BETA
Generasi Tanpa Iman ( I )
Sumber: telaga
Id Topik: 2419

Abstrak:

Iman adalah anugerah Allah, pengalaman nyata, tanggungjawab utama orangtua mendidik iman anak, penuhi tangki cinta anak

Transkrip:

Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi di mana pun Anda berada, Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (TEgur Sapa GembaLA KeluarGA). Acara ini diselenggarakan oleh Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) bekerjasama dengan radio kesayangan Anda ini. Saya, Yosie, akan berbincang-bincang dengan Bapak Ev. Sindunata Kurniawan, MK. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling keluarga. Dan perbincangan kami kali ini tentang "Generasi Tanpa Iman". Kami percaya acara ini bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Y : Wah, sebuah tema yang menarik, Pak, sekaligus agak menakutkan, "Generasi Tanpa Iman", apa yang ingin Pak Sindu sampaikan ?

SK : Tema ini, Bu Yosie, memang berangkat dari sebuah fakta empiris, fakta nyata di lapangan. Minimal dalam situasi di Amerika Serikat, diekspose sebuah data dari buku berbahasa Inggris judulnya "You Lost Me"(Kamu kehilangan saya) ditulis oleh David Kinningham dari kelompok Barna, sebuah lembaga riset, lembaga survei nasional Amerika yang mengekspose sebagian untuk keperluan data bisnis mereka mendapatkan uang dan mereka menggunakan uang dari keuntungan bisnis riset ini dan mereka juga melakukan pelayanan lewat riset-riset di kalangan gereja. Mereka menemukan data yang diekspose dalam buku "You Lost Me" dalam tahun 2011 dimana secara ringkas disimpulkan 59% kaum muda meninggalkan gereja.

Y : Wow, angka yang sangat besar ya Pak, dan ini masih tahun 2011, sangat mungkin angka ini bertambah sampai tahun 2019 ini ya, Pak ?

SK : Sangat mungkin, jadi 59% kaum muda ini adalah orang-orang yang masa kecilnya di Sekolah Minggu.

Y : Di gereja, tumbuh di gereja.

SK : Mereka adalah para alumni Sekolah Minggu, para alumni kelas-kelas anak tetapi ternyata sekalipun sebagian orangtua mereka adalah pendeta, majelis, aktivis gereja, aktivis pelayanan rohani, ternyata 59% meninggalkan gereja. Ini fakta, data, bukan asumsi, bukan perkiraan tapi adalah kenyataan. Dan bagaimana situasi di Indonesia ? Saya tidak memunyai data secara empiris seperti Barna Institute, tapi saya bisa mengutip dari sebuah majalah gereja dimana di majalah gereja itu diekspose dari sekumpulan puluhan gereja di satu kota besar, disimpulkan hampir seluruh kaum muda hilang dari gereja-gereja ini, baik itu Gereja Injili, Gereja Ekumenikal, Gereja Pantekosta kharismatik. Disimpulkan oleh redaksi tim peneliti dari majalah gereja tersebut, hampir semua kaum muda menghilang dari gereja. Dari gejala penurunan kaum muda itu nyata, dipikir karena tidak ada di gereja ini, pindah ke gereja lain. Tapi setelah ditanyakan, dicek langsung disana mengalami penurunan kaum muda.

Y : Berarti kemana mereka?

SK : Majalah gereja itu juga mengekspose bahwa kurang dari 10% mahasiswa Kristen yang merupakan pendatang dari kota-kota, pulau daerah lain, kurang dari 10% yang terjangkau oleh gereja. Dengan perkataan lain, lebih dari 90% tidak terjangkau oleh gereja. Hilang, kemana mereka? Disimpulkan bahwa inilah gejala "churchless", gejala tidak bergereja. "Churchless" bisa memberi peluang lebih besar terjadinya "Christless", artinya tanpa Kristus, tanpa bergereja, tanpa berkomunitas di gereja, itu lebih menciptakan peluang terjadinya, akhirnya tanpa Kristus.

Y : Mengerikan ya, Pak? Apakah mungkin hanya "churchless" tapi sebenarnya mereka masih punya iman, apakah memungkinkan menurut Bapak? Atau benar-benar "churchless" dan memang tanpa iman?

SK : Tanpa bergereja, tanpa berkomunitas, mau tidak mau pasti akan tergerus iman itu. Iman itu butuh komunitas, butuh lingkungan. Iman itu hal yang hidup, ibaratnya tumbuhan membutuhkan tanah. Kalau tidak ada tanah, tumbuhan itu lama- kelamaan akan layu dan mati. Sama, iman itu butuh komunitas. Inilah sebuah pertanda yang kurang positif. Kemudian juga terjadi, Bu Yosie, di salah satu negara Asia, dikenal sebagai komunitas orang percaya dan didapati bahwa ternyata cukup mudah ditemukan mahasiswa yang mengaku diri atheis dan agnostik. Sekalipun orangtua mereka dari keluarga orang percaya, beribadah tiap hari Minggu ke gereja tapi ternyata anak-anak mereka sebagian tumbuh menjadi anak yang atheis, artinya tidak percaya adanya Tuhan dan sebagian mengaku bahwa dirinya adalah agnostik, artinya aku tidak peduli ada Tuhan atau tidak ada Tuhan aku tidak mau tahu. Pokoknya hidupku berjalan mengalir menurut apa yang aku ingini, apa yang aku anggap benar.

Y : Wah, mengerikan sekali. Kira-kira faktor apa yang membuat generasi ini kehilangan iman?

SK : Saya melihat salah satu kemungkinannya adalah faktor kemakmuran ekonomi.

Y : Jadi semakin orang makmur, semakin imannya sulit bertumbuh, ya Pak ?

SK : Benar, ketika satu keluarga, satu bangsa, semakin tinggi level ekonominya, semakin mengalami banyak kemudahan. Mendapatkan apa yang diinginkan, secara alami semakin miskin penderitaan, semakin berkurang penderitaannya, semakin merasa tidak butuh Tuhan, tidak perlu berdoa. Sudah ada makanan, tidak perlu berdoa, sudah ada uang di rekening bank saya, jadi iman itu menjadi sesuatu yang tidak nyata. Tuhan itu menjadi sesuatu yang hanya ide, konsep yang tidak jelas, tidak riil, tidak nyata. Disinilah salah satu kondisinya, tapi itu bukan satu-satunya faktor, Bu Yosie. Kalau kita melihat dari Alkitab sendiri, fenomena ini juga ada, Bu Yosie.

Y : Oh, bukan hal yang baru karena perubahan zaman, ya Pak ?

SK : Betul, coba saya akan bacakan dari kitab Hakim-Hakim 2:7,10-11, "Dan bangsa itu beribadah kepada TUHAN sepanjang zaman Yosua dan sepanjang zaman para tua-tua yang hidup lebih lama daripada Yosua. Setelah seluruh angkatan itu dikumpulkan kepada nenek moyangnya, bangkitlah sesudah mereka itu angkatan yang lain, yang tidak mengenal TUHAN ataupun perbuatan yang dilakukan-Nya bagi orang Israel. Lalu orang Israel melakukan apa yang jahat di mata TUHAN dan mereka beribadah kepada para Baal." Ini terjadi di Perjanjian Lama, era ketika baru saja Israel memasuki negeri Kanaan. Satu generasi sangat takut akan Tuhan, sangat menghormati, beribadah yaitu generasi Yosua dan para tua-tua, para pemimpin, suku-suku, tapi firman Tuhan mengatakan, "Ketika seluruh generasi ini sudah meninggal dunia, muncul generasi angkatan anak cucu mereka yang dikatakan tidak mengenal Tuhan dan bahkan akhirnya melakukan apa yang jahat di mata Tuhan dengan beribadah kepada ilah-ilah yang lain".

Y : Tapi ini ironis sekali, ya Pak, sebab saya masih ingat perintah Tuhan kepada Musa, Yosua di Ulangan 6:1-9, "Kamu harus mengajarkannya berulang-ulang kepada anakmu saat kamu bangun tidur, saat dalam perjalanan……………", tapi kenapa setelah mendapat perintah itu tetap ada generasi yang terhilang ?

SK : Jadi kalau demikian, Bu Yosie, kita dapat menyimpulkan, kira-kira apakah mereka melakukan perintah itu atau tidak? Perintah dalam Ulangan 6:1-9 itu.

Y : Kalau dari hasilnya ya kita tahu prosesnya tidak dilakukan.

SK : Itu yang menjadi kesimpulan saya, jadi sesungguhnya Tuhan sudah memberikan Juklak (Petunjuk Pelaksanaan) atau dalam bahasa Inggris atau dalam dunia industri, Tuhan sudah memberi SOP (Standard Operation Procedure) atau bahasa Indonesianya Prosedur Operasi Standard, bahwa jangan lupa waktu kamu punya anak, punya cucu, ajarkanlah berulang-ulang kepada anak cucumu untuk takut akan Tuhan. Ajarkanlah baik itu ketika engkau duduk di rumahmu, ketika engkau sedang dalam perjalanan, ketika engkau sedang berbaring, ketika engkau sedang bangun. Lakukanlah itu, ikatkan itu sebagai tanda di tanganmu dan jadikan itu lambang di dahimu, tuliskanlah itu di tiang pintu rumahmu, tuliskanlah itu pada pintu gerbangmu agar mereka takut akan Tuhan, berpegang pada ketetapan dan perintah Tuhan sebagaimana yang Aku ajarkan, Aku sampaikan kepadamu saat ini, supaya mereka mengasihi Tuhan Allahmu dengan segenap hati, segenap jiwa, segenap kekuatan dan dari itu maka Aku akan memberkati kamu.

Y : Sebetulnya Tuhan itu sudah memeringatkan betapa pentingnya orangtua mendidik anak-anaknya di dalam iman.

SK : Benar, jadi ini sebuah jantungnya bangsa Israel, disebut shema dari kata "dengarlah" dalam bahasa Ibraninya ‘shema’ dan itulah yang menjadi fondasi identitas Israel atau bangsa Yahudi sampai hari ini dan itu juga sesungguhnya identitas kita sebagai Israel rohani. Orang percaya di segala zaman, di segala belahan dunia ini. Kalau boleh saya simpulkan apa yang terjadi di Amerika Serikat sebagaimana yang dinyatakan dalam hasil risetnya, Barna Institute ini, saya bisa simpulkan dengan menohok orangtua, orang percaya yang ada di Amerika Serikat, mereka tidak menaati ‘shema’ yang Allah perintahkan, termasuk di Indonesia yang diwakili dengan satu data kecil dari sebuah majalah gereja, tadi saya mengekspose tentang sebuah negara di Asia yang memunculkan generasi mahasiswa yang sebagian atheis dan agnostik. Itu berarti berdasarkan firman Tuhan dari Ulangan pasal 6 atau kemudian dikaitkan dengan Hakim-Hakim pasal 2, mereka gagal menaati firman Tuhan. Para orangtua gagal memuridkan anak-anaknya secara intensional, memuridkan secara sadar dan sengaja lewat pelbagai kesempatan dan cara, metode, untuk menolong anak mereka mengalami Tuhan.

Y : Karena sebetulnyanya tanggungjawab mendidik iman itu adalah tanggungjawab utama orangtua.

SK : Betul, dari disinilah dapat disimpulkan, Bu Yosie, dari Ulangan pasal 6 bahwa pengajaran dan sekaligus teladan iman orangtua, itu merupakan atmosfir dan wadah dimana iman anak itu akan lahir dan bertumbuh kokoh.

Y : Kalau begitu, pertanyaannya lebih dalam, apakah itu iman ? Dan nanti apa secara nyata yang bisa dilakukan orangtua untuk mengajarkan iman, mewariskan iman kepada anak-anak kita?

