Pernikahan Dihancurkan Oleh Perpisahan, Bukan Pertengkaran
Sumber: telaga
Id Topik: 2345
Abstrak:
“Pertengkaran adalah bumbu dalam pernikahan” kalimat ini akan benar jika diakhir pertengkaran terdapat penyelesaian masalah dan masing-masing mengalami pertumbuhan dalam relasi. Namun renggangnya relasi atau bahkan putusnya relasi dengan pasangan akan memicu pertengkaran yang tidak berakhir; bahkan diakhiri dengan perceraian maupun perzinahan. Apa saja penyebabnya?Transkrip:
Oleh Pdt. Dr. Paul Gunadi.Kata kunci: Perpisahan ialah merenggangnya relasi antara suami dan istri, pertengkaran memang ‘penyedap’ pernikahan jika suami-istri belajar sesuatu dari pertengkaran dan bisa menyelesaikannya dengan tuntas, penyebab perpisahan ialah tidak ada kesediaan waktu dari pasangan, pasangan lebih mementingkan orang lain, pasangan tidak mencintai seperti dulu.
TELAGA 2019
Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi di mana pun Anda berada, Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (TEgur Sapa GembaLA KeluarGA). Saya, Gunawan Santoso, dari Lembaga Bina Keluarga Kristen, akan berbincang-bincang dengan Bapak Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling. Perbincangan kami kali ini tentang "Pernikahan Dihancurkan Oleh Perpisahan, Bukan Pertengkaran". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
GS : Pak Paul, rasanya setiap keluarga memang pernah bertengkar. Dalam hubungan suami-istri yang namanya komunikasi 2 pribadi yang memunyai latar belakang yang pasti berbeda, rasanya pertengkaran itu pasti terjadi. Cuma kalau memang sudah selesai maka selesailah pertengkaran itu. Tapi ada beberapa pasangan itu yang akhirnya sampai berujung pada perceraian, Pak Paul, berarti ini serius sekali. Jadi apa yang menyebabkan? Kalau pertengkaran, dikatakan sudah berkali-kali bertengkar tapi masih bisa berdamai kembali. Tapi ada keluarga yang memutuskan bercerai ?
PG : Orang berkata pertengkaran adalah bumbu pernikahan, Pak Gunawan. Memang benar pertengkaran adalah bagian dari pernikahan yang tidak terpisahkan dan memang benar pertengkaran dapat menyedapkan relasi nikah. Namun satu hal yang tak bisa disangkal adalah pertengkaran yang terus-menerus dan tidak terselesaikan berpotensi merusak pernikahan. Namun pada kenyataannya pernikahan tidak selalu dihancurkan oleh pertengkaran. Ada satu faktor lain yang bahkan lebih sering menghancurkan pernikahan yaitu perpisahan. Yang saya maksud dengan perpisahan adalah merenggangnya relasi. Banyak pernikahan rusak akibat putusnya hubungan antara suami-istri dan bukan oleh pertengkaran. Maksud saya, ada orang yang bertengkar tapi masih ada relasi. Yang berbahaya adalah yang hilangnya relasi itu. Jadi menjawab pertanyaan Pak Gunawan tadi, betul. Ada orang bertengkar tapi tidak apa, namun ada orang lain yang tidak sering bertengkar tapi bisa bercerai. Seringkali yang menjadi penyebab adalah perpisahan itu sendiri yaitu merenggangnya relasi atau bahkan putusnya relasi dalam pernikahan. Jadi kita akan mencoba membahas beberapa penyebab retaknya hubungan dalam pernikahan dan apa yang dapat kita lakukan untuk mengatasinya.
GS : Iya. Kalau Pak Paul tadi katakan bahwa pertengkaran itu dapat menyedapkan relasi nikah, saya agak kurang jelas apa yang dimaksudkan bahwa pertengkaran itu bisa, bahkan memang itu pendapat umum, menjadi bumbu dalam pernikahan. Itu ‘kan sesuatu yang positif tapi yang namanya pertengkaran itu selalu berdampak negatif.
PG : Jadi yang kita sebetulnya maksudkan dengan ‘bertengkar adalah bumbu dalam pernikahan yang bisa menyedapkan pernikahan’ dalam pengertian pertengkaran yang dapat membuat kita ini bertumbuh karena kita bisa menyelesaikannya. Jadi kalau pertengkaran itu tidak bisa kita selesaikan, terus mengendap sebetulnya efeknya bukan seperti bumbu tapi lebih seperti racun yang akan nanti merusak pernikahan kita. Jadi yang membuat pertengkaran itu "positif" dalam pernikahan adalah jikalau kita berhasil menyelesaikannya dan dari pertengkaran itu kita belajar, kita bertumbuh.
GS : Iya. Walaupun kita berhasil menyelesaikan tapi kalau itu terjadi berulang-ulang terlalu sering intensitasnya itu juga bisa menjadi racun dalam pernikahan.
PG : Betul. Jadi pertengkaran yang terus-menerus itu pertanda pertengkaran tersebut tidak bisa diselesaikan. Itu berarti kita tidak bertumbuh, tidak belajar dari persoalan yang kita hadapi yang pada akhirnya memang bisa merusak pernikahan itu sendiri.
GS : Iya. Relasi apa yang biasanya merenggang ketika ada pertengkaran, Pak Paul ?
PG : Oke. Jadi kita akan coba bahas beberapa penyebab retaknya relasi atau hubungan dan kita juga mencoba untuk menjawab apa yang bisa kita lakukan untuk mengatasinya. Pertama relasi mulai retak tatkala kita melihat bahwa pasangan tidak lagi menyediakan waktu untuk kita. Semakin hari semakin jarang kita menghabiskan waktu bersama karena pasangan begitu sibuknya dengan tugas pekerjaannya sehingga tidak punya waktu yang tersisa untuk diberikan kepada kita. Walau kita telah meminta dia, "Ayo kita habiskan waktu bersama, atau begini atau kesana yuk" dia tetap sulit berbagi waktu dengan kita. Pada akhirnya hati mulai mendingin. Kendati kita masih merindukannya kita tidak lagi meminta waktu darinya sebab kita tidak mau dikecewakan. Nah, kita pun mulai hidup terpisah. Jadi akhirnya gara-gara kita tidak bisa lagi berbagi waktu bersama, maka tidak bisa tidak mulai hidup kita terbelah. Biasanya memang yang terjadi adalah semakin tinggi posisi kerja dan makin besar tanggungjawab yang diemban makin kita ini bertambah sibuk. Ini adalah kenyataan yang tidak dapat dielakkan. Itu sebabnya penting bagi kita untuk tidak marah-marah kepada pasangan yang sibuk. Dan justru ingin mengkomunikasikan pengertian dan simpati kepadanya bahwa sesungguhnya dia mengerti dan tidak menikmati kesibukan yang begitu tinggi dan bahwa sebenarnya dia ingin lebih banyak waktu di rumah. Jadi kalau kita di pihak yang rasanya tidak diperhatikan lagi, kalau bisa kita jangan langsung marah-marah, tunjukkan dulu pengertian bahwa, "Itu memang bagian dari kerjamu. Kamu makin hari makin dipercaya. Makin banyak tanggung jawab sehingga memang sibuk dan saya mengerti itu". Jadi waktu kita berbicara baik-baik seperti itu, pasangan juga bisa mendengar dengan baik-baik.
GS : Iya. Ada orang yang terlalu sibuk banyak melakukan pekerjaan seringkali mengatakan, "Yang penting itu bukan lamanya bertemu tetapi kualitas dari pertemuan itu sendiri" tapi mengukur kualitas dari pertemuan itu ‘kan sangat sulit, Pak Paul ?
PG : Betul. Memang sudah tentu orang berkata kalau tidak bisa menghabiskan banyak waktu yang penting adalah menghabiskan waktu yang bermutu, yang berkualitas. Tapi masalahnya adalah kita ini seringkali baru bisa mendapatkan waktu yang berkualitas tatkala kita menghabiskan waktu yang lumayan banyak dengan pasangan kita. Karena sekali lagi bagaimana kita mengukur mutu, waktu yang singkat tapi bermutu, itu agak susah juga. Jadi memang kita perlu menghabiskan waktu bersama dengan pasangan kita. Tapi tadi saya sudah singgung, caranya bukannya menuntut, memarah-marahi pasangan, "Mengapa tidak bisa memberi waktu kepada kita?" justru ini komunikasikan pengertian dan simpati kepadanya. Kita mengerti dia letih, kita mengerti dia juga sebetulnya tidak menikmati kesibukan yang seperti itu, kita itu percaya sebenarnya dia itu lebih banyak waktu di rumah. Nah, setelah kita mengkomunikasikan pengertian kepadanya barulah kita memberikan usulan kepadanya untuk memakai waktu yang luang untuk kita. Mungkin waktu luang itu jarang muncul. Tapi jika ada mintalah agar dia memberitahukannya kepada kita supaya kita bisa menghabiskan waktu bersamanya. Singkat kata, pada umumnya yang diharapkan oleh pasangan adalah usaha kita untuk menyisihkan waktu. Dia perlu melihat bahwa kita berupaya menyediakan waktu. Walau tidak sering, upaya seperti ini cukup untuk menyejukkan hati.
GS : Saya rasa memang pertemuan ini harus direncanakan, harus dijadwalkan. Kita harus komitmen dengan apa yang sudah kita sepakati kapan kita mau bertemu. Memang ada kemungkinan itu bisa bubar, bisa tidak terjadi pertemuan itu tetapi setidaknya kita itu punya rencana, Pak Paul. Sehingga mutu itu bisa lebih ditingkatkan dan waktu itu diadakan memang bukan hanya kalau senggang, karena nanti kalau kita yang senggang pasangannya yang tidak atau sebaliknya.
PG : Kita tidak bisa menyangkali kenyataan bahwa kalau kita dihadapkan dengan 2 kepentingan, kerja dan pasangan di rumah atau keluarga. Yang paling gampang kita korbankan adalah keluarga, karena kita tahu keluarga itu terpaksa untuk terima apa pun yang kita katakan sebagai alasannya. Kalau kerja kita korbankan kita tahu resikonya besar, bisa diberhentikan atau apa-apa, kita bisa membuat rekan-rekan atau atasan kita tidak suka dengan kita, maka kita lebih takut mengorbankan kepentingan kerja. Itu sebabnya akhirnya yang menjadi korban adalah keluarga kita yang kita katakan, "Maaf ya, saya tidak bisa, sedang repot", akhirnya keluarga kita sendiri. Ini kalau tidak kita jaga, Pak Gunawan, ini yang menjadi bibit perpisahan dalam rumah tangga, akhirnya pasangan kita merasa semakin hari semakin jauh dari kita karena memang secara fisik saja jarang melihat kita, pulang malam atau misalnya karena sudah kelelahan, saat hari libur tidur seharian. Jadi akhirnya memang jarang ketemu. Secara fisik jarang dilihat, lama-kelamaan ‘jauh di mata jauh di hati’ jadinya.
GS : Makanya Pak Paul, kalau itu tidak dijadwalkan, tidak direncanakan, ada waktu libur pun itu dipakai untuk kepentingannya sendiri misalnya berolahraga atau melakukan hobi yang lain, atau bahkan pelayanan maka keluarga lagi yang dikorbankan.
PG : Saya mengerti. Makin kita ini produktif, makin kita ini bisa, makin kita ini dapat diandalkan, makin kita ini orang yang setia dan baik dalam melayani Tuhan makin banyak tugas. Jadi saya mengerti betapa sulitnya menyeimbangkan dan membagi waktu untuk semua kepentingan ini. Dan kita juga mungkin merasa kelelahan sebetulnya. Maka ada orang yang pada waktu libur dia tahu bahwa pasangannya dan anak-anaknya mengharapkan bisa pergi dengan mereka dan sebagainya, tapi dia ingat satu minggu ini dia tidak pernah rekreasi, tidak pernah berbuat apa-apa untuk dirinya supaya bisa lebih segar lagi. Akhirnya dia berkata, "Aduh saya ini sudah lama tidak olahraga, saya mau olahraga, badan saya tidak enak. Saya mau bersepeda" misalnya maka dia pergi main sepeda dengan teman-temannya, karena dia merasakan itu penting juga buat kesehatan jiwa, dia menyegarkan jiwanya. Tapi bagi istrinya misalnya yang harus kehilangan dia lagi, tidak bisa bersama-sama dengan dia itu menjadi kekecewaan, kepahitan, "Kamu bukannya mau menghabiskan waktu dengan kami di rumah, malah maunya bersepeda dengan teman-teman kamu". Jadi saya mengerti kesibukan ini tidak gampang untuk dihadapi tapi pada akhirnya kita harus menetapkan prioritas mana yang penting dan kalau kita tidak menjaga hubungan ini maka lama-lama akan merenggang dan ini yang nantinya bisa memang memecahkan pernikahan.
GS : Memang itu yang penting, Pak Paul, perkataan yang terakhir itu; yang mana yang kita prioritaskan begitu. Yang kedua apa, Pak Paul ?
PG : Yang kedua, relasi mulai retak tatkala kita melihat pasangan lebih mementingkan orang lain daripada kita. Mungkin kita berpikir bahwa pasangan menuntut untuk diutamakan di atas semua orang. Pada kenyataannya tidaklah demikian. Pada umumnya pasangan hanya mengharapkan agar kita memerlakukannya sama pentingnya seperti kita memerlakukan orang lain. Dia tidak mengharuskan kita menaruh kepentingan kita di atas kepentingan orangtua atau kerabat kita. Dia hanya meminta kita bersikap adil. Setidaknya kita menjaga kepentingannya sama seperti kita menjaga kepentingan orangtua dan kerabatnya. Jadi ini yang mesti kita camkan. Seringkali kita ini merasa, "Aduh pasangan menuntut kita lagi, menuntut kita lagi" seolah-olah dia harus menjadi orang yang paling penting dan sebagainya. Saya kira kebanyakan orang yang mengerti bahwa hidup ini tidak ideal dan tidak bisa kita selalu mengutamakannya seperti apa. Tapi yang penting adalah kita memerlakukan pasangan sama pentingnya dengan yang lain. Saya kira kalau kita bisa memerlihatkan itu saja maka pasangan kebanyakan akan sudah senang.
GS : Tapi sebenarnya pasangan tentu menuntut lebih daripada yang lain-lainnya, Pak Paul, karena mereka sudah sepakat menjadi suami istri. Itu harus ada unsur lebihnya sedikit atau apa begitu.
PG : Betul. Idealnya memang pasangan masih berharap kita memberikan lebih. Namun kalau pun sampai tidak bisa lebih, kalau kita bisa mementingkan dirinya sama seperti kita mementingkan yang lainnya saya kira dia sudah cukup senang. Tapi sudah tentu memang kita mesti berusaha untuk menempatkan dia yang terutama di dalam hidup kita.
GS : Jadi bagaimana selanjutnya ini, Pak Paul ? Kalau kita melihat pasangan kita itu lebih mementingkan keluarganya atau yang lain-lainnya, orang lain misalnya ?
PG : Apabila kita melihat bahwa pasangan mementingkan orang lain di atas kepentingan kita, perlahan tapi pasti relasi akan mulai merenggang. Nah, kita merasa ditinggalkan di belakang sedangkan dia berjalan di depan bersama orang lain yang dipentingkannya. Lama-kelamaan kita marah, kita terluka, kita merasa tidak penting dan berharga di matanya, dan sebagai reaksi kita akhirnya menolak untuk berdekatan dengannya. Hidup tidak bisa tidak mulai terpisah. Jika inilah situasi yang dihadapi penting bagi kita untuk mengajak pasangan berbicara. Paparkan kepadanya situasi demi situasi yang terjadi dimana kepentingan orang lain diutamakan ketimbang kepentingan kita. Setelah selesai bertanyalah kepadanya, "Apakah perbuatanmu itu adil?" Kita tidak perlu marah-marah dan menuntut apa-apa, kita hanya perlu menyodorkan kenyataan supaya dia dapat melihatnya sendiri. Kita hanya perlu berkata seperti ini sewaktu mengakhiri percakapan, "Perbuatanmu membuat saya merasa tertinggal jauh di belakang. Walau saya memanggil-manggilmu, kamu terus jalan dan tidak menoleh ke belakang. Perbuatanmu telah memisahkan kita". Itu saja yang perlu disampaikan kepadanya.
GS : Iya. Tapi kalau kita marah terhadap pasangan kita yang tidak memedulikan kita itu Pak Paul, itu artinya kita tersinggung diperlakukan lebih rendah daripada orang lain di sekitar kita. Kalau kemarahan itu tidak diungkapkan dan kita tidak menyatakan itu kepada pasangan kita mungkin pasangan kita tenang-tenang saja Pak Paul, dan dia tetap berlaku seperti itu.
PG : Saya kira wajar ya kita ini manusia, akhirnya kita tidak selalu bisa sabar dan lembut. Ada waktu-waktu kita akhirnya meledak, kita marah. Dan sudah tentu ada baiknya. Kadang-kadang kita ini kalau tidak mendengar kemarahan pasangan kita biasa saja, merasa tidak apa-apa, tapi gara-gara dia marah, dia menangis, dia terluka kita seolah-olah disadarkan begitu. Jadi sudah tentu itu tidak apa-apa. Nah, yang saya tawarkan adalah jika memungkinkan daripada kita marah-marah kepada dia, kita hanya menyodorkan faktanya, "Ingat tidak sewaktu ini terjadi, apa yang kamu lakukan? Yang kamu lakukan adalah kamu bukannya mengantar saya tapi kamu mengantar adikmu" atau "Bukannya kamu menanyakan saya apa yang saya butuhkan dulu, tetapi kamu menanyakan orangtuamu dulu apa yang mereka perlukan"; kita sebut hal-hal seperti itu dan kita katakan, "Apa yang kamu lakukan membuat saya merasa tertinggal di belakang. Saya panggil-panggil kamu jalan saja di depan dengan saudaramu atau apa. Apakah adil perbuatan seperti itu ?" Jadi kita minta dia tolong jangan sampai meninggalkan kita di belakang, tolong juga perhatikan kepentingan dan kebutuhan kita.
GS : Tapi kalau sampai dia mengatakan dia tertinggal, tentu pasangannya berkata, "Kamu jalan lebih cepat supaya bisa menyesuaikan langkah ini, supaya tidak sampai tertinggal di belakang. Saya tidak bermaksud meninggalkan kamu. Kalau kamu berjalan terlalu lambat juga akan membuat yang lain kasihan, mereka juga membutuhkan perhatian dari kita" begitu.
PG : Iya. Dan mungkin kita bisa berkata, "Saya telah berusaha untuk mengerti kamu ini begini karena memang ada desakan, saya mencoba mengerti makanya ....." kita bisa berkata juga, "Saya juga tidak pernah mengeluhkan hal ini sebelumnya sebab saya mencoba mengerti, saya mencoba pokoknya berjalan beriringan dengan kamu supaya kamu juga merasa saya di pihak kamu, mendukung kamu untuk bisa mementingkan kepentingan orang-orang lain itu. Tapi akhirnya saya itu juga bisa lelah dan ini yang terjadi sewaktu saya lelah, saya akhirnya tertinggal di belakang. Saya minta kamu juga tolong tengok saya, lihat kepentingan saya bukan hanya melihat kepentingan saudaramu atau keluargamu".
GS : Saya rasa itu bukan hanya menyangkut orang pribadi, orangtuanya atau adiknya tapi juga mengenai pekerjaan. Ketika kita lebih memberikan perhatian kepada pekerjaan daripada pasangan kita maka pasangan kita juga akan merasa marah dan tersinggung begitu.
PG : Betul, Pak Gunawan. Kita tidak mau naif ya, kita mengerti tuntutan pekerjaan di masa sekarang ini. Kita tahu semakin tinggi tanggungjawab maka luar biasa, ada orang yang berbicara kepada saya bahwa pekerjaannya sangat menuntut dia dan dia harus mengerjakan dengan sebaik-baiknya sebab kalau dia tidak bisa melakukannya dengan cepat sekali dia akan mudah digantikan karena di belakangnya berderet orang-orang yang siap menggantikannya dan atasannya tahu itu makanya bahkan sebelum dia bekerja dia diperingatkan untuk memberikan performa seperti yang diharapkan. Begitu dia tidak memberikan performa yang mereka tuntut maka langsung dia dicopot dan digantikan oleh orang lain. Jadi inilah memang kenyataan hidup. Misalnya di zaman dulu kita memunyai toko kelontong atau apa, kita bebas, kalau mau tutup ya tutup dan besok buka lagi. Tapi banyak orang sekarang yang tidak lagi hidup seperti itu.
GS : Iya. Relasi yang ketiga yang retak apa, Pak Paul ?
PG : Relasi mulai retak tatkala kita melihat pasangan tidak lagi mencintai kita. Ini memang serius. Mungkin dia masih mencintai kita tapi dia tidak lagi mencintai kita seperti dulu. Kita dapat merasakannya walau ia terus berkata bahwa ia mencintai kita. Banyak hal yang dikerjakannya sebenarnya adalah kewajiban semata. Mungkin ia berpikir bahwa karena ia masih menunaikan tanggung jawabnya maka ia masih mencintai kita. Nah, pada kenyataannya cinta ditunjukkan oleh seberapa mampu dan seringnya kita menikmati pasangan. Memang cinta perlu dibuktikan lewat perbuatan, tapi sebenarnya cinta tidak harus diperlihatkan lewat perbuatan atau pengorbanan. Kadang kita beranggapan bahwa kita mesti melakukan banyak hal untuk mengkomunikasikan cinta kepada pasangan. Tapi sesungguhnya tidaklah demikian. Acap kali tindakan yang sederhana cukup untuk mengkomunikasikan cinta sebab terpenting adalah pasangan dapat melihat bahwa kita senang dan menikmatinya. Cinta yang kalau terhilang biasanya pasangan akan tahu bahwa cinta kita kepadanya memang sudah berkurang atau sudah berubah, karena ini tidak bisa dibohongi. Kita bisa berbuat ini itu, untuk menunjukkan kita mengasihi tapi kalau pasangan melihat kita sebetulnya tidak menikmati dia, dia tahu itu.
GS : Iya. Contohnya apa, Pak Paul, tindakan yang bisa membuat dia tahu bahwa saya mengasihi ?
PG : Nah, memang susah digambarkan tapi ada rasa sukacita kita ini bersama dengannya. Perkataan, "Saya senang bersama denganmu" belum tentu benar-benar menyatakan kita ini senang bersama dengan pasangan. Kalau kita senang bersama dengan seseorang itu akan nampak. Kita tidak perlu berbuat apa-apa, akan tampak dan pasangan akan langsung tahu bahwa kita memang senang bersamanya dan itulah yang mengkomunikasikan cinta. Saya masih ingat sekali bacaan yang saya baca tentang dosen saya sewaktu saya masih sekolah dulu. Dia adalah seorang yang sibuk dan banyak sekali tugas-tugasnya, dan bukan hanya dia mengajar dan konseling hari Senin sampai dengan Jumat, di hari Sabtu-Minggu pun kebanyakan dia akan pergi untuk melayani dan sebagainya. Pernah orang bertanya kepada istrinya, "Bagaimana perasaanmu jarang sekali suamimu di rumah karena begitu sibuknya?" lalu dia berkata begini, "Saya lebih mau tetap menikah dengan suami saya meskipun saya hanya mendapatkan waktu sedikit, daripada saya menikah dengan orang lain dan mendapatkan waktu yang lebih banyak darinya". Saya tahu ini adalah perkataan yang jarang bisa kita ucapkan, sangat-sangat baik sekali. Tapi poinnya adalah ini, bukan saja si istri menghargai suaminya sebagai orang yang berintegritas, sebagai seorang yang melayani Tuhan tapi dia juga dapat merasakan bahwa suaminya itu mengasihi dia. Jadi meskipun waktu yang diberikan tidak terlalu banyak, tapi si istri seolah-olah merasa cukup, "Saya cukup terima dari suami saya, sebab saya tahu dia mencintai saya" si istri dapat merasakannya. Jadi apa yang harus kita lakukan sekarang ialah kita mesti bersikap jujur kepada diri sendiri. Kita mesti melihat diri dan mengakui bahwa cinta mulai pudar. Terpenting adalah kita menyadari sebenarnya adalah apa yang terjadi di antara kita. Mungkin ada hal-hal yang mengganjal yang mesti diutarakan dan diselesaikan. Ingat pasangan bukan malaikat dan dia bisa melakukan kesalahan, jadi penting untuk kita terbuka kepadanya dan mengangkat masalah yang selama ini menjadi ganjalan. Tapi masalahnya terkadang bukan pada pasangan melainkan pada diri sendiri. Kitalah yang mengalami perubahan dan mulai kehilangan cinta. Mungkin dulu kita mencintainya karena dia dapat memenuhi kebutuhan kita. Sekarang kita sudah dapat memenuhi kebutuhan kita. Atau mungkin dulu cinta kita lebih berlandaskan pada ketertarikan fisik, sekarang ketertarikan mulai pudar. Mungkin dulu kita tidak menuntut banyak darinya sebab kita pun masih hidup dalam kesederhanaan, tapi sekarang kita telah mengalami banyak perubahan, kita mengenal banyak orang dan dikenal banyak orang akhirnya kita merasa tidak setara dengan pasangan lagi. Nah, bila inilah yang terjadi kita harus datang kepada Tuhan. Minta kepada-Nya untuk menghadirkan cinta dalam hati kita. Berdoalah supaya Tuhan mencelikkan mata kita, supaya kita dapat melihat pasangan secara lebih jernih. Mungkin ada hal yang luput kita lihat dan hargai. Akui di hadapan pasangan bahwa masalah terletak pada diri kita bukan dirinya. Tapi berjanjilah bahwa kita tidak ingin hidup terpisah darinya dan kita membutuhkan pertolongannya.
GS : Iya. Jadi memang kuncinya itu pada, "Saya masih cinta dengan dia dan dia masih cinta kepada saya" sehingga apapun yang terjadi, kita bisa sepakat untuk memertahankan pernikahan itu. Dan dalam hal ini apa tuntunan firman Tuhan, Pak Paul ?
PG : Saya bacakan dari Mazmur 34:16 & 18, "Mata Tuhan tertuju kepada orang-orang benar, dan telinga-Nya kepada teriak mereka minta tolong; ... Apabila orang-orang benar itu berseru-seru, maka Tuhan mendengar, dan melepaskan mereka dari segala kesesakannya." Bila kita kehilangan kasih datanglah kepada Tuhan karena bukan saja Ia sanggup menyediakan kasih, Ia sendiri adalah kasih. Hati yang dipenuhi oleh Tuhan akan dipenuhi oleh kasih. Jadi mintalah agar Roh Kudus Tuhan diam dan mengisi hati kita.
GS : Baik, Pak Paul, terima kasih. Dan para pendengar sekalian, kami mengucapkan terima kasih telah mengikuti perbincangan kami dengan Bapak Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara TELAGA (TEgur sapa GembaLA KeluarGA). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Pernikahan Dihancurkan Oleh Perpisahan, Bukan Pertengkaran". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini, silakan menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Atau Anda juga dapat menggunakan e-mail ke alamat telaga@telaga.org. Kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan, serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Akhir kata dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa dalam acara TELAGA yang akan datang.
Ringkasan:
dpo. Pdt. Dr. Paul GunadiOrang berkata pertengkaran adalah bumbu pernikahan. Memang benar, pertengkaran adalah bagian dari pernikahan yang tak terpisahkan dan memang benar, pertengkaran dapat menyedapkan relasi nikah. Namun satu hal yang tak bisa disangkal adalah pertengkaran yang terus-menerus dan tak terselesaikan berpotensi merusak pernikahan. Pada kenyataannya pernikahan tidak selalu dihancurkan oleh pertengkaran; ada satu factor lain yang bahkan lebih sering meng- hancurkan pernikahan yaitu PERPISAHAN. Yang saya maksud dengan perpisahan adalah merenggangnya relasi. Banyak pernikahan rusak akibat putusnya hubungan antar suami-istri, dan bukan oleh pertengkaran. Berikut akan dibahas beberapa penyebab retaknya hubungan dan apa yang dapat kita lakukan untuk mengatasinya. Relasi mulai retak tatkala :
- Kita Melihat bahwa Pasangan Tidak lagi Menyediakan Waktu untuk Kita. Makin hari makin jarang kita menghabiskan waktu bersama; pasangan begitu sibuknya dengan tugas pekerjaannya sehingga tidak banyak waktu tersisa untuk diberikan kepada kita. Walau kita telah memintanya, ia tetap sulit berbagi waktu dengan kita. Pada akhirnya hati mulai mendingin; kendati kita masih merindukannya, kita tidak lagi meminta waktu darinya sebab kita tidak mau dikecewakan. Kita pun mulai hidup terpisah. Makin tinggi posisi kerja dan makin besar tanggungjawab yang diemban, makin kita bertambah sibuk. Ini adalah kenyataan yang tidak dapat dielakkan. Itu sebab penting bagi kita untuk tidak marah-marah kepada pasangan yang sibuk. Kita justru ingin mengkomunikasikan pengertian dan simpati kita kepadanya—bahwa sesungguhnya ia pun letih dan tidak menikmati kesibukan yang begitu tinggi dan bahwa sebenarnya ia ingin lebih banyak waktu di rumah. Setelah kita mengkomunikasikan pengertian kepadanya, barulah kita memberikan usulan kepadanya, untuk memakai waktu yang lowong buat kita. Mungkin waklu luang seperti itu jarang muncul tetapi jika ada, mintalah agar ia memberitahukannya kepada kita supaya kita bisa menghabiskan waktu bersamanya. Singkat kata, pada umumnya yang diharapkan oleh pasangan adalah usaha kita untuk menyisihkan waktu; ia perlu melihat bahwa kita berupaya menyediakan waktu. Walau tidak sering, upaya seperti ini cukup untuk menyejukkan hati.
- Kita Melihat Pasangan Lebih Mementingkan Orang Lain Daripada Kita.. Mungkin kita berpikir bahwa pasangan menuntut untuk diutamakan di atas semua orang; pada kenyataannya tidaklah demikian. Pada umumnya pasangan hanya mengharapkan agar kita meerlakukannya sama pentingnya seperti kita memperlakukan orang lain. Ia tidak mengharuskan kita menaruh kepentingan kita di atas kepentingan orangtua atau kerabat kita. Ia hanya meminta kita bersikap adil; setidaknya kita menjaga kepentingannya sama seperti kita menjaga kepentingan orangtua dan kerabatnya. Apabila kita melihat bahwa pasangan mementingkan orang lain di atas kepentingan kita, perlahan tetapi pasti, relasi kita akan mulai merenggang. Kita merasa ditinggalkan di belakang sedang dia berjalan di depan, bersama orang lain yang dipentingkannya. Lama kelamaan kita marah dan terluka. Kita merasa tidak penting dan berharga di matanya; sebagai reaksi kita akhirnya menolak untuk berdekatan dengannya. Hidup kita pun mulai terpisah. Jika inilah situasi yang dihadapi, penting bagi kita untuk mengajak pasangan berbicara. Paparkan kepadanya situasi demi situasi yang terjadi di mana kepentingan orang lain diutamakan ketimbang kepentingan kita. Setelah selesai, bertanyalah kepadanya, "Apakah perbuatannya adil?" Kita tidak perlu marah-marah dan menuntut apa-apa; kita hanya perlu menyodorkan kenyataan supaya ia dapat melihatnya sendiri. Kita hanya perlu berkata seperti ini sewaktu mengakhiri percakapan, "Perbuatanmu membuat saya merasa tertinggal jauh di belakang. Walau saya memanggil-manggilmu, engkau terus jalan dan tidak menoleh kebelakang. Perbuatanmu telah memisahkan kita." Itu saja yang perlu disampaikan kepadanya.
- Kita Melihat Pasangan Tidak Lagi Mencintai Kita. Mungkin ia masih mencintai kita tetapi ia tidak lagi mencintai kita seperti dulu. Kita dapat merasakannya walau ia terus berkata bahwa ia mencintai kita. Banyak hal yang dikerjakannya sebenarnya adalah kewajiban semata. Mungkin ia berpikir bahwa karena ia masih menunaikan tanggungjawabnya maka ia masih mencintai kita. Pada kenyataannya cinta ditunjukkan oleh seberapa mampu dan seringnya kita menikmati pasangan. Memang cinta perlu dibuktikan lewat perbuatan, tetapi sebenarnya cinta tidak harus diperlihatkan lewat pengorbanan. Kadang kita beranggapan bahwa kita mesti melakukan banyak hal untuk mengkomunikasikan cinta kepada pasangan, tetapi sesungguhnya tidaklah demikian. Acapkali tindakan yang sederhana cukup untuk mengomunikasikan cinta sebab terpenting adalah pasangan dapat melihat bahwa kita senang dan menikmatinya. Kita harus bersikap jujur kepada diri sendiri. Kita mesti melihat diri dan mengakui bahwa cinta mulai pudar. Terpenting adalah kita menyadari sebenarnya apa yang terjadi di antara kita. Mungkin ada hal-hal yang mengganjal dalam hati yang mesti diutarakan dan diselesaikan. Ingat, pasangan bukanlah malaikat; ia bisa melakukan kesalahan. Jadi, penting untuk kita terbuka kepadanya dan mengangkat masalah yang selama ini menjadi ganjalan.Tetapi kadang masalahnya bukan pada pasangan melainkan pada diri sendiri. Kitalah yang mengalami perubahan dan mulai kehilangan cinta. Mungkin dulu kita mencintainya karena ia dapat memenuhi kebutuhan kita; sekarang kita sudah dapat memenuhi kebutuhan kita. Mungkin dulu cinta kita lebih berlandaskan pada ketertarikan fisik; sekarang ketertarikan mulai pudar. Mungkin dulu kita tidak menuntut banyak darinya sebab kita pun masih hidup dalam kesederhanaan. Sekarang kita telah mengalami banyak perubahan; kita mengenal banyak orang dan dikenal banyak orang. Akhirnya kita merasa tidak setara dengan pasangan lagi. Bila inilah yang terjadi, kita harus datang kepadaTuhan dan meminta-Nya untuk menghadirkan cinta dalam hati kita. Kita berdoa supayaTuhan mencelikkan mata kita supaya kita dapat melihat pasangan secara lebih jernih; mungkin ada hal yang luput kita lihat dan hargai. Akui di hadapan pasangan bahwa masalahnya terletak pada diri kita bukan dirinya. Tetapi berjanjilah kepadanya bahwa kita tidak ingin hidup terpisah darinya. Kita membutuhkan pertolongannya.