Tantangan Penggembalaan: Konflik Antar Jemaat
Sumber: telaga
Id Topik: 2383
Abstrak:
Pernyataan gembala sidang tentang suatu paham politik atau partai tertentu dapat memicu konflik dalam jemaat, masalah personal antar jemaat sering dikaitkan dengan masalah rohani sehingga menutupi inti persoalan, serta perbedaan doktrin dapat memicu adanya perpecahan dalam jemaat. Inilah konflik yang banyak terjadi dalam jemaat.Transkrip:
Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi di mana pun Anda berada, Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (TEgur Sapa GembaLA KeluarGA). Saya, Gunawan Santoso, dari Lembaga Bina Keluarga Kristen, akan berbincang-bincang dengan Bapak Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling. Perbincangan kami kali ini tentang "Tantangan Penggembalaan: Konflik Antar Jemaat". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
GS : Pak Paul, kita semua tentu berharap bahwa jemaat itu semakin lama semakin berkembang, orangnya tambah banyak. Tapi dengan bertambahnya anggota jemaat itu tentu juga menimbulkan masalah-masalah baru di dalam jemaat dan itu tidak selalu mudah untuk diselesaikan, Pak Paul. Sehingga seringkali terjadi konflik. Tetapi kalau kita mau bicara tentang tantangan penggembalaan, apakah itu dibebankan pada pendetanya saja atau penatuanya saja atau bisa dibagikan kepada jemaat ?
PG : Sudah tentu karena pendeta sebagai gembala maka dia harus menghadapi masalah atau tantangan yang dihadapi oleh jemaat. Sudah tentu dalam prakteknya penatua akan bahu-membahu bersama dengan pendeta menangani tantangan-tantangan yang dihadapi tapi tetap saya kira orang yang akan harus berhadapan langsung adalah seorang gembala sidang.
GS : Iya. Sekarang ada banyak juga jemaat dilibatkan dalam penggembalaan dalam beberapa bentuk tertentu misalnya dalam hal kunjungan rumah tangga karena sudah tidak bisa lagi menjangkau semua anggota jemaat maka jemaatlah yang dilatih untuk menjadi pengunjung. Ini bagaimana?
PG : Saya kira itu ide yang baik sekali, Pak Gunawan, karena memang mustahil seorang gembala sidang bisa mengunjungi semua jemaatnya. Tidak mungkin. Jadi ada baiknya ada orang-orang yang dapat membantu gembala sidang memerhatikan kesejahteraan hidup jemaat.
GS : Kalau kita berbicara tentang kemungkinan konflik di dalam jemaat, apa yang akan Pak Paul bahas?
PG : Begini, Pak Gunawan. Sebagaimana pekerjaan lainnya tugas penggembalaan pun memunyai tantangan tersendiri, salah satunya menghadapi berbagai manusia dengan berbagai kebutuhan dan kepentingannya yang kadang bertabrakan. Maka tidak bisa tidak, gembala harus bersikap bijak untuk menghadapi semua ini. Coba akan saya paparkan beberapa jenis konflik yang muncul dan juga saran untuk mencegah serta mengatasinya. Pertama adalah konflik politik. Dari awal pelayanan kita perlu menjelaskan hal-hal apa saja yang tidak akan kita kemukakan secara terbuka. Salah satunya adalah paham politik yang kita anut dan partai politik yang kita dukung. Kita adalah gembala untuk semua, jadi kita menaungi semua. Itu sebab hindari percakapan politik dan kalau pun kita ingin memberikan penilaian yang kritis terhadap situasi politik maka lakukanlah secara berimbang dan umum. Begitu kita terlihat berkiblat pada satu partai maka selamanya kita akan dianggap bukan lagi gembala bagi semua. Ini akan merugikan pelayanan, sebab kita akan dilihat sebagai kepanjangan partai bukan Kristus. Sewaktu Tuhan kita Yesus berada di bumi, Ia lahir dan dibesarkan di tanah jajahan. Saat itu pemerintah yang berkuasa adalah kerajaan Roma. Raja Herodes yang kita kenal adalah raja boneka yang tunduk kepada kaisar Roma. Kita tahu bahwa Yohanes Pembaptis juga hidup pada masa yang sama dengan Tuhan kita Yesus. Satu hal yang menarik yang layak mendapatkan perhatian kita adalah tidak pernah sekalipun Tuhan Yesus dan Yohanes Pembaptis menyinggung soal politik, baik di dalam pembicaraan maupun pengajaran mereka. Tidak pernah mereka itu mengajak rakyat Israel untuk bangkit berdiri melawan dan membebaskan diri dari penjajahan Roma.
GS : Pak Paul, apakah itu berarti bahwa gereja tidak boleh berpolitik?
PG : Saya percaya memang sebagai seorang hamba Tuhan yang mewakili Tuhan di bumi ini karena harus menaungi semua maka dia tidak boleh memang, menurut saya, berpolitik apalagi terlibat langsung. Karena, seperti yang sudah saya singgung, mengemukakan paham politiknya dan partai yang didukungnya saya kira itu juga bukan tempatnya sebagai seorang gembala apalagi gereja itu sendiri. Gereja tidak mewakili partai, gereja mewakili Kristus di bumi.
GS : Tapi ada pendeta yang menjadi anggota suatu partai dan berkata ini urusan saya pribadi. Memang di dalam kotbah-kotbahnya dia tidak pernah menonjolkan partai yang diikutinya itu.
PG : Saya pribadi memang tidak sepaham dengan itu. Menurut saya, kalau kita sudah menyatakan sikap untuk mendukung satu partai maka bagaimana pun juga pada masa-masa pemilihan saya kira bisa menimbulkan jarak antara kita dan jemaat yang kita layani. Sehingga walaupun kita mau bersikap netral dan melayani semua, tapi karena kita sudah telanjur menyatakan diri kita sebagai bagian dari sebuah partai yang kita dukung, saya kira akan ada orang-orang yang tidak sepaham dengan kita akhirnya merasa tidak nyaman berbicara apa adanya dengan kita. Karena mungkin muncul kecurigaan, "Bapak atau ibu mengatakan hal-hal ini karena tujuannya supaya kami semua ini memilih partai yang bapak ibu dukung." Jadi saya kira resiko itu ada. Saya kira lebih baik kita menghindar dari segala hal yang bisa menghalangi pelayanan kita sebagai wakil Kristus di bumi ini.
GS : Kalau hanya sebagai simpatisan, bagaimana ?
PG : Sama. Saya juga memang tidak merekomendasikan hal itu karena simpatisan pun menyatakan dukungan, bagaimana pun juga kepada paham politik tertentu atau partai politik tertentu. Saya kira sebaiknya tidak sebab kita mau menaungi semua dan diterima oleh semua.
GS : Iya. Tetapi semua orang termasuk pendeta berhak menggunakan hak politiknya, Pak Paul?
PG : Kalau memang dia mau terjun menurut saya sebaiknya dia melepaskan diri dari penggembalaan supaya memang nanti tidak mengacaukan relasinya dengan jemaat dan hubungannya itu. Saya kira sekali lagi saya tekankan bahwa kita mewakili Yesus di bumi ini dan kita adalah gembala buat semua, apapun paham politik dan dukungan partai politik yang mereka itu lakukan.
GS : Tapi memang kadang-kadang di dalam politik itu segala cara dihalalkan, Pak Paul. Ada beberapa orang yang mendekati gereja dan khususnya disitu pendeta untuk menyuarakan suara dari partai politik itu sendiri? Bagaimana ini sebenarnya, dengan janji-janji tertentu pasti.
PG : Nah, kalau saya memang akan menolak karena saya akan berkata bahwa mimbar Tuhan atau gereja Tuhan adalah tempat Tuhan bersemayam. Tuhan akan menerima dan menaungi semua, Tuhan tidak membedakan orang berdasarkan aliran politiknya atau dukungan politiknya. Jadi saya mau membuka pintu ini secara netral dan kalau kita mengundang satu berarti kita juga harus mengundang yang lainnya, saya kira ini tidak bijaksana. Saya berikan contoh, beberapa tahun yang lalu sewaktu Barack Obama sedang mencalonkan diri. Pada akhirnya itu mengerucut pada dua kandidat, John McCain dan Barack Obama. Yang satu mewakili partai Republik dan yang satu mewakili partai Demokrat di Amerika Serikat. Pendeta Rick Warren dari gereja Saddleback memutuskan untuk mengundang mereka berdua ke gerejanya untuk berbicara dengan terbuka tentang apa yang mereka lakukan dan sebagainya. Namun pendeta Rick Warren memang membungkus semua itu dengan satu tema yaitu memang dia mau melibatkan semua jemaat untuk bisa berpartisipasi di dalam proses pemilihan presiden ini, jangan sampai mereka itu tidak mau terlibat karena memang sebagai warga dan sebagai anak Tuhan sebaiknya kita terlibat atau mendukung. Dia mengundang keduanya, dia tidak membedakan sebab tujuannya adalah memang bukan menyuruh jemaat untuk memilih satu dan tidak memilih satunya. Tidak. Tujuannya adalah untuk mendorong jemaat terlibat di dalam proses demokrasi ini dan itu adalah benar bahwa sebagai warga kita memang harus terlibat. Tapi dia tidak mau memberikan kesan bahwa gerejanya atau dia mendukung satu dan tidak mendukung yang lainnya. Itu sebab dia mendukung kedua kandidat itu.
GS: Selanjutnya bagaimana, Pak Paul?
PG : Kita akan bertanya, mengapa baik Tuhan Yesus maupun Yohanes Pembaptis tidak pernah mengatakan apapun tentang politik. Kita tahu saat itu bangsa mereka atau tanah air mereka sedang dijajah. Nah, alasannya jelas bagi Allah masalah terbesar yang dihadapi manusia adalah masalah dosa bukan masalah politik dan pusat atau letak persoalan bukanlah pada politik melainkan hati manusia. Itu sebab yang perlu menerima penebusan dan pencerahan adalah hati manusia. Sebab hati yang telah ditebus dan dicerahkan oleh kasih karunia Allah akan melahirkan dan menjalankan keadilan bagi sesama. Sebaik apapun sistem politik yang berlaku bila pelakunya tidak takut akan Allah dan tidak memunyai kasih Allah maka dia tetap berpotensi menjadi duri dalam daging dan lintah yang menghisap darah rakyat yang diperintahnya. Dari sini dapat kita belajar bahwa sebagai gembala jemaat tugas kita adalah menyampaikan berita penebusan Kristus atas dosa manusia dan mengajarkan tentang kasih karunia Allah supaya jemaat dipenuhi dan dipandu oleh nurani yang bersih dan saleh. Itu sebab bila terjadi ketegangan dalam tubuh jemaat akibat perbedaan paham politik, maka sebagai gembala kita harus bersikap netral tidak membenarkan yang satu dan menyalahkan yang lain. Ingat, kita adalah gembala untuk semua bukan untuk sebagian jemaat. Selalu ingatkan bahwa identitas kita di hadapan Allah bukanlah identitas partai melainkan identitas Kristus.
GS : Iya. Memang biasanya yang ditanyakan jemaat kepada gembalanya adalah misalnya menjelang pemilu mau pilih yang mana yang bisa mendukung gereja, partai-partai mana yang kira-kira bisa menjamin keberadaan gereja dan kegiatannya begitu, Pak Paul.
PG : Iya. Kadang-kadang orang akan bertanya, sebagai gembala kita harus memberikan jawaban yang jelas bahwa seyogyanyalah warga negara berpartisipasi dalam sistem proses demokrasi ini. Kalau kita mau memberikan panduan secara umum. Kita memberikan siapa yang seharusnya kita pilih demi kesejahteraan bangsa kita dan manusia secara umum dan sebagainya. Namun kita coba menghindari hal-hal yang lebih spesifik, sebab sekali lagi kita tidak mau mewakili partai; sebagai hamba Tuhan kita mewakili Kristus. Tentang siapa yang kita pilih dalam pemilu itu kita lakukan secara rahasia.
GS : Iya. Lalu hal yang kedua yang ingin disampaikan apa, Pak Paul?
PG : Tantangan penggembalaan yang kedua adalah konflik pribadi. Sudah tentu ada banyak masalah yang dapat timbul di kalangan jemaat, namun hampir semua memunyai penyebab yang sama yaitu merasa tersinggung. Ada yang merasa dicurangi dan ada yang merasa dirugikan tetapi pada umumnya penyebab konflik yang terutama ialah merasa disinggung atau tersinggung. Sudah tentu saya tidak akan berkata bahwa sebagai anak Tuhan tidak seharusnya kita merasa tersinggung. Tidak. Saya mafhum bahwa kadang orang berbuat tidak baik kepada kita jadi saya mengerti ada kalanya kita merasa tersinggung akibat perlakuan orang yang jelas-jelas menghina kita. Namun saya dapati bahwa kebanyakan orang merasa tersinggung tidak pada tempatnya, Pak Gunawan. Dengan kata lain, banyak yang bereaksi berlebihan. Masalahnya adalah sebagai gembala mau tidak mau kita terlibat. Bukan karena mau tapi karena terpaksa alias dilibatkan dan diharapkan berpihak. Biasanya jemaat akan mengadu kepada kita, mencurahkan kemarahannya atau rasa tidak sukanya pada seseorang. Celakanya pihak yang satunya juga datang kepada kita menceritakan masalah yang sama itu kepada kita. Ini sungguh tidak mudah, Pak Gunawan.
GS : Iya. Karena ini menyangkut perasaan seseorang, Pak Paul. Tidak bisa lagi dibicarakan secara logis. Tapi bagaimana ini seorang gembala mengatasi masalah seperti ini?
PG : Cara paling aman menghadapi konflik pribadi antar jemaat adalah ‘mencuci tangan’ dan tidak memberikan pendapat sama sekali. Biasanya kata penghiburan favorit kita sebagai hamba Tuhan adalah berdoalah. Sejak awal gereja Tuhan, kita mau lihat sekarang ke Alkitab, tidak pernah bebas dari konflik pribadi. Namun ternyata hamba Tuhan tidak mencuci tangan sebagaimana dapat kita lihat di dalam surat Paulus kepada jemaat di Filipi 4:2, "Euodia kunasihati dan Sintikhe kunasihati, supaya sehati sepikir dalam Tuhan." Nah, kita tidak tahu apa permasalahan mereka namun dapat kita duga mereka terlibat konflik pribadi, Pak Gunawan, bukan konflik iman. Sebab kalau itu adalah konflik iman, sudah tentu Paulus akan membahasnya. Menghadapi situasi itu, Paulus tidak berdiam diri dengan pura-pura tidak tahu. Sebaliknya dia berinisiatif mengangkat konflik itu ke permukaan. Dia menyuruh mereka berdamai. Kita tahu bahwa pada saat itu Paulus berada di penjara di Roma. Dia tidak berada di Filipi. Itu sebab ia hanya dapat menyuruh keduanya berdamai dari jauh. Saya yakin bila ia berada di Filipi, Paulus akan memanggil keduanya dan berbicara secara langsung.
GS : Iya. Itu pembicaraan pastoral yang bisa terjadi di antara mereka. Tetapi Pak Paul, dengan tidak ikut terlibat dalam konflik pribadi seperti itu, itu merupakan tindakan yang tidak bertanggung jawab begitu?
PG : Makanya sebagai gembala, saya percaya, kita harus terlibat, Pak Gunawan. Maka Paulus tidak membiarkan konflik terjadi antara kedua wanita ini, Paulus mengangkatnya dan menyuruh mereka untuk berdamai karena memang Paulus melihat kalau ini bisa menjadi masalah. Hal yang sama dapat kita lihat pada surat Paulus kepada Filemon. Surat ini adalah surat pribadi Paulus yang ditulis buat rekan sepelayanannya, Onesimus yang adalah seorang budak yang melarikan diri dari majikannya Filemon. Jadi Paulus terlibat langsung kepada jemaat di Tesalonika. Paulus pun menyuruh mereka untuk "menegur"; saya kutip dari 1 Tesalonika 5:14 menegur mereka yang hidup dengan tidak tertib. Paulus juga menyuruh mereka untuk menjauhkan diri dari, saya kutip lagi dari 2 Tesalonika 3:6, setiap saudara yang tidak melakukan pekerjaannya. Sebagaimana yang dapat kita lihat permasalahan yang diangkat Paulus bukanlah masalah rohani melainkan masalah pribadi; hidup tidak tertib, tidak melakukan pekerjaannya. Bukan masalah rohani tetapi masalah pribadi. Namun karena dia melihat bahwa masalah pribadi ini dapat merembet kepada jemaat secara keseluruhan maka dia memilih untuk mengangkatnya. Sudah tentu keputusan Paulus untuk terlibat berpotensi menimbulkan atau memperparah konflik. Namun dia tetap melakukannya dan memilih untuk berdiri di atas apa yang baik dan benar. Kita pun dapat melihat yang sama di Perjanjian Lama. Tuhan Allah menunjuk Musa dan para wakilnya menjadi hakim guna menyelesaikan perselisihan di antara umat Tuhan, jadi Musa itu tidak cuci tangan atau tidak mau ikut campur. Tidak. Dia harus terlibat bahkan Salomo pun di awal pemerintahannya sebagai raja pernah harus berfungsi sebagai hakim yaitu menyelesaikan masalah pribadi dua ibu yang memperebutkan anak yang dicatat di 1 Raja-Raja 3:16-27. Jadi kesimpulannya sebagai gembala walau kita tidak suka, kita tetap harus terlibat menyelesaikan konflik pribadi. Setelah mengetahui masalahnya secara jelas, kita mesti menyatakan sikap, mana benar mana salah, mana baik mana buruk. Saya yakin tidak semua puas dengan keputusan Musa dan para wakilnya. Dan saya yakin tidak semua puas dengan keputusan Salomo atau mungkin Paulus. Terkadang orang pun tidak puas dan marah terhadap kita. Tetapi kita mesti menyatakan apa yang baik dan benar di dalam konflik pribadi ini.
GS : Iya. Memang yang sulit itu kadang-kadang konflik-konflik pribadi ini ditutupi seolah-olah menjadi konflik iman bukan konflik pribadi. Padahal masalahnya, kalau ditelusuri dengan teliti, itu sebenarnya ini konflik pribadi. Tapi karena dibungkus dengan perkataan atau sikap dan sebagainya itu seolah-olah menjadi konflik iman, ini bagaimana Pak Paul?
PG : Itu betul sekali, Pak Gunawan. Ada kalanya waktu kita dengan terlalu gampang mengatakan, "Saya ini tidak ada masalah pribadi. Tidak ada. Tapi ini adalah masalah-masalah kepercayaan, masalah iman. Ini bukan hal yang benar secara iman. Ini bukan hal yang benar secara iman." Pada dasarnya ini adalah masalah pribadi karena kita tidak suka dengan seseorang atau sekelompok orang. Tapi kita tidak nyaman mengatakannya, jadi kita menggunakan bungkusan rohani itu. Ini tidak benar. Nah, kita sebagai gembala harus hadapi itu sebagai konflik pribadi meskipun orang itu menggunakan atribut-atribut iman.
GS : Iya. Dan seringkali itu terjadi pengelompokan di dalam jemaat-jemaat itu, Pak; yang satu pro yang sini, satu pro yang sana. Sehingga jemaat itu resah.
PG : Iya. Dan ini juga dialami oleh gereja di abad pertama, Pak Gunawan. Paulus pernah menulis, "Ada yang berkata: saya ini pengikutnya Apolos, saya ini pengikutnya Kefas atau Petrus, saya pengikutnya Paulus." Jadi pada saat itu pun sudah dimulai pengelompokan jadi memang Paulus mengingatkan mereka bahwa ada yang menabur, ada yang menuai tapi yang paling penting ialah yang menumbuhkan Tuhan.
GS : Kalau begitu ini konflik pribadi atau konflik iman?
PG : Nah, dalam hal itu konflik pribadi, Pak Gunawan. Tetapi mungkin orang-orang itu tidak nyaman sehingga mereka memakai atribut iman.
GS : Lalu konflik yang lain apa, Pak Paul?
PG : Yang ketiga atau yang terakhir adalah konflik doktrin atau kepercayaan. Ini salah satu tantangan penggembalaan yang terkadang harus dihadapi oleh seorang gembala. Saya teringat sewaktu masih pemuda, di gereja dimana saya berbakti terjadilah perpecahan beberapa kali bukan hanya sekali. Penyebabnya adalah perbedaan doktrin. Nah, banyak gereja mengalami perpecahan akibat munculnya kepercayaan yang berbeda. Sebagai gembala kita harus menghadapi konflik doktrinal dan ini tidak mudah. Sudah tentu kita tahu bahwa perbedaan yang tidak esensial seyogyanyalah tidak perlu dipersoalkan. Masalahnya adalah perbedaan doktrin seringkali berbuntut pada perbedaan gaya ibadah dan gaya hidup. Pada akhirnya gereja terbelah sebab dua kelompok yang berseberangan ini menjadi seperti air dan minyak. Nah, sebagai gembala kita mesti tahu apa yang kita percaya dan kita mesti berani berkata jujur, tidak boleh kita bersikap plin-plan atau berpura-pura. Sebagai pengajar firman Tuhan tidak selayaknya kita mengajarkan sesuatu yang tidak kita yakini kebenarannya. Jadi penting untuk kita berterus-terang walaupun untuk itu kita mesti membayar harga yang mahal yaitu akan ada sekelompok jemaat yang tidak sepaham dengan keyakinan iman kita dan merasa bahwa kita memihak kepada kelompok yang berseberangan. Paulus menghadapi realitas ini. Itu sebab perlu menulis surat untuk meredakan konflik yang berkecamuk, dari masalah penggunaan karunia Roh sampai masalah makan daging yang telah dipersembahkan kepada berhala. Pada awal perkembangan gereja Petrus juga harus menjelaskan kepada gereja di Yerusalem alasan mengapa dia menginjakkan kakinya di rumah Kornelius seorang perwira Roma yang bukan orang Yahudi. Jadi dari sini dapat kita petik pelajaran bahwa sebagai gembala kita mesti berusaha memberi penjelasan dan pengajaran, bukan saja tentang perintah Allah tapi juga tentang maksud yang terkandung di baliknya. Tujuannya jelas, yakni memertahankan kesatuan tubuh Kristus. Namun sebagaimana kita tahu usaha ini tidak selalu membuahkan hasil. Gereja telah dan terus mengalami perpecahan. Tugas kita sebagai gembala adalah menjaga hati semua yang terlibat di dalam konflik ini supaya tidak berakhir dengan kesombongan atau kepahitan. Kita harus mengajak semua pihak untuk saling menghormati dan mengasihi. Kalaupun harus berpisah maka kita akan berpisah secara damai seperti Paulus dan Barnabas yang konflik dan pisah pelayanan gara-gara Yohanes Markus maka kita pun tetap fokus pada panggilan yaitu hidup sebagai saksi Tuhan dan menyelesaikan misi-Nya.
GS : Iya. Tapi konflik gara-gara Yohanes Markus ini bukan konflik karena doktrin?
PG : Bukan. Itu konflik pribadi sebetulnya, Pak Gunawan. Meskipun ia mungkin sekali ada nuansa rohaninya. Paulus memang tidak mau melibatkan Yohanes Markus karena baginya orang ini bisa menghalangi pelayanan sedangkan Barnabas berpendapat tidak apa untuk kita memberi kesempatan kedua meskipun dia pernah gagal sekali, berikan kesempatan berikutnya siapa tahu dia membuktikan diri. Meskipun konflik pribadi namun terdapat nuansa rohani juga.
GS : Lalu bagaimana dengan perkembangan berikutnya, Pak Paul?
PG : Nah, jadi akan saya tutup dengan masukan ini kepada Timotius seorang gembala sidang di Efesus. Paulus menitipkan pesan untuk menasehati orang-orang tertentu, ini firman Tuhan 1 Timotius 1:3"… , agar mereka jangan mengajarkan ajaran lain." Mengoreksi orang yang mengajarkan ajaran yang berbeda berpotensi menimbulkan perasaan benar yang kuat. Alhasil sikap kita mudah menjadi kasar dan angkuh, tidak heran Paulus perlu mengingatkan bahwa, "Tujuan nasihat itu ialah kasih yang timbul dari hati yang suci, dari hati nurani yang murni dan dari iman yang tulus ikhlas." 1 Timotius 1:5. Jadi ini kesimpulannya, mengoreksi perlu tapi jangan sampai kita kehilangan kasih. Sebagai gembala kita pun tidak boleh kehilangan kasih dalam menghadapi pelbagai konflik. Kita harus menjaga hati agar tetap suci, murni dan tulus.
GS : Jadi memang disini juga dibutuhkan konsistensi dari gembala itu, Pak Paul. Karena doktrin seseorang bisa berubah termasuk gembala sidang itu sendiri.
PG : Betul.
GS : Iya. Terima kasih Pak Paul untuk perbincangan saat ini. Dan para pendengar sekalian, kami juga mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bapak Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara TELAGA (TEgur sapa GembaLA KeluarGA). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Tantangan Penggembalaan: Konflik Antar Jemaat". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini, silakan menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Atau Anda juga dapat menggunakan e-mail ke alamat telaga@telaga.org. Kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan, serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Akhir kata dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa dalam acara TELAGA yang akan datang.
Ringkasan:
Sebagaimana pekerjaan lainnya, tugas penggembalaan pun memunyai tantangannya tersendiri. Salah satu di antaranya adalah menghadapi pelbagai manusia dengan pelbagai kebutuhan dan kepentingannya, yang kadang bertabrakan. Tidak bisa tidak, gembala harus bersikap bijak menghadapi semua ini. Berikut akan dipaparkan beberapa jenis konflik yang kadang muncul dalam penggembalaan dan saran untuk mencegah serta mengatasinya.
(1) Konflik Politik.
Dari awal pelayanan kita perlu menjelaskan hal-hal apa saja yang tidak akan kita kemukakan secara terbuka, salah satunya adalah paham politik yang kita anut dan partai politik yang kita dukung. Kita adalah gembala untuk semua; jadi, kita menaungi semua. Itu sebab, hindari percakapan politik dan kalaupun kita ingin memberikan penilaian yang kritis terhadap situasi politik, lakukanlah secara berimbang dan umum. Begitu kita terlihat berkiblat pada satu partai, maka selamanya kita akan dianggap bukan lagi gembala bagi semua. Ini merugikan pelayanan sebab kita akan dilihat sebagai kepanjangan partai, bukan Kristus.
Sewaktu Tuhan Kita Yesus berada di bumi, Ia lahir dan dibesarkan di tanah jajahan. Saat itu pemerintah yang berkuasa adalah Kerajaan Roma; raja Herodes yang kita kenal adalah raja boneka yang tunduk kepada kaisar Roma. Kita tahu bahwa Yohanes Pembaptis juga hidup pada masa yang sama. Nah, satu hal menarik yang layak mendapatkan perhatian kita adalah, tidak pernah sekalipun Tuhan Yesus dan Yohanes Pembaptis menyinggung soal politik, baik di dalam pembicaraan ataupun pengajaran mereka. Tidak pernah mereka mengajak rakyat Israel untuk bangkit berdiri melawan dan membebaskan diri dari penjajahan Roma.
Alasannya jelas: Bagi Allah, masalah terbesar yang dihadapi manusia adalah masalah DOSA, bukan masalah POLITIK. Dan pusat atau letak persoalan bukanlah pada politik melainkan HATI manusia. Itu sebab yang perlu menerima penebusan dan pencerahan adalah hati manusia sebab hati yang telah ditebus dan dicerahkan oleh kasih karunia Allah akan melahirkan dan menjalankan keadilan bagi sesama. Sebaik apa pun sistem politik yang berlaku, bila pelakunya tidak takut akan Allah dan tidak memunyai kasih Allah, ia tetap berpotensi menjadi duri dalam daging dan lintah yang mengisap darah rakyat yang diperintahnya.
Dari sini kita dapat belajar bahwa sebagai gembala jemaat, tugas kita adalah menyampaikan berita penebusan Kristus atas dosa manusia dan mengajarkan tentang kasih karunia Allah supaya jemaat dipenuhi dan dipandu oleh nurani yang bersih dan saleh. Itu sebab bila terjadi ketegangan di dalam tubuh jemaat akibat perbedaan paham politik, sebagai gembala kita harus bersikap netral—tidak membenarkan yang satu dan menyalahkan yang lain. Ingat, kita adalah gembala untuk semua, bukan untuk sebagian jemaat. Selalu ingatkan bahwa identitas kita di hadapan Allah bukanlah identitas PARTAI melainkan identitas KRISTUS.
(2) Konflik Pribadi.
Sudah tentu ada banyak masalah yang dapat timbul di kalangan jemaat, namun hampir semua memunyai penyebab yang sama yaitu merasa TERSINGGUNG. Ada yang merasa dicurangi dan ada yang merasa dirugikan, tetapi pada umumnya penyebab konflik yang terutama adalah merasa tersinggung. Sudah tentu saya tidak akan berkata bahwa sebagai anak Tuhan tidak seharusnya kita merasa tersinggung. Tidak. Saya mafhum kadang orang berbuat tidak baik kepada kita; jadi, saya mengerti adakalanya kita merasa tersinggung akibat perlakuan orang yang jelas-jelas menghina kita.
Namun, saya dapati bahwa kebanyakan orang merasa tersinggung tidak pada tempatnya. Dengan kata lain, banyak yang bereaksi berlebihan. Masalahnya adalah sebagai gembala mau tidak mau kita terlibat, bukan karena mau, tetapi karena terpaksa, alias dilibatkan dan diharapkan berpihak. Biasanya jemaat akan mengadu kepada kita mencurahkan kemarahannya atau rasa tidak sukanya kepada seseorang. Celakanya, sering kali pihak yang satunya juga datang kepada kita menceritakan masalah yang sama itu kepada kita. Sungguh tidak mudah!
Cara paling aman menghadapi konflik pribadi adalah mencuci tangan dan tidak memberikan pendapat sama sekali. Biasanya kata penghiburan favorit kita sebagai hamba Tuhan adalah, berdoa. Sejak awal gereja Tuhan tidak pernah bebas dari konflik pribadi, namun ternyata hamba Tuhan tidak mencuci tangan, sebagaimana dapat kita lihat di dalam surat Paulus kepada Filipi (4:2), "Euodia, kunasihati dan Sintikhe, kunasihati, supaya sehati sepikir dalam Tuhan."
Kita tidak tahu apa permasalahan mereka, namun dapat kita duga mereka terlibat konflik pribadi, bukan konflik iman. (Sebab kalau itu adalah konflik iman, sudah tentu Paulus akan membahasnya!) Menghadapi situasi itu, Paulus tidak berdiam diri, pura-pura tidak tahu; sebaliknya, ia berinisiatif mengangkat konflik itu ke permukaan. Ia menyuruh mereka berdamai. Kita tahu bahwa pada saat itu Paulus berada di penjara di Roma, ia tidak berada di Filipi; itu sebab ia hanya dapat menyuruh keduanya berdamai dari jauh. Saya yakin bila ia berada di Filipi, Paulus akan memanggil keduanya dan berbicara secara langsung.
Hal yang sama dapat kita lihat pada surat Paulus kepada Filemon. Surat itu adalah surat pribadi Paulus yang ditulis buat rekan sepelayanannya, Onesimus, seorang budak yang melarikan diri dari majikannya, Filemon. Kepada jemaat di Tesalonika, Paulus pun menyuruh mereka untuk menegor "mereka yang hidup dengan tidak tertib" (1 Tesalonika 5:14) dan menjauhkan diri dari "setiap saudara yang tidak melakukan pekerjaannya" (2 Tesalonika 3:6).
Sebagaimana dapat kita lihat permasalahan yang diangkat Paulus bukanlah masalah ROHANI melainkan masalah PRIBADI, namun karena ia melihat bahwa masalah-masalah pribadi ini dapat merembet kepada jemaat secara keseluruhan, ia memilih untuk mengangkatnya. Sudah tentu keputusan Paulus untuk terlibat berpotensi menimbulkan atau memperparah konflik. Namun ia tetap melakukannya dan memilih untuk berdiri di atas apa yang baik dan benar.
Kita pun dapat melihat hal yang sama di Perjanjian Lama. Tuhan Allah menunjuk Musa dan para wakilnya menjadi hakim guna menyelesaikan perselisihan di antara umat Tuhan. Bahkan Salomo pun di awal pemerintahannya sebagai raja pernah harus berfungsi sebagai hakim menyelesaikan masalah pribadi dua ibu yang memperebutkan anak (1 Raja-Raja 3:16-27).
Sebagai gembala, walau kita tidak suka, kita tetap harus terlibat menyelesaikan konflik pribadi. Setelah mengetahui masalahnya secara jelas, kita mesti menyatakan sikap—mana benar, mana salah; mana baik, mana buruk. Saya yakin, tidak semua puas dengan keputusan Musa dan para wakilnya, dan tidak semua puas dengan keputusan Salomo serta Paulus. Kadang orang pun tidak puas dan marah, tetapi kita mesti menyatakan apa yang baik dan benar.
(3) Konflik Doktrin atau kepercayaan.
Saya teringat sewaktu pemuda, gereja di mana saya berbakti mengalami perpecahan—beberapa kali! Penyebabnya adalah perbedaan doktrin. Banyak gereja mengalami perpecahan akibat munculnya kepercayaan yang berbeda. Sebagai gembala kita harus menghadapi konflik doktrinal dan ini tidak mudah. Sudah tentu kita tahu bahwa perbedaan yang tidak esensial seyogianya tidak perlu dipersoalkan. Masalahnya adalah perbedaan doktrin sering kali berbuntut perbedaan gaya ibadah dan gaya hidup. Pada akhirnya gereja terbelah sebab dua kelompok yang berseberangan ini menjadi seperti air dan minyak.
Sebagai gembala kita mesti tahu apa yang kita percaya dan berani berkata jujur; tidak boleh kita bersikap plin-plan atau berpura-pura. Sebagai pengajar Firman Tuhan, tidak selayaknya kita mengajarkan sesuatu yang tidak kita yakini kebenarannya. Jadi, penting untuk kita berterus-terang, walaupun untuk itu kita mesti membayar harga yang mahal—akan ada sekelompok jemaat yang tidak sepaham dengan keyakinan iman kita dan merasa kita sudah berpihak pada kelompok yang berseberangan.
Paulus harus menghadapi realitas ini. Itu sebab ia perlu menulis surat untuk meredakan konflik yang berkecamuk, dari masalah penggunaan karunia Roh sampai masalah makan daging yang telah dipersembahkan kepada berhala. Pada awal perkembangan gereja, Petrus juga harus menjelaskan kepada gereja di Yerusalem alasan mengapa ia menginjakkan kakinya di rumah Kornelius, seorang perwira Roma yang bukan orang Yahudi. Jadi, dari sini dapat kita petik pelajaran bahwa sebagai gembala kita mesti berusaha memberi penjelasan dan pengajaran, bukan saja tentang perintah Allah tetapi juga tentang maksud yang terkandung di baliknya.
Tujuannya jelas yakni memertahankan kesatuan tubuh Kristus, namun sebagaimana kita tahu, usaha ini tidak selalu membuahkan hasil. Gereja telah dan terus mengalami perpecahan. Tugas kita sebagai gembala adalah menjaga HATI semua yang terlibat di dalam konflik ini supaya tidak berakhir dengan KESOMBONGAN atau KEPAHITAN. Kita harus mengajak semua untuk saling menghormati dan mengasihi; kalaupun mesti berpisah, kita akan berpisah secara damai. Seperti Paulus dan Barnabas yang konflik dan pisah pelayanan gara-gara Yohanes Markus, kita pun tetap fokus pada panggilan yaitu hidup sebagai saksi Tuhan dan menyelesaikan misi-Nya.
Kepada Timotius, seorang gembala sidang di Efesus, Paulus menitipkan pesan untuk menasihati orang-orang tertentu, "agar mereka jangan mengajarkan ajaran lain" (1 Tim 1:3). Mengoreksi orang yang mengajarkan ajaran yang berbeda berpotensi menimbulkan perasaan benar yang kuat. Alhasil sikap kita mudah menjadi kasar dan angkuh. Tidak heran Paulus perlu mengingatkan, bahwa tujuan nasihat itu ialah "kasih yang timbul dari hati yang suci, dari hati nurani yang murni, dan dari iman yang tulus ikhlas" (1 Tim 1:5). Mengoreksi perlu, tetapi jangan sampai kita kehilangan kasih. Sebagai gembala kita pun tidak boleh kehilangan kasih dalam menghadapi pelbagai konflik; kita harus menjaga hati agar tetap suci, murni dan tulus.