BETA
Mengembangkan Belas Kasihan Pada Anak
Sumber: telaga
Id Topik: 2339

Abstrak:

Setiap orangtua menginginkan agar anak memiliki empati dan belas kasihan terhadap orang lain. Namun ada anak yang dari kecilnya kurang peka untuk berbelas kasihan. Sehingga menambahkan dosis kasih dan kelembutan, serta pendisiplinan yang tidak agresif menjadi salah satu jalan keluar.

Transkrip:

oleh Pdt. Dr. Paul Gunadi.

Kata kunci: Tiap anak unik, bedakan hal yang bersifat psikologis dan rohani, tambahkan dosis kasih dan kelembutan, cegah sebelum menyakiti orang lain, peringatan sebelum menghukum, ajarkan belas kasihan lewat bacaan, film atau kehidupan sehari-hari

TELAGA 2019

Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi di mana pun Anda berada, Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (TEgur Sapa GembaLA KeluarGA). Saya, Gunawan Santoso, dari Lembaga Bina Keluarga Kristen, akan berbincang-bincang dengan Bapak Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling. Perbincangan kami kali ini tentang "Mengembangkan Belas Kasihan Pada Anak". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

GS : Kita tentu ingin punya anak yang memunyai hati yang pemurah, yang berbelas kasihan kepada orang lain maupun kepada makhluk-makhluk yang ada di sekitarnya, Pak Paul. Tetapi apakah tanda-tanda bahwa anak ini punya hati yang murah dan berbelas kasihan itu bisa kita amati sejak kecil, Pak Paul ?

PG : Memang tidak bisa dari kecil sekali. Biasanya dari mulai sekitar 3-4 tahun kita bisa melihatnya, Pak Gunawan. Jadi ada anak-anak yang memang bisa dengan lumayan gampang menyakiti adiknya atau kakaknya dan bukannya dia itu kasihan malahan dia bisa tertawa-tertawa, senang-senang saja begitu. Nah, anak-anak seperti inilah yang mesti kita perhatikan sebab kita tidak mau dia bertumbuh besar dengan rasa belas kasihan yang minim. Ini bisa sangat mengganggu relasinya dengan sesama.

GS : Tetapi ada anak yang memang memiliki kelainan jiwa, Pak Paul, yang sejak kecil memang suka menyiksa binatang atau orang lain, menggigit mamanya, bukankah memang ada ?

PG : Ada, Pak Gunawan. Maka ada hal-hal yang bisa kita lakukan supaya problem ini bisa dikurangi setidak-tidaknya atau bahkan dihilangkan sejak anak itu masih kecil. Tapi sekali lagi ini harus dimulai tatkala anak masih kecil. Kalau anak misalnya sudah remaja barulah kita mau coba untuk hilangkan kebiasaan yang buruk ini, hampir tidak bisa lagi. Tapi kalau dari kecil kita amati anak kita memiliki rasa belas kasihan yang tipis sekali, tidak bisa berbelas kasihan maka kita awasi dan kita harap lakukan beberapa hal untuk bisa mengurangi masalah ini.

GS : Tapi terkadang soal murah hati ini juga tergantung dari suasana hati anak itu, Pak Paul. Kadang-kadang kita melihat anak ini suka berbagi mainan dengan saudaranya atau dengan teman-temannya, padahal di waktu lain dia sangat egois kelihatannya dia tidak mau berbagi. Maunya mainan itu dia miliki sendiri.

PG : Nah, kalau anak misalnya bergantung pada kondisinya, suasananya, nanti dia baik lalu kurang baik; kita bisa berkata itu normal. Yang saya maksud disini adalah anak yang secara konsisten tidak menunjukkan belas kasihan. Jadi sewaktu dia berbuat sesuatu, dia main atau apa dengan mudahnya dia bisa melukai atau menyakiti teman atau saudaranya dan dia tidak merasakan apa-apa. Sewaktu kita beritahu dia, dia sepertinya termenung mengapa kakaknya mesti menangis. Dia tidak bisa mengerti bahwa perbuatannya sudah menyakiti orang.

GS : Ini semacam bawaan dari lahir atau apa, Pak Paul ?

PG : Iya, Pak Gunawan. Jadi ini yang akan kita angkat bahwa ternyata hal seperti ini seringkali bawaan dari lahir.

GS : Lalu apa yang bisa kita lakukan sebagai orangtua, Pak Paul ?

PG : Pertama kita mesti membedakan antara hal yang bersifat psikologis dan rohani. Kurangnya belas kasihan pada anak tidak berarti bahwa dia kurang rohani. Sesungguhnya kondisi ini merupakan bagian dari kepribadiannya yang terlepas dari kerohaniannya. Pada dasarnya anak yang kurang belas kasihan adalah anak yang kurang peka secara emosional. Oleh karena dia kurang peka maka dia kurang dapat menempatkan dirinya pada diri orang lain, alias dia kurang mampu berempati. Kekurangmampuannya untuk menempatkan diri pada orang lain, mengakibatkan kurang mampu merasakan perasaan orang lain. Itu sebab terkadang dia menyakiti anak lain tanpa mengerti bahwa perbuatannya telah membuat anak lain itu menderita. Jadi sekali lagi saya tekankan jawaban terhadap masalah ini bukanlah rohani. Sudah tentu adalah baik buat kita untuk berdoa buat anak apapun permasalahannya termasuk masalah ini. Namun penting bagi kita untuk tidak membuat masalah ini sebagai masalah rohani, seakan-akan anak kurang rohani dan kita memaksanya untuk lebih dekat kepada Tuhan atau lebih taat kepada Tuhan. Pendekatan seperti ini hanya akan membuatnya merasa lebih bersalah tanpa menyediakan jalan keluarnya. Jadi, saya tekankan sekali lagi, Pak Gunawan, memang anak-anak ini boleh dikata tidak menyadari. Dia bukannya sengaja mau menyakiti karena dia benci kepada anak lain atau kepada adik atau kakaknya. Tidak ! Tidak mesti dia ada kemarahan atau kebencian. Tapi dia dengan spontannya bisa berbuat sesuatu yang menyakiti hati adiknya atau kakaknya karena memang tidak mengerti mengapa perbuatannya itu bisa menyakiti orang. Jadi memang kemampuannya untuk berempati, kemampuannya menempatkan diri pada posisi orang, itu hampir tidak ada. Kalau anak-anak yang peka secara emosional akan tahu bahwa "Kalau saya tidak mau disakiti jangan menyakiti. Kalau saya tidak mau didorong maka jangan dorong anak lain". Dalam jiwa anak-anak yang kurang berbelas kasihan ini, kemampuan untuk berpikir seperti itu hampir tidak ada, Pak Gunawan.

GS : Lalu kita sebagai orangtua bagaimana caranya membuat dia supaya lebih berempati kepada orang lain, ‘kan sulit ?

PG : Nah, ada beberapa hal yang bisa kita lakukan kepada anak yang kurang berbelas kasihan, kita justru mesti menambahkan dosis kasih dan kelembutan. Kita harus lebih sering mengatakan bahwa kita mengasihinya. Kita pun mesti lebih sering mengungkapkan kasih secara nyata, misalnya dengan lebih sering membelai dan memeluknya. Sedapatnya kita justru mengurangi penghukuman. Mungkin kita bertanya-tanya: mengapa ? Mungkin kita berpikir seharusnya kita lebih tegas kepadanya dalam memberi hukuman agar dia berhenti mengganggu menyakiti adiknya. Tidak ya. Sebab pada hakikinya rasa belas kasihan bertambah seiring dengan bertambahnya pengalaman dikasihi. Sebaliknya makin sering anak menerima hukuman rasa belas kasihan malah berkurang yang bertumbuh justru kekurangpekaannya karena anak yang dihukum, yang dimarahi tidak bisa tidak secara alamiah akan mengembangkan perlindungan, pertahanan dengan cara mengeraskan hati. Berarti belas kasihan semakin tipis bukan makin tebal. Apalagi dimuati dengan kemarahan; dia dipukuli, dimarahi dan akhirnya dia tambah marah maka kekurangpekaan ini akan membuatnya lebih agresif dan lebih kejam. Jadi sekali lagi kita perlu menambahkan lebih banyak kasih dan kelembutan karena hati yang berbelas kasihan mesti diisi, dimuati, diperciki oleh kasih sayang dan kelembutan untuk bisa berbelas kasihan. Semakin diperciki atau diisi dengan kekerasan maka semakin sulit untuk dia berbelas kasihan.

GS : Tapi orangtua itu khawatir, Pak Paul, bahwa hal ini bisa disalahgunakan untuk anak itu memaksakan kehendaknya.

PG : Iya. Ini memang perlu kita jaga jangan sampai kita dimanfaatkan atau disalahgunakan kebaikan kita atau kelembutan kita, jadi anak itu semau-maunya. Maka sedapatnya kita tidak bereaksi dengan marah dan hukuman. Kita hanya perlu memberikan hukuman kepadanya jika ia menantang kita dengan cara mengulang perbuatannya. Jadi selama kita menegur dia, dia berhenti maka sudah. Tapi kalau dia sengaja melawan kita, baru kita nanti memberikan hukuman. Jadi ada anak yang bukannya berhenti malah mengulang atau memberikan sikap menantang kepada kita, tatkala kita memintanya untuk berhenti melakukan perbuatan yang menyakiti kakak atau adiknya. Bila dia berhenti berbuat yang perlu dilakukan adalah memberi dia pengertian bahwa perbuatannya membuat adiknya tersakiti. Kita dapat memeluk adiknya yang menangis dan berkata, "Kasihan adikmu, dia menangis karena dia kesakitan", setelah adiknya berhenti menangis kita dapat memeluknya dan berkata, "Saya tahu kamu tidak bermaksud menyakiti adikmu tadi". Jadi ada tidak tempat bagi penghukuman ? Ada. Saya tidak berkata sama sekali, "Tidak usah dihukum". Tapi kalau bisa berikan hukuman kalau anak itu menantang, sengaja mengulang perbuatannya. Selama dia tidak seperti itu, tidak menantang, tidak sengaja mengulang perbuatannya sebaiknya memang kita tidak menghukumnya. Lebih banyak kita gunakan cara-cara yang menekankan kelembutan. Kita peluk adiknya, kita katakan, "Kasihan adikmu, kamu tadi menyakitinya". Tapi setelah itu kita hampiri dia dan kita peluk dia lalu berkata, "Tapi saya mengerti kamu tadi sebetulnya tidak berniat menyakiti dia". Nah, cara-cara itu lebih efektif daripada kita mengedepankan penghukuman.

GS : Tapi sepertinya anak-anak seperti ini juga sulit menemukan alasan mengapa dia itu bisa berbuat seperti itu terhadap saudaranya. Sehingga ketika kita dekati dia hanya berkata, "Saya tidak suka dengan kakak atau adik itu". ‘Tidak suka’ kita sulit untuk menerjemahkannya sebagai orangtua begitu.

PG : Inilah ciri anak yang memang tidak memunyai kepekaan, Pak Gunawan, jadi belas kasihan memang tipis sekali. Kalau anak lain itu jarak dari tidak suka sampai memukul itu jaraknya lebih panjang. Sedangkan anak-anak ini jarak antara tidak suka dan pukul itu cepat sekali atau pendek sekali, karena memang itulah cara dia mengungkapkan perasaan tidak enak atau tidak sukanya atau kemarahannya maka langsung berbuat secara fisik untuk menyakiti adiknya atau kakaknya. Nah, ini yang sebenarnya kita harus sadari memang bawaan, Pak Gunawan; memang ada anak-anak yang karena dari lahir kurang peka secara emosional. Itulah cara dia untuk mengungkapkan rasa tidak sukanya.

GS : Jadi apa yang bisa kita lakukan misalnya anak itu tadi berkata, "Ya memang saya tidak suka" si A atau si B yang kebetulan ialah saudaranya.

PG : Nah, kita bisa berkata begini atau bertanya, "Apa penyebabnya? Kenapa kamu tidak menyukai dia?". Jadi kita meminta dia untuk menjelaskan. Anak-anak yang kurang berbelas kasihan terkadang juga sulit untuk berpikir secara mendetail supaya dia bisa mengenali mengapa dia tadi begini begini, sehingga dia marah dan sebagainya. Kita mau melatih dia untuk lebih banyak bisa mengungkapkan perasaannya lewat perkataan bukan lewat perbuatan menyakiti. Biarkan dia bercerita mengapa dia tidak suka. Misalnya dia bilang, "Tidak, pokoknya tidak suka saja" maka kita berkata, "Kamu harus beritahu saya kenapa kamu tidak suka. Misalnya saya berikan kamu makanan yang pedas, kamu akan berkata kamu tidak mau, tidak suka karena pedas. Jadi mengapa kamu tidak suka dengan adikmu? Apa yang membuat kamu tidak suka?". Lalu biarkan dia belajar untuk memaksa diri berpikir. Anak-anak kalau tidak dipaksa belajar untuk berpikir seperti ini yaitu menjelaskan mengapa dia begini begitu, maka akan terus nantinya belum apa-apa akan menggunakan kekasaran atau kekerasan.

GS : Iya. Tapi mungkin kita sebagai orangtua tidak bisa mendapat jawaban langsung pada saat itu juga. Minimal kita minta supaya dia berpikir, "Nanti kalau sudah menemukan jawabannya tolong temui saya untuk mengutarakan apa sih alasan kamu, mungkin saya bisa bantu kamu".

PG : Betul. Jadi memang dengan kita mendorongnya berpikir, dengan kita membuka pintu, "Datanglah kepada saya, saya nanti coba untuk bantu kamu" ini menolong dia untuk mengembangkan perilaku alternatif untuk tidak langsung memukul atau menyakiti adiknya.

GS : Iya. Hal yang ketiga apa, Pak Paul, yang dapat kita lakukan ?

PG : Sedapatnya kita mencegah sebelum dia berbuat menyakiti orang lain. Jika dia mulai bermain dengan kasar, kita dapat memeringati dia untuk berhati-hati. Bila dia marah kepada adiknya sebelum dia memukul adiknya kita langsung mendekatinya dan bertanya, "Apa yang terjadi ?". Setelah dia menceritakan apa yang terjadi, kita dapat berpura-pura memukul adiknya agar dia melihat bahwa kita telah bertindak membelanya. Bila kita tidak berbuat apa-apa, lama-kelamaan dia akan langsung bertindak, sebab dia merasa percuma bercerita kepada kita. Nah, masalah akan lebih rumit setelah anak masuk sekolah, karena kita tidak bersamanya lagi. Itu sebab penting bagi kita untuk menghubungi gurunya dan memberitahukan kondisi anak kita, mintalah kerjasama guru untuk melakukan apa yang kita lakukan di rumah guna menolong anak kita ini mengembangkan rasa belas kasihan. Mohon kepada guru agar tidak tergesa-gesa menjatuhkan hukuman kepada anak kita, sebaliknya selain mencegah lebih seringlah mengungkapkan pengertian bahwa sesungguhnya dia tidak berniat menyakiti temannya. Sudah tentu kita mengerti, guna menjaga ketertiban guru mesti menjatuhkan sanksi kepadanya. Bila itu harus terjadi, tidak apa-apa. Terpenting setelah hukuman dijalankan, guru memanggilnya secara pribadi untuk menyatakan pengertiannya dan memintanya untuk tidak melakukan perbuatan itu lagi. Kemudian akhiri pertemuan pribadi itu dengan pernyataan kasih guna memerkuat belas kasihan pada si anak. Jadi sekali lagi guru mesti menjalankan disiplin, silakan. Tapi setelahnya coba adakan pertemuan pribadi untuk menjalin hubungan yang pribadi dengan anak itu. Karena semakin pribadi, semakin ada ‘rem’ untuk bisa mengekang si anak melakukan hal-hal yang menyakiti hati teman-temannya. Semakin tidak ada tali emosional antara dia dan si guru atau orang lain maka makin mudah dia mengembangkan ketidakpekaannya.

GS : Iya. Tapi kalau kita menghukum adik dari anak kita yang tadi marah-marah atau menyakiti secara pura-pura, apakah itu tidak terlalu riskan, Pak Paul ? Kalau sampai dia tahu bahwa kita itu hanya pura-pura saja menghukum adik yang tadi dia sakiti, itu ‘kan semakin dia tidak percaya kepada kita ?

PG : Sudah tentu ini memang harus kita imbangi dengan usianya. Kalau usianya masih kecil, kita bisa menengok ke adiknya kemudian kita bisa pukul tangan adiknya padahal yang kita pukul adalah tangan kita sendiri misalnya. Kalau dia masih kecil, mungkin dia tidak melihat, dia tidak bisa tahu. Tapi sudah tentu kalau dia mulai besar hal itu tidak bisa kita gunakan lagi. Yang bisa kita gunakan adalah pembicaraan. Kita bisa bicara dengan adiknya dan tanya, "Tadi kenapa ? Apa yang kamu perbuat kepada kakakmu ?" dan sebagainya. Tapi yang penting adalah si anak itu melihat kita berbuat sesuatu, karena kalau dia melihat kita tidak berbuat sesuatu hanya suruh dia mengerti, tenang atau apalah dan si adik tidak diapa-apakan, tidak diajak berbicara, tidak ditegur juga maka dia makin yakin bahwa lain kali, "Sudah tidak berbicara lagi dengan papa atau mama dan saya pukul langsung adik saya".

GS : Iya. Dan meminta guru untuk memerhatikan anak kita sedemikian rupa, Pak Paul, itu saya rasa memang agak sulit. Karena sekarang kelas itu jumlahnya banyak sekali, siswanya banyak sekali. Kalau guru harus memerhatikan satu demi satu seperti yang Pak Paul usulkan itu agak sulit. Dan guru hanya akan mengambil cara dengan ancaman; satu-satunya dengan ancaman. Tapi ancaman itu semakin memperburuk anak ini untuk memunyai rasa belas kasihan terhadap orang lain.

PG : Memang betul. Jadi memang sudah tentu guru terbatas, kita tidak bisa mengharapkan. Guru menjadi kepanjangan kita, tidak bisa. Tapi tidak apa-apa. Jelaskan saja kepada guru, mudah-mudahan kalau ada waktu guru itu bisa memberikan perhatian secara pribadi kepada anak kita. Namun pada intinya yang ingin kita tekankan adalah anak-anak ini lebih membutuhkan kelembutan dan kasih sayang ketimbang ketegasan atau kekerasan. Makin sering dipukuli atau dimarahi, makin mengeras hatinya, makin menipis belas kasihan. Jadi ini yang kita tidak mau. Jadi kita mau belajar bahwa hati yang kurang berbelas kasihan mesti sering-sering diperciki oleh kelembutan dan kasih sayang supaya hati ini lebih tidak keras dan lebih bisa berbelas kasihan.

GS : Ini repotnya, Pak Paul. Kalau sudah di masyarakat orang hanya melihat anak ini ‘troublemaker’ katakan; yang membuat masalah di kelas atau di lingkungan bermainnya, sehingga kekerasan yang terjadi nanti terhadap anak ini.

PG : Betul.

GS : Baik itu secara emosional lebih-lebih juga secara fisik.

PG : Betul. Anak-anak seperti ini akhirnya akan berhenti berbuat hal yang menyakiti orang lain kalau dia berhadapan dengan orang yang menaklukkan dia yang bisa mungkin memukul dia lebih keras lagi sehingga dia tidak berkutik. Dengan kata lain, akhirnya anak-anak ini hanya mengenal bahasa kekerasan. Ini yang mau kita hindari. Sedapat-dapatnya sejak anak kecil, kalau kita lihat dia lemah dalam hal belas kasihan dan sebagai orangtua kita harus lebih berkecimpung lebih banyak melakukan hal-hal yang tadi kita bicarakan itu.

GS : Iya. Hal keempat, Pak Paul, yang bisa kita lakukan ?

PG : Sebelum menjatuhkan hukuman kita terlebih dahulu memeringatinya. Maksud saya kita menyampaikan kepadanya hukuman apa yang akan kita jatuhkan kepadanya bila dia melakukan perbuatannya itu. Tujuannya ialah supaya anak menyadari bahwa sebenarnya ia sendiri yang membuatnya menerima hukuman itu. Harapan kita adalah agar anak melihat kaitan yang erat dan langsung antara perbuatan dan akibat. Jika kita melakukan ini secara konsisten besar kemungkinan dia akan berpikir 2 kali sebelum dia bertindak kasar kepada adiknya. Makin berkurang tindakan kasarnya, makin berkurang pulalah kecenderungannya untuk bersikap seenaknya dan bersikap agresif. Nah, ini akan makin membuka lebar munculnya belas kasihan kepada dirinya.

GS : Iya, Pak Paul. Kalau kita mau menghukum anak seperti ini karena terpaksa harus dihukum, kira-kira hukuman bentuk apa yang bisa kita lakukan ?

PG : Kita misalnya bisa memukul tangannya atau memukul kakinya dengan tangan kita, jadi gunakan cara-cara seperti itu. Atau misalnya kita minta dia masuk ke dalam kamar dan dia tidak boleh keluar sampai misalnya setengah jam. Nah, kita gunakan hukuman-hukuman, tapi kalau bisa jangan gunakan hukuman yang menyakiti dia seperti membuat dia ‘kapok’. Jangan. Karena biasanya anak-anak yang memang kurang berbelas kasihan kebanyakan juga daya tahan tubuh lumayan kuat sehingga dia tidak terlalu mudah tersakiti. Daripada kita semakin membuat dia tambah kebal karena kita sering pukul dia maka lebih baik, jangan. Kalau harus pukul hukumlah dengan cara-cara seperti itu.

GS : Jadi lebih menyentuh perasaannya daripada fisiknya begitu, Pak Paul?

PG : Betul. Dan yang tadi saya tekankan adalah anak menyadari bahwa dialah yang menjatuhkan hukuman atas dirinya dengan kita memberitahukan kepadanya "Kalau kamu begini, maka nanti saya akan lakukan, hukuman ini akan saya berikan kepadamu". Jadi lama-lama dia mulai mengaitkan dia sebetulnyalah yang menjatuhkan hukuman itu kepada dirinya. Kalau dia tidak mau, jangan dia berbuat hal seperti itu.

GS : Kalau nasehat-nasehat yang kita berikan itu apakah bisa masuk di dalam pikirannya, Pak Paul ?

PG : Anak-anak yang memang belas kasihannya lemah, Pak Gunawan, perlu misalnya 10 kali diberitahukan baru terkait di benaknya. Anak-anak lain mungkin 1 atau 2 kali sudah terkait di hatinya. Anak-anak ini mungkin 10 kali baru terkait 1 nasehat saja.

GS : Berarti harus dilakukan secara berulang-ulang, Pak Paul.

PG : Betul sekali. Berulang kali. Karena sekali lagi kepekaannya itu tipis sekali, kurang peka. Jadi apa pun yang kita katakan itu tidak menempel sampai mungkin beberapa kali, baru akhirnya dia bisa ingat.

GS : Iya. Mungkin masih ada lagi yang ingin disampaikan ?

PG : Yang terakhir adalah kita dapat mengajarnya untuk berbelas kasihan lewat bacaan, film atau skenario kehidupan sehari-hari. Misalkan saat pembacaan buku atau menonton film bersama dia kita dapat bertanya kepadanya, "Mengapa tokoh itu bersedih?" atau kita dapat berkata, "Tokoh itu berbuat tidak baik karena telah menyakiti yang lainnya". Nah, kita pun dapat mengangkat kejadian sehari-hari dan menjadikan bahan pelajaran buatnya. Jadi lewat apa yang dibaca, ditonton atau peristiwa sehari-hari kita mau mendidiknya untuk bisa menempatkan diri di posisi orang lain perlahan-lahan. Jadi waktu dia berkata, "Dia hanya sedih karena barangnya diambil", nah dia mulai mengerti sedikit. Kalau dia tidak mengerti kita jelaskan ; "Anak itu sedih karena mainannya diambil. Kamu juga akan sedih kalau barang kamu diambil". Jadi secara terencana kita sepertinya mau menyekolahkan dia untuk lebih berbelas kasihan.

GS : Jadi kita harus memerhatikan apa yang dia baca sehari-hari atau dia lihat, baik melalui televisi atau film maka kita perlu memonitornya terus.

PG : Betul, betul. Jadi secara terencana kita mesti memberi dia les untuk bisa lebih mengenal berbelas kasihan.

GS : Tapi anak-anak semacam ini sebenarnya memunyai perasaan yang halus atau tidak ?

PG : Kebanyakan memang tidak, Pak Gunawan. Jadi kemungkinannya dia benar-benar menyadari, "Kenapa begini? Kenapa begitu?" itu perlu pelajaran yang panjang dan lama. Karena tidak begitu mudah secara alamiah dia menyadari itu. Sekali lagi ini bukan suatu yang dia pelajari, seringkali ini adalah suatu yang dibawanya sejak lahir.

GS : Atau mungkin ada suatu pengalaman khusus yang membuat dia bisa berubah begitu, Pak Paul ?

PG : Bisa jadi. Misalnya pengalaman yang benar-benar menggoncangkan dirinya sehingga dia tidak bisa lagi merasakan kesusahan kesedihan, itu juga mungkin.

GS : Pak Paul, adakah ayat firman Tuhan yang ingin disampaikan?

PG : Amsal 14:8 menasehati, "Mengerti jalannya sendiri adalah hikmat orang cerdik, tetapi orang bebal ditipu kebodohannya". Semua masukan yang telah dipaparkan bertujuan satu yakni menolong anak mengerti jalannya sendiri. Anak yang lahir dengan kekurangpekaan mesti dididik untuk mengerti bahwa tindakannya berpengaruh pada orang lain dan bahwa ia memegang kendali penuh atas tindakannya. Nah, inilah bagian dari mengerti jalannya sendiri.

GS : Memang ini bukan sesuatu hal yang mudah dilakukan oleh orangtua tetapi inilah panggilan orangtua untuk mendidik anak-anaknya supaya lebih berbelas kasihan kepada orang lain. Terima kasih, Pak Paul untuk perbincangan ini. Dan para pendengar sekalian, kami mengucapkan terima kasih telah mengikuti perbincangan kami dengan Bapak Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara TELAGA (TEgur sapa GembaLA KeluarGA). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Mengembangkan Belas Kasihan Pada Anak". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini, silakan menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Atau Anda juga dapat menggunakan e-mail ke alamat telaga@telaga.org. Kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan, serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Akhir kata dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa dalam acara TELAGA yang akan datang.


Ringkasan:

dpo. Pdt. Dr. Paul Gunadi

Salah satu kenyataan hidup yang mesti diterima adalah tidak ada anak yang 100 persen sama dengan anak lainnya. Setiap anak memunyai keunikannya masing-masing, bukan saja secara fisik tetapi juga secara mental. Salah satu di antaranya adalah belas kasihan; ada anak yang sejak kecil memiliki rasa belas kasihan yang kuat namun ada pula yang tidak. Berikut akan dipaparkan beberapa masukan untuk mengembangkan rasa belas kasihan anak.

  1. Kita mesti membedakan antara hal yang bersifat psikologis dan rohani. Kurangnya belas kasihan pada anak tidak berarti bahwa ia kurang rohani. Sesungguhnya, kondisi ini merupakan bagian dari kepribadiannya, yang terlepas dari kerohaniannya. Pada dasarnya anak yang kurang belas kasihan adalah anak yang kurang peka secara emosional. Oleh karena kurang peka, maka ia kurang dapat menempatkan diri pada diri orang lain, alias ia kurang mampu berempati. Nah, kekurangmampuannya menempatkan diri pada diri orang lain mengakibatkannya kurang mampu merasakan perasaan orang lain. Itu sebabnya, kadang ia menyakiti anak lain tanpa mengerti bahwa perbuatannya telah membuat anak lain menderita. Jadi, jawaban terhadap masalah ini bukanlah rohani. Sudah tentu adalah baik buat kita untuk berdoa buat anak, apa pun permasalahannya, termasuk masalah ini. Namun, penting bagi kita untuk tidak membuat masalah ini sebagai masalah rohani, seakan-akan anak kurang rohani dan memaksanya untuk lebih dekat kepada Tuhan atau lebih taat kepada Tuhan. Pendekatan seperti ini hanya akan membuatnya merasa lebih bersalah tanpa menyediakan jalan keluarnya.
  2. Kepada anak yang kurang berbelas kasihan kita justru mesti menambahkan dosis kasih dan kelembutan.. Kita harus lebih sering mengatakan bahwa kita mengasihinya. Kita pun mesti lebih sering mengungkapkan kasih secara nyata, misalkan dengan lebih sering membelai dan memeluknya. Sedapatnya kita justru mengurangi penghukuman. Mungkin kita bertanya-tanya, mengapa? Mungkin kita berpikir, seharusnya kita lebih tegas kepadanya dalam memberikan hukuman agar ia berhenti mengganggu atau menyakiti adiknya. Pada hakikatnya rasa belas kasihan bertambah seiiring dengan bertambahnya pengalaman dikasihi. Sebaliknya, makin sering anak menerima hukuman, rasa belas kasihan malah berkurang; yang bertumbuh justru adalah kekurangpekaannya. Bila dimuati dengan kemarahan, maka kekurangpekaan ini akan membuatnya lebih agresif dan kejam. Jadi, sedapatnya janganlah bereaksi dengan marah dan hukuman. Kita hanya perlu memberikan hukuman kepadanya jika ia sengaja menantang kita, dengan cara mengulang perbuatannya. Bukannya berhenti, ia malah mengulang atau memberikan sikap menantang kepada kita tatkala kita memintanya berhenti melakukan perbuatan yang menyakiti kakak atau adiknya. Bila ia berhenti berbuat, yang perlu dilakukan adalah memberinya tahu bahwa perbuatannya membuat adiknya tersakiti. Kita dapat memeluk adiknya yang menangis dan berkata, "Kasihan adikmu; ia menangis karena ia kesakitan." Setelah adiknya berhenti menangis, kita dapat memeluknya dan berkata, "Saya tahu kamu tidak bermaksud menyakiti adikmu tadi."
  3. Sedapatnya kita mencegah, sebelum ia berbuat menyakiti orang lain. Jika ia mulai bermain dengan kasar, kita dapat memperingatinya untuk berhati-hati. Bila ia marah kepada adiknya, sebelum ia memukul, kita langsung mendekatinya dan bertanya, "Apa yang terjadi?" Setelah ia menceritakan apa yang terjadi, kita dapat berpura-pura menghukum adiknya, agar ia melihat bahwa kita telah bertindak membelanya. Bila kita tidak berbuat apa-apa, lama kelamaan ia akan langsung bertindak sebab ia merasa percuma bercerita kepada kita. Masalah akan lebih rumit setelah ia masuk sekolah karena kita tidak bersamanya. Itu sebab penting bagi kita untuk menghubungi gurunya dan memberitahukan kondisi anak kita. Mintalah kerja sama guru untuk melakukan apa yang kita lakukan di rumah guna menolong anak kita mengembangkan belas kasihan. Mohonlah agar ia tidak tergesa-gesa menjatuhkan hukuman kepada anak kita; sebaliknya, selain mencegah, lebih seringlah mengungkapkan pengertian bahwa sesungguhnya ia tidak berniat menyakiti temannya. Sudah tentu guna menjaga ketertiban guru mesti menjatuhkan sanksi kepadanya. Bila itu harus terjadi, tidak apa, terpenting setelah hukuman dijalankan, guru memanggilnya secara pribadi untuk menyatakan pengertiannya dan memintanya untuk tidak melakukan perbuatan itu lagi. Akhiri pertemuan pribadi itu dengan pernyataan kasih, guna memperkuat belas kasihan.
  4. Sebelum menjatuhkan hukuman, kita terlebih dahulu memeringatinya. Maksud saya, kita menyampaikan kepadanya hukuman apa yang akan kita jatuhkan kepadanya bila ia melakukan perbuatannya itu. Tujuannya adalah supaya anak menyadari bahwa sebenarnya ia sendirilah yang membuatnya menerima hukuman. Harapan kita adalah agar anak melihat kaitan erat dan langsung antara perbuatan dan akibat.
  5. Jika kita melakukan ini secara konsisten, besar kemungkinan ia akan berpikir dua kali sebelum ia bertindak kasar kepada adiknya. Makin berkurang tindakan kasarnya, makin berkurang pulalah kecenderungannya untuk bersikap seenaknya dan agresif. Dan, ini akan makin membuka lebar munculnya belas kasihan pada dirinya.
  6. Kita dapat mengajarnya untuk berbelas kasihan lewat bacaan, film atau skenario kehidupan sehari-hari.. Sewaktu membacakan buku atau menonton film bersama, kita dapat bertanya kepadanya, mengapakah tokoh tersebut bersedih. Atau, kita dapat berkata bahwa tokoh berbuat tidak baik karena telah menyakiti yang lainnya. Kita pun dapat mengangkat kejadian sehari-hari dan menjadikannya bahan pelajaran buatnya.
Amsal 14:8 menasihati, "Mengerti jalannya sendiri adalah hikmat orang cerdik, tetapi orang bebal ditipu kebodohannya." Semua masukan yang telah dipaparkan bertujuan satu yakni menolong anak mengerti jalannya sendiri. Anak yang lahir dengan kekurangpekaan mesti dididik untuk mengerti bahwa tindakannya berpengaruh pada orang lain dan bahwa ia memegang kendali penuh atas tindakannya. Dan, inilah bagian dari mengerti jalannya sendiri.

Questions: