BETA
Mendengarkan Sebelum Didengarkan
Sumber: telaga
Id Topik: 2288

Abstrak:

Pada umumnya kita ingin didengarkan ketimbang mendengarkan, namun jika ingin berhikmat kita mesti mendisiplin diri untuk mendengarkan. Makin banyak kita mendengarkan, makin bertambah pengetahuan kita akan permasalahan, makin lega lawan bicara kita. Mendengarkan menambah hikmat karena kita masuk ke alam pikiran orang dan mencoba untuk memahaminya. Mendengarkan juga erat hubungannya dengan kerendahan hati. Kerendahan hati adalah langkah menuju hikmat. Jadikanlah mendengarkan sebagai gaya hidup bukan sekadar keterampilan. Makin kita mendengarkan-Nya, makin kita berhikmat.

Transkrip:

Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi di mana pun Anda berada, Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) akan berbincang-bincang dengan Bapak Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling. Perbincangan kami kali ini tentang "Mendengarkan Sebelum Didengarkan". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

GS : Pak Paul, kita masih berbicara dalam satu tema besar yaitu "Bagaimana Hidup Berhikmat" dengan tuntunan Firman Tuhan. "Mendengarkan Sebelum Didengarkan" rasanya agak bertentangan dengan natur kita karena natur kita sebenarnya lebih ingin didengarkan daripada kita mendengarkan orang lain. Ini bagaimana, Pak Paul ?

PG : Betul sekali, Pak Gunawan. Konteks utama kita adalah tentang bagaimana berhikmat, untuk bisa berhikmat kita perlu menerapkan prinsip lebih baik mendengarkan sebelum didengarkan. Sudah tentu betul tadi Pak Gunawan katakan, kita sebagai manusia kerinduan kita didengarkan ketimbang mendengarkan. Tapi kalau kita ingin berhikmat kita harus berdisiplin diri untuk mendengarkan. Mendengarkan terdiri dari dua langkah atau mencakup dua tindakan. Pertama, kita mendengarkan terlebih dahulu sebelum membuka mulut untuk berbicara dan menuntut orang untuk mendengarkan kita. Ini penting untuk dilakukan sebab dengan mendengarkan kita dapat mengerti masalah atau pembicaraan secara lebih utuh. Sebelum memberi jawab kita dapat memahami permasalahan secara lebih lengkap dan tepat. Jadi langkah pertama adalah kita selalu mau mengedepankan mendengarkan terlebih dahulu sebelum kita berbicara atau kita meminta orang untuk mendengarkan kita. Biasanya yang kita lakukan adalah memang, "Ok saya bersedia mendengarkan tapi setelah kamu mendengarkan saya dahulu". Sekarang yang saya minta adalah kita ubah urutannya, kita kedepankan mendengarkan setelah itu barulah kita minta orang mendengarkan kita.

GS : Apakah itu hanya berlaku kalau kita setara, artinya secara kedudukan sosial sama, usia sama dan sebagainya atau berlaku umum begitu? Kadang-kadang kita mau mendengarkan tapi kalau orang itu lebih muda dari kita seolah-olah lebih kita merasa superior, merasa lebih, dan kamu yang lebih muda, dengarkan saya dahulu. Atau terhadap anak, atau terhadap istri atau berlaku umum, begitu Pak Paul ?

PG : Seharusnya berlaku umum, Pak Gunawan tapi saya mengerti kita hidup dalam budaya tertentu dan budaya kita ini, orang yang tua seharusnya diberikan hak lebih banyak untuk berbicara dan yang lebih muda dituntut untuk mendengarkan, tapi sebetulnya sikap yang baik adalah mendengarkan terlebih dahulu dan tidak jadi soal apakah orang itu secara sosial di bawah kita atau di atas kita atau setara dengan kita.

GS : Pada waktu kita mendengarkan, otak kita berproses untuk tetap memaksakan supaya dia mendengarkan kita.

PG : Kebanyakan kita bila berbicara sebetulnya memang tidak begitu mendengarkan dengan baik karena kita sudah terlalu sibuk memikirkan apa yang ingin kita katakan. Jadi perlu disiplin untuk bisa menahan pikiran kita sehingga belum apa-apa bekerja, memikirkan apa yang ingin kita katakan dan memaksa diri untuk memfokuskan diri perhatian kita pada apa yang dikatakan oleh orang tersebut.

GS : Lalu hal yang kedua apa Pak Paul, tadi Pak Paul katakan ada dua tindakan, yang kedua apa ?

PG : Yang kedua bukan saja kita mendengarkan terlebih dahulu, dalam pembicaraan kita pun lebih memilih untuk mendengarkan daripada berbicara dan didengarkan. Dengan kata lain, sebaiknya porsi terbesar bukanlah mendengarkan tapi didengarkan. Makin banyak kita mendengarkan makin bertambah pengetahuan kita akan permasalahan dan makin lega lawan bicara kita. Akhirnya percakapan menjadi lebih cair dan santai. Jadi sekali lagi saya ulang, mendengarkan terdiri dari dua tindakan. Yang pertama secara umum kita berusaha mendengarkan terlebih dahulu sebelum kita berbicara atau meminta orang mendengarkan kita. Yang kedua yang saya tekankan adalah, kita memilih untuk mendengarkan daripada berbicara atau didengarkan. Jadi secara umum kita lebih mau diam dan mendengarkan. Berbicara seperlunya tidak sembarangan, porsi terbesar dalam kita berinteraksi dengan orang adalah lebih banyak kita mendengarkan. Hikmat baru bisa kita peroleh dan muncul didalam sikap hidup yang seperti ini, sikap hidup yang lebih banyak mau mendengarkan. Kalau perlu baru kita bicara, kalau tidak, tidak usah.

GS : Sebenarnya perbedaan yang sangat prinsip antara yang pertama dan kedua itu dimana, Pak Paul ?

PG : Kalau yang pertama maksudnya keduanya bisa bicara, kita hanya menunggu giliran. Daripada giliran kita yang berbicara, kita memberikan giliran itu kepada lawan bicara kita. Kita memilih untuk mendengarkan dulu, jadi seolah-olah kita mengalah. Lebih baik kita mendengarkan dulu apa yang dia pikiran, dia katakan, baru kita setelah itu. Porsinya sama 50 : 50. Kalau gaya hidup yang kedua selain dari mendahulukan orang, kita memang secara umum mau mempunyai sebuah gaya hidup yaitu kita lebih mau irit bicara. Kita lebih mau mengedepankan mendengarkan, biar orang yang bicara dan kita duduk, mendengarkan dan kalau perlu memang diminta baru kita berikan masukan-masukan.

GS : Karena pendengar yang aktif membutuhkan umpan balik dari orang yang berbicara tadi. Kita mendengarkan orang berbicara supaya jelas bahwa kita aktif mendengarkan. Kita minta umpan balik, begitu Pak Paul.

PG : Jadi ada orang-orang yang dalam berbicara dia akan sabar, memberi kesempatan kepada lawan bicaranya untuk bicara tapi dia juga akan bicara dan dia berharap lawan bicaranya akan mendengarkan dia. Jadi porsinya kira-kira sama. Yang saya juga mau dorong kita lakukan adalah bukannya mempertahankan porsi yang sama tapi mengecilkan porsi kita berbicara dan lebih baik kita mendengarkan. Saya pernah diminta hadir dalam sebuah pertemuan, nah orang tersebut yang meminta saya hadir, mau memberikan pertolongan kepada satu kelompok, sebuah Yayasan. Saya agak bingung pada waktu saya hadir dalam pertemuan itu sebab seharusnya kita tanya, lebih banyak mendengarkan apa kebutuhan Yayasan ini, apa yang bisa kita bantu. Tapi yang terjadi adalah, orang yang mengundang saya, mendominasi pembicaraan dari depan sampai belakang dia berbicara terus. Saya menjadi bingung yang mau ditolong tidak diberi kesempatan memberitahukan apa yang dibutuhkan sebab yang mau menolong sudah mendominasi seolah-olah dia sudah mengetahui semuanya. Memang orang ini seperti itu, gaya hidupnya gaya hidup berbicara dan orang harus mendengarkan dia. Saya mau kita belajar untuk lebih banyak mendengarkan. Jadi itu sebuah gaya hidup kita.

GS : Ya sebenarnya kalau kita yang lebih banyak bicara, kita tidak bisa memberikan pertolongan sesuai yang dibutuhkan oleh orang yang mau kita tolong itu.

PG : Betul, Pak Gunawan. Kalau kita mengatakan bahwa "Kita datang untuk menolong kamu". Orang itu tidak sempat membuka mulut, kita terus yang buka mulut, bagaimana kita bisa menolong dia ? Tidak mungkin. Di mata orang itu saya pun berpikir pasti dia juga kecewa mungkin merasa kesal. Mengapa orang ini bukan bertanya kebutuhannya apa, tapi terus berbicara tidak pernah berhenti.

GS : Tetapi untuk mendorong orang berbicara itu ‘kan kadang-kadang perlu dimotivasi, ada orang yang apalagi yang tadi saya katakan, yang status sosialnya beda untuk mengutarakan itu susah untuk dia bila tidak diberi kesempatan, Pak Paul?

PG : Kalau kita dalam konteks budaya tertentu kita agak susah untuk berinisiatif memang kalau kita tidak mendapatkan ijin dari orang lain untuk berbicara.

GS : Lalu apa kaitannya antara mendengarkan dengan hikmat ?

PG : Pertama mendengarkan bukan saja memasang telinga tapi terpenting kita berusaha mengerti apa yang disampaikan dan mengapa perlu disampaikan. Setiap butir pemahaman atau usaha untuk memahami akan menambah hikmat, sebaliknya didengarkan tidak akan menambah hikmat karena didengarkan atau kita yang berbicara terus hanyalah mengeluarkan apa yang ada di alam pemikiran sendiri. Mendengarkan menambah hikmat karena kita masuk ke dalam alam pikiran orang dan mencoba memahaminya. Ini bisa kita lihat, Pak Gunawan, pada orang-orang yang gemar membaca. Orang yang gemar membaca sebetulnya adalah orang yang gemar mendengarkan sebab ya sama juga mendengarkan lewat telinga atau mendengarkan lewat mata. Intinya adalah orang yang gemar membaca buku sebetulnya orang yang gemar mendengarkan. Tidak heran orang yang gemar membaca akhirnya mempunyai hikmat yang dalam karena pengetahuan dan pengertiannya akan bertambah. Kalau kita hanya gemar berbicara, kita tidak akan menambah hikmat karena kita hanya mengeluarkan pikiran kita sendiri dan kita hanya akan mendengarkan pikiran kita sendiri, bukan orang lain.

GS : Seringkali orang mau membuktikan bahwa dirinya berhikmat lewat perkataannya, dia berusaha untuk lebih banyak bicara supaya kesannya dia seorang berhikmat, tahu segala macam lalu disampaikan, begitu Pak Paul.

PG : Masalahnya adalah makin dia berusaha untuk bicara untuk menunjukkan dia berhikmat, seringkali justru orang makin melihat dengan tambah jelas bahwa dia kurang berhikmat. Sekali lagi lebih baik kita kedepankan mendengarkan. Makin kita mendengarkan, mengerti kenapa orang ini bicara, apa yang ingin disampaikannya, makin kita belajar tentang apa yang ingin dia katakan tentang kehidupan ini dan itu akan menambah hikmat kita.

GS : Untuk bisa mengerti apa yang disampaikan dan mengapa itu perlu disampaikan, kita perlu memotivasi orang, lawan bicara kita supaya bisa berbicara dengan jelas.

PG : Betul, kita juga harus berusaha menolong, menciptakan suasana yang nyaman atau mungkin juga menanyakan sehingga dia terbuka dia akan bicara, apa yang ingin dia sampaikan dan mengapa ingin dia sampaikan.

GS : Karena ada pula orang yang bersikap mendengarkannya secara pasif, "Sudah kamu bicaralah terus nanti giliran saya yang bicara." Hal ini tidak akan membantu, Pak Paul.

PG : Tidak ada komunikasi juga.

GS : Hal yang kedua, apa Pak Paul ?

PG : Firman Tuhan di Yakobus 1:19 menasihati kita untuk "cepat mendengar tapi lambat untuk berkata-kata dan juga lambat untuk marah". Disini kita dapat melihat bahwa mendengarkan dan marah-marah berhubungan erat. Barangsiapa lambat mendengar tapi cepat berkata-kata, ia akan cepat marah sebaliknya barangsiapa cepat mendengar tapi lambat berkata-kata dia akan lambat marah. Sebagaimana kita ketahui kemarahan adalah musuh hikmat. Jadi makin cepat dan makin mudah kita marah, makin jauh kita dari hikmat sebaliknya makin lambat kita marah makin dekat kita dengan hikmat. Hal kedua yang ingin kita tekankan adalah orang yang mendengarkan akan lebih lambat marah, Pak Gunawan. Orang yang tidak suka mendengarkan hanya suka bicara, biasanya lebih cepat marah. Kita tahu orang yang cepat marah itu orang yang tidak berhikmat. Susah sekali menangkap hikmat karena emosinya menutupi dia, menghalangi dia untuk bisa menimba hikmat. Kita lihat ada satu keterkaitan disini, makin kita banyak mendengarkan makin lambat kita marah. Makin lambat kita marah makin cepat kita berhikmat.

GS : Memang ada kaitan antara kemarahan ini dengan hikmat, bagaimana kita bisa menjadi tidak cepat marah tapi bisa menahan diri untuk mau mendengarkan orang lain berbicara walaupun kadang-kadang bertentangan dengan pikiran kita?

PG : Jadi salah satu cara untuk belajar menguasai kemarahan adalah dengan menambah porsi mendengarkan. Kita mesti mendisiplin diri, memaksa diri untuk mendengarkan. Makin kita bisa mendengarkan untuk waktu yang panjang, maka makin kita bisa menguasai kemarahan kita. Memang ada hubungan yang erat sekali antara mendengarkan dan marah dan juga berhikmat. Orang yang lebih mudah marah adalah orang yang memang susah sekali mendengarkan. Kita mungkin pernah bertemu dengan orang-orang seperti itu. Jadi baru kita bicara dia sudah bicara lagi, dia sudah berespons lagi. Tinggal tunggu waktu, orang seperti ini akan meledak kemarahannya.

GS : Yang sulit dalam mendengarkan itu adalah mencari inti sebenarnya apa yang mau dia sampaikan. Ada orang yang suka berputar-putar, ini yang menimbulkan kadang-kadang kemarahan dalam diri kita. Mengapa tidak mau to the point saja dia bicara, mengapa mesti berputar-putar tidak karuan sehingga kita dibuat pusing juga, Pak Paul.

PG : Mendengarkan itu tidak mudah, tadi Pak Gunawan sudah berikan masukan pada waktu kita mendengarkan kita juga perlu mengajukan pertanyaan atau mengarahkan sehingga apa yang ingin disampaikan bisa disampaikan dengan jernih, dengan jelas dan mengapa ia ingin menyampaikannya dapat juga dikomunikasikan sehingga kita mengerti.

GS : Memang itulah keuntungannya kalau kita mendengarkan lewat buku. Kalau buku membosankan kita bisa cepat-cepat menyingkirkannya, tapi kalau dengan orang kita tidak bisa seperti itu, Pak Paul.

PG : Tidak bisa. Memang lebih susah itu betul, tapi kadang-kadang itu yang kita hadapi, Pak Gunawan. Di dunia ini ada macam-macam manusia, tidak sama semuanya.

GS : Itu kaitannya bagaimana hikmat itu bisa tumbuh ?

PG : Kalau kita tidak mudah untuk marah dan kita memaksa diri mendengarkan, tidak bisa tidak orang yang bisa menguasai diri tidak marah akhirnya akan menjadi orang yang terbuka pikirannya. Lebih bisa mengerti karena dia tidak cepat bereaksi. Secara konkretnya begini, kalau kita bicara dengan orang belum apa-apa sudah marah-marah, orang itu bisa marah kembali atau akhirnya tidak mau bicara dengan kita. Akhirnya orang lebih banyak membiarkan kita, karena itu orang yang lebih mudah marah tidak dikelilingi oleh orang-orang yang bijaksana. Karena orang yang bijaksana tidak betah dekat-dekat dengan orang yang mudah marah. Mereka akan menjauh, makin orang ini dijauhi oleh orang yang bijak, makin dia tenggelam, dia makin hari makin kurang bijaksana.

GS : Pak Paul, untuk konkretnya didalam Alkitab apakah ada contoh-contoh orang yang mau mendengarkan sebelum didengarkan ?

PG : Salah seorang tokoh di Alkitab yang gemar didengarkan tapi tidak suka mendengarkan adalah raja Saul. Dia kebalikan dari penerusnya, raja Daud. Berkali-kali baik Samuel yang mengurapinya, putranya Yonatan maupun Daud sendiri yang adalah menantunya, berbicara kepada raja Saul dan menasihatinya. Sayang dia tidak menggubrisnya bahkan sewaktu imam Allah berbicara ia pun tidak bersedia mendengarkan. Saul menuntut orang mendengarkannya, tidak heran ia hidup tanpa hikmat. Akhir hidupnya tragis, bukan saja ia mati di tangan musuhnya, ia pun ditinggalkan Tuhan. Sebaliknya raja Daud bersedia untuk mendengarkan. Sewaktu Yonatan memberinya nasihat bagaimana seharusnya ia bersikap terhadap raja Saul, Daud pun mendengarkan. Tatkala Abigail memohon kepadanya untuk tidak membunuh suaminya, Nabal, yang telah menghina raja Daud. Tanpa ragu Daud mendengarkan dan membatalkan niatnya. Pada waktu Natan menegur Daud atas dosanya, Daud juga mendengarkan. Pertanyaannya, apakah yang membedakan keduanya, Saul dan Daud ? Apakah yang membuat Saul tidak mendengarkan dan apa yang membuat Daud mendengarkan. Jawabannya adalah kerendahan hati, Pak Gunawan. Saul tidak rendah hati, ia sombong sedangkan Daud rendah hati. Ya mendengarkan bergantung pada satu faktor yaitu apakah kita memiliki kerendahan hati, bila kita angkuh kita sukar mendengarkan sebaliknya kita menuntut orang untuk mendengarkan kita. Jadi disini kita bisa lihat, kerendahan hati adalah jalan menuju hikmat. Oleh karena rendah hati kita mendengarkan. Oleh karena mendengarkan kita akan belajar dan mengerti banyak. Jadi rendahkanlah hati untuk mendengarkan perkataan orang. Jadikanlah mendengarkan sebagai gaya hidup bukan sekadar keterampilan. Sudah tentu pada akhirnya kita harus membuka telinga hati kita terhadap suara Roh Kudus sendiri. Makin kita mendengarkannya, makin kita berhikmat.

GS : Jadi sebenarnya kerendahan hati harus lebih dahulu dimiliki supaya ia berhikmat atau berhikmat dulu supaya ia bisa rendah hati ?

PG : Rendah hati dahulu, itu modalnya, Pak Gunawan. Jadi karena Daud itu rendah hati, kita bisa melihat contoh-contohnya. Dia menerima teguran, menerima nasihat, maka dia makin berhikmat. Raja Saul sebaliknya, dia tidak rendah hati, maka tidak mau mendengarkan orang, akhirnya dia kehilangan kesempatan untuk berhikmat.

GS : Tapi kalau kita lihat latar belakang mereka berbeda sekali. Sejak awal raja Daud mendapatkan didikan untuk rendah hati. Kita tidak melihat hal itu pada diri raja Saul.

PG : Kita memang sudah melihat dari mudanya raja Daud seorang yang rendah hati misalkan pada waktu dia ingin bertarung dengan Goliat saudara-saudaranya awalnya tidak suka, memarahi dia. Dia tidak membalas marah, dia dimarahi oleh kakak-kakaknya, dia terima saja. Dia menunjukkan seorang yang rendah hati. Dan setelah dia berhasil mengalahkan Goliat, dia tidak menyombongkan diri, dia tidak cerita-cerita, dia tidak membanggakan perbuatannya. Dia pokonya biasa-biasa saja, untuk waktu yang lama setelah dia membunuh Goliat, bahkan dia tidak menjadi apa-apa. Dia tidak menjadi panglima perang, jadi memang kita melihat Daud tidak berambisi dan kenapa dia tidak berambisi karena dia rendah hati. Justru karena itulah makin hari makin bertambah hikmatnya.

GS : Jadi harus ada modal lebih dahulu dalam diri orang itu yaitu rendah hati, Pak Paul ?

PG : Betul Pak Gunawan.

GS : Dan ini merupakan suatu anugerah dari Tuhan yang kita tidak bisa berharap, harus semua orang seperti itu.

PG : Kita sudah tentu perlu sekali pertolongan Roh Kudus untuk rendah hati karena kita mesti mengakui bahwa kecenderungan kita bukannya rendah hati tapi tinggi hati. Kita maunya membanggakan diri, orang menghormati kita dan mendengarkan kita. Itu yang sebetulnya kita inginkan, memang kita sangat memerlukan pertolongan Roh Kudus untuk membentuk kita menjadi rendah hati.

GS : Tapi kalau memang kita berhikmat kita pasti tahu bahwa tanpa kerendahan hati kita tidak mungkin bisa bertumbuh hikmatnya di dalam Tuhan.

PG : Betul, betul. Kalau kita memang mau berhikmat kita mesti melewati atau memulai langkah pertama yaitu merendahkan hati kita.

GS : Yang tidak terjadi dalam diri Saul adalah, walaupun banyak peristiwa sebenarnya dia bisa belajar untuk rendah hati, tapi dia memilih untuk tidak rendah hati, begitu Pak Paul ?

PG : Betul, betul. Berkali-kali Daud mempunyai kesempatan untuk membunuh dia

tapi tidak dilakukannya. Tapi masalahnya Saul itu tidak sadar, tetap saja dia kejar Daud, dia kejar Daud sampai berkali-kali. Dia tidak pernah belajar dari itu. Anaknya juga bicara kepadanya mengapa begitu kejam terhadap Daud, pernah bersalah apa terhadapnya. Tidak bisa ia mendengarnya malah dia memaki-maki dengan kata-kata yang kasar. Jadi benar-benar Saul susah sekali mendengarkan orang, karena ia hanya mau mendengarkan dirinya sendiri.

GS : Jadi sebenarnya persoalan-persoalan kehidupan ini bisa kita hadapi dengan hikmat Tuhan kalau saja kita mengenal prinsip-prinsip yang sudah kita bahas selama 4x berturut-turut ini. Dan semoga pembicaraan kita ini bermanfaat bagi semua orang juga termasuk untuk kita sendiri. Baik, terima kasih Pak Paul untuk perbincangan ini.

PG : Sama-sama, Pak Gunawan.

GS : Para pendengar sekalian, terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bapak Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Mendengarkan Sebelum Didengarkan". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini, silakan menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Atau Anda juga dapat menggunakan e-mail ke alamat telaga@telaga.org. Kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan, serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Akhir kata dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa dalam acara TELAGA yang akan datang.


Ringkasan:

Tuhan Kita Yesus tidak meninggalkan kita sendirian. Selain meninggalkan Roh-Nya yang Kudus, yang memberi kekuatan dan menuntun kita di jalan-Nya yang benar, Ia pun meninggalkan Firman-Nya, yang memberi kita hikmat untuk menghadapi pelbagai masalah dalam hidup ini. Banyak kesusahan timbul karena kurangnya hikmat; itu sebab kita perlu menimba "mutiara" yang Tuhan sudah sediakan untuk kita.

Hal keempat yang perlu kita pelajari bila kita ingin berhikmat adalah mendengarkan sebelum didengarkan. Pada umumnya kita ingin didengarkan ketimbang mendengarkan, namun jika kita ingin berhikmat, kita mesti berdisiplin diri untuk mendengarkan. Mendengarkan terdiri dari dua langkah atau mencakup dua tindakan.

  1. Kita MENDENGARKAN TERLEBIH DAHULU, sebelum membuka mulut untuk berbicara dan menuntut orang untuk mendengarkan. Ini penting dilakukan, sebab dengan mendengarkan, kita akan dapat mengerti masalah atau pembicaraan secara lebih utuh. Sebelum memberi jawab, kita bisa memahami permasalahan secara lebih lengkap dan tepat.
  2. Bukan saja kita mendengarkan terlebih dahulu, di dalam pembicaraan, kita pun lebih MEMILIH UNTUK MENDENGARKAN daripada berbicara dan didengarkan. Dengan kata lain, sebaiknya porsi terbesar bukanlah didengarkan, melainkan mendengarkan. Makin banyak kita mendengarkan, makin bertambah pengetahuan kita akan permasalahan, dan makin lega lawan bicara kita. Akhirnya percakapan menjadi lebih cair dan santai.

Sekarang mari kita lihat kaitan antara mendengarkan dan hikmat; setidaknya ada dua:

  1. Mendengarkan berarti bukan saja memasang telinga tetapi terpenting, kita berusaha mengerti apa yang disampaikan dan mengapa perlu disampaikan. Setiap butir pemahaman—atau usaha untuk memahami—akan menambah hikmat. Sebaliknya, didengarkan tidak akan menambah hikmat karena didengarkan—atau berbicara—hanyalah mengeluarkan apa yang ada di alam pikiran sendiri. Jadi, sekali lagi, mendengarkan menambah hikmat karena kita masuk ke alam pikiran orang dan mencoba memahaminya.
  2. Firman Tuhan di Yakobus 1:19 menasihati kita untuk "cepat untuk mendengar, tetapi lambat untuk berkata-kata, dan juga lambat untuk marah." Di sini kita dapat melihat bahwa mendengarkan dan marah-marah berhubungan erat. Barangsiapa lambat mendengar tetapi cepat berkata-kata, ia akan cepat marah. Sebaliknya, barangsiapa cepat mendengar tetapi lambat berkata-kata, ia akan lambah marah. Nah, sebagaimana kita ketahui, kemarahan adalah musuh hikmat; jadi, makin cepat dan mudah marah, makin jauh kita dari hikmat. Sebaliknya, makin lambat kita marah, makin dekat kita dengan hikmat.

Salah seorang tokoh di Alkitab yang gemar didengarkan tetapi tidak suka mendengarkan adalah Raja Saul. Ia adalah kebalikan dari penerusnya, Raja Daud. Berkali-kali, baik Samuel yang mengurapinya, putranya Yonatan maupun Daud sendiri—yang adalah menantunya—berbicara kepada Raja Saul dan menasihatinya. Sayang, ia tidak menggubrisnya. Bahkan sewaktu imam berbicara, ia pun tidak bersedia mendengarkan. Ia menuntut orang mendengarkannya; tidak heran ia hidup tanpa hikmat. Akhir hidupnya tragis; bukan saja ia mati di tangan musuhnya, ia pun ditinggalkan oleh Tuhan. Sebaliknya, Raja Daud bersedia untuk mendengarkan. Sewaktu Yonatan memberinya nasihat bagaimana seharusnya ia bersikap terhadap Raja Saul, Daud pun mendengarkan. Tatkala Abigail memohon kepadanya untuk tidak membunuh suaminya, Nabal, yang telah menghina Daud, tanpa ragu Daud mendengarkan dan membatalkan niatnya. Pada waktu Natan menegurnya atas dosanya, Daud juga mendengarkan.

Pertanyaannya, apakah yang membedakan keduanya—Saul dan Daud? Apakah yang membuat Saul tidak mendengarkan dan apa yang membuat Daud mendengarkan? Jawabannya adalah, kerendahan-hati. Saul tidak rendah hati—ia sombong—sedang Daud rendah hati. Ya, mendengarkan bergantung pada satu faktor: Apakah kita memiliki kerendahan hati? Bila kita angkuh, kita sukar mendengarkan; sebaliknya, kita menuntut orang untuk mendengarkan kita. Jadi, kerendahan hati adalah langkah menuju hikmat. Oleh karena rendah hati, kita mendengarkan; oleh karena mendengarkan, maka kita akan belajar dan mengerti banyak. Jadi, rendahkanlah hati untuk mendengarkan perkataan orang. Jadikanlah mendengarkan sebagai gaya hidup, bukan sekadar keterampilan. Sudah tentu pada akhirnya kita harus membuka telinga terhadap suara Roh Kudus. Makin kita mendengarkan-Nya, makin kita berhikmat.


Questions: