BETA
Pengaruh Perlakuan Orang Tua pada Pernikahan Anak
Sumber: telaga
Id Topik: 2292

Abstrak:

Perlakuan apapun yang kita terima dari orang tua, akan melahirkan sikap tertentu pada diri kita terhadap pasangan nikah. Jika kita menerima kasih setia dari orang tua, kita pun cenderung member kasih setia pada pasangan. Jadi jika kita ingin agar anak memunyai relasi yang sehat dengan pasangannya, perlakukan anak dengan baik dan peliharalah relasi yang sehat dengannya. Inilah modal dan bekalnya untuk masuk dalam pernikahan.

Transkrip:

Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi di mana pun Anda berada, Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya, Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen, akan berbincang-bincang dengan Bapak Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling. Perbincangan kami kali ini tentang "Pengaruh Perlakuan Orang Tua Pada Pernikahan Anak". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

GS : Pak Paul, pernikahan anak atau anak-anak kita itu sangat dipengaruhi oleh tingkah laku kita dan gaya kita didalam mendidik dan membesarkan mereka. Dan ini, apa yang kita bisa perbincangkan dalam kesempatan ini?

PG : Betul, Pak Gunawan. Bahwa tidak bisa tidak bagaimana kita dulu itu diperlakukan oleh orang tua kita akan memengaruhi bagaimana kita memperlakukan pasangan kita. Sudah tentu ada yang baik yang positif tapi juga ada yang kurang baik yang negatif. Pada kesempatan ini kita mau melihat beberapa perlakuan orang tua yang umum, yang seringkali akhirnya kita bawa ke dalam pernikahan kita yang nantinya kita gunakan untuk memerlakukan pasangan kita.

GS : Apakah itu juga termasuk dalam pengaruh ini, anak itu bisa menikah dini atau bahkan mengambil keputusan untuk tidak menikah, Pak Paul?

PG : Kadang-kadang memang keputusan anak mau menikah atau tidak, dipengaruhi sekali oleh seperti apakah anak itu dulu dibesarkan dalam rumah tangga. Kalau misalnya anak kita itu melihat kita ini memiliki hubungan dengan pasangan kita tidak bagus, dia juga akhirnya besar dalam rumah menderita, bisa jadi dia mau menikah lebih dini atau kebalikannya justru dia tidak mau menikah, karena dia tidak mau mengulang kehidupan yang tidak menyenangkan itu. Jadi kita penting melihat apakah yang telah kita alami dan terima dari orang tua kita dan apakah itu masih mempengaruhi kita di masa sekarang. Jikalau memang kita akui ada pengaruhnya, coba kita mulai lihat mana yang baik mana yang buruk. Kalau bisa kita tinggalkan yang buruk sehingga kita bisa memerlakukan pasangan kita dengan lebih baik.

GS : Yang pertama, apa Pak Paul yang bisa memengaruhi itu?

PG : Yang pertama adalah kalau orang tua itu dalam membesarkan kita menyoroti yang negatif dan hemat pujian. Bila orang tua cenderung menyoroti sisi negatif kita dan jarang sekali memuji kita, maka setelah menikah kita pun cenderung menyoroti kekurangan pasangan dan jarang memuji kelebihan pasangan. Tidak bisa tidak perlakuan seperti ini membuat relasi kita rawan konflik dan mudah mengundang kemarahan pasangan sebab tidak ada orang yang senang disoroti sisi negatifnya terus-menerus dan semua orang memang akan senang sekali-sekali mendapatkan pujian. Pada akhirnya kalau kita terus bersikap seperti ini kepada pasangan maka pasangan akan merasa tidak pernah cukup baik dan selalu kurang di hadapan kita. Akhirnya dia menjadi haus akan pujian dan pengakuan dan kalau tidak hati-hati dia akan mencarinya di luar rumah dari orang-orang lain. Nah, sebaliknya jika orang tua menyoroti yang positif pada diri kita, murah dengan pujian, maka kita pun cenderung menyoroti sisi baik pasangan dan murah dengan pujian kepadanya.

GS : Iya. Yang Pak Paul maksud dengan menyoroti yang negatif misalnya seperti apa?

PG : Misalnya hal-hal yang kita anggap tidak sesuai dengan standar yang kita miliki; masak harus seperti ini, bekerja harus menghasilkan uang yang seperti ini jumlahnya jenis pekerjaan juga harus sesuai. Jadi akhirnya itu kita bukannya bersyukur melihat yang baik pada pasangan tapi terus menyoroti yang kurang pada pasangan. Apapun yang dilakukannya itu kita selalu mencari lihat atau mencari tahu yang buruknya yang tidak sesuainya apa. Padahal ada banyak hal-hal yang dilakukan baik. Tapi itu sama sekali tidak kita lihat. Kita tidak mau memuji dia atas hal-hal baik yang dia lakukan, tapi yang kita soroti adalah hal-hal yang memang dia juga masih bergumul untuk melakukannya.

GS : Itu yang disoroti anaknya atau pasangannya, Pak Paul ?

PG : Jadi kita ini karena diperlakukan seperti itu oleh orang tua, setelah kita menikah kita menyoroti pasangan seperti orang tua dulu menyoroti kita. Jadi bagaimana orang tua memerlakukan kita itu yang kita bawa ke dalam pernikahan dan akhirnya itulah yang kita lakukan terhadap pasangan kita.

GS : Kalau yang disoroti adalah pasangannya, jadi misalnya suami tadi menyoroti tentang istrinya misal tentang masak, apakah itu juga berpengaruh kepada anak ini, Pak Paul?

PG : Akhirnya akan berpengaruh, Pak Gunawan, kalau relasi itu menjadi buruk. Kalau yang baik-baik dilakukan, apa yang diterima yang baik dari orang tua itu yang kemudian diterapkan dalam hubungan dengan pasangan sudah tentu anak-anaknya senang, karena relasi orang tua baik, serasi. Tapi kalau yang disoroti selalu negatif sehingga akhirnya terjadi keributan, karena tidak ada orang yang senang disoroti terus negatifnya, jadi anak tidak bisa tidak terpengaruh, tertekan, sedih; dia menderita.

GS : Iya. Apalagi kalau yang disoroti yang negatif itu terhadap anak tertentu dan tidak diperlakukan hal yang sama kepada anak yang lain, Pak Paul ya?

PG : Bisa, bisa. Jadi kadang-kadang akhirnya perlakuan itu bukan saja kita terapkan kepada pasangan tapi juga kepada anak karena kita terbiasa menyoroti yang negatif. Akhirnya bukan saja pasangan kita yang kita soroti sisi buruknya, juga anak. Anak itu tidak pernah memberi standar, ulangan dapat bagus kita juga berkata "Seharusnya lebih bagus lagi! Kenapa hanya segini padahal kamu orangnya lebih pintar? Mengapa mendapat nilai A minus bukan A ?" dan terus kita akhirnya hanya menyoroti yang kurang pada diri, baik itu pasangan maupun anak-anak kita.

GS : Iya. Tapi kalau misalnya itu hanya dari satu sisi misalnya hanya ayahnya saja yang selalu menyoroti negatif dan sangat kikir terhadap pujian, tapi ibunya justru tidak. Pengaruhnya akan seperti apa, Pak Paul ?

PG : Nah, kalau misalnya memang hanya satu orang tua saja yang menyoroti sisi negatif hemat pujian sedangkan yang satunya tidak namun lebih positif, itu akan menyeimbangkan, Pak Gunawan, sehingga si anak tidak bertumbuh dipenuhi hanya dengan yang negatif. Sebab dari orang tua yang satunya itu ada hal-hal yang baik yang dia lakukan dan dia tidak senegatif atau seburuk yang ayahnya atau ibunya katakan.

GS : Iya. Selain menyoroti yang negatif dan hemat pujian ini, hal yang lain apa, Pak Paul?

PG : Orang tua ini kadang-kadang memerlakukan kita dulu terus berharap dan tidak berputus asa. Ini hal yang positif. Mungkin sewaktu kita masih muda, kita pernah bermasalah dan menyusahkan orang tua. Tetapi orang tua tidak menyerah. Mereka terus berharap bahwa suatu hari kelak kita akan bertobat. Akhirnya kegigihan mereka meluluhkan hati kita yang keras. Kita pun bertobat dan kembali ke jalan yang benar. Jika kita menerima perlakuan seperti ini dari orang tua, setelah menikah kita pun cenderung terus berharap dan tidak mudah berputus asa terhadap pasangan. Meskipun pasangan kita sepertinya ada masalah dan kita juga tidak bisa rukun, harus berjuang keras menyelaraskan pendapat. Tapi karena dulu sewaktu kita masih muda masih kecil diperlakukan seperti itu oleh orang tua, mereka terus berharap mereka tidak berputus asa menunggu kita berubah, kita juga begitu kepada pasangan. Kita terus berharap. Kita tidak mudah putus asa, kita tahu bahwa pasangan kita suatu hari bisa berubah, ini akan memengaruhi relasi pernikahan dengan positif, Pak Gunawan.

GS : Iya. Ini berarti orang tua harus menunjukkan teladan bagaimana menghadapi persoalan hidup ini, Pak Paul?

PG : Sebab apa yang mereka lakukan kepada kita itu nantinya akan menjadi bekal yang kita ini bawa ke dalam pernikahan kita, Pak Gunawan. Kalau mereka menunjukkan sikap seperti itu yaitu tidak menyerah terus berharap meskipun kita dulu nakal atau apa, tapi terus mereka itu berharap, berdoa, mengharapkan kita berubah dan tidak putus asa, tentu bekal ini akan kita bawa nanti ke dalam pernikahan kita. Terhadap pasangan kita juga begitu tidak mudah putus asa dan sudah tentu kita bawa juga terhadap perlakuan kita kepada anak. Walaupun anak kita mulai nakal atau apa, kita ingat "Dulu saya begini. Papa mama tidak putus asa dan terus berharap", maka ketika kepada anak kita akan seperti itu juga. Jadi orang tua yang menjadi teladan yang baik sebetulnya meninggalkan bekal yang begitu berharga kepada kita.

GS : Iya. Tetapi persoalan hidup ini ‘kan macam-macam Pak Paul, apa yang dialami orang tua kita dan orang tua kita bisa mengatasi itu dengan kegigihannya apakah itu akan terulang kepada anaknya, Pak Paul?

PG : Saya kira ya. Apa yang mereka alami, mereka sudah perjuangkan maka itu akan kita serap, kita akan pelajari lalu kita terapkan dalam kehidupan kita. Jadi sekali lagi kegigihan orang tua itu adalah pelajaran yang berharga buat kita. Sebagai anak-anak kita akan bawa itu ke dalam pernikahan atau keluarga kita sendiri.

GS : Apakah perlu orang tua itu menceritakan kepada anak ini bagaimana susahnya hidup mereka ketika anak-anak ini masih kecil ?

PG : Saya kira ada baiknya sekali-sekali mereka juga bercerita, sebab kita sebenarnya juga ingin tahu mengapa papa dan mama itu terus berharap dan tidak berputus asa, tidak menyerah; "Saya begini begitu tapi papa mama terus berharap". Mereka mungkin bercerita sebab mereka dibesarkan atau hidup dengan susah payah, jadi mereka harus berjuang dan mereka tahu Tuhan selalu memelihara, menolong mereka. Jadi kita belajar, "Oh, itu yang membuat papa mama begitu gigih, tidak menyerah, terus berharap walaupun kita begini begitu dulu". Akhirnya ini bisa kita bawa kedalam pernikahan kita pula.

GS : Iya. Itu terutama kalau anak ini memang memunyai kekurangan khusus, entah itu karena cacat tubuh, cacat mental tetapi orang tuanya tetap memerlakukan dia dan merawat dia dengan penuh pengharapan bahwa anaknya ini pasti bisa mengatasi masalah-masalah itu, Pak Paul ?

PG : Sudah tentu. Kalau semua anak-anaknya baik, cerdas, tidak ada masalah tentu orang tua tidak perlu segigih itu. Tetapi kalau misalnya ada kekurangan-kekurangan pada anak tapi orang tua terus berharap, orang tua tidak menyerah, tidak berputus asa. Di situlah baru kita bisa melihat kegigihan mereka. Dan ini yang kita bawa nanti ke dalam pernikahan kita; tidak mudah menyerah, terus berharap apapun yang terjadi.

GS : Iya. Selain hal itu apa, Pak Paul ?

PG : Yang ketiga adalah kesetiaan melahirkan kesetiaan. Jika orang tua hidup setia, tidak mengkhianati pasangannya maka kita cenderung setia kepada pasangan. Sebaliknya jika orang tua tidak setia maka kita pun cenderung mudah berlaku tidak setia terhadap pasangan. Walaupun kita terluka dan turut menjadi korban ketidaksetiaan orang tua dulu, setelah kita menikah kita menjadi lebih mudah jatuh ke dalam dosa ketidaksetiaan. Gara-gara kita melihat orang tua kita tidak setia. Jadi seringkali apa yang kita lihat yang terjadi pada orang tua kita, itu kita contoh dan kita bawa ke dalam pernikahan kita. Kalau orang tua kita setia, lebih besar kemungkinannya kita juga akan setia. Tetapi kalau orang tua kita tidak setia godaan untuk kita tidak setia juga lebih besar nanti.

GS : Bagaimana anak bisa melihat kesetiaan orang tuanya, Pak Paul ?

PG : Biasanya sudah tentu dalam rumah mereka melihat secara nyata orang tua mengungkapkan rasa kasih sayang, mereka juga melihat orang tua itu saling memertimbangkan, memerhatikan perasaan masing-masing, tidak hanya melakukan apa yang dinilainya atau dianggapnya baik. Selalu berusaha juga berdiskusi dalam mengambil keputusan, meminta pendapat pasangan dan mau mendengarkannya, hal-hal itu menunjukkan bahwa mereka saling menghormati, saling mengasihi dan juga setia. Dan kita tahu tidak ada keluhan-keluhan dari mama atau dari papa bahwa pasangannya itu tidak setia.

GS : Iya. Tetapi ‘kan ini baru bisa dipahami oleh anak yang sudah mulai dewasa, Pak Paul. Kalau anak-anak masih kecil apakah mereka juga bisa mengerti tentang hal itu?

PG : Biasanya memang tidak sematang kalau anak itu sudah dewasa. Tapi setidaknya waktu anak-anak kecil, kalau orang tua saling setia maka rumah tangga itu ‘ajeg’, ‘adem’, tenteram, banyak yang mereka lakukan bersama-sama sebagai keluarga sehingga anak-anak itu juga menikmati kebersamaan dan merasakan kebahagiaan dibesarkan dalam rumah. Itu adalah tanda kesetiaan. Nanti setelah anak-anak ini sudah besar, sudah menikah itulah yang akan mereka bawa juga kedalam rumah tangga. Mereka akan menyenangkan pasangan, mencoba untuk memerhatikan kepentingan pasangan bukan hanya kepentingan sendiri, mereka juga akan memertimbangkan semua bersama-sama tidak seperti "Pokoknya yang saya pikir baik ini yang akan saya lakukan". Dan kalau ada godaan dari luar mereka tolak, karena mereka tahu mereka tidak mau menyakiti hati pasangan; kalau mereka tidak setia mereka menyakiti hati pasangan. Nah, inilah semua yang akan dibawa kedalam pernikahan gara-gara si anak menerima atau melihat ini dulu pada orang tuanya.

GS : Tapi faktornya itu banyak sekali orang itu menjadi tidak setia kepada pasangannya. Walaupun orang tuanya itu setia di dalam hubungan suami istri, harmonis dan sebagainya. Masih ada kemungkinan anaknya itu juga melakukan perselingkuhan begitu, Pak Paul ?

PG : Bisa, Pak Gunawan. Jadi memang kita tidak bisa memastikan, itu betul sekali. Apakah ada orang tua yang setia, saling mengasihi tapi anaknya akhirnya tidak setia sama pasangannya, kawin cerai dan sebagainya. Ada. Kita memang tidak bisa memastikan masa depan. Tapi saya kira secara umum kemungkinan itu diperkecil kalau orang tua kita itu berumah tangga dan memertahankan kesetiaan serta saling mengasihi. Itu adalah modal besar yang kita terima dari orang tua untuk nantinya mau mencontoh pernikahan yang seperti itu. Sehingga kita juga berusaha sekeras mungkin mengasihi pasangan dan juga memelihara kesetiaan.

GS : Malah yang terjadi kadang-kadang sebaliknya, Pak Paul. Ketika anak melihat orang tuanya itu tidak setia misalkan ayahnya yang berselingkuh dan sebagainya, ketika dia menikah dia mengambil suatu tekad dan itu terbukti di dalam hidup pernikahannya. Mereka setia sekali dengan pasangannya.

PG : Ada, Pak Gunawan. Jadi ada anak-anak yang karena merasakan betapa sakitnya hati dulu karena menjadi korban ketidaksetiaan misalnya papanya. Maka setelah dia dewasa, dia itu benar-benar bertekad tidak mau mengulang kesalahan papanya. Ada anak yang seperti itu. Tapi saya juga harus mengatakan secara realistik ada juga anak-anak yang karena orang tuanya tidak setia jadi mereka itu mencontoh, melihat dan akhirnya berpikir, "Orang tua saya juga pernikahannya seperti itu, ya kenapa saya tidak bisa begini? Mengapa harus jadinya salah?". Dan juga orang tua yang rumah tangganya tidak begitu baik hubungannya maka tidak berani menegur anak. Sehingga anak lebih berani juga untuk berbuat dosa.

GS : Hal yang lainnya apa, Pak Paul?

PG : Kasar dan tidak hormat. Jika orang tua kasar dan tidak hormat kepada kita maksudnya berkata atau memarahi kita seenaknya, setelah menikah kita pun cenderung berbuat yang sama terhadap pasangan; kasar dan tidak menghormatinya. Kita mudah marah dan kalau marah kita cenderung berkata dan berlaku buruk kepada pasangan. Sebaliknya jika orang tua bersikap lembut hampir tidak pernah berkata atau berlaku kasar. Nah, setelah menikah kita pun cenderung santun dan lembut kepada pasangan. Kita pun menghormati kepada pasangan sebagai sesama pewaris kerajaan Allah. Nah, jadi apa yang orang tua lakukan kepada kita itulah yang akan kita bawa kedalam pernikahan kita. Kalau orang tua sering mencaci maki kita meskipun kita tidak suka diperlakukan seperti itu, seringnya perkataan-perkataan orang tua itu terekam dalam benak kita. Nanti kita menikah, ketika pasangan kita berbuat salah atau apa melakukan hal-hal yang kita tidak senang atau suka, maka rekaman itu tiba-tiba menyala dan kita akhirnya mengeluarkan perkataan-perkataan yang kasar kepada pasangan kita.

GS : Mungkin itu salah satu bentuk balas dendam, karena dia tidak berani membalas kepada orang tuanya yang kasar terhadap dirinya. Maka sekarang setelah ada pasangan, ini menjadi suatu obyek yang bisa dia lampiaskan kekesalannya?

PG : Bisa, bisa Pak Gunawan. Jadi ada orang-orang yang tanpa disadari menyimpan kemarahan-kemarahan itu dan tidak bisa mencetuskannya karena dulu dia masih kecil sehingga tidak bisa melawan orang tuanya. Nah, akhirnya setelah menikah kemarahan itu disasarkan atau dilampiaskan kepada pasangan walaupun sebetulnya pasangannya tidak layak menerima kata-kata kasar seperti itu.

GS : Kalau mengenai hal yang tidak hormat itu bagaimana, Pak Paul ?

PG : Jadi ada kalanya orang tua itu misalnya tidak menghormati kita di depan teman-teman. Dia memarahi kita, tidak peduli ada teman-teman atau tidak dia akan memarahi kita. Dia menyuruh kita tidak peduli waktu ada teman atau siapa, dia suruh-suruh kita misalkan di depan umum, di gereja atau apa; dia mau apa misalnya mau berkata kasar. Sehingga kita itu malu sekali rasanya karena orang tua kita tidak mau memedulikan perasaan kita; sedikit saja untuk menghormati kita. Seperti itu yang saya maksud dengan tidak menghormati. Sayangnya nanti setelah menikah kalau kita tidak berhati-hati, hal itu kita bawa. Kita juga memarahi pasangan kita di depan orang, di depan anak, kita tidak suka dengan dia karena tindakannya tertentu maka kita langsung berkata kasar, tidak peduli ada siapa disitu.

GS : Iya. Itu membuat anak menjadi malu, dipermalukan di hadapan teman-temannya dan sebagainya. Sehingga semakin lama dia semakin rendah diri dan mungkin dengan kemarahannya dia mau menunjukkan bahwa sebetulnya dia bukan seperti itu.

PG : Bisa, bisa. Karena dia merasa dia dari dulu tertindas, di bawah terus, diinjak-injak terus lalu setelah menikah dia mau tunjukkan bahwa dia bukan orang yang bisa diperlakukan seenaknya. Makanya yang menjadi sasaran sekarang adalah istri atau suaminya.

GS : Iya. Hal teladan positif yang lainnya apa, Pak Paul ?

PG : Berterima kasih dan menghargai. Jika orang tua tidak segan-segan berterima kasih kepada kita waktu kita masih kecil, menghargai apa yang kita perbuat bagi mereka, setelah menikah kita pun cenderung berterima kasih kepada pasangan dan menghargai pengorbanannya buat kita. Sebaliknya apabila orang tua sukar berterima kasih dan meremehkan kita, maka setelah menikah kita pun cenderung seperti itu kepada pasangan. Kita sukar berterima kasih dan menghargai pengorbanannya, kita beranggapan semua kebaikan yang ditunjukkannya memang adalah suatu keharusan. Jadi kita tidak perlu berterima kasih dan menghargainya.

GS : Iya. Memang jarang orang tua itu mau berterima kasih kepada anak. Mereka yang menuntut diberi terima kasih daripada mereka yang harus berterima kasih kepada anak, Pak Paul.

PG : Sayangnya itu yang sering terjadi, Pak Gunawan. Tapi sebetulnya tidak ada salahnya kita sebagai orang tua melihat anak melakukan sesuatu buat kita, ya kita hargailah. Kita berterima kasihlah. Ini bekal buat anak. Nanti ketika sudah menikah dia akan melakukan yang sama kepada pasangannya dan kepada anak-anaknya juga. Waktu pasangannya berbuat hal-hal yang baik, dia akan langsung berkata terima kasih, waktu anak melakukan kewajibannya dia menghargai. Bukankah itu yang baik untuk dilakukan dalam keluarga.

GS : Memang hal-hal untuk memberikan pendidikan tentang berterima kasih tidak cukup hanya dengan kata-kata harus dengan teladan yang nyata supaya berkesan di dalam diri anak.

PG : Betul sekali, Pak Gunawan.

GS : Kalau hubungannya itu dengan iman kita itu bagaimana, Pak Paul ?

PG : Kalau orang tua yang mendorong kita dekat dan takut Tuhan, setelah menikah kita pun cenderung mendorong pasangan untuk dekat dan takut akan Tuhan. Jika orang tua terus mendoakan kita dulu, memerhatikan kehidupan rohani kita setelah menikah, maka kita pun cenderung mendoakan pasangan dan memerhatikan kehidupan rohaninya. Sebaliknya jika orang tua tidak mendorong kita agar dekat dan takut Tuhan setelah menikah kita pun tidak begitu memerhatikan kerohanian pasangan. Akhirnya kita hanya berkubang dalam urusan duniawi dan tidak mementingkan hidup bersama Tuhan. Saya kutip dari Mazmur 90:14 ,"Kenyangkanlah kami di waktu pagi dengan kasih setiaMu, supaya kami bersorak-sorai dan bersukacita semasa hari-hari kami". Firman Tuhan dengan jelas menjabarkan keterkaitan yang erat antara apa yang telah kita terima dan apa yang kita perbuat sebagai ungkapan syukur atas apa yang telah kita terima, karena kita telah menerima kasih setia Tuhan di waktu pagi, maka pada sisa hari kita akan isi itu dengan sukacita. Jadi sekali lagi kita kembali kepada yang kita bahas. Perlakuan apapun yang kita terima dari orang tua akan melahirkan sikap tertentu pada diri kita terhadap pasangan kita nanti. Jika kita menerima kasih setia dari orang tua, kita pun cenderung memberi kasih setia kepada pasangan. Jadi biarlah kita menginginkan anak memunyai relasi yang sehat dengan pasangannya, mulai dari sekarang perlakukanlah anak dengan baik dan peliharalah relasi yang sehat dengannya. Inilah modal dan bekal anak nanti masuk ke dalam pernikahan.

GS : Iya. Tentunya sebagai orang tua kita berharap anak kita itu kehidupan rumah tangganya berjalan dengan baik, Pak Paul; bisa hidup rukun. Tetapi untuk memberikan teladan yang positif terutama yang tadi Pak Paul katakan, termasuk takut akan Tuhan, ini ‘kan bukan sesuatu hal yang mudah yang bisa dilakukan orang tua.

PG : Iya. Jadi memang tidak mudah, Pak Gunawan, karena kita pun juga masih bergumul dalam kerohanian kita, tapi kita akan terus coba dan kita tidak ragu juga berbagi dengan anak-anak bahwa kita pun bergumul menaati Tuhan dan takut akan Tuhan. Ini yang akan anak-anak juga nanti akan rekam bahwa papa mama yang tidak sempurna tapi terus berusaha dekat Tuhan dan takut Tuhan. Ini yang nanti mereka bawa kedalam hidup dan pernikahan mereka.

GS : Justru teladan-teladan yang kurang baik yang seringkali kita wariskan kepada anak, tanpa kita melakukannya dengan kesengajaan atau kesadaran, Pak Paul.

PG : Sayangnya itu yang sering terjadi. Justru yang tidak baik itulah yang kita wariskan. Tapi karena kita sudah sadar, maka kita belajar. Kita coba mulai dari sekarang hanya wariskan yang baik kepada anak-anak.

GS : Pak Paul, terima kasih sekali untuk perbincangan ini. Dan para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih, Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bapak Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara TELAGA (TEgur Sapa GembaLA KeluarGA). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Pengaruh Perlakuan Orang Tua Pada Pernikahan Anak". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini, silakan menghubungi kami lewat surat, alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) di Jalan Cimanuk 56 Malang. Kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan, serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.


Ringkasan:

Sering kali tanpa disadari, perlakuan kita pada pasangan dipengaruhi oleh perlakuan orang tua terhadap kita dulu. Itu sebab penting bagi kita untuk melihat dengan jelas perlakuan orang tua terhadap kita agar kita dapat mengendalikan perlakuan kita terhadap pasangan. Berikut ini akan dipaparkan beberapa perlakuan orang tua yang berdampak pada pernikahan anak.

  1. MENYOROTI YANG NEGATIF DAN HEMAT PUJIAN.
    Bila orang tua cenderung menyoroti sisi negatif kita dan jarang sekali memuji kita, maka setelah menikah kita pun cenderung menyoroti kekurangan pasangan dan jarang memuji kelebihan pasangan. Tidak bisa tidak, relasi seperti ini rawan konflik dan mudah mengundang kemarahan. Pada akhirnya pasangan akan merasa tidak pernah cukup baik dan selalu kurang di hadapan kita. Ia menjadi haus akan pujian dan pengakuan, dan kalau tidak hati-hati, ia akan mencarinya di luar rumah—dari orang lain. Sebaliknya, jika orang tua menyoroti yang positif pada diri kita dan murah dengan pujian, kita pun cenderung menyoroti sisi baik pasangan dan murah dengan pujian kepadanya.
  2. TERUS BERHARAP DAN TIDAK BERPUTUS ASA.
    Mungkin kita pernah bermasalah dan menyusahkan orang tua, tetapi orang tua tidak menyerah. Mereka terus berharap bahwa suatu hari kelak kita akan bertobat; akhirnya kegigihan mereka meluluhkan hati kita yang keras. Kita pun bertobat dan kembali ke jalan yang benar. Jika kita menerima perlakuan seperti ini dari orang tua, setelah menikah, kita pun cenderung terus berharap dan tidak mudah berputus asa terhadap pasangan. Sebaliknya, jika orang tua cepat putus asa terhadap kita, setelah menikah kita pun akan berbuat yang sama terhadap pasangan. Kita cepat putus asa dan tidak bersedia berharap berlama-lama.
  3. KESETIAAN MELAHIRKAN KESETIAAN.
    Jika orang tua hidup setia—tidak mengkhianati pasangan—maka kita pun cenderung setia kepada pasangan. Sebaliknya, jika orang tua tidak setia, maka kita pun cenderung mudah berlaku tidak setia terhadap pasangan. Walaupun kita terluka dan turut menjadi korban ketidaksetiaan orang tua, setelah menikah, kita menjadi lebih mudah jatuh ke dalam dosa ketidaksetiaan.
  4. KASAR DAN TIDAK HORMAT.
    Jika orang tua kasar dan tidak hormat kepada kita—berkata atau memarahi kita seenaknya—setelah menikah kita pun cenderung berbuat sama terhadap pasangan—kasar dan tidak menghormatinya. Kita mudah marah dan kalau marah, kita cenderung berkata dan berlaku buruk kepada pasangan. Sebaliknya, jika orang tua bersikap lembut dan hampir tidak pernah berkata atau berlaku kasar kepada kita, setelah menikah kita pun cenderung santun dan lembut kepada pasangan. Kita pun respek kepada pasangan sebagai sesama pewaris kerajaan Allah.
  5. BERTERIMA KASIH DAN MENGHARGAI.
    Jika orang tua tidak segan-segan berterima kasih kepada kita dan menghargai apa yang kita perbuat bagi mereka, setelah menikah kita pun cenderung berterima kasih kepada pasangan dan menghargai pengorbanannya buat kita. Sebaliknya, apabila orang tua sukar berterima kasih dan meremehkan kita, maka setelah menikah, kita pun cenderung seperti itu kepada pasangan—kita sukar berterima kasih dan menghargai pengorbanannya. Kita beranggapan semua kebaikan yang ditunjukkannya memang adalah suatu keharusan. Jadi, tidak perlu kita berterima kasih dan menghargainya.
  6. MENDORONG KITA DEKAT DAN TAKUT TUHAN.
    Apabila orang tua terus mendorong kita untuk dekat dan takut akan Tuhan, setelah menikah, kita pun cenderung mendorong pasangan untuk dekat dan takut akan Tuhan. Jika orang tua terus mendoakan kita dan memerhatikan kehidupan rohani kita, setelah menikah kita pun cenderung mendoakan pasangan dan memerhatikan kehidupan rohaninya. Sebaliknya, jika orang tua tidak mendorong kita dekat dan takut akan Tuhan, setelah menikah kita pun tidak begitu memerhatikan kerohanian pasangan.

Mazmur 90:14 berkata, "Kenyangkanlah kami di waktu pagi dengan kasih setia-Mu, supaya kami bersorak-sorai dan bersukacita semasa hari-hari kami." Firman Tuhan dengan jelas menjabarkan keterkaitan yang erat antara apa yang telah kita terima dan apa yang kita perbuat sebagai ungkapan syukur atas apa yang telah kita terima. Karena kita menerima kasih setia Tuhan di waktu pagi, sisa hari akan kita isi dengan sukacita. Perlakuan apa pun yang kita terima dari orang tua, akan melahirkan sikap tertentu pada diri kita terhadap pasangan nikah. Jika kita menerima kasih-setia dari orang tua, kita pun cenderung memberi kasih-setia kepada pasangan. Jadi, bila kita menginginkan anak memunyai relasi yang sehat dengan pasangannya, perlakukanlah anak dengan baik dan peliharalah relasi yang sehat dengannya. Inilah modal dan bekalnya masuk ke dalam pernikahan.


Questions: