BETA
Berkata Sebelum Berbuat
Sumber: telaga
Id Topik: 2286

Abstrak:

Ada berbagai penyebab a.l. menganggap diri pintar atau bijak, kita punya ego yang besar, beranggapan seharusnya orang tahu, kita tidak bisa menguasai letupan emosi. Beberapa masukan untuk mengaplikasikan yang kita pelajari yaitu kita mesti punya konsep yang tepat tentang Tuhan, punya keyakinan bahwa Allah sanggup memakai siapa pun untuk menggenapi rencana-Nya, mesti belajar rendah hati dan lebih bersukacita melihat pertobatan ketimbang penghukuman.

Transkrip:

Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi di mana pun Anda berada, Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Acara ini diselenggarakan oleh Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) bekerja sama dengan radio kesayangan Anda ini. Saya Gunawan Santosa, akan berbincang-bincang dengan Bapak Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling. Perbincangan kami kali ini adalah tentang "Berkata Sebelum Berbuat". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

GS : Pak Paul, kita pada kesempatan yang lampau itu telah membicarakan tentang "Berpikir Sebelum Berkata". Sekarang kita akan membicarakan atau memperbincangkan tentang "Berkata Sebelum Berbuat", ini ada korelasi atau bagaimana Pak Paul?

PG : Ada Pak Gunawan. Jadi kita ini sedang mempelajari tentang hikmat. Kita ini meyakini bahwa Tuhan itu meninggalkan firman-Nya dan Roh-Nya yang kudus untuk menuntun kita dalam hidup ini. Menerapkan firman-Nya, prinsip-prinsip dari firman-Nya untuk menghadapi pelbagai masalah dalam hidup. Sebab, kenapa, banyak kesusahan timbul karena kurangnya hikmat. Nah itu sebab firman Tuhan diberikan kepada kita untuk kita bisa ini menghadapi hidup dengan lebih berhikmat. Kita sudah membahas yang pertama, yaitu kita perlu berpikir sebelum kita ini berkata-kata untuk belajar berhikmat. Tindakan kita yang kedua atau langkah kedua yaitu kita jika ingin berhikmat kita mesti berkata sebelum berbuat. Maksud saya, sebelum kita melakukan sesuatu kita harus membicarakannya terlebih dahulu. Jadi ini yang saya maksud dengan "Berkata Sebelum Berbuat", kita sebaiknya sebelum melakukan sesuatu kita membicarakannya terlebih dahulu.

GS : Yang Pak Paul maksudkan membicarakan lebih dahulu dengan orang lain atau kita pikirkan masak-masak atau bagaimana Pak Paul?

PG : Jadi memang ada kedua-duanya. Jadi yang pertama kita ini berkata sebelum berbuat dalam pengertian kita mau mendapatkan masukan yang lebih banyak dan lebih lengkap. Terkadang kita ini bertindak tanpa bermusyawarah karena kita ini pendiam, tidak suka berbicara, kita memikirkan semuanya sendiri, jarang bertukar pikiran dengan orang lain. Mungkin saja kita benar dan berpikir jelas tapi pada umumnya pendapat yang digodok bersama cenderung menjadi lebih matang dan lebih tepat daripada tidak sama sekali. Amsal 11:14 memberi kita nasehat "Jikalau tidak ada pimpinan jatuhlah bangsa, tetapi jikalau penasehat banyak keselamatan ada" . Jadi penekanan pada banyak penasehat lebih banyak kemungkinannya kita ini melakukan hal yang benar, atau memutuskan secara lebih benar. Maka sebaiknya waktu kita ini mau melakukan sesuatu, maka berkatalah! Dalam pengertian pertimbangkanlah, berundinglah bersama-sama, terimalah masukan-masukan. Sebelumnya kita berbuat, itulah yang kita lakukan.

GS : Ada orang yang memang meminta nasehat Pak Paul. Tetapi setalah diberi nasehat dia masih tetap ‘ngotot’ dengan pendapat sendiri?

PG : Sudah tentu ada kalanya kalau kita ini tidak mendengarkan nasehat orang meskipun orang itu berniat baik kepada kita, karena kita lebih benar. Adakalanya itu yang terjadi. Tapi tetap sebaiknya kita biasakan disiplin dir untuk meminta pendapat orang. Dan sebelum kita menolaknya atau tidak setuju dengan pendapat orang lebih baik kita pikirkan dulu baik-baik. Namun di penekanannya disini adalah sebelum kita berbuat atau bertindak cobalah berkata-kata dalam pengertian bicarakanlah dengan teman-teman, dengan pasangan kita, carilah masukan-masukan dari orang-orang yang kita tahu, nah itu akan menolong kita mnegambil keputusan. Ini kita lebih bicara tentang hikmat. Jadi orang yang berhikmat justru itu akan mau mendengarkan masukan dari orang-orang lain.

GS : Tapi sebelum membicarakan dengan orang lain, kita perlu punya satu prinsip "Saya mau melakukan ini", itu menurut pendapat kita ini sudah benar. Jadi kalau ada kesempatan untuk dibicarakan dengan orang lain, kita akan kembali kesitu lagi?

PG : Iya. Memang adakalanya satu orang itu bisa benar, slah seorang bisa salah. Memang bisa begitu tetapi kemungkinan itu lebih kecil. Kebanyakan kalau kita mengambil keputusan bersama kalau mayoritas itu tidak bisa setuju, tidak bisa melihat, kemungkinan besar kita yang keliru. Tapi sekali lagi saya mau mengakui ada orang yang memang bisa berpikir sangat jauh dan kelompok yang besar bisa salah. Contoh yang konkret tentang orang yang berbeda pendapat, tidak mau mendengar masukan dari orang adalah Hitler, dalam perang dunia kedua. Waktu mau menyerang Leningrad, mau menyerang Soviet penasehat militernya sebetulnya berkata "Jangan". Kenapa? Sebab musim dingin disana terlalu keras. Contohnya mereka langsung munculkan Napolen. Napoleon berusaha juga menaklukkan, tetapi tidak bisa. Soviet itu negara yang susah sekali ditaklukkan karena begitu luas dan musim dinginnya begitu parah, sehingga kalau tentara datang tidak bisa makan karena tidak ada makanan terlalu dingin dan lapar. Hitler tidak mendengar. Dia merasa dia sudah berhasil menaklukkan banyak negara di Eropa terutama. Jadi dia berkata "Tinggal Soviet!". Maka dia tetap jalan. Benar! Begitu masuk ke kota Leningrad, orang-orang Leningrad bakar lumbung-lumbung makanan lalu mengungsi. Mereka masuk, duduki itu kota tidak menemukan makanan lagi. Akhirnya kedinginan, kelaparan, diserang balik. Akhirnya mereka kalah harus mundur. Nah, jadi itu contoh orang yang tidak mau menerima masukan. Jadi akhirnya justru dia salah. Mulai dari titik itulah Jerman terpukul terus sampai akhirnya takluk dalam Perang Dunia kedua.

GS : Iya. Hal yang kedua apa Pak Paul?

PG : Yang kedua adalah kita ini mesti memberi peringatan atau nasehat sebelum mengambil tindakan. Jadi kita kenapa mau membicarakannya terlebih dahulu sebelum kita bertindak atau berbuat karena dengan kita berbicara kita itu memberikan peringatan atau nasehat sebelum mengambil tindakan. Kadang kita ini langsung menghukum orang atau menjatuhkan sangsi tanpa memberitahukannya terlebih dahulu akan apa yang sebenarnya kita harapkan darinya. Atau memberikannya kesempatan untuk berubah. Meskipun orang belum tentu mau berubah kita tetap mesti memberikannya kesempatan untuk mendengar nasehat atau peringatan kita. Jadi ini salah satu tujuan kenapa kita mesti berkata sebelum berbuat. Kita mesti memberi peringatan atau nasehat sebelum kita bertindak, misalnya memberi sangsi atau memberi hukuman orang tersebut.

GS : Iya. Ini mungkin karena kita juga tidak mengerti apa yang akan kita indahkan, apa yang akan kita ambil kalau pendapat kita itu tidak diikuti dan sebagainya begitu Pak Paul. Tapi ada juga orang yang memikirkan bahwa kalau dia sudah berbicara dia juga harus bertindak. Padahal dia belum tentu punya kemampuan untuk bertindak seperti apa yang dia bicarakan.

PG : Betul. Adakalanya kita ini karena sudah terlanjur mengeluarkan perkataan apa, kita mesti membuktikannya. Padahal kita memang tidak sanggup untuk melakukannya. Nah, jadi kita mesti hati-hati dengan apa yang kita katakan itu. Jangan sampai kita mengatakan sesuatu yang kita tidak bisa lakukan.

GS : Iya seperti orang tua yang memberikan ancaman kepada anaknya "Kalau kamu tidak pulang, nanti tidak saya bukakan pintu" jadi tidak dibiarkan masuk. Namun ketika anaknya pulang dia tidak tega untuk membiarkan anaknya diluar rumah. Lama-lama oleh anaknya itu dipahami bahwa ayahnya ini tidak konsekuen dengan perkataannya sendiri. Jadi bagaimana Pak Paul?

PG : Jadi orang yang bijak adalah orang yang memberikan peringatan atau memberikan nasehat sebelum bertindak. Namun dia akan bertindak Pak Gunawan. Kalau hanya memberi nasehat atau memberi peringatan tapi tidak bertindak, itu juga bukanlah orang yang bijaksana. Jadi orang yang bijaksana tetap mesti nantinya itu bertindak tidak hanya berbicara saja.

GS : Iya tetapi tindakan apa yang akan diambil itu pun harus dipikirkan masak-masak, bahwa dia mampu melakukan hal itu. Nah, apakah ada penyebabnya Pak Paul? Orang itu bisa berbuat sebelum dia membicarakan hal yang penting itu dengan orang lain begitu?

PG : Ada 3 Pak Gunawan. Pertama, kita ini menganggap diri pintar atau bijak dan menilai orang lain tidak sepintar atau sebijak kita. Itu sebab kita enggan berkata atau bermusyawarah dengan orang. Sebab buat kita itu adalah pemborosan waktu dan tenaga. Amsal 3:7-8 mengingatkan "Janganlah engkau menganggap dirimu sendiri bijak. Takutlah akan Tuhan dan jauhilah kejahatan. Itulah yang akan menyembuhkan tubuhmu dan menyegarkan tulang-tulangmu". Nah, jadi kenapa kok ada orang yang cenderung berbuat sebelum berkata-kata karena sudah anggap dirinya pintar. Tidak perlu lagi berbicara lagi dengan orang, tidak perlu lagi meminta pendapat dari orang, tidak perlu runding sama orang, pokoknya "Saya pasti bisa, dan saya pasti benar". Nah, firman Tuhan mengingatkan jangan berpikiran seperti itu. Jangan anggap kita yang paling pintar, karena biasanya itu orang yang berpikiran dia yang paling pintar yang paling tahu, akhirnya akan terperosok. Dia akan menimbulkan justru masalah yang besar.

GS : Atau karena dia merasa sudah berpengalaman dalam hal ini begitu Pak Paul, dia sudah mahir di dalam hal ini. Jadi dia tidak meminta pendapat lagi, "Sudah biasa kok dia lakukan itu". Nanti akhirnya dia salah. Tadi seperti yang Pak Paul katakan tentang Hitler itu, dia sudah "Menang, menang terus", berdasarkan pengalaman yang dia peroleh dia pasti menang di Rusia. Tapi ternyata tidak.

PG : Dalam kehidupan memberikan kita begitu banyak contoh Pak Gunawan tentang orang-orang yang seperti ini, menganggap diri bijak, tidak mendengarkan orang lagi, tidak mau berunding dengan orang, pokoknya langsung berbuat karena menganggap dirinya paling benar. Berapa banyak itu misalnya perusahaan-perusahaan dengan berbagai produk yang akhirnya bisa bukan hanya rugi besar tapi akhirnya ambruk gara-gara kesalahan satu orang, Pak Gunawan. Yaitu satu orang yang tidak mau berunding, tidak mau berbicara bersama-sama, pokoknya kehendaknya dituruti. Mau melakukan ini atau itu, mau ekspansi, mau membuat produk ini produk itu. Akhirnya ambruk semuanya dan gara-gara satu ambruk, yang lainnya juga ikut terseret ambruk. Nah, itu gara-gara satu orang. Satu orang yang tidak mau berbicara, tidak mau berunding, tidak mau mendengarkan orang lain.

GS : Dan repotnya kalau pun dia diingatkan setelah peristiwa itu, dia pun akan menyangkal bahwa itu adalah kesalahannya. Dia bisa menimpa kesalahan itu pada orang lain.

PG : Iya. Jadi kita kadang-kadang melihatnya itu dari jauh. "Wah ini keputusan korporasi atau apa lah". Padahal sebenarnya itu dalam kehidupan nyata, gara-gara satu orang sebetulnya.

GS : Iya. Yang lain apa Pak Paul yang kedua?

PG : Kenapa kita ini kok cenderung berbuat sebelum kita berkata dalam pengertian sebelum kita berunding dengan orang, karena kita mempunyai ego yang besar. Dan tidak suka mendengar gagasan selain gagasan kita sendiri. Jadi daripada meminta pendapat orang dan mengambil resiko, gagasan kita tidak dituruti atau dinilai salah kita pun memilih tidak berbicara dengan orang sebelum mengambil keputusan. Jadi hati-hati kalau kita memiliki ego yang besar. Jadi jangan sampai akhirnya itu kita merugikan banyak orang gara-gara ego kita itu.

GS : Ego yang besar ini ‘kan juga bisa terbentuk karena pengaruh lingkungan begitu Pak Paul. Pendapatnya dia mesti betul. Kebetulan punya lingkungan yang selalu menyetujui apa yang dia usulkan, sehingga dia merasa dia tidak perlu lagi berbicara dengan orang lain. Kalau pun dia berbicara dia ada kekhawatiran didalam dirinya, belum tentu orang lain menerima ini. Ini yang sulit.

PG : Iya. Ego yang besar soalnya kadang-kadang itu menjadi ego yang mau diakui oleh orang bahwa dirinya itu diri yang hebat atau apa, sehingga tidak mau mendengarkan tidak mau berunding dengan orang, tidak mau berbicara dengan orang lain, langsung saja berbuat. "Tidak", tidak cocok waktunya, atau belum waktunya ekspansi, dia ekspansi atau apa, akhirnya hancur semuanya.

GS : Tapi susahnya itu karena lingkungannya itu terus menjadi orang-orang yang selalu menyetujui apa-apa yang menjadi usulannya. Nanti kalau disarankan oleh yang lain, orang tersebut akan ditekan atau tidak disenangi oleh yang lainnya di kelompok itu, Pak Paul. Juga di dalm keluarga, misalnya ayah yang terlalu dominan, yang terlalu mempunyai ego yang besar, istri dan anak-anaknya setelah melihat ayahnya seperti itu "Iya sudah dituruti saja!".

PG : Iya, saya ingat berbicara dengan seorang pemuda. Dia itu mempunyai kepahitan yang sangat dalam terhadap ayahnya. Sebab kenapa? Sebetulnya itu, ayahnya itu orang yang ‘berada’, usahanya baik. Tapi kemudian mengambil tindakan-tindakan yang akhirnya merugikan keluarga; seperti beli ini beli itu, pikirnya akan menguntungkan atau bagus. Hancur semuanya. Nah, gara-gara itu hidupnya jadinya susah. Jadi si anak mempunyai kepahitan yang dalam terhadap ayahnya. Sebab yang selalu ditekankan adalah, pokoknya ayahnya mau berbuat apa dia langsung berbuat. Dia tidak meminta pendapat anak atau istrinya. Padahal nanti yang bisa dia dirugikan itu anak istrinya.

GS : Kalau pun dia minta pendapat istri dan anak-anaknya itu pun belum tentu dipertimbangkan begitu Pak Paul. Ada yang lain Pak Paul?

PG : Yang ketiga adalah, kalau kita terus berbuat tanpa berunding atau berbincang dengan orang kita beranggapan bahwa seharusnya orang tahu, jadi tidak perlu lagi diperingatkan. Begitu dia melakukan sesuatu yang tidak berkenan, kita langsung memarahinya. Jadi ada orang-orang yang seperti itu; menganggap orang seharusnya sudah tahu, tidak perlu diberitahu lagi. Waktu orang melakukan sesuatu tidak ada lagi pemberitahuan terlebih dahulu, langsung orang itu dimarahi atau diperlakukan sesuatu.

GS : Tapi kalau itu memang sudah menjadi suatu kebiasaan atau budaya di dalam keluarga itu atau di dalam kantor atau tempat kerja. Apakah mesti diberitahukan begitu, Pak Paul?

PG : Tetap memang seharusnya harus ada prosesnya kita memberitahukan orang terlebih dahulu. Walaupun kita anggap dia sudah tahu. Nah, setelah diberikan peringatan baru kemudian nanti diberikan sangsi. Sehingga dulu waktu saya bekerja, nah itu selalu ada aturan yaitu peringatan secara langsung 2 kali, yang ketiga kalinya peringatan itu dalam bentuk tertulis. Nah, peringatan dalam bentuk tertulis itu sampai 3 kali, barulah akhirnya orang itu dikeluarkan. Jadi prosesnya seperti itu di sana. Tidak gampang memang memberikan sangsi kepada orang jadi harus ada peringatan-peringatan; 2 kali secara langsung teguran langsung, yang ketiga kali teguran tertulis. Teguran yang tertulis hanya boleh ada 3, setelah itu orang itu baru boleh dikeluarkan. Jadi tidak gampang mengeluarkan orang. Jadi sistem yang fair, saya pikir.

GS : Iya. Tetapi jika di rumah tangga atau di dalam keluarga, itu ‘kan juga agak sulit menerapkan cara-cara seperti itu? Kita menganggap inilah budaya keluarga kita. Jadi misalnya kalau malam harus berkumpul, tidak boleh keluar-keluar. Namun ada anak yang suka keluar malam, keluar malam terus-menerus tentu kita akan menjadi repot untuk harus memberitahu dia?

PG : Iya, sudah tentu pada satu titik kita harus memberikan sangsi yang tegas. Tapi poinnya adalah sebelumnya kita harus memberikan peringatan supaya orang itu tahu dan waktu kita jatuhkan sangsi dia tidak kaget lagi.

GS : Tujuannya hanya itu Pak Paul. Artinya kita itu harus memberitahukan secara lisan terlebih dahulu. Apakah masih ada Pak Paul kira-kira?

PG : Yang satu lagi adalah, kita ini tidak bisa menguasai letupan emosi sehingga emosilah yang memegang kendali atas diri atau tindakan kita. Kita tidak sabar menunggu apa yang kita ingat, inginkan harus kita peroleh sekarang juga walau otak menyuruh kita sabar dan membicarakannya terlebih dahulu, kita tidak bisa melakukannya. Jadi ada orang-orang yang berbuat terus tanpa berbicara, berunding dengan orang lain. Karena apa? Karena emosinya, dia tidak bisa menguasai dirinya.

GS : Kita sebetulnya orang yang emosional. Orang yang ekstrovert yang cepat melakukan suatu tindakan yang kadang-kadang menimbulkan penyesalan nantinya. Tapi bagaimana Pak Paul, kadang-kadang kita itu bukan karena tidak mau membicarakan tetapi kita itu sulit mencari waktu yang tepat karena untuk membicarakan itu dibutuhkan waktu yang tepat, situasi yang cocok untuk kita bicarakan. Ini menemukan waktunya saja kita sudah kesulitan Pak Paul?

PG : Iya memang kita harus bijaksana kapan kita berbicara, dalam kondisi seperti apa kita berbicara. Tapi sedapat-dapatnya tetap kita mau memberikan kesempatan itu supaya kita bisa berunding sebelum kita berbuat. Nah, ini sekali lagi dalam konteks bagaimana kita menjadi orang yang berhikmat. Orang yang berhikmat adalah orang yang tidak langsung bertindak tetapi dia mau berunding mendapatkan masukan-masukan dari orang lain sebelum akhirnya dia mengambil keputusan.

GS : Dalam hal ini Tuhan memberikan contoh ya?

PG : Betul, iya. Pak Gunawan mungkin masih ingat bahwa sebelum Tuhan menjatuhkan atas Sodom dan Gomora, Tuhan itu bertukar pendapat dengan Abraham. Hal yang sama juga dalam pelayanan Musa. Berkali-kali Tuhan batal menghukum Israel karena desakan Musa. Jadi Tuhan memberikan kesempatan kepada Musa untuk tidak setuju dengan dia, sehingga akhirnya Tuhan mempertimbangkan masukan Musa dan ikuti apa yang Musa minta. Jadi kalau Tuhan sendiri seperti itu sebelum bertindak, Dia itu berunding dengan anak-anakNya kita juga mesti belajar seperti Tuhan juga.

GS : Iya. Berarti hal untuk berbicara sebelum bertindak ini atau berkata sebelum berbuat ini bisa kita aplikasikan didalam kehidupan kita sehari-hari Pak Paul. Dan ini apa contohnya Pak Paul?

PG : Kita mau melihat beberapa hal. Pertama kita mesti mempunyai konsep yang tepat akan Tuhan bahwa Dia adalah Allah yang besar dan berkuasa, Allah berdaulat penuh atas hidup ini bukan saja hidup kita. Jadi kendati kehendak kita tidak terealisasi gara-gara bermusyawarah, kehendak dan rencana Tuhan tetap dapat terealisasi tanpa melibatkan kita. Jadi orang yang sungguh percaya dan hidup didalam ke-Mahakuasaan Tuhan dia tidak akan terlalu memaksakan begitu. Dia tidak akan berkata "Buat apa musyawarah dengan orang, annti akhirnya jadinya tidak jadi". Iya tidak apa-apa sebab ada Tuhan yang dapat memang melakukan kehendak dan rencana-Nya diluar kita. Jadi itu yang pertama. Yang kedua adalah kita mesti mempunyai keyakinan bahwa Allah sanggup membisikkan kehendak dan rencana-Nya kepada orang lain, bukan hanya kita. Mungkin kita lebih cerdas dan lebih berhikmat daripada orang lain, tapi kita juga harus maklum bahwa Tuhan sanggup mau memakai siapapun betapapun bodohnya mereka di mata kita untuk menggenapi rencana-Nya. Jadi jangan sampai kita itu beranggapan, buat apa saya dengarkan kamu. Tidak! Tuhan bisa memakai orang-orang lain untuk berbicara, untuk memberikan kepada kita masukan. Dan yang ketiga adalah kita mesti belajar rendah hati. Acapkali kita ini enggan bermusyawarah, karena kita tidak sudi merendahkan diri dan bertukar pikiran dengan orang yang kita anggap lebih bodoh daripada kita. Seringkali kita ‘kan berujar kalau kita tidak sempurna. Nah, meminta pendapat dan bertukar pikiran dengan orang adalah bukti nyata bahwa kita memang menyadari diri tidak sempurna. Kalau kita tidak mau berdiskusi dengan orang itu sebenarnya pertanda kita tidak rendah hati. Amsal 16:18 mengingatkan "Kecongkakan mendahului kehancuran dan tinggi hati mendahului kejatuhan". Nah yang terakhir kita mesti lebih bersukacita melihat pertobatan ketimbang penghukuman. Tuhan adlah hakim yang paling adil dan benar, jadi serahkanlah bgian penghukuman kepada Tuhan. Tugas atau bagian kita adalah memberi peringatan. Jadi seyogyanya kita bergembira melihat dan mengusahakan pertobatan, tidak menekankan kepada penghukuman.

GS : Ini dibutuhkan suatu sikap rendah hati yang luar biasa ya Pak Paul, dan yang mengutamakan Tuhan diatas segala-galanya karena Tuhan bisa berkarya dengan banyak orang. Tidak harus dengan kita. Padahal kita itu seringkali memaksakan diri "Harus saya yang menjadi pusat. Tindakan kita itu harus dari saya, bukan Tuhan!" ini memindahkan pusat ini agak sulit Pak Paul?

PG : Betul. Memang perlu disiplin untuk menguasai diri dan mengingat bahwa Tuhan itu Maha Kuasa. Jadi sudah biarkan, kehendak kita tidak terjadi, kita mungkin berpikir kita ini benar, orang lain yang salah. Tapi sudahlah, ada Tuhan. Tuhan bisa nanti yang menghentikan atau mengalihkan atau menghadirkan faktor yang lain. Kita mesti percaya itu.

GS : Dan menerima apapun yang Tuhan mau putuskan. Karena seringkali kita ‘kan mau apa yang saya putuskan harus terlaksana, begitu Pak Paul?

PG : Iya saya masih ingat. Ada gereja di Amerika Serikat yang anggotanya sampai waktu ditutup gerejanya, anggotanya belasan ribu orang. Jadi bukan karena tidak ada jemaat, bukan. Tapi gereja itu gereja yang sangat menekankan pada pertumbuhan. Akhirnya investasi uangnya itu menjadi tidak benar. Sehingga akhirnya bangkrut dan harus ditutup Pak Gunawan. Itu contoh, contoh tidak mau mendengarkan. Pokoknya menganggap diri benar, "Ini cara yang benar". Akhirnya itu yang terjadi.

GS : Nah itu karena berdasarkan pengalaman-pengalamannya sendiri, seolah-olah itu sudah betul Pak Paul. Dan itu seringkali bisa, kalau menyalahkan Tuhan "Mengapa kok kali ini Tuhan tidak menolong dia atau membukakan jalan untuk dia?", sampai dibiarkan gereja ini bangkrut seperti itu Pak Paul?

PG : Karena memang akhirnya tidak mau mendengarkan orang sama sekali. Anggap "Ini paling benar, ini paling baik". Tapi akhirnya mengagetkan orang, karena orang itu pikir, "Ada masalah apa?" begitu. Padahalnya masalahnya memang kesalahan manajemen.

GS : Terlalu percaya diri sampai dia melakukan sesuatu itu sendiri tanpa perlu berkata-kata dengan orang lain. Jadi kita memang perlu menyediakan telinga kita dan hati kita untuk mau menerima masukan dari orang lain .

PG : Makanya seorang pemimpin harus tunduk kedalam sistem ini, sistem pertanggungjawaban. Bahwa dia itu tidak mempunyai kekuasaan yang absolut. Tetapi dia harus bertanggungjawab juga kepada orang-orang lain, itu penting sekali.

GS : Terima kasih Pak Paul untuk perbincangan ini.

Dan para pendengar sekalian kami juga mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bapak Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara TELAGA (Tegur Sapa GembaLA KeluarGA). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Berkata Sebelum Berbuat". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini, silakan menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jalan Cimanuk 56 Malang. Kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Akhirnya kami dari studio mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.


Ringkasan:

Tuhan Kita Yesus tidak meninggalkan kita sendirian. Selain meninggalkan Roh-Nya yang Kudus, yang memberi kekuatan dan menuntun kita di jalan-Nya yang benar, Ia pun meninggalkan Firman-Nya, yang memberi kita hikmat untuk menghadapi pelbagai masalah dalam hidup ini. Banyak kesusahan timbul karena kurangnya hikmat; itu sebab kita perlu menimba "mutiara" yang Tuhan sudah sediakan untuk kita ini. Hal kedua yang perlu kita pelajari bila kita ingin berhikmat adalah berkata sebelum berbuat. Maksudnya, sebelum kita melakukan sesuatu, kita harus membicarakannya terlebih dahulu. Kita membicarakannya lebih dahulu setidaknya untuk dua tujuan berikut:

  • Mendapatkan MASUKAN YANG LEBIH BANYAK dan lebih lengkap. Kadang kita bertindak tanpa bermusyawarah karena kita pendiam dan tidak suka bicara. Kita memikirkan semuanya sendiri dan jarang sekali bertukar pendapat dengan orang lain. Mungkin saja kita benar dan berpikir jelas, tetapi pada umumnya pendapat yang digodok bersama cenderung menjadi lebih matang dan lebih tepat daripada tidak sama sekali. Amsal 11:14 memberi kita nasihat, "Jikalau tidak ada pimpinan, jatuhlah bangsa, tetapi jikalau penasihat banyak, keselamatan ada."
  • Memberi PERINGATAN ATAU NASIHAT sebelum mengambil tindakan. Kadang kita langsung menghukum orang atau menjatuhkan sanksi tanpa memberitahukannya terlebih dahulu akan apa yang sebenarnya kita harapkan atau memberikannya kesempatan untuk berubah. Meski orang belum tentu mau berubah, kita tetap mesti memberikannya kesempatan untuk mendengar nasihat atau peringatan kita.

Ada pelbagai penyebab mengapa kita cenderung berbuat sebelum berkata. Berikut adalah empat di antaranya:

  1. Kita MENGANGGAP DIRI PINTAR ATAU BIJAK dan menilai orang lain tidak sepintar atau sebijak kita. Itu sebab, kita enggan berkata atau bermusyawarah dengan orang sebab buat kita itu adalah pemborosan waktu dan tenaga belaka. Amsal 3:7-8 mengingatkan, "Janganlah engkau menganggap dirimu sendiri bijak, takutlah akan Tuhan dan jauhilah kejahatan; itulah yang akan menyembuhkan tubuhmu dan menyegarkan tulang-tulangmu."
  2. Kita MEMUNYAI EGO YANG BESAR dan tidak suka mendengar gagasan selain gagasan dari diri sendiri. Jadi, daripada meminta pendapat orang dan mengambil risiko gagasan kita tidak dituruti—atau dinilai salah—kita pun memilih tidak berbicara dengan orang sebelum mengambil keputusan.
  3. Kita beranggapan bahwa SEHARUSNYA ORANG TAHU, jadi, tidak usah lagi diperingatkan. Begitu ia melakukan sesuatu yang tidak berkenan di hati, kita pun langsung memarahinya.
  4. Kita TIDAK BISA MENGUASAI LETUPAN EMOSI, sehingga emosilah yang memegang kendali atas tindakan kita. Kita tidak sabar menunggu; apa yang kita inginkan, harus kita peroleh sekarang juga. Walau otak menyuruh kita sabar dan membicarakannya terlebih dahulu, kita tidak bisa melakukannya.

Berulang-kali Firman Tuhan mengajar kita untuk bermusyawarah sebelum mengambil keputusan dan memberi peringatan sebelum memberi sanksi. Bahkan Tuhan pun memerlukan datang untuk bertukar pendapat dengan Abraham sebelum Ia menjatuhkan hukuman atas Sodom dan Gomorah. Hal yang sama dapat kita lihat dalam pelayanan Musa; berkali-kali Tuhan batal menghukum Israel karena desakan Musa. Berikut akan dipaparkan beberapa masukan untuk mengaplikasikan apa yang telah kita pelajari:

  1. Kita mesti memunyai konsep yang tepat akan Tuhan—bahwa Ia adalah Allah yang besar dan perkasa. Allah berdaulat penuh atas hidup ini—bukan saja hidup kita—jadi, kendati kehendak kita tidak terealisasi gara-gara bermusyawarah, kehendak dan rencana-Nya tetap dapat terealisasi—tanpa melibatkan kita.
  2. Kedua, kita mesti memunyai keyakinan bahwa Allah sanggup membisikkan kehendak dan rencana-Nya kepada orang lain, bukan hanya kita. Mungkin kita lebih cerdas dan lebih berhikmat daripada orang lain, tetapi kita harus mafhum bahwa Tuhan sanggup memakai siapa pun—betapapun bodohnya mereka—untuk menggenapi rencana-Nya.
  3. Kita mesti belajar rendah hati. Acap kali kita enggan bermusyawarah karena kita tidak sudi merendahkan diri dan bertukar pikiran dengan orang yang kita anggap lebih bodoh daripada kita. Sering kali kita berujar bahwa kita tidak sempurna, nah, meminta pendapat dan bertukar pikiran dengan orang, adalah bukti nyata bahwa kita memang menyadari diri tidak sempurna. Amsal 16:18 mengingatkan, "Kecongkakan mendahului kehancuran dan tinggi hati mendahului kejatuhan."
  4. Kita mesti lebih bersukacita melihat pertobatan ketimbang penghukuman. Tuhan adalah hakim yang paling adil dan benar, jadi, serahkanlah bagian penghukuman kepada-Nya. Tugas atau bagian kita adalah memberi peringatan. Jadi, seyogianyalah kita bergembira melihat dan mengusahakan pertobatan.

Questions: