku". Sebab memang kita mengakui kita belum bisa mengampuni. Mintalah Tuhan mengampuni orang tersebut melalui diri kita, bukan kekuatan kita, bukan kuasa kita tapi kekuatan dan kuasa Tuhan untuk mengampuni.

ND : Tadi yang kedua, orang yang tidak bisa mengampuni karena dia mengalami kepahitan dalam hidupnya. Apakah kebanyakan itu terjadi pada masa-masa kecil dimana mereka memunyai pengalaman-pengalaman dalam keluarga yang membuat atau membentuk mereka menjadi demikian ?

PG : Bisa kedua-duanya, sudah tentu bila sejak kecil dia mengalami banyak masalah, ditindas, dijadikan korban, diinjak-injak, dihina, disakiti, dikecewakan sudah tentu tumpukan kepahitan itu akan sangat-sangat besar. Tapi tidak mesti sebab kadang kala ada orang-orang dewasa yang pada masa kecilnya tidak mengalami hal-hal buruk itu, tapi setelah usia dewasa mengalami hal-hal buruk itu akhirnya memang menyimpan kepahitan. Misalkan dia bekerja sebaik-baiknya, serajin-rajinnya kemudian diperlakukan tidak adil sehingga akhirnya ia harus diberhentikan. Kemudian misalkan ia terlibat dalam pelayanan di gereja, dia bersungguh-sungguh mau melayani Tuhan, dia bersungguh-sungguh mendorong teman-temannya untuk rajin dan sebagainya. Tapi teman-teman sepelayanannya merasa, "Oh, kamu terlalu mau jadi boss mau jadi atasan, menyuruh-nyuruh kami", padahalnya niatnya baik untuk mendorong teman-temannya lebih giat dan lebih berdisiplin melayani Tuhan. Akhirnya dia tidak bisa lagi melayani, dia terpental keluar. Misalnya peristiwa ini terjadi beberapa kali, seringkali cukup untuk membuat orang merasa pahit. Cukup untuk akhirnya membuat orang ini sukar mengampuni orang yang bersalah kepadanya.

ND : Berarti kita pada umumnya sebaiknya, setelah kita mengalami sesuatu yang menjadi ganjalan atau berpotensi menimbulkan kepahitan dalam hati, sebaiknya kita langsung bereskan satu demi satu sebelum itu menumpuk.

PG : Benar sekali, Pak Necholas. Jadi idealnya adalah kita membereskannya, saya mengerti tidak selalu kita akan bisa membereskannya karena tidak mesti orang itu bersedia membereskannya. Jadi kita berusaha membereskannya, namun kalau orang itu merasa tidak ada masalah atau orang itu juga tidak mau minta maaf, merasa dirinya benar. Apa yang harus kita lakukan ? Kita tetap harus mengampuni dia, meskipun dia tidak meminta ampun, tidak menyadari kesalahannya atau tidak peduli. Kita tetap harus memilih untuk mengampuni karena kalau kita tidak mengampuni, akar kepahitan itu akan tertanam dalam diri kita dan itu yang nanti akan mengganggu hubungan kita baik dengan Tuhan maupun dengan sesama. Mengampuni memang sudah tentu tujuannya adalah untuk merestorasi relasi antara kita dan orang yang bersalah kepada kita, itu betul. Tapi sebetulnya ada lagi makna atau tujuannya. Bukan saja merestorasi relasi kita dengan orang tersebut, tapi juga merestorasi hubungan kita dengan diri sendiri dan dengan Tuhan. Karena kalau kita tidak bisa mengampuni, kita merasa marah, benci, pahit dan dendam dalam hati kita, sebetulnya di saat itu kita sudah tidak lagi bisa lagi hidup dalam damai dengan diri kita sendiri. Tidak ada orang yang pahit hidup damai dengan dirinya, sejahtera dengan dirinya. Orang yang menyimpan kepahitan itu orang yang sebetulnya sedang bermusuhan bukan saja dengan orang tapi dengan dirinya sendiri. Tidak nyaman hidup dalam dirinya, tidak enak hidup ini, makanya mesti memilih untuk mengampuni dan merestorasi hubungannya dengan Tuhan. Sebab barangsiapa menyimpan kemarahan dan mendendam sebetulnya sedang menciptakan ganjalan atau menciptakan jurang antara dia dengan Tuhan karena tidak mungkin kita bisa mendekat pada Tuhan jika kita membawa kebencian atau dendam atau kepahitan itu, tidak mungkin. Kita mengampuni bukan saja untuk kepentingan orang tersebut, terpenting sebetulnya adalah untuk kita baik dengan diri kita maupun hubungan dengan Tuhan.

ND : Sebetulnya yang lebih perlu mendapatkan manfaat dari pengampunan itu adalah diri kita sendiri ?

PG : Betul, betul sekali, Pak Necholas. Jadi jangan sampai kita merasa mengapa saya harus mengampuni dia, enak saja dan sebagainya. Tidak, kita mengampuni pada akhirnya adalah untuk kita, mengapa Tuhan memerintahkan kita untuk mengampuni, jelas Tuhan berkata kalau kita tidak mengampuni orang yang bersalah kepada kita maka Bapamu yang di sorga juga tidak akan mengampuni juga kesalahanmu. Kenapa Tuhan begitu keras memberikan peringatan itu ? Sebab Tuhan tahu dampak yang begitu buruk dari ketidakmauan untuk mengampuni pada diri umat Tuhan. Itu adalah penyebab renggang dan putusnya hubungan kita dengan Tuhan dan hubungan kita dengan orang lain. Meskipun kita dendam dan pahit kepada orang di luar rumah kita, tapi kalau kita menyimpan itu, hal itu akan mengganggu relasi kita dengan istri, suami, anak-anak atau orangtua kita. Pasti, tidak mungkin kita bisa menyelimuti, kita taruh dalam suatu kotak sehingga hanya akan memengaruhi hubungan kita dengan orang yang bersalah kepada kita saja, tidak. Begitu kita menyimpan kepahitan, dendam, kebencian, itu akan merembes masuk ke dalam diri kita, mengganggu relasi kita dengan semua orang yang dekat dengan kita.

ND : Bagaimana kalau sebaliknya, Pak Paul, dalam arti kita yang melakukan kesalahan lalu kita berusaha minta maaf kepada pasangan, tetapi pasangan kita membuang muka dan mengatakan, "Tidak ada maaf bagi kamu". Apakah perlu kita sebagai pihak yang salah terus-menerus meminta pengampunan atau kita boleh menganggap ya sudah, aku sudah minta maaf, kalau kamu tidak mau memaafkan itu urusanmu sendiri.

PG : Orang memaafkan sewaktu melihat pertobatan, Pak Necholas. Seringkali mengapa orang susah memaafkan karena orang tidak melihat pertobatan yang sungguh-sungguh. Pertobatan ditunjukkan oleh bukan saja penyesalan, tapi juga kerelaan untuk merendahkan diri. Jadi kalau kita bersalah kepada pasangan kemudian dengan mudah meminta maaf, setelah itu pasangan masih marah kepada kita dan kita berkata, "Terserah, kamu tidak mau mengampuni saya, saya sudah minta maaf". Hampir dapat dipastikan sikap seperti itu menunjukkan kita belum bertobat, bahwa permintaan maaf kita adalah formalitas. Saya menduga, seringkali pasangan tidak mau memaafkan kita karena melihat kita belum benar-benar bertobat. Kita hanya formalitas, nah tapi kalau orang melihat kita sungguh-sungguh bertobat saya kira kecenderungannya orang memaafkan kita. Tapi kita juga mesti memang mengerti adakalanya orang susah memaafkan kita kalau kesalahan kita berulang kali kita lakukan dan kesalahan kita kesalahan yang berat, yang benar-benar menusuk hati pasangan. Jadi makin besar kesalahan kita, makin susah orang mengampuni; kedua, makin sering diulang kesalahan kita, makin susah orang mengampuni kita. Maka kalau kita melakukan kesalahan yang seperti itu kita harus menunjukkan bukan saja niat tapi tindakan konkret kepada pasangan kita bahwa kita sungguh-sungguh bertobat, kita berusaha lagi, kita berusaha lagi, katakan lagi, "Saya sungguh menyesal, saya tahu saya salah, saya sungguh menyesal, saya tahu saya salah. Saya minta maaf kepadamu". Mungkin kita harus berulang kali. Tapi kalau misal Pak Necholas berkata, "Bagaimana kalau kita hanya satu kali saja bersalah dan kesalahan kita tidak terlalu besar tapi dia tidak mau mengampuni, berarti memang pasangan kita masuk dalam kategori tadi orang yang kita bahas, susah mengampuni. Kenapa susah mengampuni ? Bisa jadi orang itu susah melupakan kesalahan orang, atau nomor dua dia memang hatinya sudah diisi dengan kepahitan.

ND : Pak Paul, orang yang dapat mengampuni apakah sama dengan orang yang panjang sabar ?

PG : Dua hal ini sebetulnya dua hal yang berbeda tapi sangat berkaitan, jadi orang yang panjang sabar cenderung lebih mudah mengampuni, namun sebetulnya tidak sama karena orang yang panjang sabar bisa saja disakiti hatinya dan akhirnya tidak bisa mengampuni orang, itu juga bisa. Jadi dua hal yang berbeda. Tapi tetap saya mau katakan kalau kita panjang sabar, kecenderungan kita adalah lebih bisa mengampuni, namun tidak sama karena juga kebalikannya adalah ada orang yang tidak panjang sabar, mudah marah tapi juga mudah mengampuni. Jadi memang dua hal berbeda tapi bisa berdekatan sekali. Sudah tentu adalah baik untuk kita mengingat bahwa kita perlu panjang sabar karena ini karakteristik atau buah Roh Kudus, panjang sabar. Kalau kita merasa kita kurang kita bisa memintanya, minta Tuhan agar membuahkan panjang sabar dalam hati kita itu. Namun untuk mengampuni itu memang tindakan selanjutnya tidak sama persis dengan panjang sabar. Kita mesti melihat perbuatan orang kepada kita yang jahat itu, yang tidak baik itu dan kita berkata, "Saya ampuni" artinya saya memilih untuk tidak membalas, saya memilih untuk tidak mengingat-ingatnya lagi, kalau pun saya ingat saya tidak akan mau sengaja mengingat-ingatnya dan saya tidak akan membalas perbuatanmu karena saya akan serahkan ini ke dalam tangan Tuhan, karena Tuhan sudah berkata pembalasan adalah milik-Nya. Jadi saya serahkan kepada Tuhan, saya tidak akan membalasnya. Sewaktu kita berkata begitu, kita sedang mengambil langkah mengampuni orang itu.

ND : Terima kasih banyak, Pak Paul atas penjelasannya. Para pendengar sekalian, terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bapak Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara TELAGA (TEgur sapa GembaLA KeluarGA). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Memelihara Pernikahan" bagian ketiga. Jika Anda berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini, silakan menghubungi kami lewat surat ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK), Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat mengirimkan e-mail ke telaga@telaga.org. Kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa dalam acara TELAGA yang akan datang.


Ringkasan:

Pengampunan Yang Tak Putus-Putus

Kemarahan adalah bagian tak terpisahkan dari pernikahan. Setidaknya ada dua penyebab mengapa kita marah terhadap pasangan. Pertama, kita marah karena pasangan TIDAK BERBUAT ATAU MENJADI SEPERTI YANG KITA INGINKAN ATAU HARAPKAN. Misalkan, kita tidak suka dengan orang yang tidak dapat mengambil keputusan atau kalaupun dapat, mereka memerlukan waktu yang lama dan setelah bertukar-pikiran berkali-kali. Nah, kebetulan kita menikah dengan orang seperti itu. Tidak dapat dihindari, setiap kali kita harus mengambil keputusan bersama, kita marah. Walaupun kita sadar bahwa seharusnyalah kita menerima kelemahannya, kita tetap marah karena kelemahan dirinya atau perbedaan ini merepotkan dan mengganggu kita. Apalagi bila ini terjadi berulang-kali selama bertahun-tahun.

Kedua, kita marah kepada pasangan sebab PASANGAN MENYAKITI ATAU MENGECEWAKAN KITA. Misalkan, pasangan terbukti berbohong kepada kita. Diam-diam ia menghabiskan uang tabungan untuk kepentingannya tanpa memberitahukan kita. Atau, pasangan berkhianat dan menjalin relasi romantik dengan orang lain. Tidak bisa tidak, semua perbuatan ini menyakitkan hati dan mengecewakan kita secara mendalam; alhasil, kita menjadi sangat marah kepadanya.

Oleh karena kemarahan adalah bagian tak terpisahkan dari pernikahan, pengampunan juga seharusnya menjadi bagian tak terpisahkan dari pernikahan. Sejak awal kita harus bertekad untuk mengampuni; dengan kata lain, dari mula pernikahan kita harus bersepakat untuk menjadikan pernikahan sebagai wadah kasih karunia, bukan sebagai mitra usaha bersama. Pengampunan yang tak putus-putus adalah pertanda bahwa pernikahan bukanlah sebuah mitra usaha bersama melainkan sebuah wadah kasih karunia. Pertanyaannya sekarang adalah, bagaimanakah kita dapat mengampuni dengan tidak putus-putus?

Kita hanya dapat mengampuni dengan tidak putus-putus bila kita MENERIMA PASANGAN APA ADANYA. Kembali kepada contoh tadi, meski jengkel karena merasa terganggu dan dibuat repot oleh ketidakmampuan pasangan mengambil keputusan, kita harus berkata bahwa itulah kelemahan pasangan dan kita mengampuni perbuatannya yang membuat kita terganggu dan repot. Sewaktu kita mengakui kelemahan pasangan sesungguhnya kita tengah menerima dirinya apa adanya—dan tidak lagi menuntutnya untuk menjadi pribadi seperti yang kita kehendaki. Jadi, setiap kali kita marah, akuilah kelemahan pasangan, kemudian ambillah keputusan untuk menerima dirinya apa adanya, dan ampunilah perbuatannya yang menyusahkan kita, sebagai akibat dari kelemahannya itu.

Berikut, kita hanya dapat mengampuni dengan tidak putus-putus jika kita MENGINGAT SIAPA DIRI KITA. Surat 1 Yohanes 1:8 mengingatkan, "Jika kita berkata bahwa kita tidak berdosa, maka kita menipu diri kita sendiri dan kebenaran tidak ada dalam kita." Kita semua adalah orang berdosa yang telah menerima pengampunan Tuhan. Kalaupun kita lebih baik daripada pasangan dalam hal-hal tertentu, di hadapan Tuhan status kita tidak pernah berubah—kita tetap adalah orang berdosa yang menerima pengampunan Tuhan.

Tidak heran Tuhan mengaitkan pengampunan dari-Nya dengan pengampunan yang kita berikan kepada sesama, sebagaimana dapat kita baca di Matius 6:14-15, "Karena jikalau kamu mengampuni kesalahan orang, Bapamu yang di sorga akan mengampuni kamu juga. Tetapi jikalau kamu tidak mengampuni orang, Bapamu juga tidak akan mengampuni kesalahanmu." Peringatan ini begitu keras sebab dilandasi oleh asumsi bahwa pada dasarnya kita semua sanggup mengampuni. Jadi, kalau sampai kita tidak mengampuni itu dikarenakan bukan karena tidak BISA melainkan karena tidak MAU; itu sebab Tuhan tidak bersedia menerima orang yang tidak mengampuni. Orang yang tidak mau mengampuni tidak layak menerima pengampunan.

Kemarahan akan tetap menjadi bagian dari pernikahan sebab kesalahan adalah bagian dari ketidaksempurnaan kita sebagai manusia yang berdosa. Selama ada kesalahan, pasti akan ada kemarahan namun sebagai anak Tuhan, kita harus mengampuni dan terus mengampuni.


Questions: