Ikatan Sehat dalam Berelasi
Sumber: telaga
Id Topik: 2350
Abstrak:
Manusia didesain oleh Allah sebagai makhluk sosial dimana, manusia perlu berelasi, baik dengan Tuhan dan sesama manusia. Namun demikian tanpa adanya relasi dengan batasan yang benar maka kita akan membangun sebuah relasi tidak sehat dengan batasan yang tidak jelas, dengan cara mengikari apa yang menjadi milik kita dan mencoba mengaku-aku apa yang menjadi tanggung jawab orang lain. Oleh karena itu hal yang perlu dipelajari ialah kita perlu berelasi tanpa kehilangan identitas kita dan keunikan kita. Jadi setiap manusia membutuhkan relasi yang dalam, dimana relasi tersebut menerima keunikan dan identitas kita dengan berlandaskan pada kasih karunia.Transkrip:
oleh Ev. Sindunata Kurniawan.
Kata kunci: Menjalin relasi pada tingkat yang dalam, dengan Tuhan dan dengan sesama, bukan dengan Tuhan atau sesama. Relasi yang dangkal menyuburkan berbagai bentuk pelarian dan kecanduan, termasuk gangguan jiwa yang ringan atau berat. Salah satu hal yang perlu diperhatikan dalam mengembangkan ketrampilan mengikatkan diri dengan orang lain adalah bersedia bergabung dengan kelompok pertumbuhan berdasar prinsip kasih karunia.
TELAGA 2019
Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi di mana pun Anda berada, Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (TEgur Sapa GembaLA KeluarGA). Acara ini diselenggarakan oleh Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) bekerjasama dengan radio kesayangan Anda ini. Saya, Yosie akan berbincang-bincang dengan Bapak Ev. Sindunata Kurniawan, MK. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling keluarga. Perbincangan kami kali ini tentang "Ikatan Sehat dalam Berelasi". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
Y : Pak Sindu, silakan menjelaskan apa yang dimaksud dengan "Ikatan Sehat Dalam Berelasi" kaitannya dengan siapa, bagaimana membangunnya dan sebagainya.
SK : Jadi memang ikatan sehat itu merupakan kebutuhan kita, Bu Yosie, untuk menjadi orang yang sehat. Jadi untuk menjadi orang yang sehat kita membutuhkan ikatan sehat sekaligus batasan sehat. Untuk kali ini kita fokuskan tentang ikatan sehat. Jadi ikatan yang dimaksud disini adalah kemampuan untuk menjalin rasa keterikatan emosional dengan orang lain. Kemampuan untuk menjalin relasi dengan orang lain pada tingkat yang dalam.
Y : Jadi ini lebih secara umum ya, Pak, bukan misalnya ikatan pernikahan atau berpacaran?
SK : Iya. Jadi ini adalah ikatan dalam relasi kita dengan semua orang, dengan orang lain termasuk memang ada di dalamnya dalam kaitan dengan pacaran dan pernikahan, tapi ini lebih luas lagi dan perlu untuk dimiliki. Jadi memang di dalam relasi kita dengan orang lain umumnya kita punya relasi yang dangkal dan itu sah-sah saja. Dimana kita bertemu untuk tegur sapa "Selamat pagi, bagaimana kabarmu?" jadi relasi yang bersifat basa-basi.
Y : Di ‘permukaan’ ya, Pak?
SK : Iya, di permukaan. Dan kadang kita juga mengembangkan relasi yang bersifat kepentingan, berbasis kepentingan. Kepentingan bisnis pekerjaan kita, kepentingan karena tugas-tugas keorganisasian dan itu sah-sah saja. Kita boleh memiliki relasi yang demikian. Hanya saja jika kita ingin memiliki diri yang sehat, kehidupan yang sehat kita juga perlu memiliki beberapa relasi dengan orang lain yang memang bersifat mendalam. Kita membangun ikatan sehat dengan orang lain.
Y : Tapi tentunya yang khusus begitu, Pak? Beberapa relasi yang khusus.
SK : Iya, iya. Jadi yang khusus ini bisa diterjemahkan di dalam relasi di keluarga inti kita atau mungkin dalam pertemanan persahabatan, atau dalam konteks kita bergereja. Jadi kita membutuhkan orang-orang dimana kita mampu mengembangkan komunikasi yang saling terbuka. Kita bisa saling leluasa bercerita. Kita bisa leluasa berbagi kisah, pergumulan. Kita berbagi perasaan, berbagi impian, berbagi perasaan-perasaan yang terdalam dengan tanpa rasa takut tertolak.
Y : Poinnya disana ya, Pak. Jadi ikatan yang sehat adalah kemampuan untuk mengembangkan komunikasi, berbagi tanpa perasaan-perasaan takut tertolak. Takut terhina dan sebagainya ya, Pak?
SK : Iya. Jadi pada titik itu, Bu Yosie, kita menjadi diri sendiri. Kita menampilkan diri yang apa adanya, atau muncul istilah diri yang otentik, diri yang asli. Ketika kita bisa memiliki kesempatan-kesempatan untuk menampilkan diri yang asli, diri yang otentik, diri yang apa adanya disanalah kita seperti menghirup oksigen yang akan membuat jiwa kita lega, membuat tubuh kita rileks, membuat keberadaan kita terasa nyaman dan penuh.
Y : Jadi ketika kita mau berbagi, membangun ikatan yang sehat, kita pun sebetulnya mendapat energi yang baru, begitu, Pak. Kita mendapat kekuatan yang baru, kepenuhan.
SK : Iya. Karena ini memang berkaitan dengan desain atau rancang bangun yang Allah ciptakan pada manusia dari semula. Jadi Allah menciptakan manusia sebagai makhluk yang berelasi. Kalau kita kenal sewaktu kita sekolah, kita menyebutnya sebagai makhluk sosial.
Y : Iya benar, Pak. Bahkan itu dari pelajaran SD, kita sudah belajar.
SK : Iya. Dan itu desain Allah. Bahkan desain Allah itu pun merupakan pantulan dari sifat Allah sendiri. Allah kita bukan Allah yang kesepian, tapi Allah yang berelasi. Kita kenal ada Allah Bapa, Allah Putra, Allah Roh Kudus. Ketiga pribadi Allah ini adalah Allah yang satu, Allah yang berelasi. Jadi bukan Allah yang kesepian, maka ketika manusia diciptakan menurut gambar Allah maka sifat Allah yang berelasi ini terpantulkan dalam diri manusia yang berelasi. Maka tidak heran kita memahami dari kisah penciptaan di kitab Kejadian, Allah mengatakan, "tidak baik manusia sendirian saja" maka diciptakanlah penolong. Inilah fondasi. Jadi kalau kita hidup memiliki ikatan yang sehat dengan orang lain artinya relasi yang otentik, yang mendalam disanalah kita memenuhi rancang bangun Tuhan dan disanalah kita bahagia.
Y : Karena sesuai dengan desainnya Tuhan.
SK : Tepat.
Y : Kalau begitu ikatan yang sehat ini kepada Tuhan lebih dulu atau kepada sesama atau bagaimana, Pak?
SK : Keduanya, Bu Yosie. Jadi ikatan yang sehat ini dibangun sekaligus yaitu dengan Tuhan, dengan Allah Pencipta kita dan dengan sesama manusia. Dwitunggal. Jadi bukan "atau" tapi "dan". Ketika kita memiliki ikatan yang sehat dengan Tuhan kita dan sekaligus ketika kita memiliki ikatan yang sehat dengan orang lain, disanalah kepenuhan kita sebagai manusia. Dan suatu yang keliru kalau kita menjadikannya ‘atau’.
Y : Hanya salah satu ya, Pak?
SK : Iya. Kadang muncul sebuah gejala fenomena beberapa orang, "Aku tidak butuh manusia. Manusia...... "
Y : "Hanya Tuhan saja..."
SK : Iya. "Manusia itu tidak bisa dipercayai"
Y : Mengecewakan.
Sk : Iya. "... menimbulkan banyak luka. Hanya Tuhan yang bisa aku percaya. Maka aku menarik diri, masuk ke gua. Aku retreat sepenuh hidupku, membiara" artinya tidak mau kontak dengan siapapun karena manusia tidak dibutuhkan. Saya minta maaf ketika menyebut kata membiara. Bukan berarti orang yang membiara itu keliru. Tetapi orang yang membiara pun pada dasarnya dia masih ada kontak dengan manusia lain. Jadi bahwa itu sebuah kekeliruan. Sebaliknya juga, "Aku tidak butuh Tuhan. Yang penting pokoknya aku dengan manusia lain..."
Y : Baik, tidak menyakiti. Begitu banyak yang punya paham seperti itu.
SK : Dan berelasi mendalam, otentik, menjadi diri sendiri itu cukup. Memang secara kenyataan hidup di lapangan, sangat mungkin bagi orang-orang yang demikian yang bersifat gaya hidupnya atheistik, kalau saya sebutkan yang tidak mengakui keberadaan Tuhan. Atau mengakui mungkin sebatas pikiran, tapi dia tidak mempraktekkan kehidupan yang membangun relasi intim dengan Tuhan, dia bisa bahagia secara manusia, kebahagiaan humanistik yang tadi Bu Yosie sebut. Tapi saya sangat meyakini, kebahagiaan humanistik ini tetap ada sesuatu yang tidak lengkap.
Y : Ada yang tidak penuh tadi pak, ada yang kosong di hatinya, Pak.
SK : Tepat. Dengan kata lain, Bu Yosie bahwa ketika manusia memiliki relasi yang dangkal dengan Tuhan dan orang lain apalagi tidak memilikinya maka seberapa banyak pun hartanya, seberapa pun prestasi dan pencapaian produktifitasnya, jiwanya akan layu mengerut dan menyusut.
Y : Karena tadi ya Pak tentang membangun relasi yang mendalam dengan Tuhan dan orang lain yang sebenarnya memberikan nutrisi dan gizi pada jiwa kita yang tadi disebutkan ‘kepenuhan’.
SK : Iya, tepat. Saya setuju dengan istilah itu. Jadi membangun relasi yang mendalam dengan Tuhan dan orang lain itulah gizi jiwa kita, nutrisi makanan jiwa kita yang membuat kita akan seperti bunga yang memekar, memunculkan buah kehidupan yang membahagiakan kita dan dunia sekeliling kita.
Y : Baik, Pak.
SK : Ketika seseorang tidak mampu membangun ikatan maka sesungguhnya dia akan mudah mengalami rasa kesepian, kekosongan dan perasaan tertekan. Jadi inilah yang menjelaskan Bu Yosie gejala yang mana muncul sekian banyak orang, baik orang dewasa, baik itu orang muda...
Y : Remaja bahkan, Pak.
SK : Iya, remaja atau mungkin anak-anak yang mudah menyerah. Yang akhirnya malah menyerahnya bukan hanya meninggalkan gelanggang pekerjaan atau pun keluarga atau pun studinya sampai mengakhiri dirinya dengan bunuh diri. Kalau kita usut maka akan menemukan karena orang-orang tersebut tidak memunyai ikatan yang sehat dengan orang lain.
Y : Mungkin mudah kosong.
SK : Iya.
Y : Padahal sudah memiliki banyak sebetulnya ?
Sk : Iya. Jadi kita melihat fenomena artis-artis yang terkenal ketika di puncak popularitasnya kenapa bunuh diri. Ini jawabannya yaitu ikatan yang sehat yang tidak dimiliki. Sehingga ini bukan hal yang sepele. Justru ini sepele secara bentuknya tapi dampaknya sangat serius. Kita perlu benar-benar upayakan, dayagunakan. Jadikan sebagai sasaran pertumbuhan kita maupun orang-orang yang kita kasihi.
Y : Tapi bagaimana Pak, kalau pada kenyataannya kita masih sulit membangun ikatan yang sehat? Apa dampaknya menurut Bapak?
SK : Iya. Dampaknya disanalah tempat yang subur bagi pelarian-pelarian maupun berbagai bentuk kecanduan, Bu Yosie.
Y : Atau keterikatan ya, Pak? Karena tidak bisa menjalin ikatan yang sehat malah terjerumus di kecanduan atau keterikatan yang tidak sehat?
SK : Tepat. Jadi seperti kecanduan rokok, alkohol, narkotika atau obat-obatan dan zat lainnya. Juga bisa kecanduan seks, kecanduan judi, kecanduan pekerjaan, kecanduan pelayanan, kecanduan prestasi, kecanduan materialisme bahkan termasuk berbagai bentuk gangguan jiwa dari yang ringan hingga yang berat itu sangat bisa ditarik benang merahnya, keterkaitannya pada kondisi seseorang yang tidak memiliki ikatan yang sehat dengan orang lain.
Y : Iya, iya. Ini termasuk juga di zaman-zaman modern ini keterikatan dengan gadget, Pak, yang sangat dikuasai oleh kebutuhan untuk tampil di ‘sosmed’ (sosial media) dan sebagainya, terikat dengan gadgetnya mungkin karena ada yang tidak dibangun dalam relasi yang nyata, Pak?
SK : Tepat. Jadi kadang orang berpikir bahwa "Saya juga menjalin ikatan lewat teman di media sosial" tapi riset atau penelitian di lapangan membuktikan relasi di dunia maya itu berbeda atau boleh disebutkan kualitasnya lebih rendah daripada relasi di dunia nyata. Jadi ada perasaan-perasaan, ekspresi wajah, pengekspresian diri yang tidak leluasa ketika kita dibatasi oleh teknologi. Jadi memang disinilah, Ibu Yosie betapa pentingnya orang berani mengambil resiko. Terkadang orang tidak berani membangun ikatan yang sehat untuk menampilkan diri apa adanya karena sudah punya pikiran-pikiran. "Kalau aku cerita nanti diceritakan ke orang lain. Aku buka rahasia malah disiarkan, malah aku dipermalukan, melukai" maka disinilah Bu Yosie kita butuh untuk memilih teman. Apalagi kalau kita mengenal komunitas iman di dalam Kristus, kita punya alasan, "Ayo kita buat kelompok yang bisa cerita tapi tanpa menghakimi. Kita buat kelompok dimana saya cerita kamu cerita tapi kita dilandasi dengan prinsip kasih karunia Allah yang sudah menerima kita apa adanya. Mari kita pun juga saling menerima dengan prinsip itu". Jadi banyak orang sesungguhnya termasuk kita itu sudah tahu kebenaran; tidak boleh ini harusnya begitu. Tapi persoalannya bukan kebenaran yang kurang kita terima tetapi kasih karunia yang kurang kita terima dan kurang kita berikan kepada orang lain. Buatlah kelompok yang demikian. Dengarkan pergumulannya dan kejatuhannya di dalam dosa, dengarkan kesedihan, kekecewaannya dan stop untuk menghakimi. "Kamu memang, memang kamu seperti itu. Maka rasakan, kapan kamu jeranya?" stop dengan itu. Dengarlah, ikutlah dalam dukanya dan kemudian setelah kita mendengar, memahami, merasakan, kita tanya, "Apa yang kamu harapkan dari saya?" jawabnya "Aku butuh doamu". Oke. Doakanlah, ya sudah.
Y : Terkadang butuh didengar, Pak. Beberapa klien yang datang.
SK : Iya. Termasuk dalam konseling. Kita mengalami dalam konseling bagian utama dan pertama adalah mendengarkan dengan empati, dengan hati kita, dengan telinga. Demikian juga bukan hanya dalam ruang konseling termasuk dalam ruang relasi dimana pun. Malah sebenarnya banyak orang tidak butuh sampai level masuk ke ruang konseling kalau seandainya di luar, yaitu di gereja, rumah tangga, di tempat kerja, atau di tempat-tempat relasi pertemanan kita saling memberi kasih karunia, bisa membangun ikatan yang sehat.
Y : Sama-sama membangun ikatan yang sehat ini ya, Pak?
SK : Iya. Ruang konseling akan jauh lebih sepi karena sudah terisi di luar sana.
Y : Iya, benar. Lalu apa Pak yang dapat kita lakukan secara praktis untuk mengembangkan ketrampilan, untuk mengikatkan diri kita dengan sehat pada orang lain?
SK : Iya. Yaitu memang yang pertama menyadari kebutuhan bahwa itu kebutuhan hakiki kita. Yang kedua kita bisa meminta ketika kita mengalami hambatan, kita bisa meminta bantuan dan dukungan secara aktif. Jadi jangan mendiamkan.
Y : Nah, ini terkadang yang menjadi masalah. Kita punya asumsi "Ah mungkin aku tidak diinginkan. Mungkin aku ini buruk." Jadi memang seperti ‘self-image’ negatif lebih dulu yang muncul.
SK : Iya. Jadi memang seperti yang Bu Yosie ceritakan tadi. Itu memang hambatan yang nyata. Silakan datang ke konselor, orang yang memang memahami tentang hal ini secara mendalam. Kita sampaikan, nanti konselor yang memahami ini akan menolong menggali akar masalahnya dan menyelesaikannya lapis demi lapis. Kemudian poin berikutnya yaitu yang ketiga Bu Yosie, kita butuh menyadari kerentanan kita dan bersedia mengambil resiko seperti yang tadi saya sebutkan. Kadang kita sudah jera lebih dulu, "Sudah tidak akan pernah lagi aku membentuk KTB (Kelompok Tumbuh Bersama), apa itu? Saya malah diceritakan, dijadikan ilustrasi khotbah, saya malah disiarkan. Malah tambah runyam hidup saya".
Y : Jadi pengalaman yang buruk yang akan membuat kita itu mundur di dalam membangun ikatan?
SK : Iya, betul. Dalam hal ini oke, itu luka dan silakan bawa luka itu kepada konselor. Bawa luka itu kepada Tuhan, kita serahkan sampah jiwa dan luka kita supaya kita punya hati yang dibuat ‘plong’(lega) untuk menerima pengalaman yang baru.
Y : Diperbarui.
SK : Maka dalam hal ini kita bersyukur, Bu Yosie dalam konteks kita di Indonesia sudah semakin banyak berkembang komunitas-komunitas yang otentik. Ada gerakan-gerakan pria, gerakan-gerakan wanita, ada retreat kamp-kamp pemulihan yang bersifat lintas denominasi. Silakan manfaatkan. Jangan tergesa-gesa menghakimi "Apa itu, itu sesat. Itu salah. Teologinya menyimpang." Nanti dulu. Datanglah! Ikutilah! Alamilah. Karena yang saya teliti, yang saya pelajari rata-rata mereka memiliki fondasi pengajaran yang Alkitabiah, yang memang firman Allah nyatakan tentang kebutuhan kita untuk dikasihi dan mengasihi secara apa adanya, secara sehat di dalam Kristus, di dalam tubuh Kristus. Inilah daya gunakan anugerah Allah untuk zaman kita ini. Dari sana biasanya akan ada pertemuan-pertemuan tindak lanjut atau ide-ide yang bisa kita kembangkan di lingkungan sosial kita, di gereja kita. Jadi jangan khawatir ikut retreat komunitas itu akan membuat kita kehilangan teologi kita, kehilangan gereja kita. Tidak. Rata-rata yang saya tahu mereka justru bersifat memberdayakan supaya pengalaman tubuh Kristus yang Alkitab ajarkan, kita alami lewat retreat, kamp atau komunitas itu untuk nantinya bisa kita kembangkan di komunitas gereja lingkungan kita masing-masing.
Y : Jadi seandainya pun tadi punya pengalaman yang buruk, pengalaman terluka harus memiliki hati yang bersedia disembuhkan ya, Pak?
SK : Iya.
Y : Kalau untuk mau menjadi pribadi yang sehat ya.
SK : Benar. Justru ketika kita menolak membuka pada pengalaman yang baru disinilah kemenangan Iblis.
Y : Iya. Karena kita tidak luput dari pengalaman terluka ya, Pak? Tidak mungkin seumur hidup kita selalu baik dan manis, itu tidak mungkin. Pasti pernah terluka. Tapi tinggal bagaimana kita mau disembuhkan ya, Pak?
SK : Betul. Dan disinilah juga letak kedewasaan, kelenturan jiwa kita adalah ketika kita mau terus berproses dengan tubuh Kristus, dengan orang-orang lain. Karena jangan lupa ada Kristus ada tubuh Kristus, ada orang lain, ada Tuhan. Jadi ketika kita terluka dengan orang lain, ada Tuhan yang bisa menyembuhkan kita untuk kemudian kita berhubungan dengan orang lain lagi.
Y : Luka yang sudah disembuhkan akan dipakai Tuhan untuk menjadi berkat atau penyembuh bagi orang lain.
SK : Ya, tepat. Bahkan itu akan mendewasakan kita, memerlengkapi kita untuk kemudian kita bisa memahami orang lain yang terluka.
Y : Iya. Yang sama dengan kita, posisi kita.
SK : Iya.
Y : Dengan pemahaman ini tentunya kita tadi lebih lentur, lebih bisa menerima pengalaman-pengalaman yang buruk di dalam hidup kita dengan satu pemahaman bahwa tidak ada pengalaman yang diijinkan Tuhan dengan kebetulan tetapi dipakai Tuhan untuk justru memproses kita, Pak.
SK : Iya. Jadi jangan lupa bahwa memang dunia kita seperti kata firman Tuhan semakin terhilang dengan segala keinginannya. Dunia yang semakin asosial mengabaikan relasi yang apa adanya dengan orang lain. Jadi kalau kita mau menerobos pengalaman buruk kita itu dan kita menumbangkan ikatan yang sehat, kita sedang menjadi jawaban bagi zaman ini. Pengalaman kita yang menerobos itu dan menurut kita berhasil masuk dalam pusaran ikatan kita yang sehat, relasi yang otentik, relasi yang apa adanya, relasi yang dilandasi prinsip kasih karunia Allah, itu akan membuka jalan untuk kita menolong orang lain, menginisiasi, memulai kelompok-kelompok serupa, komunitas-komunitas serupa baik di keluarga kita, di gereja kita, di lingkungan masyarakat kita yang sangat amat banyak membutuhkan.
Y : Iya. Sebenarnya kalau kita mau terbuka itu pasti banyak, banyak yang membutuhkan, orang yang belum mengerti ikatan yang sehat dalam relasi ya, Pak?
SK : Iya.
Y : Mungkin Bapak bisa memberikan dasar firman Tuhan untuk menguatkan apa yang kita bahas kali ini.
SK : Saya mengutip dari kitab Hosea 6:6a, "Sebab aku menyukai kasih setia, dan bukan korban sembelihan,". Kata kasih setia ini dalam bahasa Ibrani artinya KHESED. KHESED ini memiliki arti kata kasih yang memiliki, kasih yang setia. Menekankan tentang kepemilikan bersama dari orang-orang yang terlibat di dalam relasi kasih. Jadi kadang di dunia yang era zaman ‘now’ ini, orang menekankan produktifitas, menekankan hasil. "Kerja, kerja, kerja" itu benar satu sisi. Tapi ada kebenaran yang lain, firman Tuhan mengingatkan ada kasih setia, ada rasa kepemilikan bersama dengan orang-orang di dalam ikatan kasih. Mari di tengah upaya kita untuk hidup yang produktif dan berbuah lebat secara hasil, jangan lupa hasil itu juga adalah berkenan tentang kepenuhan kita sebagai manusia, kepenuhan kita bersama orang lain lewat ikatan yang sehat dalam relasi.
Y : Terima kasih banyak Pak Sindu untuk ulasannya. Saya percaya ini akan menjadi manfaat bagi para pendengar. Para pendengar sekalian, kami mengucapkan terima kasih telah mengikuti perbincangan kami dengan Bapak Sindunata Kurniawan, MK dalam acara TELAGA (TEgur sapa GembaLA KeluarGA). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Ikatan Sehat dalam Berelasi". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini, silakan menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Atau Anda juga dapat menggunakan e-mail ke alamat telaga@telaga.org. Kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan, serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Akhir kata dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa dalam acara TELAGA yang akan datang.
Ringkasan:
dpo. Ev. Sindunata Kurniawan, M.K.Orang yang sehat hidup memiliki ikatan dan batasan. Ikatan yang dimaksud di sini adalah kemampuan untuk menjalin rasa keterikatan emosional dengan orang lain. Kemampuan untuk menjalin relasi dengan orang lain pada tingkat yang dalam. Tingkat yang dangkal adalah relasi di permukaan, sebatas komunikasi basa-basi dan sebatas relasi karena kepentingan. (penjelasan). Sementara orang yang mampu membangun ikatan akan mengembangkan komunikasi yang saling terbuka, saling leluasa bercerita dan berbagi kisah, pergumulan, perasaan, impian dan perasaan-perasaan yang terdalam dengan tanpa rasa takut tertolak.
Ketika seseorang tidak mampu membangun ikatan, maka ia akan mudah mengalami rasa kesepian, kekosongan, dan perasaan tertekan.
Ikatan memang adalah disain Tuhan dari semula. Manusia diciptakan sebagai makhluk sosial atau makhluk yang berelasi, baik berelasi dengan Tuhan Sang Pencipta maupun dengan orang lain. Membangun relasi yang mendalam dengan Tuhan dan orang lain memberi nutrisi dan gizi pada jiwa. Dengan kata lain, ketika manusia memiliki relasi yang dangkal dengan Tuhan dan orang lain, apalagi tidak memilikinya, sebanyak apapun hartanya, seberapa pun prestasi dan pencapaian produktivitasnya, jiwanya akan layu, mengerut dan menyusut.
Di sinilah tempat yang subur bagi pelarian-pelarian maupun kecanduan, seperti dengan rokok, alkohol, narkotika, obat-obatan dan zat lainnya. Juga kecanduan seks, judi, pekerjaan, pelayanan, prestasi, materialisme maupun berbagai bentuk gangguan jiwa dari yang ringan hingga yang berat.
Keterikatan ini dengan Tuhan DAN orang lain sekaligus. Bukan dengan Tuhan ATAU orang lain.
Ketika kita mau mengembangkan keterampilan untuk mengikatkan diri dengan orang lain, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan yaitu :
- Menyadari kebutuhan
- Meminta bantuan dan dukungan secara aktif
- Menyadari kerentanan dan bersedia mengambil risiko
- Bersedia menyembuhkan luka lewat proses pemulihan
- Bersedia bergabung dengan kelompok pertumbuhan berlandaskan prinsip kasih karunia
Hosea 6:6a, " Sebab aku menyukai kasih setia, dan bukan korban sembelihan," Kata kasih setia dalam bahasa Ibrani berarti "khesed" yaitu kasih yang memiliki, kasih yang setia. Menekankan kepemilikan bersama dari orang-orang yang terlibat dalam relasi kasih.