SK : Bisa kita simpulkan disini, Bu Yosie, iman itu adalah mengalami Allah yang benar di dalam Kristus, secara pikiran kognitif, secara perasaan afektif, secara kehendak psikomotorik yang tampak dalam gaya hidup sehari-hari. Jadi sekali lagi, iman itu bukan sekadar konsep, ide semata, tapi adalah sebuah pengalaman nyata. Aku mengalami Allah yang bisa aku pikirkan, Allah yang bisa aku rasakan, Allah yang memengaruhi kehendak, perilakuku, mengalami Allah yang benar di dalam Kristus dan itu muncul dalam gaya hidup sehari-hari, gaya hidup yang nyata, sejalan dengan pikiran dalam surat Ibrani, "iman tanpa perbuatan adalah mati". Iman yang hidup, iman yang sesungguhnya adalah iman yang tampak dalam kehidupan. Kembali itu bukan hanya sekadar soal teologi, doktrin tapi teologi yang menjadi daging, menjadi kenyataan hidup sehari-hari, ada sinkronisasi kesatuan antara pikiran, perasaan, kehendak, antara kognitif, afektif dan psikomotorik. Itulah iman.

Y : Itulah yang akan bisa dilihat anak-anak kita, bisa dinikmati anak-anak kita yang membuat mereka juga akhirnya mengalami Tuhan ketika mereka melihat Tuhan yang dialami orangtuanya.

SK : Tepat, jadi iman itu merupakan pengalaman dinamis, bermula di rumah, dibagikan oleh orangtua, dikenal oleh anak-anak dan dipertegas di dalam komunitas orang percaya. Sebagaimana ‘shema’ itu tadi, muncul dalam Ulangan pasal 6 tadi. Ajarkanlah berulang-ulang, bicarakan di rumahmu dan dalam perjalanan, artinya di keseharian di rumah dan di luar rumah, baik secara formal maupun informal. Dikatakan ketika engkau berbaring, ketika engkau bangun, jadi suasana santai, atau situasi formal sedang duduk, juga ikatkan itu sebagai tanda di tanganmu, lambang di dahimu. Jadi iman itu sesuatu yang bisa dilihat, ada keteladanan hidup. Yang nyata, kemudian di ayat 9, "tuliskanlah itu di tiang pintu rumahmu, dan pada pintu gerbangmu", itu melambangkan komunitas orang percaya. Jadi iman butuh orangtua yang memuridkan anak-anaknya secara sengaja, iman juga membutuhkan komunitas para orangtua, gereja yang hidup. Komunitas orang percaya yang mendukung. Oh, ternyata yang mempraktekkan iman, yang punya iman, yang otentik itu bukan hanya ayah ibuku, tapi kakek ini, nenek ini, tetangga ini, ini memerkuat iman anak menjadi solid hingga masa dewasanya.

Y : Benar saya jadi ingat pepatah, "It takes a village to raise a child".

SK : Tepat, untuk membesarkan seorang anak, butuh seluruh desa. Bukan hanya sekeluarga semata.

Y : Praktisnya, apa bagian orangtua ?

SK : Untuk hal ini saya ingin lebih dahulu meneguhkan bahwa dalam hal ini iman itu berbeda dengan agama. Iman adalah pengalaman nyata, agama adalah ajaran, hukum dan perintah. Iman tidak dapat diajarkan, agama dapat diajarkan. Iman adalah anugerah Allah, agama adalah upaya manusia mencari Tuhan. Apa yang Bu Yosie dapat pahami dari pernyataan-pernyataan pendek saya tentang iman dan agama ?

Y : Iman itu sesuatu yang praktis, agama itu teoretis kalau saya tangkap perbedaannya. Tetap butuh pengajaran, tetap butuh perintah-Nya tapi harus dapat dinyatakan lewat pengalaman.

SK : Mengapa iman tidak dapat diajarkan ?

Y : Ditularkan, diturunkan, diwariskan.

SK : Tidak dapat !

Y : Tidak dapat, ya Pak ? Dilakukan, dipraktekkan.

SK : Jadi begini, memang disinilah kadang kita salah mengerti tentang iman. Iman berbeda dengan agama. Iman itu sebuah anugerah Allah, sebagaimana dinyatakan dalam Efesus 2:8-9, "Sebab karena kasih karunia kamu diselamatkan oleh iman; itu bukan hasil usahamu, tetapi pemberian Allah, itu bukan hasil pekerjaanmu: jangan ada orang yang memegahkan diri". Ketika seseorang bisa memiliki iman, itu anugerah Allah, aku percaya dengan pikiran, perasaan dan kehendak, Yesus satu-satunya Tuhan dan Juruselamat dan aku bersedia dipimpin sepanjang hidupku. Dialah Tuhan, Batu penjuru hidupku. Itu iman dan iman adalah anugerah Allah dan tidak bisa diciptakan oleh manusia, oleh orangtua. Yang kita bisa lakukan adalah aspek agamanya, kita mengajarkan, kita mengupayakan dan dia bisa percaya itu anugerah Allah. Maka disini poinnya adalah kalau begitu tidak usah bicara tentang iman, itu ‘kan urusannya Tuhan, itu anugerah Allah. Tidak ada peran kita sama sekali, itu keliru. Ada upaya kita dalam menciptakan lingkungan yang kondusif supaya iman itu bisa tumbuh. Dan disanalah dalam upaya yang kondusif inilah, iman akan lebih mudah tumbuh, anugerah Allah lebih mudah dialami oleh anak, disinilah peran orangtua.

Y : Apa kondisi-kondisi yang harus diciptakan orangtua agar iman bertumbuh dalam hidup anak-anak kita ?

SK : Yang pertama, tugas orangtua adalah penuhilah tangki cinta anak. Jadi anak bisa kita simbolkan seperti sebuah tangki yang butuh diisi air cinta, kalau diisi dengan air cinta yang penuh maka anak merasa dikasihi, dicintai orangtua dan anak akan lebih mudah mencintai dan mengenal Tuhan.

Y : Mengenal kasih Tuhan lewat kasih orangtua.

SK : Jangan lupa kita mungkin akrab dengan sebuah pernyataan, orangtua adalah wakil Allah di dunia. Itu bukan sekadar kata-kata pemanis, "Hei, hormati orangtua, kami orangtua adalah wakilnya Allah. Kalau kamu tidak menghormati kami berarti kamu sudah tidak menghormati Tuhan". Ini konsep teologis dan Alkitabiah karena Allah memberikan sebagian kuasa penciptaan itu kepada orangtua. Allah berkata, "Jadilah terang" maka terang itu jadi. Sama orangtua bicara pada anak, jadilah anak baik, bukan hanya bicara tapi juga lewat tindakan, memerlakukan anak dengan baik. Misalkan orangtua mengatakan, "Kamu anak yang kurang ajar, anak yang seperti sampah", lewat kata-kata umpatan dan perlakuan yang memerlakukan anak seperti sampah maka anak itu lebih mungkin jadi seperti sampah. Jadi ada kuasa penciptaan. Dalam hal ini ketika orangtua bisa menjadi tuhan yang baik bagi anak-anaknya, maka dia akan mengenal Tuhan yang benar. Saya katakan sekali lagi, orangtua adalah tuhan bagi anak-anak, ketika tangki cinta itu dipenuhi oleh orangtua maka anak merasa dicintai orangtua dan dia akan memandang Tuhan secara penuh, secara benar, secara positif. Jadi boleh dikatakan orangtua itu seperti kaca cermin yang bersifat seperti lensa dimana ketika anak melihat orangtua, di balik orangtua anak melihat Tuhan. Orangtua yang mengasihi anak dengan benar, maka ia lebih mudah mengenal Allah secara benar, secara tepat. Tapi ketika orangtua gagal mengisi tangki cinta anak dengan cinta yang utuh maka anak akan mengalami kesulitan mengenal Allah, ibaratnya melihat cermin atau lensa yang buram. Apalagi bila lensanya hitam atau gelap, maka dia akan melihat Tuhan secara gelap juga, secara negatif juga.

Y : Cinta yang utuh, cinta seperti apa, ya Pak ?

SK : Cinta yang utuh seperti ibaratnya dua sisi dari mata uang yang sama. Kita mengisi tangki cinta anak dengan cinta yang utuh dimana satu sisi adalah sisi kasih sayang, sisi yang lain yang sama pentingnya adalah tuntutan yang positif. Jadi kasih sayang kalau ibarat layang-layang, kita sedang mengulur layang-layang, tuntutan yang positif ibaratnya layang-layang sedang ditarik. Sebagaimana layang-layang bisa terbang tinggi karena diulur ditarik, diulur ditarik, demikian juga cinta yang utuh untuk membentuk anak secara solid dan memiliki iman yang solid itu adalah lewat tarik ulurnya orangtua. Ada saatnya anak diberi pernyataan bahasa-bahasa kasih sayang, lewat sentuhan, nasihat, dipeluk, dikejut, dielus, lewat kebersamaan, orangtua menemani, menyertai anak sehingga anak tidak merasa sendirian, kesepian, juga bahasa kasih sayang berupa kata-kata yang membesarkan hati anak. Tapi pada saat yang sama juga orangtua memberikan tuntutan yang positif, "Ayo belajar, ini waktunya belajar, sekarang boleh bermain. Ayo disiplin, sekarang jam 9, jamnya tidur, ayo kita ke gereja, ayo sekarang baca Alkitab. Ayo kamu taat, ayo jujur, ayo kamu berbuat baik kepada orang lain, ucapkan terima kasih, minta maaf, minta tolong". Tuntutan tapi positif, disinilah yang akan membentuk anak untuk mengalami cinta yang utuh dari orangtua. Ini bagian yang pertama, Bu Yosie.

Y : Dan pasti akan membentuk karakter dan imannya.

SK : Betul, jadi disini termasuk mengenal Allah lewat menaati ke gereja, menaati untuk saat teduh, menaati untuk melakukan firman. Itu bagian dari cinta yang utuh. Ada tuntutan positif, tapi juga ada sisi rasa kasih sayang.

Y : Sebaliknya apabila orangtua tidak memenuhinya, apa yang dilakukan, Pak ?

SK : Ketika orangtua misalnya tidak mampu menjalin kedekatan, orangtua melalaikan kebutuhan kasih sayang anak. Orangtua sibuk sendiri, tidak menyertai anak, modalnya hanya beri uang, beri pembantu, beri sopir, maka anak akan merasa, "Oh, aku tidak penting, aku tidak dikasihi, aku tidak berharga". Dia juga akan melihat sisi Allah yang seperti itu, Oh Allah juga Allah yang sibuk. "Allah itu baik, tapi pada orang-orang lain bukan padaku". Sama seperti ayah ibuku, yang baiknya di tempat kerja, di gereja, untuk orang lain, tapi tidak baik pada diriku, mungkin pikiran secara rasional, secara sadar anak tidak mungkin berpikir seperti itu, tapi di bawah sadarnya, asumsi ini yang muncul, karena itu yang dialami, pengalaman emosional, pengalaman batin dengan orangtua yang akhirnya mendistorsi, membuat anak jauh dari Allah, melihat Allah secara negatif, sebagaimana hubungannya dengan orangtuanya negatif itu.

Y : Wah, ternyata tema ini membutuhkan perbincangan yang lebih mendalam ya Pak, karena waktu tidak mencukupi, kita akan melanjutkannya ke bagian yang kedua. Para pendengar sekalian, terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bapak Penginjil Sindunata Kurniawan, MK dalam acara TELAGA (TEgur sapa GembaLA KeluarGA). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Generasi Tanpa Iman" bagian pertama. Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini, silakan menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK), Jl. Cimanuk 56 Malang. Atau Anda juga dapat mengirimkan e-mail ke telaga@telaga.org. Kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa dalam acara TELAGA yang akan datang.


Ringkasan:

  • 59% kaum muda meninggalkan gereja (You Lost Me, David Kinningham, Barna Group, 2011)
  • "Hampir semua kaum muda hilang!" (survai sebuah majalah gereja ibukota)
  • <10% mahasiswa Kristen pendatang terjangkau gereja
  • Gejala churchlessàChristless
  • Salah satu negara Asia: mahasiswa atheis dan agnostik dari orangtua Katolik dan Kristen. Di mana ada kemakmuran ekonomi, di sana ada kehilangan iman.
  • Krisis kualitas iman meski jumlah kaum dewasa bertambah

Ini bukan hal baru. Dalam Perjanjian Lama sendiri tercatat fenomena serupa. Hakim 2:7,10,11

Sementara dalam Ulangan 6:1-9 tercatat instruksi dan SOP (Standard Operation Procedure) atau Prosedur Operasi Standar dari Tuhan. Ulangan 6:1-9

Disebut Shema, jantung hidup orang Israel masa lalu dan orang Yahudi sampai masa kini. Menjadi fondasi identitas bangsa Yahudi terpelihara meski tersebar di berbagai negara berabad-abad. Shema artinya "dengarlah".

Tanggungjawab utama pada orangtua, dan bukan pada guru sekolah maupun pendeta dan guru Sekolah Minggu di gereja. Mereka sebagai mitra sukses orangtua dan bukan pengganti orangtua. Ringkasnya: Iman Anak Tanggungjawab utama Orangtua. Pengajaran dan teladan iman orangtua merupakan atmosfer dan wadah iman anak untuk lahir dan berkembang.

Apa itu Iman?

Mengalami Allah yang benar di dalam Kristus secara pikiran, perasaan, kehendak yang tampak dalam gaya hidup sehari-hari.

Iman merupakan pengalaman dinamis bermula di rumah, dibagikan, dikenal dan dipertegas di dalam komunitas orang percaya

IMAN berbeda dengan AGAMA
Pengalaman nyata
Ajaran, hukum, perintah
Tidak dapat diajarkan
Dapat diajarkan
Anugerah Allah
Upaya manusia
BAGIAN ORANGTUA
  1. PENUHI TANGKI CINTA ANAK dengan CINTA UTUH
    • Kasih Sayang
      Sentuhan, kebersamaan, kata-kata
    • Tuntutan Positif
  2. MILIKI IMAN YANG HIDUP
    Kata dan Tindakan Orangtua
    Isu-isu:
    • Uang
    • Sukses dan Harga Diri
    • Prioritas Hidup
    • Krisis, Luka & Derita
    • Karakter
    • Musuh & Kawan
    • Perbedaan SARA
    • Perasaan negatif
  3. AKTIF BUKA JALAN ANUGERAH IMAN ANAK (kognitif, afektif, psikomotorik; berpikir-merasa-melakukan) dan auditori-visual-kinesketik (mendengar-melihat-bertindak)
    • Pujian dan Penyembahan
    • Alam Terbuka
    • Pelayanan, PI & Misi: Ajarkan anak keterampilan PI
    • Seni dan Permainan
    • Bacaan dan Tontonan
    • Bercerita dan Berdiskusi
  4. Lakukan VAKSINASI IMAN utk usia 10-20 tahun
    • "Yang disalib Yudas Iskariot. Yesus tidak pernah bangkit. Ditemukan makam Yesus di Talpiot."
    • "Alkitab itu sudah dipalsukan dan sebagian mitos."
    • "Kalau Yesus satu-satunya Juruselamat, Allah tidak adil."
    • "Ada orang Kristen sangat buruk, ada atheis sangat saleh."
    • "Kalau Allah itu baik, kenapa orang benar menderita?"

    • Ada aplikasi digital: Ada Pertanyaan? GotQuestions.orgs
  5. Kembangkan KOMUNITAS IMAN

    Allah

    Orangtua
    Anak

    Guru Sekolah, Guru Sekolah Minggu,

    Sahabat Anak, Pembina Remaja,

    Anggota Tubuh Kristus lainnya

ANAK: medan uji kesetiaan orangtua atas mandat Allah TINDAK LANJUT BAGI ORANGTUA
  1. Dimuridkan secara intensional untuk Memuridkan Anak (bahkan sangat baik jika sudah dimulai sejak remaja dan mahasiswa sebelum menjadi orangtua)
  2. Terapkan Diet Elektro Digital pada Diri
  3. Suburkan Komunikasi Pasangan dan Anak
  4. Cari Pertolongan.

Questions: