BETA
Tugas Orangtua Semasa Anak Berusia 5-12 Tahun
Sumber: telaga
Id Topik: 2382

Abstrak:

Ketika anak masuk ke sekolah berarti anak harus berinteraksi dengan orang-orang selain keluarganya. Di masa inilah anak-anak mulai belajar mengenali kehidupan sosialnya. Gunakanlah kesempatan ini untuk mendidikan anak agar hormat dan takut akan Tuhan!

Transkrip:

Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi di mana pun Anda berada, Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (TEgur Sapa GembaLA KeluarGA). Saya, Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen, akan berbincang-bincang dengan Bapak Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling. Perbincangan kami kali ini tentang "Tugas Orangtua Semasa Anak Berusia 5-12 Tahun". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.


GS : Pak Paul, pada kesempatan yang lalu kita membicarakan tentang tugas orangtua ketika anak masih berusia 0-5 tahun; jadi anak-anak di bawah 5 tahun. Tetapi kalau kita mau membicarakan tentang tugas orangtua pada anak usia 5-12 tahun pendidikan sesuatu yang berkesinambungan, Pak Paul. Mungkin ada sebagian pendengar kita yang tidak sempat mengikuti perbincangan kita di kesempatan yang lalu. Maka sebelum kita membahas "Tugas Orangtua Semasa Anak Berusia 5-12 Tahun", mungkin Pak Paul bisa secara cepat menguraikan kembali.


PG : Ada 6 hal yang telah kita bahas. Pertama adalah menyediakan kebutuhan jasmani anak dalam pengertian memberi anak gizi yang cukup dan menjaga kesehatannya. Yang kedua adalah memelihara kerutinan hidup, jadi sejak kecil kita sudah harus menerapkan jadwal yang tetap kepada anak misalkan kapan dia makan, tidur, bermain dan berapa lama. Nah, kerutinan ini akan menjadikan anak belajar untuk berdisiplin diri. Tugas ketiga adalah menumbuhkembangkan kemandirian yang sesuai dengan tahap perkembangannya. Jadi kita mau memberi ruang kepada anak untuk mengeksplorasi lingkungan di sekitarnya. Jangan sampai kita terlalu membatasi anak. Ini penting untuk perkembangan kemandirian anak. Keempat, menerapkan sistem imbalan dan konsekuensi. Jadi artinya kita beritahu anak apa yang kita harapkan kalau dia tidak melakukannya maka akan ada sanksi yang diterimanya. Kalau misalkan dia melakukan maka kita juga akan memberikan imbalan kepadanya. Dengan sistem imbalan dan konsekuensi ini anak berlajar untuk memikirkan akibat perbuatannya, sehingga dia tidak menjadi anak yang gegabah atau impulsif dalam bertindak. Tugas kelima adalah menstimulasi perkembangan mental dan sosialnya. Jadi ajaklah anak berbicara dan berdiskusi dengannya sesuai usia dan bermainlah dengannya. Juga kita bisa mengajar anak untuk main di depan atau di luar, di alam terbuka dan jangan takut dia kotor, sebab semua ini akan dapat merangsang perkembangan mental dan sosial anak. Dan tugas keenam adalah menunjukkan kasih dan perhatian yang sama pada semua anak. Kenapa perlu? Karena anak peka terhadap perhatian dan perlakuan yang berbeda dan dengan cepat menyimpulkan bahwa kita kurang mengasihinya. Jadi sedapatnya bersikaplah sama pada semua anak.


GS : Iya. Pak Paul, kenapa orang biasanya menggunakan pedoman atau batasan sampai usia 5 tahun?


PG : Sebab memang pada usia itu anak biasanya mulai bersekolah. Namun sekarang semakin hari semakin lebih dini, tetapi kita tahu TK dimulai sekitar usia 5 tahun. Jadi anak-anak itu mulai lepas dari rumah, terjun ke dalam "masyarakat" adalah pada usia 5 tahun. Jadi ini adalah lembaran baru dalam hidup anak. Kalau sebelumnya anak kebanyakan tinggal di rumah hanya berinteraksi dengan orang di rumah, tapi sejak usia 5 tahun dia akan mulai berinteraksi dengan orang di luar rumah.


GS : Tapi tugas orangtua misalnya tentang kedisiplinan, kerutinan hidup dan sebagainya itu masih tetap berlanjut, Pak Paul?


PG : Betul.


GS : Hanya diperkaya atau bentuknya yang disesuaikan dengan kebutuhan anak.


PG : Betul. Pada usia 5 anak-anak mulai bersekolah, kita ini mulai berbagi tanggung jawab dalam menjaga dan membesarkan anak dengan orang lain. Dalam hal ini dengan para guru di sekolah. Tapi tetap di rumah kita memunyai tugas.


GS : Iya. Jadi untuk anak yang usia 5-12 tahun ini tugas orangtua apa, Pak Paul?


PG : Pertama menolongnya mengerti dan menyelesaikan tugas sekolahnya, namun tidak membuatnya bergantung pada kita. Ada anak yang tidak membutuhkan bantuan tapi pada umumnya anak memerlukan bantuan dengan tugas sekolahnya. Untuk itu dari awal dia bersekolah kita mesti terlibat secara langsung. Kita harus menanyakan tugasnya apakah ada, serta menguji pemahamannya. Bila ia tidak memahaminya janganlah memarahinya, sebaliknya berilah penjelasan. Namun penting bagi kita untuk menjaga batas yang jelas antara membantunya dan membuatnya bergantung pada kita. Jangan sampai kitalah yang akhirnya menyelesaikan tugas sekolahnya dan membuatnya tidak termotivasi untuk mencoba. Jadi dalam mengajarnya kita harus menyuruhnya untuk mengerjakan bagiannya pula. Begitu kita mengambil alih tanggung jawabnya dia pun akan mengembangkan kepasifan dan kemalasan. Jadi memang perlu keseimbangan. Kita perlu membantunya menguji pemahamannya tetapi juga hati-hati jangan sampai membuatnya bergantung sepenuhnya kepada kita.


GS : Iya. Memang orangtua sebenarnya tidak mau mengambil alih, Pak Paul. Tetapi kalau melihat tugas anak yang begitu banyak dan bermacam-macam kita bisa memperkirakan tidak akan bisa anak ini selesai sehingga mau tidak mau supaya lebih cepat dan orangtua juga tidak terlalu repot, itu diambil alih tugasnya, Pak Paul. Baru saja hari ini ada orangtua yang sibuk mencarikan tas plastik yang berwarna-warni buat anak. Ada 10 atau 12 warna. Untuk mencari tas seperti itu anak juga kesulitan, Pak Paul. Jadi harus orangtuanya yang menyelesaikannya.


PG : Saya tidak akan mengerti mengapa pihak guru meminta anak untuk membawa 12 tas plastik itu.


GS : Iya. Ada memang tujuannya untuk prakarya atau pekerjaan tangan; untuk digunakan. Tapi untuk mendapatkan tas plastik yang berwarna-warni itu hanya hitam putih saja, cari yang lain sulit. Atau seperti diberikan tugas bahasa daerah. Orangtua sendiri belum tentu menyelesaikan tugas itu sehingga harus pembantu rumah tangga atau apa. Bahkan tidak jarang sekarang, walaupun anak baru kelas 1 SD, anak diikutkan kursus. Jadi orangtua lebih baik membayar daripada dia sendiri mengerjakan tugas anak tidak selesai.


PG : Betul. Maka kita hanya bisa mencoba membantu tetapi kalau memang kita tidak bisa maka kita panggil guru les atau bawa dia ke tempat guru les supaya dia mendapatkan bantuan itu. Nah, kita jangan kecil hati kenapa sejak kecil anak kita harus sudah les dan sebagainya, karena tidak mesti anak itu akan mengalami kesulitan. Pada masa yang lebih besar misalkan dia sudah bisa memahami maka dia tidak perlu lagi guru les. Tetapi waktu dia mengalami kesulitan kita bantu sedapatnya.


GS : Iya. Jadi antara batasan membantu dan mengambil alih tugas ini yang harus jelas buat kita.


PG : Betul.


GS : Iya. Tugas yang kedua apa, Pak Paul?


PG : Mendorongnya untuk bergaul dengan teman sebayanya dan menolongnya menyelesaikan gesekan di antara mereka. Kita mesti mendorong anak bergaul, tapi juga menolongnya menyelesaikan gesekan di antara mereka. Jadi sedapatnya aturkan waktu supaya anak bisa bertemu dengan teman di luar jam sekolah supaya dia dapat menjalin pertemanan. Ini penting untuk perkembangan mental dan sosial anak. Dan bila ia mengalami masalah dengan teman, dengarkanlah dan berilah saran. Bukan malah memarahinya. Jadi ada orang jika mendengar anaknya cerita yang sedang konflik dengan temannya, bukannya ditanya dan diberi saran tapi malah dimarahi. Anak baru mulai belajar bergaul. Jadi sudah sepatutnya ada konflik dengan teman dan tidak tahu bagaimana mereka menyelesaikannya. Nah, saya mengerti anak memunyai begitu banyak tugas sekolah sehingga tidak memunyai banyak waktu untuk bermain dengan teman. Ketika anak kelelahan mungkin kita harus memertimbangkan untuk memindahkannya ke sekolah yang tidak terlalu banyak menuntut. Ingat, terpenting pada masa pertumbuhan anak di usia ini bukanlah prestasi akademik tapi pertumbuhan mental dan sosial anak. Penekanan pada akademik boleh diberlakukan ketika anak menginjak usia remaja sedapatnya jangan sebelumnya. Jadi sekali lagi fokus kita adalah mengembangkan perkembangan mental dan sosial anak. Itu sebab kita mau mendorongnya untuk bergaul dengan teman-temannya dan juga menolongnya sewaktu dia mengalami konflik dengan teman-temannya.


GS : Apakah ini tidak membuat anak itu nanti kesulitan ketika dia mulai dipindahkan dari sekolah yang tadinya kurang prestasi akademiknya ke sekolah yang lebih tinggi prestasi akademiknya?


PG : Iya. Kalau anak itu memang mampu maka tidak apa-apa kita pindahkan. Tapi kalau sebaliknya, kalau kita melihat anak kita kesulitan atau kewalahan mungkin kita pindahkan ke sekolah yang justru lebih mudah atau lebih gampang. Jadi jangan memaksakan anak kita untuk sekolah di sekolah paling baik atau tuntutan akademik tinggi. Jangan. Memang nama kita akan harum jika anak kita sekolah disitu tapi kasihan anak kita kalau dia kewalahan. Jadi kita mesti sensitif, mesti jeli melihat apa yang terjadi pada anak kita sewaktu sekolah disini. Kalau dia kewalahan sebaiknya perlahan-lahan kita mulai pikirkan untuk pindahkan dia.


GS : Iya. Dan ini anak mulai masuk ke dalam pergaulan dengan teman-teman sebayanya, Pak Paul. Dan sekarang ini banyak anak-anak yang di usia seperti ini menjadi korban pelecehan seksual. Apakah pendidikan seksual bisa masuk pada masa-masa seperti ini?


PG : Memang sebagian sekolah sudah mulai menerapkannya. Jadi selain dari apa yang Pak Gunawan katakan, dan juga memang diberitahukan tentang fungsi-fungsi alat-alat reproduksi biasanya memang itu di usia-usia remaja di kelas SMP atau SMA. Tapi juga memang ada baiknya secara terencana guru memang mengajarkan tentang bagaimana menjaga diri, bahwa ada sentuhan yang tidak sepatutnya dilakukan oleh orang dan apa yang harus kita perbuat jika orang mulai menyentuh kita di daerah-daerah yang tidak sepatutnya. Hal seperti itu tidak ada salahnya diajarkan kepada anak supaya anak tahu dan bisa waspada.


GS : Dan itu tidak perlu guru, Pak Paul. Jadi orangtua pun punya tanggung jawab untuk mengingatkan anak.


PG : Betul sekali. Jadi kita memang kalau bisa memulainya dari rumah, kita sebagai orangtua sudah harus mengingatkan anak bahwa akan ada godaan-godaan seperti ini atau ada orang-orang yang tidak baik yang akan mencoba melakukan hal-hal ini pada mereka.


GS: Karena anak-anak seusia ini paling gampang dibujuk oleh orang-orang yang tidak bertanggungjawab. Iya. Hal yang ketiga apa, Pak Paul?


PG : Di rumah berilah tanggung jawab pada anak. Misalkan biasakan agar dia mencuci piring dan sendok garpu yang baru digunakannya. Mintalah dia untuk membereskan tempat tidurnya dan mainannya di dalam kotak mainan setelah selesai bermain. Kadang kita dapat memintanya untuk mengambilkan barang bagi kita atau adik atau kakaknya. Nah, semua tanggung jawab ini berguna melatih anak untuk bukan saja tidak malas tetapi juga bersedia berbagian melakukan kewajiban untuk hidup bersama. Anak yang tidak diserahi tanggungjawab akhirnya bertumbuh besar menjadi anak yang malas dan hanya bisa menuntut orang untuk melakukan semua baginya. Dan tanpa tanggungjawab anak pun tidak akan dapat mengembangkan kepercayaan diri. Justru sewaktu ia diberi tanggung jawab dan ternyata dia sanggup menyelesaikannya, ini akan membuatnya semakin percaya diri. Jadi kita bisa lihat adalah baik untuk memberikan anak tanggung jawab untuk mengerjakan sebagian tugas rumah tangga, untuk membantu kita sebagai orangtua sebab hal seperti itu bukan saja melatihnya untuk sadar lingkungan, mau berbagian di dalam tugas tapi juga memupuk percaya dirinya. Bukankah kita akan berkata kepada anak kita sewaktu dia berhasil melakukan sesuatu menolong kita "Anak baik. Terima kasih ya. Kamu pintar bisa begini atau begitu." Nah, tanggapan-tanggapan kita yang kita lontarkan sebagai penghargaan kita atas keberhasilannya untuk melakukan tanggungjawabnya ini menjadi modal kepercayaan diri anak. Dari kecil dari masih dia di rumah dia mulai menerima pupukan-pupukan kepercayaan diri. Sewaktu dia masuk sekolah, bertemu dengan teman dan sebagainya maka rasa percaya diri itu sudah ada.


GS: Iya. Memang kalau keberhasilan dan pujian bisa menimbulkan seperti itu, Pak Paul. Tapi kalau kesalahan dan dimarahi, anak juga bisa merasa malas untuk melakukan pekerjaannya, misalnya seperti tadi yang dikatakan mencuci piring. Yang namanya anak suatu saat piring bisa pecah, dan ini bisa kena marah besar kalau piring itu kesukaan ayah atau ibunya.


PG : Maka kita juga mesti tahu batasnya anak. Kalau kita tahu dia masih belum begitu bisa dan mungkin memecahkan piring maka kita bisa meminta dia untuk mencuci piring-piring yang tidak mudah pecah misal dari kaleng atau apa, mencuci cangkir yang bukan dari kaca. Jadi kita mesti memberikan tugas yang akan aman di tangannya. Atau kita juga siap untuk menerima konsekuensi kalau dia memecahkan piring atau cangkir yang dicucinya, sebab itu bagian dari dia itu masih kecil sedang belajar mencuci piring. Kita tidak akan memarahinya dan kita akan berkata, "Memang kadang-kadang licin jadi harus hati-hati untuk kita pegang. Harus dipegang erat-erat kalau tidak akan jatuh." Jadi dengan cara itu anak belajar untuk mencuci piring dengan lebih baik lagi. Kalau dimarahi semakin dia tambah takut dan mungkin dia tidak mau cuci piring, semakin dia tegang sewaktu mencuci piring.


GS : Biasanya itu reaksi spontan dari orangtua, Pak Paul. Apalagi orangtuanya sudah lelah, dibantu yang biasanya dia bisa melakukan hal itu dengan baik, hanya yang namanya orang tidak mesti dan suatu saat piring tersebut bisa pecah. Jadi ini menjadi masalah di dalam rumah itu.


PG : Iya. Saya mengerti kita ini manusia, tidak selalu bisa menahan emosi kita. Tapi sebaiknya sedapatnya kita tahan, karena kalau kita memarahi anak karena dia mencuci piring dan memecahkannya, ini membuat anak tidak mau membantu kita. Siapa yang dirugikan? Tentu kita juga yang tidak dibantu karena anak takut bantu kita dan kena marah.


GS : Iya. Makanya biasanya diserahkan ke pembantu rumah tangga. Dengan adanya pembantu rumah tangga, anak menjadi agak malas mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Di samping itu pekerjaan di sekolah banyak sekali.


PG : Maka kalau memang kita ada pembantu rumah tangga yang sudah mengerjakan tugas-tugas rumah tangga maka kita bisa meminta anak melakukan yang lain misalnya mainan. Setelah dia bermain, mintalah dia yang menaruh semua mainan itu ke dalam kardus atau kotak mainan. Kita melarangnya untuk menyuruh pembantu rumah tangga untuk menaruh barang-barangnya ke dalam kardus itu. Kita katakan, "Ini mainan kamu. Kamu sudah main. Seakarang kamu harus taruh kembali." Untuk ini tidak semua anak akan langsung menurut. Akan ada yang keras kepala, tidak mau maka kita mesti tegas di dalam berkata, "Kalau kamu tidak mau kami akan simpan ini mainan dan besok kamu tidak bisa main sama sekali seharian." Setelah dia tahu bahwa kita akan lakukan itu maka dia akan mulai memungut mainannya dalam kardus itu.


GS : Iya. Tapi kadang orangtua berpikir bahwa pekerjaan itu bisa dikerjakan pembantu rumah tangga sehingga orangtua menyuruh anak untuk meninggalkan tugas itu dan tugas diserahkan ke pembatu rumah tangga. Sedangkan anak disuruh untuk mengerjakan tugas pekerjaan sekolah. Tujuannya hanya itu.


PG : Maka ini tujuannya kita bicara untuk menyadarkan orangtua bahwa tugas kita sebagai orangtua bukan hanya mengisi otak anak dengan kemampuan akademik tapi juga mengembangkan kemampuan sosialnya dan tanggung jawabnya. Karena ini adalah hal-hal yang penting dalam kehidupan anak kelak.


GS : Hal lain lagi yang perlu dilakukan orangtua apa, Pak Paul?


PG : Yang keempat adalah didiklah anak untuk menghormati kepunyaan orang lain. Sudah tentu pada awalnya kita memulai dengan mendidiknya untuk menghormati kepunyaan kakak atau adiknya misalkan mainan kakak atau adiknya. Di satu pihak kita ingin agar dia rela berbagi dengan yang lain, tetapi di pihak lain kita pun ingin anak nyaman dengan kepemilikannya dan kepemilikan orang lain. Jadi maksud saya adalah biarkan dia itu memunyai mainannya sendiri. Biarkan kakaknya juga memunyai mainan sendiri dan tidak apa dia merasa "Ini adalah mainan saya." Tujuannya bukan untuk menghilangkan kepemilikan tapi mendorongnya untuk belajar berbagi dengan apa yang dimilikinya. Mengapa kita mau dia juga nyaman dengan kepemilikan? Supaya anak memahami dan menghormati batas antara dirinya dan orang lain; barang saya punya saya, barangmu ialah milikmu. Ada anak yang merasa bersalah sewaktu memiliki sesuatu. Itu ada. Karena ada orangtua yang begitu anak memiliki sesuatu langsung berkata, "Harus kasih adikmu. Harus kasih kakakmu." Jika dia tidak member, "Kamu begitu egois. Bagi ke kakak atau adik." Nah, akhirnya dia akan merasa bahwa dia tidak layak memunyai apapun. Ini tidak sehat sebab ini akan membuatnya hidup tanpa pagar dan memisahkan dirinya dari orang lain. Akhirnya orang bebas masuk ke dalam hidupnya dan dia tidak berdaya melawannya. Sebaliknya anak pun mesti menghormati pagar rumah orang lain. Dia tidak seharusnya merasa leluasa mengambil barang yang bukan miliknya. Pemahaman ini akan menolongnya untuk menjalin relasi yang sehat dengan sesamanya. Karena anak-anak yang seenaknya mengambil barang teman atau apa maka tidak akan disukai oleh temannya. Sebaliknya anak-anak yang enak-enak diinjak-injak oleh teman-temannya dan mereka berbuat apa saja, dia tidak akan mendapatkan hormat dari teman-temannya pula. Jadi penting sejak kecil kita mendidik anak, menghormati kepunyaan baik itu kepunyaannya sendiri maupun orang lain.


GS : Tapi ada keluarga, Pak Paul, yang kebetulan beda usia anaknya tidak jauh dan jenis kelaminnya juga sama, seorang laki-laki. Mainan atau barang-barang milik kakaknya tadi masih bagus-bagus dan itu diturunkan kepadanya dan adik selalu mendapatkan barang bekas. Dan kakaknya berkata, "Itu dulu barangku." Hal ini menimbulkan ketegangan di antara mereka.


PG : Jadi kalau memang kita memunyai anak yang sama jenis kelaminnya maka sudah berarti mainan tersebut akan diwariskan. Itu tidak apa-apa. Namun di samping itu kita bisa membelikan yang khusus milik si adik atau yang khusus milik si kakak dan kita bedakan. Sehingga waktu kita pulang kita membawa 2 mainan; untuk kakak dan untuk adik. Sehingga si adik tahu bahwa dia itu khusus, dia itu spesial. Dia pun mendapatkan mainan yang baru meskipun dia juga mendapatkan mainan warisan kakaknya itu.


GS : Iya. Kalau sudah dapat itu biasanya kakak tidak mau memberikan barangnya "Sudah punya dia, buat apa diberikan?" Tapi dipinjamkan pun tidak boleh.


PG : Maka ada baiknya kita membeli 2 mainan yang berbeda sehingga sewaktu dia meminjamkan, dia meminjamkan untuk bisa mendapatkan juga mainan yang lain itu.


GS : Itu bisa jadi ramai di dalam rumah gara-gara mainan yang seperti itu. Hal yang lain apa, Pak Paul, yang bisa disiapkan?


PG : Yang kelima adalah didiklah anak untuk mengekspresikan ketidaksukaannya secara santun dan terkendali. Ada anak yang cenderung diam sewaktu dia tidak suka dengan sesuatu. Kita mesti mendorong dan mengajarkannya untuk mengungkapkan perasaannya dan tidak menyimpannya saja. Sebaliknya ada anak yang eksplosif. Begitu marah atau tidak suka dengan sesuatu langsung meledak dan tidak jarang secara fisik pula. Kita harus mendidiknya, mengungkapkan marah dan tidak sukanya secara lebih santun dan terkendali. Kita tidak harus menyuruh anak untuk selalu suka atau menerima semuanya. Tidak. Dengan kata lain, kita tidak berniat membuatnya tidak memunyai ketidaksukaan sama sekali. Tidak apa-apa. Bahwa ketidaksukaan adalah bagian hidup yang wajar jadi tidak apa mempunyai ketidaksukaan. Namun kita harus belajar mengungkapkannya secara santun dan terkendali sebab jika tidak kita akan mengalami kesulitan membangun pertemanan. Penjelasan ini perlu kita sampaikan kepada anak.


GS : Saya rasa ini teladan orangtua sangat penting sekali. Anak melihat bagaimana orangtuanya bereaksi ketika mengalami masalah seperti itu. Jadi itu lebih berbicara kepada anak daripada perkataan.


PG : Betul. Sudah tentu kita jangan sampai memberi contoh yang keliru. Kita sendiri eksplosif, begitu tidak suka langsung meledak. Anak perlu melihat bahwa kita juga konsisten.


GS : Iya. Apakah masih ada lagi, Pak Paul?


PG : Yang terakhir yang keenam adalah ajarilah anak untuk menghadapi ketidakadilan dalam hidup. Pada masa ini anak mulai mengalami ketidakadilan dan ketidakbenaran dalam hidup. Baik secara langsung atau tidak langsung, di sekolah atau di tempat bermainnya. Berhati-hatilah untuk tidak selalu menyuruhnya mengalah dan tidak melawan. Bila kita selalu menyuruhnya untuk mengalah maka dia akan bertumbuh tanpa menyadari bahwa dia pun memiliki hak yang sama dengan orang lain. Kita pun ingin agar dia mengembangkan kemampuan untuk membela dan melindungi baik dirinya sendiri maupun orang lain. Kita perlu mengkomunikasikan kepadanya bahwa tidak mudah berdiri melawan yang kuat demi melindungi yang lemah. Kita boleh mengakui bahwa kita sendiri pun takut namun kita perlu mendorongnya untuk berusaha berbuat sesuatu sewaktu melihat ketidakbenaran atau ketidakadilan.


GS : Memang kehidupan ini sesuatu yang tidak adil juga. Tapi anak minta diperlakukan dengan adil. Kita yang agak sulit mengajarkannya tentang hal ini; orangtua agak sulit mengajarkan tentang keadilan ini kepada anak.


PG : Iya. Dan di usia sekolah inilah anak mulai berhadapan dengan ketidakadilan dan ketidakbenaran itu. Ada orang yang tidak memerlakukan dia dengan adil, akan ada orang yang jahat yang sengaja mau melukainya, menjatuhkannya, menjebaknya. Itulah bagian kehidupan yang mesti dihadapi anak dan tugas kita mendampingi anak, mengajarkannya bagaimana menghadapi ketidakadilan ini.


GS : Iya. Kadang-kadang melawan tapi tidak mampu atau tidak berani tapi menerima terus ketidakadilan akan menjadi korban.


PG : Iya.


GS : Nah, Pak Paul sebelum kita mengakhiri perbincangan ini apakah ada firman Tuhan yang Pak Paul ingin sampaikan?


PG : Pada akhirnya kita tidak boleh melupakan tugas untuk menanamkan takut akan Tuhan pada anak. Amsal 14:27 menjanjikan "Takut akan TUHAN adalah sumber kehidupan sehingga orang terhindar dari jerat maut." Masa anak usia 5-12 tahun adalah masa dimana anak belajar. Jadi gunakanlah kesempatan ini untuk mendidik anak menghormati dan takut akan Tuhan. Buah dari pengajaran ini adalah sumber kehidupan yang akan menjauhkan anak dari maut.


GS : Iya. Terima kasih, Pak Paul, untuk perbincangan kali ini. Dan para pendengar sekalian, kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bapak Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara TELAGA (TEgur sapa GembaLA KeluarGA). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Tugas Orangtua Semasa Anak Berusia 5-12 Tahun". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini, silakan menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Atau Anda juga dapat menggunakan e-mail ke alamat telaga@telaga.org. Kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan, serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Akhir kata dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa dalam acara TELAGA yang akan datang.


Ringkasan:

Ada kelegaan tersendiri ketika melihat anak bertumbuh ke usia sekolah. Kita merasa sedikit lebih bebas dan tidak terlalu tegang sebab kita mulai berbagi tanggung jawab menjaga dan membesarkannya dengan orang lain, dalam hal ini, para guru di sekolah. Di rumah kita tetap memunyai tugas; berikut akan dipaparkan beberapa tugas orangtua pada masa ini.


  1. Menolongnya Mengerti dan Menyelesaikan Tugas Sekolahnya Namun tidak Membuatnya Bergantung Pada Kita. Ada anak yang tidak membutuhkan bantuan kita sama sekali tetapi pada umumnya anak memerlukan bantuan kita dengan tugas sekolahnya. Untuk itu, dari awal ia bersekolah, kita mesti terlibat secara langsung. Kita harus menanyakan tugasnya—apakah ada—serta menguji pemahamannya. Bila ia tidak memahaminya, jangan memarahinya; sebaliknya, berilah penjelasan. Namun penting bagi kita untuk menjaga batas yang jelas antara membantunya dan membuatnya bergantung pada kita. Jangan sampai kitalah yang akhirnya menyelesaikan tugasnya dan membuatnya tidak termotivasi untuk mencoba. Jadi, dalam mengajarnya kita harus menyuruhnya untuk mengerjakan bagiannya pula. Begitu kita mengambil alih tanggung jawabnya, ia pun akan mengembangkan kepasifan dan kemalasan.
  2. Mendorongnya Untuk Bergaul Dengan Teman Sebayanya dan Menolongnya Menyelesaikan Gesekan Di Antara Mereka. Sedapatnya aturkan waktu supaya anak bisa bertemu dengan teman di luar jam sekolah supaya ia dapat menjalin pertemanan. Ini penting untuk perkembangan mental dan sosialnya. Dan, bila ia mengalami masalah dengan teman, dengarkanlah dan berilah saran; bukan malah memarahinya. Anak baru mulai belajar bergaul, jadi, sudah sepatutnya ia konflik dengan teman dan tidak tahu bagaimana menyelesaikannya.
    Saya mafhum bahwa anak memunyai begitu banyak tugas sekolah sehingga tidak memunyai banyak waktu untuk bermain dengan teman. Jika anak kewalahan, mungkin kita harus memertimbangkan untuk memindahkannya ke sekolah yang tidak terlalu banyak menuntut. Ingat, terpenting pada masa pertumbuhan anak di usia ini bukanlah prestasi akademik, tetapi pertumbuhan mental dan sosial anak. Penekanan pada akademik boleh diberlakukan pada waktu anak menginjak usia remaja, jangan sebelumnya.
  3. Di Rumah Berilah Tanggungjawab Pada Anak. Misalkan, biasakan agar ia mencuci piring dan sendok-garpu yang baru digunakannya. Mintalah ia untuk membereskan tempat tidurnya dan menyimpan mainannya di dalam kotak mainan setelah selesai bermain. Kadang, kita pun dapat memintanya mengambilkan barang buat kita atau adik dan kakaknya. Semua tanggung jawab ini berguna melatih anak untuk bukan saja tidak malas, tetapi juga bersedia berbagian melakukan kewajiban untuk hidup bersama. Anak yang tidak diserahi tanggung jawab akhirnya bertumbuh besar menjadi anak yang malas dan hanya bisa menuntut orang untuk melakukan semua baginya. Dan, tanpa tanggung jawab, anak pun tidak akan dapat mengembangkan kepercayaan diri. Justru sewaktu ia diberi tanggung jawab dan ternyata ia sanggup menyelesaikannya, ia pun akan makin percaya diri.
  4. Didiklah Anak Untuk Menghormati Kepunyaan Orang Lain. Sudah tentu pada awalnya kita memulai dengan mendidiknya menghormati kepunyaan kakak atau adiknya. Di satu pihak kita ingin agar ia rela berbagi dengan yang lain, tetapi di pihak lain kita pun ingin agar ia nyaman dengan kepemilikannya—dan kepemilikan orang lain. Tujuan kita melakukan ini adalah agar anak memahami dan menghormati batas antara dirinya dan orang lain. Ada anak yang merasa bersalah sewaktu memiliki sesuatu, seakan-akan ia tidak layak memunyai apa pun. Ini tidak sehat sebab ini akan membuatnya hidup tanpa pagar yang memisahkan dirinya dari orang lain. Akhirnya orang bebas masuk ke dalam hidupnya dan ia tidak berdaya melawannya. Sebaliknya, anak pun mesti menghormati pagar rumah orang lain; ia tidak seharusnya merasa leluasa mengambil barang yang bukan miliknya. Pemahaman ini akan menolongnya menjalin relasi yang sehat dengan sesamanya.
  5. Didiklah Anak Untuk Mengekspresikan Ketidaksukaannya Secara Santun Dan Terkendali. Ada anak yang cenderung diam sewaktu tidak suka dengan sesuatu; kita mesti mendorong dan mengajarkannya untuk mengungkapkan perasaannya dan tidak menyimpannya saja. Sebaliknya ada anak yang eksplosif; begitu marah atau tidak suka dengan sesuatu, ia langsung meledak dan tidak jarang secara fisik pula. Kita harus mendidiknya mengungkapkan marah dan tidak sukanya secara lebih santun dan terkendali. Kita tidak harus menyuruh anak untuk selalu suka atau menerima semuanya; dengan kata lain, kita tidak berniat membuatnya tidak memunyai ketidaksukaan sama sekali. Ketidaksukaan adalah bagian hidup yang wajar; jadi, tidak apa memunyai ketidaksukaan. Namun, kita harus belajar mengungkapkannya secara santun dan terkendali sebab jika tidak, kita akan mengalami kesulitan membangun pertemanan. Penjelasan ini perlu kita sampaikan kepada anak.
  6. Ajarlah Anak Untuk Menghadapi Ketidakadilan Dalam Hidup. Pada masa ini anak mulai mengalami ketidakadilan dan ketidakbenaran dalam hidup, baik secara langsung ataupun tidak langsung. Berhati-hatilah untuk tidak selalu menyuruhnya untuk mengalah dan tidak melawan; bila kita selalu menyuruhnya untuk mengalah ia akan bertumbuh tanpa menyadari bahwa ia pun memiliki hak yang sama dengan orang lain. Kita pun ingin agar ia mengembangkan kemampuan untuk membela dan melindungi, baik dirinya sendiri maupun orang lain. Kita perlu mengkomunikasikan kepadanya bahwa tidak mudah berdiri melawan yang kuat demi melindungi yang lemah. Kita boleh mengakui bahwa kita sendiri pun takut. Namun, kita perlu mendorongnya untuk berusaha berbuat sesuatu.
    Pada akhirnya kita tidak boleh melupakan tugas untuk menanamkan takut akan Tuhan pada anak. Amsal 14:27 menjanjikan, "Takut akan Tuhan adalah sumber kehidupan sehingga orang terhindar dari jerat maut." Masa anak berusia 5-12 adalah masa di mana anak belajar; jadi, gunakanlah kesempatan ini untuk mendidik anak menghormati dan takut akan Tuhan. Buah dari pengajaran ini adalah sumber kehidupan yang akan menjauhkan anak dari maut.

Questions: