BETA
Pribadi yang Sehat adalah Kunci Relasi yang Sehat( II )
Sumber: telaga
Id Topik: 2380

Abstrak:

Kesiapan keharmonisan pernikahan harus dimulai sejak kita muda. Sebab kunci persiapannya adalah pribadi yang sehat dan pribadi yang sehat tidak muncul dengan sekejap. Pribadi sehat berarti: mengenal diri secara tepat, menerima masa lalu namun tidak terikat dengannya, tangguh menanggung kesusahan dan kreatif menyelesaikannya, menerima kelemahan orang dan menghargainya, memikul tanggung jawab atas keputusan yang diambil, memikirkan kepentingan orang lain sama seringnya dengan memikirkan kepentingan sendiri, bersedia belajar dan berubah serta mengalah, beriman bahwa Tuhan berkuasa dan memelihara hidup kita.

Transkrip:

Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi di mana pun Anda berada, Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (TEgur Sapa GembaLA KeluarGA). Saya, Gunawan Santoso, dari Lembaga Bina Keluarga Kristen, akan berbincang-bincang dengan Bapak Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling. Perbincangan kami kali ini merupakan kelanjutan dari perbincangan kami terdahulu yaitu tentang "Pribadi yang Sehat Adalah Kunci Relasi yang Sehat" bagian yang kedua. Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.


GS : Pak Paul, karena ini merupakan bagian yang kedua dari tema "Pribadi yang Sehat Adalah Kunci Relasi yang Sehat" mungkin bisa dijelaskan secara sepintas tentang apa yang kita perbincangan tentang kesempatan yang lampau.


PG : Kita mesti memersiapkan keharmonisan pernikahan bukan pada waktu kita mau menikah tetapi justru jauh hari sebelumnya, yaitu pada waktu kita masih muda. Nah, kita perlu memfokuskan diri supaya bisa membangun pribadi yang sehat. Ada beberapa yang telah kita bahas. Yang pertama adalah kita mesti mengenal diri dan menghargai diri dengan sepatutnya, ini adalah modal pernikahan yang penting. Yang kedua adalah kita juga mesti dapat menerima masa lalu sebagai bagian integral hidup kita. Tapi tidak lagi terikat oleh masa lalu. Orang yang terus diikat oleh masa lalu sulit untuk bisa membangun pernikahan yang sehat. Ketiga, tangguh menanggung kesusahan dan kreatif mencari jalan keluar. Kalau kita ini terlalu lemah dan tidak bisa menanggung kesusahan maka itu akan menjadi duri dalam pernikahan kita. Atau kita sulit menemukan jalan keluar, kita tidak kreatif. Itu juga nanti bisa menyulitkan kita dalam pernikahan. Dan yang keempat, dapat melihat orang secara tepat sekaligus menerima kelemahan orang dan menghargai kekuatan orang. Kita tahu betapa pentingnya kita ini dapat melihat pasangan apa adanya, mengetahui dan menerima kekurangannya, serta menghargai kelebihannya. Nah, ini adalah modal yang penting dan baik untuk membangun pernikahan yang harmonis dan sehat.


GS : Iya. Jadi setelah membicarakan 4 faktor itu tadi Pak Paul, maka faktor yang kelima apa ?


PG : Memikul tanggungjawab atas keputusan yang diambil dan tidak melepaskan orang dari tanggungjawabnya. Kecenderungan kita adalah hanya memikul tanggungjawab atas keputusan yang membuahkan hasil dan mendengar pengakuan bahwa keputusan yang kita ambil ternyata baik. Bila sebaliknya yang terjadi, keputusan yang kita ambil justru terbukti salah, biasanya kita berusaha mengelak. Pribadi yang sehat adalah pribadi yang memikul tanggungjawab atas keputusan yang diambil; baik atau buruk, benar atau salah, berhasil atau gagal. Kita menyadari bahwa kita bukanlah orang yang sempurna. Kita tidak bisa memastikan hasil akhir dari suatu keputusan. Kita hanya bisa melakukan bagian kita yaitu mengambil keputusan dengan pemikiran yang matang dan tidak dengan tergesa-gesa. Nah, pribadi yang tidak sehat akan mengalami kesulitan membangun pernikahan yang harmonis dan sehat sebab kecenderungannya adalah melepaskan tanggungjawab. Suatu keputusan yang dibuat terbukti keliru. Bukan hanya melepaskan tapi tanggungjawab pasangan pun disalahkan. Walaupun tidak ada kesalahan, mereka akan mencari-cari kesalahan supaya mereka tidak merasa bersalah dan bebas dari tanggungjawab. Sebab itu penting bagi kita untuk sejak muda membiasakan diri untuk memikul tanggungjawab atas keputusan yang diambil, walau takut salah dan takut disalahkan terimalah dan akuilah.


GS : Iya. Keputusan itu biasanya kalau sudah menikah sebaiknya memang diambil bersama-sama. Mereka berunding mengambil suatu keputusan, Pak Paul. Tetapi juga tidak jarang terpaksa harus diambil oleh salah satu pihak. Kalau keputusan itu benar maka tidak ada masalah apa-apa tapi masalahnya kalau sudah salah, lalu bagaimana, Pak Paul?


PG : Nah, misalkan ini cukup sering kita dengar, seorang suami misalnya memutuskan untuk memulai sebuah usaha dan karena tidak ada jalan lain maka akhirnya harus meminjam uang dari bank. Misalkan istri sudah memberikan peringatan "Hati-hati. Rasanya kamu terlalu berani mengambil keputusan ini." Tetapi suami berkata, "Kita mesti berani mengambil resiko." Jadi akhirnya ambil uang dari bank untuk memulai usaha. Dan benar saja akhirnya usaha itu gagal. Utang sudah menumpuk dan harus dibayar tapi penghasilan tidak ada karena usaha itu merugi dan harus ditutup atau dijual. Nah, sebaiknya dalam kasus seperti ini, si suami berkata terus terang bahwa saya ini salah. Dan sebaiknya juga meminta maaf kepada si istri, "Saya tidak mendengarkan kamu. Saya ingin meminta maaf." Ini adalah karakter yang baik, yang seharusnya. Tapi saya juga tahu bahwa kebanyakan orang susah untuk berkata, "Saya salah." Dia akan salahkan ini, orang ini, atau apalah sehingga tidak mau mengaku bahwa sebetulnya yang salah saya dan seharusnya saya sudah mendengarkan masukanmu dulu.


GS : Iya. Yang dikhawatirkan itu memang akibat dari kesalahan yang dia perbuat sewaktu mengambil keputusan itu, Pak Paul. Jadi pasangan itu terkadang diajak untuk menanggung akibatnya ini akan juga malas.


PG : Dan kalau hanya sekali, Pak Gunawan, mungkin masih bisa ditanggung. Namun, Pak Gunawan juga mungkin tahu, ada orang-orang yang mengulangi perbuatannya berkali-kali. Akhirnya ada keluarga yang harus pindah, jual rumah, kontrak rumah lagi kemudian jual rumah lalu kontrak lagi berkali-kali gara-gara keputusan yang salah yang diambil oleh si kepala keluarga itu.


GS : Iya. Jadi kalau sudah begitu mestinya pasangannya mengambil alih, Pak Paul?


PG : Seharusnya seperti itu. Tapi memang hidup tidak ideal jadi banyak orang yang akhirnya merasa, "Sudah biarkan saja. Tanggung saja." Meskipun si istri dan anak-anak harus menderita karenanya.


GS : Iya. Jadi bagaimana, Pak Paul?


PG : Salah satu atau bagian yang lain tentang mengambil keputusan dan memikul tanggungjawab ialah kita pun tidak boleh melepaskan orang dari tanggungjawabnya. Maksud saya bukanlah mengejar dan memaksa orang untuk bertanggungjawab. Maksud saya adalah tidak mengambil alih tanggung jawab orang agar mereka belajar bertanggungjawab. Nah, ada di antara kita yang terbiasa bertanggungjawab karena sejak kecil diserahkan tanggungjawab yang besar. Akhirnya kita cenderung mengambil alih tanggungjawab apalagi jika kita melihat orang yang diserahkan tanggungjawab tersebut tidak dapat mengerjakan tugasnya dengan baik. Nah, sudah tentu ada kalanya itu yang mesti kita lakukan tapi sebaiknya itu tidak selalu dilakukan. Pernikahan didirikan di atas dua kaki. Sebaik-baiknya satu kaki, suatu saat pasti pincang dan jatuh. Pernikahan yang harmonis harus didasari atas sumbangsih dan kerjasama dari kedua belah pihak. Masing-masing memiliki tanggung jawabnya secara pribadi dan keduanya memunyai tanggung jawab secara berpasangan. Maksud saya ada keputusan yang diambil secara pribadi, ada keputusan yang diambil bersama. Ada tugas yang mesti dikerjakan sendiri dan ada tugas yang dikerjakan bersama. Jadi inilah yang mesti kita lakukan. Berani memikul tanggung jawab atas keputusan yang diambil dan tidak melepaskan orang dari tanggung jawabnya.


GS : Iya. Jadi bukan mengambil alih tanggungjawab, tapi kita mau menolong orang atau pasangan kita yang salah mengambil keputusan. Dan kalau kita sudah melihat akibatnya ini akan buruk dampaknya bagi keluarga maka kita harus cepat-cepat turun tangan, Pak Paul.


PG : Betul. Tugas kita ialah harus memberitahu pasangan bahwa ini keliru atau merasa "Saya tidak damai. Hati-hati." Kalau bisa memang kita juga mengamankan diri jangan sampai nanti kalau misalnya perkiraan pasangan kita meleset dan kita semua ini runtuh, maka kalau bisa kita memang juga harus mengamankan supaya kalau ada apa-apa dengan dia hidup kita masih bisa berlanjut.


GS : Iya. Paling tidak itu bisa meminimalisir kerugian yang akan terjadi, Pak Paul.


PG : Betul.


GS : Faktor yang keenam apa, Pak Paul?


PG : Faktor keenam yang merupakan ciri pribadi yang sehat adalah memikirkan kepentingan orang sama seringnya dengan memikirkan kepentingan sendiri. Pernikahan tidaklah melenyapkan kepentingan pribadi. Pernikahan hanyalah mengharuskan kita untuk memikirkan kepentingan pribadi sama seringnya dengan memikirkan kepentingan pasangan. Singkat kata, bukan saja kita memikirkan kesenangan sendiri kita pun mesti memikirkan kesenangan pasangan. Dan ini harus dimulai sejak dini. Masalahnya adalah ada orang yang egois, Pak Gunawan. Mereka tidak memikirkan kepentingan orang, mereka hanya memikirkan kepentingan sendiri. Bila kepentingan orang lain kebetulan seiring dengan kepentingan sendiri, maka barulah mereka akan melakukannya. Inilah salah satu penyebab mengapa tidak selalu mudah mengenali sifat egois. Kita terkelabui sebab kita melihat mereka "baik hati" padahal mereka melakukan semua kebaikan itu karena kebetulan kebaikan itu juga memenuhi kebutuhan mereka. Kita baru sadar bahwa mereka tidaklah sebaik itu. Sewaktu mereka dipanggil untuk melakukan sesuatu buat orang lain yang tidak berkaitan dengan kepentingan pribadinya atau justru mengorbankan kepentingannya demi orang lain. Disitulah baru kita dapat melihat apakah seseorang egois atau tidak. Jadi memang ibarat air dan minyak, Pak Gunawan, keegoisan dan keharmonisan dalam pernikahan tidak dapat bercampur. Itu sebab kita mesti mengikis sifat egois sejak awal bila kita menginginkan pernikahan yang sehat dan harmonis. Kita harus mendisiplin diri melakukan sesuatu buat orang tanpa pamrih dan belajar mengorbankan kepentingan pribadi demi orang lain. Inilah persiapan dan hadiah pernikahan yang terindah.


GS : Iya. Tetapi dengan mengikis keegoisan di dalam diri kita apakah itu otomatis maka keharmonisan dalam keluarga akan tumbuh, Pak Paul?


PG : Tidak. Memang ada banyak hal-hal lain yang mesti diperhatikan, tapi ini adalah salah satu faktor yang paling penting karena sungguh-sungguh keegoisan itu tidak bisa bercampur dengan pernikahan atau keharmonisan dalam pernikahan.


GS : Iya. Jadi bagaimana sebenarnya kita itu mengikis rasa egoisme kita dan menumbuhkan keharmonisan itu, Pak Paul?


PG : Kita pertama mesti memikirkan kepentingan pasangan. Jadi dimulai dengan memikirkan kepentingan pasangan. Waktu kita misalnya sebagai contoh mau pergi makan. Nah, kita ini terbiasa makan kesini tidak mau atau kesana, tidak mau. Nah, kita berkata kepada pasangan, "Coba kamu yang tentukan kemana, saya ikut saja." Mulai dengan hal-hal kecil seperti itu. Atau membeli barang. Kita sudah tahu apa yang kita mau dan kita biasanya pasti beli apapun yang pasangan kita katakan. Coba kita katakan, "Menurut kamu bagaimana? Baik atau tidak ini?" Kalau pasangan mengatakan kurang begitu cocok dan apa alasannya dia jelaskan. Lalu kita mengatakan, "Oke. Kalau begitu tidak membeli." Jadi belajarlah untuk bertanya kepada pasangan apa yang menjadi kesukaan atau kehendaknya. Dengarlah kepentingan dan keinginannya. Dan coba lakukan. Itu adalah awal dari belajar mengikis keegoisan kita.


GS : Tapi bukan berarti mengabulkan semua permintaannya, Pak Paul?


PG : Betul. Tidak berarti pokoknya apapun yang pasangan minta akan kita berikan. Tidak begitu.


GS : Iya. Faktor yang ketujuh apa, Pak Paul?


PG : Faktor ketujuh yang merupakan karakteristik pribadi yang sehat adalah bersedia belajar dan berubah serta mengalah. Pernikahan adalah sekolah yang tidak pernah berakhir. Kita senantiasa belajar karena akan selalu ada pelajaran yang mesti dipelajari dan pelajaran itu adalah diri sendiri dan pasangan. Lewat pernikahan kita akan belajar banyak tentang diri kita dan lewat pernikahan, kita akan belajar banyak pula tentang pasangan. Kerelaan belajar adalah kunci pernikahan yang harmonis. Nah, kita akan belajar untuk berubah. Kita tidak belajar untuk membuktikan diri bahwa kita benar dan tidak perlu berubah. Itu sebab sejak awal kita mesti membiasakan diri terbuka terhadap hal baru dan berubah sesuai dengan pengetahuan yang baru itu. Memang kita tidak berubah hanya karena terjadi perubahan di luar. Kita mesti punya pendirian, tapi penting bagi kita untuk membuka mata dan memertimbangkan kemungkinan lain. Pernikahan menuntut sikap lentur seperti ini, Pak Gunawan; jadi fleksibel.


GS : Iya. Pak Paul, memang untuk belajar ini selalu ada harga yang harus kita bayar termasuk di dalam pernikahan. Dan disini bayarnya memang berat, yaitu perasaan kita. Untuk ini harus ada penyangkalan diri yang luar biasa begitu di dalam membangun keharmonisan keluarga.


PG : Iya. Ini memang tidak bisa tidak harus mengorbankan gengsi kita, Pak Gunawan. Semakin besar gengsi kita atau keangkuhan kita maka makin kaku pandangan kita tentang peranan suami apa, istri apa hingga akhirnya kita tidak mau belajar. Begitu kita berhenti belajar maka kita berhenti bertumbuh.


GS : Iya. Dan itu tidak ada habisnya, Pak Paul untuk belajar seperti itu.


PG : Iya.


GS : Membutuhkan lagi ketekunan dari kita supaya bisa tetap bertumbuh ini tadi.


PG : Iya. Jadi memang kita mesti memunyai sikap bahwa kita mau memelajari pasangan kita. Sekaligus juga memelajari diri kita. Nah, kita memelajari itu sama seperti kita belajar apapun. Jadi kita mau mengetahui, bukannya mau mencari-cari yang baik apa atau yang tidak baik apa dari pasangan kita. Bukan. Kita mau mengetahui pasangan kita, karena semakin kita mengetahui maka kita makin bisa juga menyesuaikan hidup kita dengan dia. Dan terutama juga penting kita mengetahui pasangan kita supaya kita bisa melakukan apa yang juga menjadi keinginan atau kerinduannya. Kalau dua-duanya timbal balik seperti itu maka hubungan kita akan bertumbuh.


GS : Iya. Seperti tadi yang Pak Paul katakan bahwa di dalam pernikahan ini membutuhkan kelenturan dari kedua belah pihak tentunya. Tetapi kelenturan ini pun harus ada batasnya karena terlalu lentur pun maka kita dianggap tidak punya pendirian, tidak tegas, tidak berinisiatif. Ini sulit, Pak Paul.


PG : Betul, betul. Kita mesti punya pendirian. Kita tahu apa yang kita inginkan, apa yang kita anggap baik atau benar itu mesti ada. Nah, dalam prakteknya sewaktu kita sudah tahu semua itu maka kita mesti belajar mendengar juga dari pasangan apa yang dianggapnya baik, kenapa dia berkata ini benar atau apa. Jadi kita pokoknya jangan sampai menutup pintu dialog, "Pokoknya saya begini pasti saya benar. Kamu berkata begitu berarti kamu salah." Tidak. Kita mesti membuka pintu dialog sehingga kita belajar mendengarkan juga pendapatnya atau pemikirannya.


GS : Tapi itu menuntut kedua belah pihak, tidak bisa satu pihak saja.


PG : Betul sekali, Pak Gunawan.


GS : Kalaupun kita sudah melakukan apa yang harus kita lakukan, tetapi pasangan tidak melakukannya maka juga tidak akan terjadi keharmonisan itu.


PG : Betul, betul. Seringkali ini yang terjadi, Pak Gunawan, hanya satu yang belajar. Satu yang terbuka tapi yang satunya tidak. Maka satu hal lagi yang mau saya tambahkan tentang belajar ini adalah mengalah. Mungkin kita benar dan pasangan salah. Namun demi kepentingan yang lebih besar terkadang kita memilih mengalah, Pak Gunawan. Sikap bersedia mengalah mesti dipupuk sejak muda sebab sikap ini tidak bertumbuh dengan sekejap. Perlu kematangan dan kebesaran hati untuk mengalah. Kecenderungan kita adalah menuntut keadilan bukan mengalah. Sudah tentu adalah baik untuk mengupayakan keadilan. Namun dalam pernikahan konsep ini mesti disesuaikan. Tidak selalu kita harus diperlakukan adil. Terkadang kita mesti mengalah walau itu tidak adil. Jadi orang yang pokoknya secara kaku, "Harus adil! Kalau saya tidak salah mengapa saya harus mengalah. Tidak bisa". Orang yang seperti itu akan memang sulit untuk membangun relasi yang harmonis dengan pasangannya.


GS : Tapi untuk menentukan batasannya juga sulit, Pak Paul. Batasan kapan kita harus mengalah dan kapan kita harus kukuh dengan pendirian kita. Ini yang agak membingungkan.


PG : Memang perlu kebijaksanaan karena pada intinya kita harus bisa membedakan hal yang penting dan hal yang kurang penting. Untuk hal-hal yang sangat penting sekali maka sedapat-dapatnya kita tegas dan berpendirian. Kita tunjukkan kenapa kita ini tidak bersedia untuk kompromi. Tapi untuk hal-hal yang masih bisa kita katakan, "Sudahlah tidak apa-apa. Ini tidak terlalu penting." Tidak apa kita mengalah.


GS : Hal-hal yang prinsip dan hal-hal yang tidak prinsip. Yang tidak prinsip kita bisa mengalah dan yang prinsip kita tidak boleh mengalah.


PG : Betul. Misalkan seorang suami berkata kepada istrinya, "Ayah ibumu dari dulu tidak begitu menghormati saya. Kenapa saya harus kesana? Kenapa saya harus menjadi pertama yang menyapa?" Istri kita meminta-minta, "Sudah jangan dipersoalkan. Memang ayah ibuku seperti ini pada kamu. Sudah mengalahlah." Nah, kita yang terlalu menekankan keadilan mesti benar dan yang salah apa, akhirnya terjebak. Kita tidak mau. Kita berkata, "Buat apa? Saya tidak mau. Selalu saya yang mesti kesana untuk berkunjung, menyapa dan menegur. Sedangkan dia tidak berbuat itu. Mereka yang harus datang pada saya sekarang." Untuk hal seperti itu mengalahlah! Tidak apa-apa. Kita datang dulu, kita tegur sapa dulu meskipun mereka tidak tegur sapa dengan kita, tidak berinisiatif melakukannya kepada kita.


GS : Tapi memang tentang prinsip itu sulit juga. Bagi seseorang sesuatu ini bukan prinsip, tapi bagi diri kita ini suatu prinsip seperti yang Pak Paul katakan itu.


PG : Iya. Pada akhirnya memang kita seringkali berbeda pada apa yang menjadi prinsip dan bukan prinsip kita. Betul. Tapi mudah-mudahan kita terbuka juga untuk tanya orang. Mungkin kita tidak bisa dengar pasangan kita, tanyalah kepada orang-orang yang lain. Kalau semuanya berkata bahwa ini bukan prinsip berarti kita sendiri yang keliru melihat pasangan kita.


GS : Iya. Faktor yang kedelapan apa, Pak Paul?


PG : Faktor yang kedelapan dan yang terakhir yang merupakan ciri pribadi yang sehat adalah beriman. Karena tahu bahwa Tuhan berkuasa dan memelihara hidup ini. Pernikahan adalah sebuah perjalanan yang panjang dan kita tidak tahu apa yang akan terjadi di kemudian hari. Orang beriman dapat diibaratkan seperti perahu yang sama dengan perahu lain yang bisa karam dan tersesat. Namun perahu ini tidak akan tenggelam dan tersesat sebab nahkodanya adalah Yesus, Tuhan dan Juruselamat kita. Ia bersama kita dan Ia menunjukkan arah yang mesti ditempuh. Sewaktu badai datang kita aman karena kita tahu bahwa topan dan ombak tunduk kepada-Nya. Ia menguasai segala cuaca kehidupan dan kita tidak perlu takut. Nah, sejak muda kita harus belajar beriman. Sewaktu kesusahan datang, maka datanglah kepada Tuhan. Dan bersandarlah pada janji-Nya bahwa Ia akan menyertai kita. Percayalah bahwa Ia yang menguasai langit dan bumi serta memberi makan burung di udara, sanggup memelihara hidup kita. Makin kokoh kita beriman, makin kokoh kita menghadapi hidup. Tanpa iman pada Allah yang berkuasa maka kita akan diombang-ambingkan gelombang kehidupan dan tidak bisa tidak ini akan berimbas pada pernikahan.


GS : Iya. Beriman ini perlu dibina terus-menerus, Pak Paul. Iman kita itu tidak selalu bisa mengatasi semua masalah ini. Kita percaya ini hanya Tuhan yang bisa mengatasi. Tetapi membina iman di dalam kehidupan berkeluarga ini yang juga agak sulit. Mungkin sebelum menikah kedua-duanya adalah orang yang sungguh-sungguh rajin, beriman, tekun tetapi begitu setelah menikah malah tidak punya waktu untuk berdoa, tidak punya waktu untuk membaca Alkitab, bahkan ke gereja pun agak sulit mereka lakukan. Ini bagaimana, Pak Paul?


PG : Maka memang kita mesti memprioritaskan semua itu. Kalau tidak kita akan tersapu oleh gangguan atau tuntutan dari luar. Saya tahu banyak anak Tuhan sewaktu mereka masih kuliah mereka rajin membaca firman Tuhan, bersaat teduh. Tetapi setelah berkeluarga, sudah bekerja, akhirnya tidak lagi melakukan semua itu. Sebab memang begitu bangun tidur ada saja hal yang mesti dikerjakan. Maka kita mesti mengambil keputusan untuk memprioritaskan pada hal-hal yang bersifat disiplin rohani ini. Biasakan untuk berdoa, biasakan untuk membaca firman. Itulah nafas rohani sebagai anak-anak Tuhan. Tanpa kekuatan Tuhan, tanpa firman Tuhan kita tidak akan bisa dekat dengan Tuhan dan memercayakan hidup kita kepada-Nya.


GS : Namun kalau pasangan ini, yang satunya tidak seiman dengan kita maka akan jauh lebih sulit memertahankan kehidupan beriman ini, Pak Paul?


PG : Betul sekali, Pak Gunawan. Kalau kita beriman dan pasangan kita tidak maka akhirnya dalam pengambilan keputusan, terutama, akhirnya kita bentrok. Karena hal-hal yang kita anggap ini baik yang mesti dilakukan buat Tuhan pasangan kita tidak melihatnya seperti itu. Hal-hal yang kita rela korbankan buat Tuhan, tapi pasangan kita berkata, "Buat apa kamu berbuat seperti itu dengan apa yang kita miliki?" Akhirnya muncullah gesekan-gesekan itu. Sewaktu kita berkata, "Mari percayakan hidup kita kepada Tuhan. Kita tidak perlu menyimpan semuanya banyak. Mari kita bagi kepada orang dan kita percayakan Tuhan nanti akan sanggup menyediakan kebutuhan kita." Nah, orang yang tidak beriman akan berkata "Tidak bisa seperti itu. Kita harus siapkan semuanya. Jangan sampai ada apa-apa nantinya." Betul. Jadi Pak Gunawan kalau kita tidak sama atau tidak seiman maka seringkali itu menjadi masalah dalam pernikahan.


GS : Iya. Jadi kadang-kadang sebelum menikah itu sudah dinasehati hanya dia berkata, "Tidak apa-apa ini bisa diselesaikan kalau nanti sudah menikah. Saya akan ajak dia." Ternyata tidak bisa, Pak Paul.


PG : Betul sekali. Jadi memang dari awal sebelum menikah kita sudah harus lihat, apakah memang seiman atau tidak dan kita memang harus memilih yang seiman itu.


GS : Iya. Juga sering dikatakan bahwa orang itu juga orang beriman, tapi tidak seagama. Tapi sulit Pak Paul nantinya di dalam kehidupan rumah tangga. Dalam hal mendidik anak juga mengalami kesulitan.


PG : Betul. Anak juga bisa akhirnya mengalami kebingungan, ikut siapa ini, mama atau papa, dan sebagainya.


GS : Hal-hal seperti itu seringkali menimbulkan kepribadian yang tidak sehat pula pada anak. Jadi sudah delapan faktor yang Pak Paul sampaikan. Namun apakah ada ayat firman Tuhan yang bsia merangkum ini semua, Pak Paul?


PG : Ada banyak yang mesti dipersiapkan untuk membangun pernikahan yang sehat. Pada akhirnya inilah dasar dari segalanya, Pak Gunawan. Itu saya kutip dari Matius 7:12, "Segala sesuatu yang kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu, perbuatlah demikian juga kepada mereka." Inilah perkataan Tuhan kita Yesus Kristus. Kalau kita bisa terapkan ini dalam pernikahan kita, pernikahan kita pastilah akan harmonis dan sehat.


GS : Iya. Terima kasih, Pak Paul untuk perbincangan ini. Dan para pendengar sekalian, kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bapak Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara TELAGA (TEgur sapa GembaLA KeluarGA). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Pribadi yang Sehat Adalah Kunci Relasi yang Sehat" bagian yang kedua. Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini, silakan menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Atau Anda juga dapat menggunakan e-mail ke alamat telaga@telaga.org. Kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan, serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Akhir kata dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa dalam acara TELAGA yang akan datang.


Ringkasan:

(5) Yang menjadi ciri pribadi yang sehat adalah Memikul Tanggungjawab Atas Keputusan yang Diambil dan Tidak Melepaskan Orang dari Tanggungjawabnya.. Kecenderungan kita adalah hanya memikul tanggung jawab atas keputusan yang membuahkan hasil dan mendengar pengakuan bahwa keputusan yang kita ambil ternyata baik. Bila sebaliknya yang terjadi—keputusan yang kita ambil justru terbukti salah—biasanya kita berusaha mengelak.


Pribadi yang sehat adalah pribadi yang memikul tanggung jawab atas keputusan yang diambil—baik atau buruk, benar atau salah, berhasil atau gagal. Kita menyadari bahwa kita bukanlah orang yang sempurna; kita tidak bisa memastikan hasil akhir dari suatu keputusan. Kita hanya bisa melakukan bagian kita yakni mengambil keputusan dengan pemikiran yang matang, dan tidak dengan tergesa-gesa. Pribadi yang tidak sehat akan mengalami kesulitan membangun pernikahan yang harmonis dan sehat sebab kecenderungannya adalah melepaskan tanggung jawab sewaktu keputusan yang dibuat terbukti keliru. Bukan hanya melepaskan tanggung jawab, pasangan pun disalahkan. Kalau pun tidak ada kesalahan, mereka akan mencari-cari kesalahan supaya mereka tidak merasa bersalah dan bebas dari tanggung jawab. Itu sebab penting bagi kita sejak muda membiasakan diri untuk memikul tanggung jawab atas keputusan yang diambil. Walau takut salah—dan disalahkan—terimalah dan akuilah.


Namun sama dengan itu, kita pun tidak boleh melepaskan orang dari tanggung jawabnya. Maksud saya bukanlah mengejar-ngejar dan memaksa orang untuk bertanggung jawab. Maksud saya adalah, tidak mengambil alih tanggung jawab orang agar mereka belajar bertanggung jawab. Ada di antara kita yang terbiasa bertanggung jawab karena sejak kecil diserahkan tanggung jawab yang besar. Akhirnya kita cenderung mengambil alih tanggung jawab, apalagi jika kita melihat bahwa orang yang diserahkan tanggung jawab tersebut tidak dapat mengerjakan tugasnya dengan baik. Sudah tentu adakalanya itu yang mesti kita lakukan tetapi sebaiknya itu tidak selalu dilakukan.


Pernikahan didirikan di atas dua kaki; sebaik-baiknya satu kaki, suatu saat pasti terjadi pincang dan jatuh. Pernikahan yang harmonis harus didasari atas sumbangsih dan kerja sama dari dua belah pihak. Masing-masing memiliki tanggung jawabnya secara pribadi dan keduanya memunyai tanggung jawab secara berpasangan. Maksud saya, ada keputusan yang diambil secara pribadi dan ada keputusan yang diambil bersama. Ada tugas yang mesti dikerjakan sendiri dan ada tugas yang dikerjakan bersama.


(6) Memikirkan Kepentingan Orang Sama Seringnya Dengan Memikirkan Kepentingan Sendiri. Pernikahan tidaklah melenyapkan kepentingan pribadi; pernikahan hanyalah mengharuskan kita untuk memikirkan kepentingan pribadi sama seringnya dengan memikirkan kepentingan pasangan. Singkat kata, bukan saja kita memikirkan kesenangan sendiri, kita pun mesti memikirkan kesenangan pasangan. Dan ini harus dimulai sejak dini.


Ada orang yang egois; mereka tidak memikirkan kepentingan orang; mereka hanya memikirkan kepentingan sendiri. Bila kepentingan orang lain kebetulan seiring dengan kepentingan sendiri, barulah mereka akan melakukannya. Inilah salah satu penyebab mengapa tidak selalu mudah mengenali sifat egois. Kita terkelabui sebab kita melihat mereka "baik hati" padahal mereka melakukan semua kebaikan itu karena kebetulan kebaikan itu juga memenuhi kebutuhan mereka. Kita baru sadar bahwa mereka tidaklah sebaik itu sewaktu mereka dipanggil untuk melakukan sesuatu buat orang lain yang tidak berkaitan dengan kepentingan pribadinya atau justru mengorbankan kepentingannya demi orang lain. Di situlah baru kita dapat menilai apakah seseorang egois atau tidak.


Ibarat air dan minyak, kegoisan dan keharmonisan dalam pernikahan tidak dapat bercampur. Itu sebab kita mesti mengikis sifat egois sejak awal bila kita menginginkan pernikahan yang sehat dan harmonis. Kita harus mendisiplin diri melakukan sesuatu buat orang tanpa pamrih dan belajar mengorbankan kepentingan pribadi demi orang lain. Inilah persiapan dan hadiah pernikahan yang terindah.


(7) Yang merupakan karakteristik pribadi yang sehat adalah Bersedia Belajar dan Berubah Serta Mengalah.. Pernikahan adalah sekolah yang tak pernah berakhir. Kita senantiasa belajar karena akan selalu ada pelajaran yang mesti dipelajari dan pelajaran itu adalah diri sendiri dan pasangan. Lewat pernikahan kita akan belajar banyak tentang diri kita dan lewat pernikahan kita akan belajar banyak pula tentang pasangan. Kerelaan belajar adalah kunci pernikahan yang harmonis.


Kita belajar untuk berubah; kita tidak belajar untuk membuktikan diri bahwa kita benar dan tidak perlu berubah. Itu sebab sejak awal kita mesti membiasakan diri terbuka terhadap hal baru dan berubah sesuai dengan pengetahuan yang baru itu. Memang kita tidak berubah hanya karena terjadi perubahan di luar—kita mesti mempunyai pendirian—tetapi penting bagi kita untuk membuka mata dan memertimbangkan kemungkinan lain. Pernikahan menuntut sikap lentur seperti ini.


Pernikahan pun mengharuskan kita untuk mengalah. Mungkin kita benar dan pasangan salah, namun demi kepentingan yang lebih besar, kadang kita memilih mengalah. Sikap bersedia mengalah mesti dipupuk sejak muda sebab sikap ini tidak bertumbuh dengan sekejap. Perlu kematangan dan kebesaran hati untuk mengalah. Kecenderungan kita adalah menuntut keadilan, bukan mengalah. Sudah tentu adalah baik untuk mengupayakan keadilan namun dalam pernikahan konsep ini mesti disesuaikan. Tidak selalu kita harus diperlakukan adil; kadang kita mesti mengalah—walau itu tidak adil.


(8) Beriman Karena Tahu Bahwa Tuhan Berkuasa dan Memelihara Hidup Ini. Pernikahan adalah sebuah perjalanan yang panjang dan kita tidak tahu apa yang akan terjadi di kemudian hari. Orang beriman dapat diibaratkan seperti perahu, yang sama dengan perahu lain bisa karam dan tersesat, namun tidak akan tenggelam dan tersesat sebab nakhodanya adalah Yesus, Tuhan dan Juruselamat kita. Ia bersama kita dan Ia menunjukkan arah yang mesti ditempuh. Sewaktu badai datang, kita pun aman karena tahu bahwa topan dan ombak tunduk kepada-Nya. Ia menguasai segala cuaca kehidupan dan kita tidak perlu takut.


Sejak muda kita harus belajar beriman. Sewaktu kesusahan datang, datanglah kepada Tuhan dan bersandarlah pada janji-Nya bahwa Ia akan menyertai kita. Percayalah bahwa Ia yang menguasai langit dan bumi serta memberi makan burung di udara, sanggup memelihara hidup kita. Makin kokoh kita beriman, makin kokoh kita menghadapi hidup. Tanpa iman pada Allah yang berkuasa, kita akan diombang-ambingkan gelombang kehidupan, dan tidak bisa tidak, ini akan berimbas pada pernikahan.


Ada banyak yang mesti dipersiapkan untuk membangun pernikahan yang sehat; pada akhirnya inilah dasar dari segalanya, "Segala sesuatu yang kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu, perbuatlah demikian juga kepada mereka." (Matius 7:12)


Questions: