BETA
Membangun Di Atas Yang Ada ( I )
Sumber: telaga
Id Topik: 2385

Abstrak:

Kadang kita ini dalam membangun keluarga atau pernikahan mendasarinya atas hal-hal yang kita harapkan tetapi itu belum ada dalam pernikahan kita. Sedangkan kita mesti realistis melihat apa yang ada dalam pernikahan, artinya melihat dengan jelas siapa pasangan kita. Dan dari situlah kita seharusnya membangun pernikahan kita.

Transkrip:

Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi di mana pun Anda berada, Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (TEgur Sapa GembaLA KeluarGA). Saya, Gunawan Santoso, dari Lembaga Bina Keluarga Kristen, akan berbincang-bincang dengan Bapak Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling. Perbincangan kami kali ini tentang "Membangun di Atas yang Ada". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.


GS : Pak Paul, membangun kehidupan berkeluarga itu seperti orang membangun rumah; tukang bangunan. Ini kalau Pak Paul mengangkat tema "Membangun di Atas yang Ada" apa sebenarnya yang dimaksudkan?


PG : Kadang kita ini dalam membangun keluarga atau pernikahan mendasarinya atas hal-hal yang kita harapkan tetapi yang belum ada dalam pernikahan kita. Nah, kita mesti realistik melihat apa yang ada dalam pernikahan, artinya melihat dengan jelas siapa pasangan kita. Jadi dari situlah kita bangun pernikahan kita. Dan saya juga mau menyoroti ini dari sudut yang lain yaitu terkadang kita ini setelah menikah beberapa tahun, kita akan kehilangan hal-hal yang tadinya ada dalam pernikahan kita, baik itu karena mungkin persoalan yang kita hadapi atau memang karena sudah cukup lama kita menikah sehingga akhirnya hal-hal yang akhirnya ada sekarang tidak ada lagi. Nah, kita akan coba membahasnya supaya nanti kita bisa membangun kembali rumah tangga kita.


GS : Kalau dikatakan dibangun dari bahan-bahan yang ada. Di dalam pernikahan bahan-bahan itu apa, Pak Paul ?


PG : Misalnya yang penting adalah kepercayaan. Kedua adalah hormat atau respek pada satu sama lain dan sudah tentu kasih sayang di antara kita. Saya yakin pada awal pernikahan ketiga-tiganya ada, namun setelah melewati pernikahan beberapa tahun maka bisa saja satu per satu mulai tidak ada atau mulai pudar. Atau ada yang akhirnya gugur karena adanya masalah dalam pernikahan. Nah, jadi kita mau melihat dengan jelas apa yang masih ada dalam pernikahan kita dan mulailah membangun dari yang ada itu. Dan juga yang tadi sudah saya sebut bahwa kita juga realistik terhadap harapan kita. Terkadang kita mengharapkan pasangan kita sesuai dengan yang kita idamkan dan dia tidak seperti itu, apakah kita akan terus menyoroti kekurangannya, ataukah kita terima apa yang ada atau apa yang bisa dia berikan kepada kita dan kita membangun kematangan kita atas apa yang ada itu.

GS : Jadi bahan itu sudah ada di dalam diri masing-masing pasangan ini, Pak Paul? Tapi biasanya berbeda, apa yang dimiliki oleh suami berbeda dengan apa yang dimiliki oleh istri dan cara mensinkronkan itu bagaimana?


PG : Seringkali memang ini tidak bisa dengan jelas melihatnya pada masa awal pernikahan. Jadi kita berpikir bahwa pasangan kita memiliki kualitas-kualitas yang kita inginkan. Kita beranggapan bahwa dia adalah seorang yang kuat dan tabah yang bisa menghadapi tantangan hidup ini. Tapi setelah menikah kita sadari dia bukan orang seperti itu, malah kebalikannya. Justru cepat cemas, menghindar bukannya menghadapi masalah. Nah, apa yang akan kita lakukan sebab inilah yang ada dalam pernikahan kita. Jadi saya mau kita ini nanti melihat apa yang ada dalam pernikahan kita dan sudah kita fokuskan dan kita bangun di atasnya.


GS : Bedanya kalau kita membangun rumah bahannya tidak ada kita bisa membeli di toko. Kalau membangun keluarga jika bahan tidak ada maka kita cari dimana, Pak Paul?


PG : Betul. Memang kita tidak bisa membelinya atau memasukkannya dari luar maka kita terima apa yang ada dan kita bangun di atasnya.


GS : Iya. Jadi fokus pembicaraan kita apa, Pak Paul?


PG : Saya akan mengangkat beberapa, apa itu yang bisa kita lakukan untuk membangun di atas apa yang ada, kita juga melihat mengapa bijak bila kita memfokuskan pada apa yang ada. Apa artinya membangun di atas yang ada; membangun di atas yang ada berarti membangun di atas kekuatan yang ada. Kita hanya dapat membangun di atas kekuatan bukan kelemahan. Jadi fokuskan pada hal positif yang menjadi kekuatan pernikahan kita. Misalkan, kita tahu bahwa komunikasi bukanlah kekuatan pernikahan kita. Seringkali kita bertengkar gara-gara komunikasi. Tidak perlu kita memaksakan pasangan untuk berkomunikasi dengan cara yang kita anggap baik atau seharusnya. Sebaliknya, kita perkokoh relasi atas dasar kekuatan misalkan saling tolong dalam pekerjaan rumah tangga bila itu adalah kekuatan pernikahan kita. Contoh lain, mungkin kita merasa tidak puas dengan karier pasangan kita. Kita berharap dia lebih gigih memerjuangkan kariernya. Tapi selama ini pasangan tampak puas dengan pekerjaannya. Nah, daripada kita terus menyuruhnya mencari pekerjaan lain atau menambah pekerjaan sebaiknya kita fokuskan kepada kekuatan dalam pernikahan kita misalnya, kita sama-sama senang berolahraga. Jadi silakan perkokoh pernikahan dengan cara berolahraga bersama dan jangan lagi meributkan soal pekerjaan. Mungkin kita masih akan bertengkar gara-gara hal lain. Tapi setidaknya ikatan nikah tetap kuat karena adanya aktifitas berolahraga bersama itu. Tentu saya disini tidak membicarakan tentang hal-hal yang sangat, sangat buruk, Pak Gunawan, misalnya ada orang yang memang tidak setia; sudah tentu kita membicarakan yang berbeda bila seperti itu.


GS : Tetapi memang untuk mengetahui kekuatan yang ada, selain butuh waktu juga butuh kedekatan, Pak Paul. Dan kita tidak bisa serta merta tahu ini kekuatan pasangan dan bahkan untuk diri kita sendiri kita tidak menyadari bahwa kekuatan saya sebenarnya dimana.


PG : Tepat sekali, Pak Gunawan. Jadi pada umumnya kita baru mulai menyadari kondisi nyata pernikahan kita setelah beberapa lama. Pada awalnya memang harus kita akui, tidak tahu. Apalagi pada masa berpacaran kita tidak bisa melihat dengan jelas. Tapi setelah beberapa tahun menikah biasanya barulah kita sadari ini kondisi nyatanya. Mula-mula kita berpikir misalnya dalam hal komunikasi, "Mungkin perlu waktu untuk dia bisa mengerti, untuk dia bisa berubah. Dia terbiasa cara komunikasi seperti ini. Tidak apalah." Kita beritahu dia terus-menerus jangan begitu seharusnya begini. Tapi tidak berubah, terus saja sama. Nah, setelah beberapa tahun kita sudah beritahukan dan tetap saja tidak berubah maka saya kira harus kita sadari bahwa seperti inilah dia. Maka daripada terus kita soroti dan jadikan itu bahan keributan, lebih baik kita tinggalkan masalah itu dan fokuskan kepada kekuatannya. Kekuatan pernikahan kita, misalnya tadi saya sudah singgung bahwa kita senang mengurus rumah tangga bersama dan dia juga senang membersihkan rumah atau rumah tangga. Sudah. Itu saja yang harus kita fokuskan, sehingga nanti ikatan pernikahan kita tetap ada, daripada kita terus meributkan hal yang tidak ada itu.


GS : Iya. Tapi biasanya kita itu lebih mudah mengenali justru kelemahan; baik kelemahan diri kita apalagi kelemahan pasangan dan ini lebih cepat kita menangkapnya daripada kekuatan kita.


PG : Betul. Dan saya juga mengerti bahwa ini menjengkelkan, Pak Gunawan. Waktu kita melihat hal-hal yang tidak kita sukai misalnya dalam hal komunikasi kita beritahukan dia terus menerus, tentu kita menjadi jengkel. Untuk bisa mengabaikan dan memfokuskan pada kekuatan pernikahan kita itu tidak mudah. Seperti soal pekerjaan yang saya singgung, menjengkelkan. "Kenapa kamu tidak lebih gigih? Lebih berinisiatif. Tidak apa-apa coba saja, orang lain berani coba tapi kamu tidak. Orang lain berani bekerja keras, kamu tidak. Saya sendiri mau kerja keras, mau kerja lagi. Kamu kok tidak?" Ini menjengkelkan, memang. Tapi sekali lagi kalau kita sudah coba dan memang tidak bisa berubah maka jadi sudahlah biarkan. Jadi daripada kita fokus kepada kekurangannya, sudah fokuskan pada kekuatannya.


GS : Iya. Tapi seperti tadi yang Pak Paul katakan bahwa kesenangan mereka adalah olahraga misalnya, jika kita bersama-sama olahraga tetapi mengabaikan pekerjaannya, maka itu menghabiskan dana keluarga.


PG : Nah, memang ini membawa kita kepada poin yang kedua, Pak Gunawan, yaitu membangun di atas yang ada, berarti menerima perubahan dan menanggung kerugian. Ini yang Pak Gunawan tadi sudah singgung. Dengan bertambahnya umur maka bertambah pula keterbatasan, baik fisik maupun mental dan bertambah pula sakit penyakit. Nah, ada hal-hal yang tadinya dapat kita lakukan dengan baik dan sekarang tidak lagi. Itu sebab janganlah menuntut pasangan untuk tetap dapat melakukan aktifitas yang kita sukai atau perlukan. Sebaliknya terimalah dia apa adanya dan terimalah perubahan itu sebagai bagian dari proses menua. Kadang kita ini susah terima bahwa dia tidak bisa lagi ini itu, dan dia tidak segesit dulu lagi. Nah, sudah. Jangan tuntut. Biarkan dan kita terima perubahan itu apa adanya. Sudah tentu kita pun mesti rela membayar harga akibat perubahan pada pasangan. Kadang kita harus berhenti melakukan hal-hal yang kita sukai dan lakukan bersama. Misalkan, dulu kita menikmati travel bersama dan selama ini travel menjadi acara tetap. Sekarang tidak bisa lagi karena pasangan tidak dapat pergi jauh akibat keterbatasan fisiknya. Nah, namun ada kalanya kita mesti membayar harga lebih dari sekadar melakukan hal-hal yang kita senangi. Mungkin sekarang kita merawatnya karena sakit yang dideritanya atau kita mesti menghabiskan banyak uang untuk biaya perawatannya. Ada banyak hal yang mesti ditanggung pada masa menua sehingga pada akhirnya relasi lebih searah. Kita lebih banyak memberi daripada menerima. Nah, jadi inilah bagian dari menerima perubahan dan menanggung harganya atau kerugiannya, Pak Gunawan. Betul sekali.


GS : Tapi memang masalah menua itu sebenarnya pasangan bisa memersiapkan diri jauh hari sebelumnya karena arahnya sudah tahu bahwa kita mesti tua dan tidak mungkin menjadi muda lagi. Tentu harus dipersiapkan. Masalahnya kadang-kadang kita terlena dengan apa yang ada pada waktu itu sehingga kita lupa dan mendadak tahu-tahu sudah tidak dapat pekerjaan lagi berarti penghasilan sudah berkurang, kesehatan mendadak hilang atau sakit tiba-tiba karena sakit datang tidak terduga, Pak Paul.


PG : Betul sekali, Pak Gunawan. Jadi persiapan itu penting. Kita itu tahu kita akan tua dan kita tahu sewaktu kita tua akan lebih sering sakit. Jadi memang dari jauh hari kita lebih hati-hati memakai uang, lebih menabung, lebih memersiapkan untuk hari tua itu. Itu betul sekali. Saya juga mau mengerti bahwa ada kalanya pilihan itu tidak tersedia; bukannya tidak mau tapi tidak bisa. Ada orang yang hidup gaji per gaji per bulan, akhirnya tidak bisa menabung, sehingga akhirnya di hari tua susah. Ada yang punya anak, tapi anaknya misalnya kebetulan ekonominya tidak baik sehingga tidak bisa membantu orangtuanya. Jadi memang banyak faktor yang bisa membuat kita di hari tua akhirnya kurang siap. Kalau kita siap maka lebih baik. Misalkan karena kita ada tabungan jadi misalnya pasangan kita sakit maka kita bisa membayar orang untuk bisa menolong sehingga itu meringankan beban kita sehingga kita tidak terlalu tertindih oleh tugas.


GS : Iya. Memang kalau dari segi finansial atau keuangan terkadang bisa seperti itu. Tetapi dari segi mental sebenarnya bisa kita lakukan, Pak Paul. Dari segi mental kita mau memersiapkan diri bahwa saya tidak akan ada dana yang cukup, bisa menjadi tua, bahkan mungkin sakit. Lalu apa yang harus kita lakukan kalau memang sudah seperti itu? Karena sebenarnya bisa dipersiapkan jauh-jauh hari sebelumnya juga.


PG : Betul ya. Jadi secara mental kita memang harus mengingat bahwa kita akan tua dan terbatas. Terus kita ingatkan itu sehingga waktu terjadi kita tidak kaget dan lebih bersedia menerimanya. Masukan lain lagi adalah kita memang mesti melihat semua ini juga dari lensa rohani. Kita rela menerimanya sebab kita menerima bagian hidup ini sebagai porsi yang ditetapkan Tuhan untuk kita. Sudah tentu adalah baik bila kita berpikir: karena dulu bersenang-senang bersama maka sudah selayaknyalah kita bersusah-susah bersama. Namun pemikiran ini tidak cukup. Kita mesti melengkapinya dengan lensa rohani yakni bagian hidup ini adalah porsi yang ditetapkan Tuhan. Perubahan dan kerugian yang mesti kita bayar, harga yang mesti kita bayar ada dalam rencana Tuhan. Kalau kita bisa siapkan mental dan kerohanian kita maka kita lebih bisa menghadapinya.


GS : Itu tadi yang penting yaitu memersiapkan mental dan kerohaniannya. Kalau terkait keuangan memang agak sulit, Pak Paul dan tidak bisa diduga-duga juga. Tetapi untuk memersiapkan mental dan kerohanian ini perlu dilakukan. Tapi itu pun tidak bisa mencakup seluruh persiapan kita, tetap ada hal-hal yang sifatnya mendadak dan kita ternyata tetap tidak siap. Luput dari pengamatan kita atau bagaimana?


PG : Betul, betul. Kita tidak mungkin memang memersiapkan segalanya dengan utuh, lengkap dan tepat karena kita manusia terbatas. Saya juga mengakui kalau pun kita bisa melihatnya dari lensa rohani bahwa ini sudah porsi yang Tuhan tetapkan, tidak berarti kita akan bisa dengan selalu rendah hati, rela menerimanya. Tidak juga. Saya juga mengerti bahwa kita terkadang memberontak. Mungkin kita berkata bahwa hidup saya dari dulu belum benar-benar senang sekarang sudah tua saya mau lebih senang-senang. Tapi ternyata sekarang kaki saya terikat, saya tidak bisa kemana-mana, harus mengurus pasangan saya. Apalagi misalnya pasangan kita tidak terlalu baik sama kita. Kita banyak sakit hati karena perbuatannya. Sekarang di hari tua dia lemah tubuh, kita mesti merawatnya. Jadi benar-benar susah untuk kita terima.


GS : Iya. Jadi memang idealnya itu dulu senang-senang bersama dan sekarang susah ditanggung bersama. Hal ini terlalu ideal, pikir saya. Biasanya orang mau yang senang-senang bersama-sama nanti susahnya sendiri-sendiri saja.


PG : Iya. Betul.


GS : Nah, yang lain apa, Pak Paul?


PG : Yang kedua, memfokuskan pada yang tidak ada membuat kita merasa tidak pernah puas. Memang pasangan itu bukanlah orang yang sempurna, tapi juga bukan berarti dia orang yang tidak ada kebaikannya sama sekali. Marilah kita melihat, mengapa bijak bila kita memfokuskan pada apa yang ada bukan pada apa yang tidak ada. Setidaknya ada 3 alasan, Pak Gunawan. Pertama, memfokuskan pada apa yang tidak ada membuat kita berpikir negatif. Bila kita terus memfokuskan pada apa yang tidak ada di dalam pernikahan akhirnya kita menjadi orang yang negatif. Ibarat melihat donat, bukannya melihat donat sebagai roti tapi melihat lubang di tengahnya. Kita cenderung mengeluh dan akhirnya kehilangan sukacita dalam hidup. Alhasil orang pun menjauh dari kita. Jadi ini yang mau kita hindari. Jangan sampai akhirnya kita menjadi orang yang negatif gara-gara hanya terus menyoroti apa yang tidak ada dalam pernikahan kita.


GS : Tapi itu semacam karakter dari seseorang itu, Pak Paul; mungkin kebiasaan sejak dulu. Yang dilihat dari dia yaitu hanya pandangan negatif saja. Jadi ada orang yang memang cenderung punya pandangan negatif seperti itu sehingga yang dilihat hanya lubang donat bukan roti. Ini merubah pandangan itu sukar sekali?


PG : Susah. Dan ini memang yang menjadi masalah di dalam pernikahan sebab pada akhirnya orang yang hanya melihat yang tidak ada dan yang negatif maka biasanya cenderung fokus kepada kekurangan pasangan. Sehingga apa yang baik pada pasangan tidak dia lihat, dia hanya terus soroti yang tidak baik atau kurang.


GS : Itu dampaknya apa, Pak Paul, kalau kita tidak bisa atau sedikit sekali berpikiran positif ?


PG : Sudah tentu memang, tadi sudah saya singgung, orang tidak suka dekat dengan kita dan sudah tentu pasangan tidak suka juga, serta kalau kita punya anak mereka pun juga tidak menyukai dekat dengan kita. Karena tidak ada orang yang suka dengan atau tidak suka dekat dengan orang yang negatif, yang hanya terus menyoroti kekurangan. Tidak pernah bisa melihat kebaikan. Dan akhirnya orang ini akan berkata, "Sudahlah. Kamu selalu soroti kekurangan saya. Apa yang saya lakukan yang baik kamu tidak pernah melihat." Jadi akhirnya semakin menyurutkan motivasi orang untuk bisa berbuat yang lebih baik lagi. Begitu, Pak Gunawan. Jadi akhirnya ini membawa kita kepada poin yang kedua, memfokuskan pada apa yang tidak ada, membuat kita merasa tidak pernah puas. Akhirnya kita hanya fokus kepada kekurangannya dan pasangan akan berkata, "Sudahlah. Buat apa saya mencoba, tidak ada lagi motivasi untuk memerbaiki diri. Percuma." Dan ini berarti relasi nikah kita makin merosot, semakin hari semakin memburuk karena benar-benar kita sudah tidak peduli lagi. Pasangan kita berbicara apa, suruh apa maka kita tidak menghiraukan akhirnya malah tambah renggang.


GS : Apakah itu berarti seolah-olah pernikahan itu tidak bisa ditolong lagi?


PG : Akan berat. Kalau orang memang bawaannya negatif hanya terus menyoroti yang buruk maka akan sulit, Pak Gunawan untuk membangun pernikahan. Karena kita manusia itu tidak bisa hanya disoroti kekurangannya saja, kita mau melihat, bahwa orang juga menghargai yang kita lakukan dan karena tidak pernah puas, kapan bisa puas. Kita lakukan yang dia minta besoknya minta yang lain lagi. Kita lakukan besok yang dia minta maka besoknya lagi ada lagi yang masih kurang. Sehingga akhirnya kita berkata, "Aduh, kapan selesai? Dari dulu ada saja yang tidak memuaskan, ada saja yang tidak benar." Jadi akhirnya kita tidak mau lagi tahu dan didiamkan saja. Nah, biasanya pasangan yang menuntut itu menjadi marah. Tapi karena kita sudah tidak peduli dan menahan dulu maka kita diamkan saja.


GS : Iya. Tapi memang perasaan itu relatif sekali, Pak Paul, hanya sementara saja. Sementara dia puas maka akhirnya dia tidak puas lagi dengan apa yang mereka sudah penuhi?


PG : Iya, betul. Makanya orang yang hanya menyoroti kekurangan orang lain akhirnya memang seringkali tidak pernah puas, Pak Gunawan dan akhirnya dia membuat orang di sekitarnya sengsara luar biasa. Jadi memang yang harus berubah ialah dia yang berpikiran negatif itu supaya bisa lebih menghargai, bisa lebih puas dan bisa lebih menyoroti hal-hal yang positif dalam diri orang atau dalam diri pasangannya.


GS : Tapi kalau ketidakpuasan itu tidak diungkapkan, baik lewat kata-kata maupun perbuatan, itu juga memukul dirinya sendiri. Dia sendiri yang bisa sakit karena sebenarnya dia merasa tidak puas tapi tidak berani mengungkapkan.


PG : Betul. Sudah tentu jangan sampai kita tidak berani berbicara sama sekali dan tidak apa-apa mengutarakan apa yang kita harapkan. Tidak apa-apa. Tapi juga ada batasnya. Kita juga mesti bisa berkata tidak apa-apa, saya puas, saya terima ini. Jangan sampai kita menuntut karena kita ini sendiri tidak pernah puas. Memang semua ini kembali kepada diri sendiri. Kalau kita memang tidak bahagia dengan diri kita, maka kita akan susah menerima orang lain. Kita akan susah puas dengan orang lain sebab kita sendiri tidak bahagia dengan diri kita. Jadi kita seolah-olah itu mengharuskan orang untuk membahagiakan kita.


GS : Iya. Permasalahannya bukan orang lain, tetapi diri kita sendiri, Pak Paul.


PG : Betul. Dan ini membawa kita kepada poin yang ketiga yaitu, mengapa tidak bijak untuk fokus pada yang tidak ada, sebab memfokuskan pada apa yang tidak ada membuat kita buta terhadap kelemahan pribadi. Oleh karena mata kita terus tertuju kepada kelemahan pasangan, pada akhirnya kita tidak melihat kelemahan sendiri. Sudah tentu pasangan tidak suka dengan sikap kita yang menyoroti kekurangannya tetapi buta terhadap kelemahan sendiri. Karena tidak suka dia pasti membalas dengan menunjukkan kekurangan kita. Dan dari sini dimulailah siklus saling serang; tidak ada lagi yang bersedia melihat apalagi memerbaiki kekurangan. Sebab pasangan akan berkata, "Kamu sendiri punya kelemahan. Kamu sendiri berbuat ini berbuat itu. Tapi kamu hanya bisa menyerang saya. Salahkan saya terus." Karena tidak tahan akan balas serang terus menerus, akhirnya tidak ada yang mau lihat kelemahan pribadi dan terus menyoroti kelemahan masing-masing.


GS : Nah, untuk memecah kebuntuan seperti itu apa yang bisa dilakukan, Pak Paul?


PG : Saran saya kalau memang tidak ada jalan keluar harus cari pertolongan. Harus ada seorang hamba Tuhan atau konselor yang bisa duduk kemudian mengajak mereka berbicara untuk menunjukkan apa yang menjadi akarnya dan juga menolong mereka untuk mulai melihat kelemahan sendiri, bukan hanya kelemahan masing-masing.


GS : Tapi kesulitannya ialah melihat kekurangan diri sendiri tadi, Pak Paul. Ini dulu yang harus diselesaikan, Pak Paul?


PG : Betul. Jadi dalam konseling biasanya konselor akan memulai dengan apa yang menjadi masalah pada dirinya dan coba untuk mengangkatnya supaya orang tersebut bisa melihatnya. Mudah-mudahan saja dia tidak bisa dengar dari pasangan dan konselor sehingga bisa menolongnya.


GS : Jadi tanpa pertolongan pihak ketiga rasanya sulit sekali?


PG : Seringkali sulit, Pak Gunawan, karena itu sudah seperti siklus yang terus berputar-putar dan saling serang.


GS : Iya. Dan sebelum kita mengakhiri perbincangan ini Pak Paul, mungkin ada firman Tuhan yang ingin disampaikan?


PG : Amsal 12:18 mengingatkan, "Ada orang yang lancang mulutnya seperti tikaman pedang, tetapi lidah orang bijak mendatangkan kesembuhan". Terus memfokuskan pada yang tidak ada dapat diibaratkan seperti menusuk pasangan dengan pedang. Pasti melukai. Nah, memfokuskan pada apa yang ada dan menghargainya justru akan membangun pasangan dan pasti menyembuhkan.


GS : Iya. Perkataan itu ternyata luar biasa dampaknya kepada pasangan; kata-kata yang tajam terutama. Orang yang berpikiran negatif biasanya kata-katanya tajam.


PG : Betul. Itu seperti pedang yang menusuk-nusuk. Ubahlah. Ganti kata-kata yang menusuk itu dengan kata-kata yang membangun, lebih menghargai kelebihan dan kekuatan pasangan.


GS : Dan bahayanya biasanya hal ini diperhatikan oleh anak-anak kita yaitu cara hidup suami-istri ini, bisa dilihat oleh anak-anaknya.


PG : Betul, betul. Kalau tidak hati-hati nanti anak-anak akan mencontohnya.


GS : Iya. Jadi perbincangan ini masih akan kita lanjutkan pada kesempatan yang akan datang yaitu tentang "Membangun di Atas yang Ada". Untuk kali ini kita cukupkan sampai disini dulu. Dan para pendengar sekalian, terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bapak Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara TELAGA (TEgur sapa GembaLA KeluarGA). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Membangun di Atas yang Ada" bagian yang pertama. Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini, silakan menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Atau Anda juga dapat menggunakan e-mail ke alamat telaga@telaga.org. Kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan, serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Akhir kata dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa dalam acara TELAGA yang akan datang.


Ringkasan:

Membangun pernikahan dapat diibaratkan seperti membangun rumah; kita mesti memilih bahan yang baik dan membangunnya dengan perencanaan yang baik. Namun sebaik apa pun bahan dan sematang apa pun perencanaan, rumah tetap akan mengalami kerusakan, baik karena usia maupun karena hal lain di luar kendali. Begitu pula dengan pernikahan. Kita boleh berupaya mencari pasangan yang terbaik dan memersiapkan pernikahan sebaik-baiknya, tetapi pada akhirnya pernikahan tidak selalu berjalan sempurna. Kadang pernikahan mengalami kerusakan, baik karena kesalahan yang diperbuat ataupun karena perubahan alamiah yang terjadi. Alhasil kita mesti membetulkan yang rusak dan membangun kembali. Sebagaimana rumah, kita tidak bisa membangun pernikahan di atas bahan yang TIDAK ada; kita hanya dapat membangun di atas bahan yang tersedia. Berikut akan dibahas apa artinya membangun di atas yang ada dan mengapa bijak bila kita memfokuskan pada apa yang ada. Pada bagian terakhir kita akan belajar bagaimana membangunnya.


(1) Membangun di Atas Kekuatan yang Ada.
Kita hanya dapat membangun di atas kekuatan, bukan kelemahan. Jadi, fokuskan pada hal positif yang menjadi kekuatan pernikahan kita. Misalkan kita tahu bahwa komunikasi bukanlah kekuatan pernikahan kita; seringkali kita bertengkar gara-gara komunikasi. Nah, tidak perlu kita memaksakan pasangan untuk berkomunikasi dengan cara yang kita anggap baik atau seharusnya. Sebaliknya, kita perkokoh relasi atas dasar kekuatan, misalkan saling tolong pekerjaan rumah tangga bila itu adalah kekuatan pernikahan kita. Contoh lain adalah mungkin kita merasa tidak puas dengan karier pasangan; kita berharap ia lebih gigih memperjuangkan kariernya tetapi selama ini ia tampak puas dengan pekerjaannya. Daripada kita terus menyuruhnya mencari pekerjaan lain atau menambah pekerjaan, sebaiknya kita fokuskan pada kekuatan dalam pernikahan kita, misalkan kita sama-sama senang berolah-raga. Jadi, silakan perkokoh pernikahan dengan cara berolah-raga bersama dan jangan lagi meributkan soal pekerjaan. Mungkin kita masih akan bertengkar gara-gara hal lain, tetapi setidaknya ikatan nikah tetap kuat karena adanya aktivitas berolah-raga bersama.


(2) Menerima Perubahan dan Menanggung Kerugian.
Dengan bertambahnya umur, bertambah pula keterbatasan, baik fisik maupun mental dan bertambah pula sakit penyakit. Ada hal-hal yang tadinya dapat kita lakukan dengan baik, sekarang tidak lagi. Itu sebab, janganlah kita menuntut pasangan untuk tetap dapat melakukan aktivitas yang kita sukai atau perlukan; sebaliknya terimalah dia apa adanya dan terimalah perubahan itu sebagai bagian dari proses menua. Sudah tentu kita pun mesti rela membayar harga sebagai akibat perubahan pada pasangan. Kadang kita harus berhenti melakukan hal-hal yang kita sukai dan lakukan bersama. Misalkan dulu kita menikmati travel bersama dan selama ini travel menjadi acara tetap. Sekarang tidak bisa lagi karena pasangan tidak dapat pergi jauh akibat keterbatasan fisiknya. Namun adakalanya kita mesti membayar harga lebih dari sekadar tidak bisa lagi melakukan hal-hal yang kita senangi. Mungkin sekarang kita harus repot merawatnya karena sakit yang dideritanya, atau kita mesti menghabiskan banyak uang untuk biaya perawatannya. Ya, ada banyak hal yang mesti ditanggung pada masa menua sehingga pada akhirnya relasi lebih searah—kita lebih banyak memberi daripada menerima. Membangun di atas yang ada berarti menerima perubahan dan menanggung kerugian secara sukarela. Kita rela menerimanya sebab kita menerima bagian hidup ini sebagai porsi yang ditetapkan Tuhan untuk kita. Sudah tentu adalah baik bila kita berpikir, karena dulu bersenang-senang bersama, sudah selayaknya sekarang kita bersusah-susah bersama. Namun pemikiran ini tidak cukup; kita mesti melengkapinya dengan lensa rohani yakni bagian hidup ini adalah porsi yang ditetapkan Tuhan. Perubahan dan kerugian ini ada di dalam rencana Tuhan. Sekarang marilah kita melihat mengapa bijak bila kita memfokuskan pada apa yang ada, bukan pada apa yang tidak ada. Setidaknya ada tiga alasan, bila kita memfokuskan pada apa yang tidak ada :


1) Membuat kita berpikir negatif.
Bila kita terus memfokuskan pada apa yang tidak ada di dalam pernikahan, akhirnya kita menjadi orang yang negatif. Ibarat melihat donat, bukan melihat rotinya, kita melihat lubang di tengahnya. Kita cenderung mengeluh dan akhirnya kehilangan sukacita dalam hidup; alhasil, orang pun menjauh dari kita.


2) Membuat kita merasa tidak pernah puas.
Memang pasangan bukanlah orang yang sempurna tetapi ia juga bukanlah orang yang sama sekali tidak ada kebaikannya. Nah, bila kita terus memfokuskan pada apa yang tidak ada, kita akan merasa tidak puas terhadap dirinya secara keseluruhan, seakan-akan tidak ada satu pun yang baik pada dirinya. Dan, ini akan membuatnya kehilangan motivasi, bukan saja untuk memerbaiki diri, tetapi juga untuk menyenangkan hati kita. Ia akan berkata, "Percuma!"


3) Membuat kita buta terhadap kelemahan pribadi.
Oleh karena mata kita terus tertuju pada kelemahan pasangan, maka pada akhirnya kita tidak melihat kelemahan sendiri. Sudah tentu pasangan tidak menyukai sikap kita yang menyoroti kekurangannya tetapi buta terhadap kelemahan sendiri. Karena tidak suka, ia pasti membalas dengan menunjukkan kekurangan kita. Dari sini dimulailah siklus saling serang; tidak ada lagi yang bersedia melihat apalagi memperbaiki kekurangan.


Amsal 12:18 mengingatkan, "Ada orang yang lancang mulutnya seperti tikaman pedang, tetapi lidah orang bijak mendatangkan kesembuhan." Terus memfokuskan pada yang tidak ada dapat diibaratkan seperti menusuk pasangan dengan pedang—pasti melukai. Memfokuskan pada apa yang ada dan menghargainya akan membangun pasangan—pasti menyembuhkan.

Questions: