BETA
Pernikahan Dibangun Di Atas Kebaikan, Bukan Kesabaran
Sumber: telaga
Id Topik: 2343

Abstrak:

Salah satu pondasi pernikahan ialah kesabaran, dan kesabaran membutuhkan penerimaan serta pengertian kepada pasangan yang berbeda dengan kita. Tidak cukup hanya bersabar, dibutuhkan pula kebaikan terhadap pasangan agar kita dapat menolongnya untuk berubah lebih positif dengan penuh kasih dan kesabaran.

Transkrip:

Oleh Pdt. Dr. Paul Gunadi.

Kata kunci: Kesabaran adalah fondasi pernikahan, kebaikan membuat pernikahan hidup, ada banyak kebaikan yang dibutuhkan pasangan, beritahukan apa yang tidak diketahui tanpa harus memarahi, seringkali hargai usahanya dengan tulus supaya makin bersemangat belajar hal-hal yang tidak dikuasainya, memahami pasangan yang tidak tahu, tidak bisa dan tidak siap supaya pada saatnya ia siap mengembangkan potensi yang ada dalam dirinya.

TELAGA 2019

Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi di mana pun Anda berada, Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (TEgur Sapa GembaLA KeluarGA). Saya, Gunawan Santoso, dari Lembaga Bina Keluarga Kristen, akan berbincang-bincang dengan Bapak Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling. Perbincangan kami kali ini tentang "Pernikahan Dibangun Di Atas Kebaikan, Bukan Hanya Kesabaran". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

GS : Pak Paul, kesabaran memang sangat dibutuhkan di dalam pernikahan dan kita terus-menerus belajar sabar dalam hidup rumah tangga masing-masing. Tetapi juga ada seringkali kesabaran kita itu bisa disalahgunakan oleh pasangan kita entah itu dengan sengaja atau pun tidak sengaja. Tetapi kesabaran ini dimanfaatkan untuk kepentingan dirinya sendiri begitu, Pak Paul. Sehingga pasangannya ini seolah-olah menjadi pembantu rumah tangga atau menjadi orang yang selalu harus memenuhi keinginan dari pasangannya itu. Jadi bagaimana orang ini harus bisa bersabar terus? Apakah ini cara sabar yang betul ? Bagaimana, Pak Paul ?

PG : Sudah tentu memang kita mesti memunyai kesabaran. Bahkan waktu kita tahu pasangan kita seolah-olah memanfaatkan kita, kita tetap perlu bersabar jadi bersabar itu suatu yang baik. Sudah tentu pada akhirnya kalau kita menyadari bahwa pasangan kita malah memanfaatkan bukan menghargai kesabaran kita, maka itulah waktunya kita mesti mengajak dia berbicara dan berkata kepadanya "Saya ini sudah berusaha bersabar tapi kamu seperti ini. Apakah ini kamu inginkan sebab kalau kamu terus begini saya ini juga akhirnya tidak bisa lagi bersabar", jadi kita mesti mencari jalan keluar yang lain.

GS : Iya. Seringkali kita mengatakan, "Saya sudah berusaha untuk sabar. Saya menjadi orang yang sabar", akhirnya bisa didebat ada pasangan kita yang berkata, "Katanya sabar? Ya sabar terus begitu" dia mengharapkan kita sabar terus mengerti dia terus, tapi dia tidak mau mengerti kita, Pak Paul.

PG : Betul. Maka pada akhirnya kita bisa menyimpulkan bahwa meskipun kesabaran adalah penting, menerima kelemahan pasangan kita dan menerima segala hal yang tidak kita sukai pada pasangan dan kita tahu kesabaran adalah fondasi pernikahan sebab tanpa kesabaran kita terus menuntut lalu akhirnya berkelahi. Tapi ada lagi yang penting dalam pernikahan yang kita mesti juga tegakkan dan sering-sering lakukan yaitu kebaikan, Pak Gunawan. Jadi orang yang hanya menuntut pasangannya bersabar, tapi dia sendiri tidak melakukan kebaikan akhirnya tidak bisa; maka pernikahan itu akhirnya juga akan rusak. Yang saya maksud dengan kebaikan disini adalah melakukan perbuatan yang positif dan yang diperlukan untuk melengkapi kelemahan pasangan. Sebab tanpa kebaikan pernikahan akan terus berada pada tahap bertahan hidup; terus menerima kelemahan pasangan. Itu sebab yang membuat pernikahan hidup kita harus berbuat lebih dari sekadar bersabar dan menerima kelemahan pasangan. Kita juga harus berbuat baik kepada pasangan dan mengulurkan tangan untuk menolongnya dan melakukan hal-hal yang positif atau yang baik dalam pernikahan ini.

GS : Nah, kesabaran itu juga bentuk kebaikan seseorang, Pak Paul?

PG : Betul. Jadi kesabaran mesti ada dalam pernikahan. Dengan adanya kesabaran kita itu membangun sebuah relasi yang diisi dengan penerimaan. Kita itu meskipun ada harapan dan tuntutan tetapi kita mau kedepankan penerimaan. Apapun kelemahan pasangan kita terima. Itu bentuk dari kesabaran.

GS : Iya. Tetapi yang namanya baik itu juga sesuatu hal yang relatif begitu ? Kadang-kadang kita menganggap itu baik tetapi belum tentu pasangan kita menganggap itu baik, Pak Paul.

PG : Betul. Sudah tentu kita memang di dalam pernikahan harus sering-sering berkomunikasi sehingga kita tahu apa yang sebenarnya yang diharapkan pasangan kita. Sebab kalau kita berbuat kebaikan yang tidak sesuai dengan apa yang diharapkan pasangan kita maka kebaikan itu akan tidak dilihatnya atau tidak dihargainya. Jadi kita memang mesti tepat sasaran sewaktu kita berbuat kebaikan. Sehingga kita tahu bahwa kebaikan kita ini akan menyentuh hati pasangan kita; akan juga mengisi kebutuhannya.

GS : Sebenarnya apakah kebaikan yang dibutuhkan oleh pasangan itu, Pak Paul?

PG : Ada banyak kebaikan yang biasanya dibutuhkan oleh pasangan, untuk memudahkan saya akan memasukkan semuanya ke dalam 3 golongan. Yang pertama tidak tahu, yang kedua tidak bisa dan yang ketiga tidak siap. Coba kita lihat kategori yang pertama yaitu tidak tahu. Ada orang yang tahu banyak melalui apa yang dibacanya atau didengarnya, dia memeroleh banyak pengetahuan. Biasanya orang ini memunyai minat yang luas, dia senantiasa ingin mencari tahu karena pengetahuan membuatnya bergairah. Sebaliknya ada orang yang tahu sedikit. Pada umumnya orang ini memunyai minat yang terbatas, itu sebab dorongan untuk mencari tahunya lemah. Ia puas dengan apa yang diketahuinya dan tidak memunyai kebutuhan untuk menambahkannya. Nah, orang ini cenderung memandang hidup secara sederhana dan berusaha menghindar dari kerumitan, ia tidak suka berwacana, ia dapat memilih untuk mengerjakan apa saja secara praktis. Dalam pernikahan perbedaan ini berpotensi menimbulkan masalah. Orang yang tahu banyak membutuhkan sesama orang yang tahu banyak untuk berdialog. Jika ia berpasangan dengan orang yang tidak tahu banyak dan berpikir secara sederhana dan praktis, tidak bisa tidak percakapan menjadi terbatas. Banyak hal yang ada di benaknya tidak bisa dibagikan oleh dia, karena dia tahu pasangannya tidak berminat untuk mendengarkannya. Kalaupun berminat belum tentu ia dapat memahaminya. Kebaikan ditunjukkan sewaktu kita bukan saja bersabar melihat dan menerima kelemahan pasangan, tapi juga berusaha memberitahukan apa yang tidak diketahuinya, tanpa harus memarahinya. Ini tidak mudah. Kecenderungan kita adalah pada awalnya kita bersabar tapi lama-kelamaan kita kehilangan kesabaran. Bukan saja kita tidak berminat berbicara dengannya karena kita tahu tidak akan ‘nyambung’, kita pun enggan untuk memberitahukan apa yang perlu diketahuinya. Kita lelah.

GS : Pak Paul, apa yang menyebabkan hal itu? Apakah perbedaan pendidikan yang terlalu jauh misalkan, yang satu mungkin sarjana tapi pasangannya SD ? Atau perbedaan sosial lainnya, Pak Paul?

PG : Semuanya itu betul, Pak Gunawan. Jadi pada umumnya kalau ada perbedaan pendidikan yang cukup jauh biasanya ini akan ada masalah dalam hal yang kita ketahui ini. Yang berpendidikan lebih tinggi biasanya memiliki pengetahuan yang lebih banyak dan ingin mengetahui lebih banyak. Yang tidak berpendidikan tinggi, tidak tahu banyak dan tidak mau mencari dan menambah pengetahuannya. Bisa juga ini disebabkan oleh latar belakang sosial. Ada orang-orang yang berlatar belakang sosial menengah ke atas sehingga sejak kecil dia itu sudah diberikan kesempatan untuk memiliki buku dan sebagainya sehingga minatnya untuk mengetahui itu ada. Sedangkan ada orang-orang yang sejak kecil diharuskan untuk bekerja sehingga tidak berkesempatan untuk mencari ilmu, membaca buku dan sebagainya; sehingga yang dia lebih sering lakukan adalah dia bekerja. Memang hal-hal ini nantinya bisa membawa perbedaan dan berpotensi sekali menimbulkan konflik.

GS : Iya. Tapi juga masalah ini Pak Paul, kemalasan. Yang satu malas untuk mengembangkan dirinya dan yang satu rajin untuk cari tahu ini dan itu. Itu suatu usaha yang harus dilakukan. Kalau dia malas ini akan sulit ?

PG : Betul. Ada orang yang memang sebetulnya memiliki kesempatan untuk berbuat banyak tapi memang ada kemalasan, Pak Gunawan, sehingga dia sudah puas dengan apa yang dia ketahui, dia tidak mau tahu lagi. Lalu dia menikah dengan pasangan yang tahu banyak dan ingin terus menambah pengetahuannya. Maka tidak bisa tidak akan menimbulkan konflik. Idealnya memang pasangan menyadari kelemahannya dan berusaha memerbaiki diri dengan cara menambah pengetahuan. Sudah tentu adalah baik bila ini dapat dilakukannya. Masalahnya besar kemungkinan ini tidak dilakukannya. Pada akhirnya kita mesti bersabar menerima dirinya apa adanya dan berusaha memberitahukan apa yang perlu diketahuinya. Bila kita berhasil melakukannya, pasangan akan menghargai perbuatan kita dan melihatnya sebagai kebaikan. Pada waktu itulah, pada saat ia melihat dan menerima kebaikan kita, ia akan lebih termotivasi untuk menambah kekurangannya. Jadi justru sikap menerima dan memberikan contoh itu lebih berperan dalam memotivasi pasangan yang kurang tahu banyak untuk menambah pengetahuannya. Sebaliknya omelan, tuntutan itu makin menyurutkan motivasinya untuk menambah pengetahuannya.

GS : Iya. Tapi untuk bersabar kembali ke awal lagi. Tadi awalnya kita memang sudah bersabar, ditunggu dan ternyata ini tidak berhasil. Kembali ke sabar lagi ?

PG : Betul. Jadi penting sekali kita kedepankan kesabaran ini, namun karena kita juga berharap pasangan kita tahu lebih banyak sehingga kita bisa memunyai percakapan yang juga bisa ‘nyambung’ maka kita bisa mendorongnya. Tapi memang dasarnya adalah menerima dia apa adanya dulu, baru setelah itu kita boleh munculkan hal-hal yang kita ketahui, ajak dia berbincang dan dia memang kadang-kadang kita beritahukan hal-hal yang tidak diketahuinya supaya dia tahu. Mudah-mudahan dengan cara itu dia lebih termotivasi untuk tahu. Tapi tetap saya mau tekankan, Pak Gunawan, pada akhirnya kebanyakan memang tidak akan sama; kalau memang awalnya tidak sama biasanya memang walaupun ditambah atau diperbaiki tetap memang tidak akan sama 100%. Tapi setidaknya yang kita harapkan adalah dia ada perbaikan, penambahan ilmu atau pengetahuan sehingga percakapan itu bisa lebih ‘nyambung’.

GS : Iya. Yang kedua apa, Pak Paul ?

PG : Yang kedua adalah kategori tidak bisa. Kalau yang pertama tidak tahu, yang kedua ini tidak bisa. Ada orang yang bisa banyak, dia bisa bekerja dan berpenghasilan yang memadai, dia bisa mengurus rumah, membersihkan, merawat rumah dari menyapu sampai membetulkan atap yang bocor, dia pun pandai memasak dan membeli keperluan rumah secara bijak dan ekonomis dan dalam hal mengasuh anak dia memunyai talenta alamiah, dia pandai menggendong dan memandikan anak sewaktu bayi dan dia dapat menidurkan anak dengan mudah. Sebaliknya ada orang yang tidak bisa banyak, kurang bisa bekerja dan menghasilkan uang, kurang bisa mengurus rumah, dia tidak dapat membersihkan dan merawat rumah secara seksama, dia juga kurang mahir memasak dan tidak ekonomis dalam membeli keperluan rumah tangga, dalam hal mengasuh anak dia pun tidak alamiah, dia mesti belajar menggendong dan memandikan anak, dia pun sulit duduk lama untuk mengajar anak. Singkat kata, kebisaannya terbatas. Nah, dalam pernikahan perbedaan ini biasanya memunculkan masalah. Yang bisa banyak akhirnya merasa lelah mengerjakan hampir semua tugas rumah tangga. Sebaliknya yang tidak bisa banyak merasa tertekan, karena merasa hal ini diharuskan untuk melakukan tugas-tugas yang tidak dikuasainya. Belum lagi dia pun akan merasa minder karena mesti bergantung kepada pasangannya dalam banyak hal. Tuntutan dan ketidakpuasan mulai dilontarkan. Pertengkaran pun tidak dihindarkan.

GS : Iya. Pak Paul, mengenai ketrampilan-ketrampilan ini memang harus dilatihkan sejak masih muda sekali. Orang yang tidak terbiasa melakukan pekerjaan rumah tangga memang akan sulit melakukan itu. Jadi kalau kita paksakan pun dia akan sangat tertekan; memang seperti itu. Tapi masalahnya apakah kita harus mengambil alih apa yang dia kerjakan itu ?

PG : Nah, sudah tentu akan ada hal-hal yang akhirnya "Sudahlah kita ambil alih" karena memang kita coba latih pasangan kita, tapi tetap saja tidak bisa atau memang terbatas, jadi akhirnya kita ambil alih. Tapi memang sebaiknya harus atau mesti ada pembagian tugas dalam rumah tangga ini. Kalau semua ditangani oleh satu orang maka tidak seimbang dan biasanya nanti yang menangani semua itu akan terlalu lelah, frustrasi dan akhirnya ribut dan marah. Jadi memang betul sekali ada orang-orang yang lebih terlatih, lebih bisa banyak karena kehidupannya dulu itu memaksa dia untuk belajar banyak hal. Sedangkan ada anak-anak yang tidak harus melakukan banyak hal karena semua sudah ditangani oleh orang lain. Jadi ketika masuk ke rumah tangga akan lebih banyak ketidakbisaannya. Jadi yang diperlukan disini adalah kita mesti menolong, mengajarkan, kita yang tahu atau yang bisa banyak mengajarkan apa yang tidak dapat dikerjakan pasangan tanpa mengeluh, kita tidak menuntut apalagi menyalahkannya. Sebaliknya kita berkata bahwa kita mengerti dia tidak bisa. Dan bagi kita terpenting adalah masing-masing melakukan apa yang bisa dilakukan. Mungkin kita bisa menunjuk pada beberapa hal yang dapat dikerjakan pasangan dengan baik, pujilah dan hargailah lalu katakan bahwa buat kita itu cukup. Nah, kebaikan seperti inilah yang akan memerkuat relasi; pasangan makin menghargai kebaikan kita dan makin termotivasi melakukan apa yang bisa dilakukannya dan makin sering dan tulus kita menghargai usahanya makin bersemangat dia untuk belajar melakukan hal-hal yang dikuasainya, bukan karena terpaksa tapi karena berterima kasih kepada kita karena telah baik kepada dia.

GS : Iya. Kemampuan seseorang, kebisaan seseorang itu memang berbeda-beda, Pak Paul. Ada seseorang yang memang mahir mengerjakan sesuatu, tetapi di bidang lain dia tidak mampu sehingga ada banyak misalnya wanita-wanita karier yang mengerjakan pekerjaan-pekerjaan di luar rumah itu sangat terampil sekali, sangat baik sekali. Tetapi pekerjaan rumah dia tidak bisa dikerjakan dengan baik dan itu diakuinya. Lalu bagaimana dengan pasangannya?

PG : Selama pasangannya bisa melihat bahwa memang dia tidak bisa mengurus rumah atau masak misalnya, tapi ya sudah sebab dia juga bisa mengurus anak-anak dengan baik, dia mau tahu apa yang terjadi pada anak-anaknya maka tidak bisa tidak, si suami akan melihat, "Oke istri saya memang tidak bisa dalam hal ini, tapi bisa dalam hal itu". Jadi memang mesti ada keseimbangan itu, Pak Gunawan. Kalau seseorang itu tidak bisa semuanya maka rumah tangga itu akhirnya oleng. Jadi perlu memang ada keseimbangan. Saya sudah melihat pasangan nikah yang sudah tua, lanjut usia dan si istri dengan terbuka tanpa merasa apa-apa berkata, "Saya ini tidak bisa memasak dan sejak awal yang memasak adalah suami saya" tapi memang di rumah yang mengurus anak-anak adalah si istri. Istri itu yang paling tahu kondisi anak-anaknya sebab suaminya akan sibuk di luar dan bekerja. Namun yang jatah masak misalkan di pagi hari, dia siapkan untuk makan siang juga malam hari ketika dia pulang dia akan masak lagi. Tapi selebihnya yang mengerjakan adalah si istri. Jadi dalam kasus seperti itu ada timbal balik dan adanya keseimbangan biasanya pernikahan itu akan berjalan kuat. Tapi yang penting saya mau tekankan sekali lagi; yang bisa jangan terlalu sering menuntut apalagi merendahkan yang tidak bisa. Karena itu makin menyurutkan niatnya untuk belajar, untuk bisa. Justru dorong, hargai yang dia bisa, uji hal-hal yang dia bisa lakukan maka ini akan makin menguatkan motivasinya untuk kalau bisa menambahkan kebisaannya itu.

GS : Kategori yang ketiga apa, Pak Paul?

PG : Kategori ketiga adalah tidak siap. Ada kalanya pasangan tidak mau melakukan sesuatu bukan karena ia tidak mau tetapi karena dia tidak siap. Misalkan berkali-kali kita mendorong pasangan untuk memulai usaha sendiri. Dia tidak mau, dengan memberi berbagai alasan. Atau kita terus meminta pasangan untuk terlibat dalam pelayanan tetapi dia tidak mau. Seringkali alasan sesungguhnya adalah tidak siap dalam pengertian tidak siap memikul tanggung jawab dan konsekuensi serta resiko yang terkait dalam tugas itu. Nah, kebaikan diperlihatkan sewaktu kita memunculkan pengertian akan ketidaksiapannya memikul tanggungjawab dan resiko. Akui bahwa konsekuensi dari resiko yang ditakutinya memang ada setelah itu katakan bahwa kita percaya bahwa pada saatnya sewaktu ia siap ia pasti akan melakukannya. Katakan bahwa kita mengusulkan semua itu sebab kita melihat potensi yang ada pada dirinya dan bahwa kita pasti akan mendampinginya atau siap membantunya. Nah, inilah kebaikan yang akan mendorongnya untuk mencoba sehingga akhirnya dari tidak siap lama-lama dia menjadi siap.

GS : Memang ketidaksiapan seseorang itu dipengaruhi oleh banyak faktor, Pak Paul. Mungkin karena pada waktu itu anak-anaknya masih kecil-kecil sehingga dia tidak bisa membagi waktunya untuk melakukan sesuatu yang baru dengan tetap merawat anak-anak ini dengan baik. Atau misalnya modalnya masih belum cukup. Jadi kita mesti cari waktu yang tepat untuk mengusulkan supaya dia melakukan sesuatu yang baru.

PG : Betul. Jadi kita memang boleh mengusulkan ide supaya pasangan kita berbuat ini atau itu. Tapi kita juga mesti mengenal dan mengetahui dengan jelas kesiapan pasangan kita. Sebagai contoh tadi saya berikan kasus ada yang meminta pasangannya untuk melayani tapi dia tidak siap untuk terlibat dalam pelayanan. Kenapa? Misalnya waktu dia kecil dia melihat orangtuanya terlalu repot dalam pelayanan dan dia merasa dikorbankan karena kepentingan pelayanan orang tuanya. Akhirnya setelah besar dia itu seolah-olah bertekad tidak mau mengulang kesalahan orangtuanya maka dia menolak untuk terlibat dalam pelayanan. Bukannya dia tidak mencintai Tuhan, bukannya dia tidak mau hidup untuk Tuhan tapi dia takut dia nanti melalaikan tanggungjawabnya sebagai orangtua akhirnya dia tidak mau. Kalau pasangannya tidak mau mengerti, memarahi dia, menuduh dia kurang rohani, menuduh dia mementingkan diri sendiri, menuduh dia tidak mementingkan Tuhan dan sebagainya akhirnya mereka ribut besar. Jadi kebaikan ditunjukkan sewaktu kita ini mengerti, "Kamu itu tidak siap karena memang ada sejarahnya atau latar belakangnya". Sama dengan ada misalkan istri menuntut suami untuk berusaha sendiri, "Kamu ini sudah lama bekerja dengan orang. Jangan ikut orang terus, kalau bisa buka usaha sendiri" tapi suami tidak siap. Kenapa ? Bisa jadi karena dia itu dulu pernah mengalami kebangkrutan. Orangtuanya usaha sendiri akhirnya bangkrut, anak-anak menderita. Dia takut sekali kalau sampai nanti ada apa-apa malah bangkrut, anak-anak menderita dan dia tidak bisa hidup dengan rasa bersalah seperti itu. Jadi kebaikan ditunjukkan sewaktu si istri berkata kepada si suami, "Saya mengerti kamu takut. Bukan karena apa-apa tapi karena kamu bertanggung jawab. Kamu tidak mau nanti ada apa-apa dengan istri dan anak-anakmu. Saya hargai itu." Mungkin setelah diberi penghargaan seperti itu nanti perlahan-lahan kalau ada kesempatan mulai dari hal yang kecil dia bisa berusaha sendiri sampai akhirnya dia siap.

GS : Itu ‘kan perlu keterbukaan, Pak Paul. Kalau dia tidak mau itu alasannya apa, "Belum siap"; tadi alasannya seperti itu. Tapi memang ada beberapa orang yang bukan belum siap tapi memang tidak mau. Ini bagaimana menghadapinya kalau memang dia tidak mau ?

PG : Memang batas antara tidak mau dan tidak siap itu tipis, benar Pak Gunawan. Seringkali yang tidak siap itu akhirnya tidak mau dan yang tidak mau akhirnya itu tidak siap. Jadi memang kita mesti ketahui alasannya apa dia tidak mau. Seringkali sewaktu kita dengar alasannya maka kita akan mengetahui bahwa sesungguhnya itu ujung-ujungnya adalah tidak siap. Biasanya tidak siap akan tanggung jawab dan konsekuensi atau resikonya kalau sampai ada apa-apa. Jadi kebanyakan orang itu tidak mau atau tidak siap karena takut akan konsekuensinya itu.

GS : Dan konsekuensinya itu bukan hanya ditanggung oleh dia sendiri tapi bisa-bisa kita harus ikut menanggungnya.

PG : Betul.

GS : Jadi seperti yang Pak Paul katakan, "Saya melihat potensimu nanti saya akan bantu" nanti dia akan pegang terus perkataan itu. Kalau sampai kita tidak membantunya kita malah menjatuhkan dia.

PG : Betul, betul. Jadi kalau kita berkata kita mau dampingi, kita bantu maka kita harus pegang janji kita dan memang kalau kita ingin mendampingi, membantunya mungkin sekali itu mendorongnya lebih siap melakukan apapun yang harus dilakukannya itu.

GS : Iya. Dan kita harus bisa melihat ini sesuatu yang urgent bagi pertumbuhan keluarga atau tidak, Pak Paul. Jika tidak kita tidak perlu paksakan.

PG : Betul, betul. Jadi tidak selalu apa yang dilakukan oleh orang lain atau keluarga lain harus kita lakukan juga. Tidak harus.

GS : Walaupun kita melihat ada potensi itu sebenarnya dia bisa melakukan itu. Tapi memang kalau dia sudah tidak mau kalau kita paksakan itu akan menjadi beban buat dia, jadi masalah baru di tengah-tengah keluarga kita.

PG : Betul, betul sekali.

GS : Iya. Pak Paul untuk mengakhiri perbincangan ini apakah ada ayat firman Tuhan yang ingin Pak Paul sampaikan ?

PG : Amsal 22:9 berkata "Orang yang baik hati akan diberkati, karena ia membagi rezekinya dengan si miskin". Seperti orang miskin yang tidak punya apa-apa begitu pulalah orang yang tidak tahu, tidak bisa dan tidak siap. Nah, kita yang tahu, kita yang bisa dan kita yang siap akan diberkati bila kita berbagi kebaikan dengannya. Kalau kita berbagi tuntutan dan menekan justru tidak akan bisa, tapi kalau kita berbagi kebaikan dengannya kita akan diberkati dan rumah tangga kita pun akan diberkati.

GS : Memang pertumbuhan di dalam pernikahan ini dibutuhkan sinergi atau kerjasama yang sangat baik antara pasangan suami-istri itu sendiri dan terutama Tuhan itu, Pak Paul.

PG : Betul.

GS : Terima kasih, Pak Paul untuk perbincangan ini. Dan para pendengar sekalian, kami mengucapkan terima kasih telah mengikuti perbincangan kami dengan Bapak Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara TELAGA (TEgur sapa GembaLA KeluarGA). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Pernikahan Dibangun Di Atas Kebaikan, Bukan Hanya Kesabaran". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini, silakan menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Atau Anda juga dapat menggunakan e-mail ke alamat telaga@telaga.org. Kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan, serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Akhir kata dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa dalam acara TELAGA yang akan datang.


Ringkasan:

dpo. Pdt. Dr. Paul Gunadi

Kita mesti memunyai kesabaran di dalam segala hal, termasuk di dalam pernikahan. Kesabaran berarti menerima kelemahan—dan segala hal yang tidak kita sukai pada pasangan. Kesabaran adalah fondasi pernikahan; tanpa kesabaran, kita terus menuntut dan akhirnya berkelahi. Itu sebab penting bagi kita untuk belajar menerima pasangan apa adanya dan berdoa serta menanti perubahan yang diharapkan. Selain dari kesabaran, ada satu lagi yang penting yaitu kebaikan .Kita mesti memunyai kebaikan di dalam segala hal, termasuk di dalam pernikahan. Kebaikan berarti melakukan perbuatan yang positif dan yang diperlukan untuk melengkapi kelemahan pasangan. Tanpa kebaikan, pernikahan akan terus berada di tahap bertahan hidup—terus menerima kelemahan pasangan. Untuk membuat pernikahan hidup, kita harus berbuat lebih dari sekadar bersabar dan menerima kelemahan pasangan. Kita pun mesti berbuat baik kepada pasangan, mengulurkan tangan untuk menolongnya. Ada banyak kebaikan yang biasanya dibutuhkan oleh pasangan; untuk memudahkan, saya akan memasukkan semuanya kedalam tiga golongan: (a) tidak tahu, (b) tidak bisa dan (c) tidak siap.

  1. Tidak tahu..Ada orang yang tahu banyak. Melalui apa yang terus dibaca dan didengarnya, ia memeroleh banyak pengetahuan. Biasanya orang ini memunyai minat yang luas; ia senantiasa ingin mencari tahu karena pengetahuan membuatnya bergairah. Sebaliknya, ada orang yang tahu sedikit. Pada umumnya orang ini memunyai minat yang terbatas; itu sebab dorongan untuk mencari tahunya lemah. Ia puas dengan apa yang diketahuinya dan tidak memunyai kebutuhan untuk menambahkannya. Orang ini cenderung memandang hidup secara sederhana dan berusaha menghindar dari kerumitan.Ia tidak suka berwacana; ia lebih memilih untuk mengerjakan apa saja secara praktis. Di dalam pernikahan, perbedaan ini berpotensi menimbulkan masalah. Orang yang tahu banyak membutuhkan sesama orang yang tahu banyak untuk berdialog.Jika ia berpasangan dengan orang yang tidak tahu banyak dan berpikir secara sederhana dan praktis, tidak bisa tidak, percakapan menjadi terbatasi. Banyak hal yang ada di benaknya tidak bisa dibagikannya, karena ia tahu pasangannya tidak berminat untuk mendengarkannya. Kalau pun berminat, belum tentu ia dapat memahaminya. Kebaikan ditunjukkan sewaktu kita, bukan saja bersabar melihat dan menerima kelemahan pasangan, tetapi juga berusaha memberitahukan apa yang tidak diketahuinya, tanpa harus memarahinya. Ini tidak mudah. Kecenderungan kita, pada awalnya kita bersabar tetapi lama kelamaan kita kehilangan kesabaran. Bukan saja kita tidak berminat berbicara dengannya—karena kita tahu tidak akan nyambung—kita pun enggan untuk memberitahukan apa yang perlu diketahuinya. Kita lelah. Idealnya pasangan menyadari kelemahannya dan berusaha memerbaiki diri dengan cara menambah pengetahuan. Sudah tentu adalah baik bila ini dapat dilakukannya; masalahnya, besar kemungkinan ini tidak dilakukannya. Pada akhirnya kita mesti bersabar menerima dirinya apa adanya dan berusaha memberitahukan apa yang perlu diketahuinya. Bila kita berhasil melakukannya, pasangan akan menghargai perbuatan kita dan melihatnya sebagai kebaikan. Pada waktu itulah—pada saat ia melihat dan menerima kebaikan kita—ia akan lebih termotivasi untuk menambal kekurangannya.
  2. Tidak bisa. Ada orang yang bisa banyak. Ia bisa bekerja dan membawa penghasilan yang memadai. Ia bisa mengurus rumah—membersihkan dan merawat rumah—dari menyapu sampai membetulkan atap yang bocor. Ia pun pandai memasak dan membeli keperluan rumah secara bijak dan ekonomis. Dalam hal mengasuh anak, ia memunyai talenta alamiah. Ia pandai menggendong dan memandikan anak sewaktu bayi, dan ia pun dapat menidurkan anak dengan mudah. Sebaliknya, ada orang yang tidak bisa banyak. Ia kurang bisa bekerja dan menghasilkan uang, Ia kurang bisa mengurus rumah; ia tidak dapat membersihkan dan merawat rumah secara saksama. Ia juga kurang mahir memasak dan tidak ekonomis dalam membeli keperluan rumahtangga. Dalam hal mengasuh anak, iapun tidak alamiah. Ia mesti belajar menggendong dan memandikan anak, dan ia pun sulit duduk lama mengajarkan anak. Singkat kata, kebisaannya terbatas. Dalam pernikahan, perbedaan ini biasanya memunculkan masalah; yang bisa banyak akhirnya merasa lelah mengerjakan hampir semua tugas rumah tangga. Sebaliknya, yang tidak bisa banyak merasa tertekan karena merasa diharuskan melakukan tugas-tugas yang tidak dikuasainya. Belum lagi ia pun acap merasa minder karena mesti bergantung pada pasangannya dalam banyak hal. Tuntutan dan ketidakpuasan mulai dilontarkan; pertengkaran pun tak terhindarkan. Kebaikan diperlihatkan sewaktu kita, yang bisa banyak, mengerjakan apa yang tidak dapat dikerjakan pasangan, tanpa mengeluh. Kita tidak menuntut apalagi menyalahkannya; sebaliknya, kita berkata bahwa kita mengerti ia tidak bisa. Dan, bagi kita terpenting adalah masing-masing melakukan apa yang bisa dilakukan. Mungkin kita bisa menunjuk pada beberapa hal yang dapat dikerjakan pasangan dengan baik. Pujilah dan hargailah. Katakanlah bahwa buat kita, itu cukup. Nah, kebaikan seperti inilah yang akan memperkuat relasi. Pasangan makin menghargai kebaikan kita dan makin termotivasi melakukan apa yang bisa dilakukannya. Dan, makin sering dan tulus kita menghargai usahanya, makin bersemangat ia untuk belajar melakukan hal-hal yang kurang dikuasainya. Bukan karena terpaksa, tetapi karena berterimakasih kepada kita, yang telah baik kepadanya.
  3. Tidak siap. Adakalanya pasangan tidak mau melakukan sesuatu bukan karena ia tidak mau tetapi karena ia tidak siap. Misalkan, berkali-kali kita mendorong pasangan untuk memulai usaha sendiri. Ia tidak mau, dengan memberi pelbagai alasan. Atau, kita terus meminta pasangan untuk terlibat dalam pelayanan, tetapi ia tidak mau. Sering kali alasan sesungguhnya adalah karena tidak siap, dalam pengertian, tidak siap memikul tanggungjawab dan konsekuensi serta risiko yang terkait. Kebaikan diperlihatkan sewaktu kita menunjukkan pengertian akan ketidaksiapannya memikul tanggungjawab dan risiko. Akui bahwa konsekuensi dan risiko yang ditakutinya memang ada; setelah itu katakan bahwa kita percaya bahwa pada saatnya—sewaktu ia siap—ia pasti akan melakukannya. Katakan bahwa kita mengusulkan semua itu sebab kita melihat potensi yang ada pada dirinya dan bahwa kita pasti akan mendampinginya, serta siap membantunya. Inilah kebaikan yang akan mendorongnya untuk mencoba.
Amsal 22:9 berkata, "Orang yang baik hati akan diberkati, karena ia membagi rezekinya dengan si miskin."Seperti orang miskin yang tidak punya apa-apa, begitu pulalah orang yang tidak tahu, tidak bisa dan tidak siap. Kita yang tahu, bisa dan siap akan diberkati bila kita berbagi kebaikan dengannya.

Questions: