BETA
Menjadi Mahasiswa Teologia
Sumber: telaga
Id Topik: 2282

Abstrak:

Ada lima formasi bagi mahasiswa teologia, yaitu formasi spiritualitas (relasi dengan Tuhan), formasi pengetahuan (biblika, sejarah gereja), formasi karakter dan kepribadian (kejujuran, integritas, kesabaran, gambar diri), formasi kepemimpinan (memimpin rapat, berorganisasi), formasi pelayanan (keterampilan menggali Firman, mengajar, menyanyi,menyusun bahan PA, memuridkan). Penting memiliki Kontrak Target Pertumbuhan, memiliki mentor dan teman sejenis KTB.

Transkrip:

Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi di mana pun Anda berada, Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Acara ini diselenggarakan oleh Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) bekerja sama dengan radio kesayangan Anda ini. Saya Mega, akan berbincang-bincang dengan Bapak Penginjil Sindunata Kurniawan, M.K. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling keluarga. Perbincangan kami kali ini adalah tentang "Menjadi Mahasiswa Teologi". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

MT : Menjadi mahasiswa teologi, itu berarti merupakan panggilan untuk menjadi pendeta, betul begitu Pak Sindu ?

SK : Iya tepat. Jadi memang itulah yang membuat topik ini penting karena tren-nya di masa sekarang dan ke depan, bahwa Sekolah Teologi, Sekolah Alkitab ini mengikuti proses akreditasi yang sama dengan perguruan tinggi umum. Artinya, Sekolah Teologi dan Sekolah Alkitab semakin diarahkan untuk menjadi sekolah yang lebih menekankan sisi keilmuannya, ketimbang pembentukan diri pendeta. Maka jangan lupa tetap jati diri STT (Sekolah Tinggi Teologi) atau STFT (Sekolah Tinggi Filsafat dan Teologi) itu jati dirinya tetaplah sekolah pendeta. Artinya apa yang dihasilkan dan diharapkan oleh gereja dan masyarakat adalah pendeta dalam keutuhannya.

MT : Yang dimaksud pendeta dan keutuhannya itu bagaimana, Pak ?

SK : Pendeta dalam arti keutuhannya artinya, aspek pikiran kognitifnya pendeta, aspek perasaan afeksinya pendeta, aspek emosi, aspek kehendak, perilaku atau psikomotorik-nya pendeta. Jadi dengan kata lain Sekolah Teologi dan Sekolah Alkitab tetaplah perlu menghasilkan seorang lulusan yang punya jiwa pendeta dan punya kecakapan seorang pendeta.

MT : Jadi tidak hanya selalu kognisinya saja atau ilmu pengetahuannya saja, tetapi yang jauh lebih dalam dari itu keseluruhan dari diri pendeta itu sendiri?

SK : Tepat. Maka dalam hal ini minimal ada lima formasi dalam Sekolah Teologi, atau lima formasi yang perlu menjadi kompas bagi seorang mahasiswa Teologi.

MT : Seperti apa Pak, lima formasi atau lima pembentukan dari diri seorang mahasiswa Teologi, bisa dijelaskan lebih lanjut Pak ?

SK : Iya yang pertama formasi spiritualitas atau pembentukan kerohanian. Dalam hal ini tentang relasi dengan Tuhan, keintiman dengan Tuhan, menerapkan, merayakan etika disiplin rohani. Entah itu saat teduh, disiplin puasa, disiplin doa, disiplin pengakuan, disiplin-disiplin kebulatan pikiran yang membawa dia semakin intim, mengalami Tuhan secara afeksi dan spiritual. Itu formasi yang pertama. Yang kedua formasi pengetahuan. Ini yang lebih mudah dipahami dan terlaksana karena masuk kurikulum akademis yaitu pemahaman Teologi, biblika, sejarah gereja, wawasan dunia, perspektif ilmu sosial dan aneka ilmu dan pengetahuan lainnya. Formasi yang ketiga yaitu formasi karakter dan kepribadian. Ini yang bisa jadi agak ‘tergerus’, kalau STT ini tidak berhati-hati membuat rancangan dan pola ukur yang jelas. Yaitu tentang kejujuran, integritas, gambar diri yang sehat, kesabaran, tentang langkah iman melangkah dengan iman, sopan santun, kepekaan. Jadi tentang buah Roh itu termasuk bagian dari karakter kepribadian yang menekankan sisi bagaimana dia menempatkan diri di dalam relasi dengan orang-orang lain yang beraneka macam. Kalau karakter tentang sifat-sifat benar, sifat-sifat positif buah Roh, kualitas diri yang bagus. Itu perlu menjadi bagian formasi dari pembentukan mahasiswa teologi.

MT : Jadi ada formasi spiritualitas, formasi pengetahuan, formasi karakter dan kepribadian. Tapi tadi disebutkan ada lima Pak, sisa yang dua seperti apa?

SK : Yang keempat formasi kepemimpinan. Jadi memang filosofi menjadi pendeta itu pemimpin yang melayani; dia melayani sebagai hamba Tuhan namun sekaligus pada saat yang sama memimpin domba-domba miliknya Tuhan. Jadi pembentukan kepemimpinan tentang kemampuan membuat perencanaan, kemampuan untuk memimpin rapat, kemampuan untuk berorganisasi, kerja tim, mengelola konflik - ketika ada masalah, bagaimana untuk memecahkan masalah. Ini bagian dari formasi kepemimpinan. Yang terakhir formasi pelayanan, pembentukan tentang aneka ketrampilan pelayanan baik itu ketrampilan dalam menggali firman, membuat bahan PA, berkhotbah, mengajar, menyanyi, memimpin atau melatih paduan suara, mengiring musik, memberitakan Injil, memuridkan secara intensional, membuat survei analisa sosial, ketrampilan konseling pastoral. Nah, ini bagian dari formasi pelayanan. Ada lima hal ini.

MT : Apakah kelima hal ini Pak, kelima pembentukan ini baik secara spiritual, pengetahuan, karakter, kepemimpinan dan juga pelayanan ini semua diberikan ketika seseorang memutuskan untuk menjadi pendeta dan kemudian mereka masuk kedalam sebuah STT atau STFT. Apakah kelima-limanya ini akan diberikan di dalam STT ini ?

SK : Ya, secara alami ada kelima hal ini. Tetapi yang saya kenali dari berbagai Sekolah Teologi, Sekolah Alkitab ada keterbatasan rata-rata di seminari atau Sekolah Alkitab ini dalam melakukan pendampingan ataupun supervisi mentoring bagi mahasiswa-mahasiswa tersebut. Maka disini lewat dialog kita ini saya mendorong bagi yang menjadi mahasiswa teologi itu proaktif menciptakan KTP.

MT : Apa itu KTP Pak ?

SK : Yaitu ‘Kontrak Target Pertumbuhan’

MT : Seperti apa itu ?

SK : Setiap semester sangat strategis bagi mahasiswa teologi itu punya sasaran pertumbuhan, bergerak dari lima formasi ini. Jadi lima formasi dengan rinciannya tadi, coba buat sasaran untuk semester ini apa. Dari sasaran itu kemudian tumbuhkan langkah-langkahnya apa akhirnya, apa yang perlu dilakukan untuk mencapai sasaran itu. Siapa yang menjadi tim suksesnya. Maka perlu cari mentor untuk semester itu sesuai dengan sasaran itu dan punya rekan sejenis sebagai bagian kelompok pertumbuhan yang otentik. Kalau laki dengan sesama laki, teman-teman mahasiswa, kalau wanita cari sesama mahasiswi. KTB, orang punya nama lainnya, Kelompok Tumbuh Bersama artinya kelompok ini bukan semata-mata menggali firman. Sudah pasti di Sekolah Teologia menggali firman itu makanan sehari-hari, tapi adalah membuka diri. Maka saya sebut kelompok pertumbuhan otentik. Bisa membuka diri bercerita tanpa dihakimi tapi diterima, ada pergumulan dengan dosa, pergumulan dengan kelemahan diterima, didoakan, didampingi dan bagaimana menumbuhkan pola-pola manusia baru; sasaran-sasaran pertumbuhan itu. Ini butuh kelompok yang aman, otentik dan bisa saling terbuka berlandaskan prinsip kasih karunia bahwa kita saling memberi dan menerima kasih karunia bukan penghakiman. Dengan demikian, ini akan menjadikan kita mahasiswa teologi yang plus-plus. Karena kalau sekadar mengikuti kurikulum tanpa hal ini pun kita akan lulus, diwisuda menjadi Sarjana Teologi, Magister Divinitas, Magister Teologi. Tapi minta maaf belum tentu kualitas pendeta dalam kebutuhannya kita miliki. Ini perlu bentuk upaya intensional, upaya yang sadar bersengaja yang pro-aktif dari tiap-tiap mahasiswa teologi itu, tidak bergantung semata pada kurikulum sistem yang sudah ada di STT nya.

MT : Jadi sarannya adalah setiap mahasiswa teologi ini sebaiknya benar-benar bisa pro-aktif ya Pak, melakukan pencarian baik mentor maupun kelompok-kelompok yang bisa membantunya bertumbuh, begitu ya Pak. Jadi jangan hanya diam saja menunggu perintah dari, mungkin dari kampusnya tetapi dia boleh mawas diri dan mencari perkembangan diri sendiri juga.

SK : Tepat. Karena jangan lupa kalau mungkin kita pernah tahu istilah Johari Window atau Jendela Johari itu membagi manusia pada empat jendela, yaitu aku tahu orang lain tahu daerah terbuka, aku tahu orang lain tidak tahu daerah rahasia, aku tidak tahu orang lain tahu daerah buta, dan aku tidak tahu orang lain tidak tahu daerah misteri. Poinnya adalah, dari pemahaman lewat Jendela Johari atau "Johari Window" dalam bahasa Inggris, diri yang sehat adalah diri yang memperbesar area terbuka, aku tahu orang lain tahu. Dengan kata lain memperkecil ruang rahasia. Kita perlu orang lain yang kita bisa membuka rahasia kita sebanyak mungkin rahasia kita terbuka. Dan kita juga butuh umpan balik, feedback dari orang lain tentang hal-hal yang kita buta tentang diri kita lewat umpan balik dari orang-orang sekitar kita. Disinilah kelompok pertumbuhan yang otentik berlandaskan kasih karunia dan mentor yang kita ciptakan dan cari tiap semester itu akan menolong kita untuk semakin menjadi diri yang sehat, menjadi diri pendeta yang sehat.

MT : Namun Pak, kalau saya berpikir untuk membuka diri itu cukup sulit ya Pak. Apalagi mungkin dengan orang-orang yang tidak kita kenal atau barusan saja kita kenal. Bagaimana Pak kita memilih teman-teman didalam kelompok ini, caranya bagaimana ?

SK : Yaitu tentunya melalui perkenalan di awal, waktu kita datang menjadi bagian dari satu angkatan mahasiswa Sekolah Teologia, awalnya tentu melewati proses perkenalan, obrolan santai, kebersamaan dalam kegiatan orientasi studi dan misalnya tugas-tugas akademis maupun non-akademis ataupun tugas asrama. Dari sana kita akan ketemu orang-orang yang memang punya niat sungguh-sungguh menjadi pendeta yang matang. Orang-orang yang punya niat yang sama nilainya, kita ajak untuk "Mari kita bikin kelompok otentik", dari sana kemudian kita bisa awali dengan membuat suatu perjanjian tentang kerahasiaan bahwa apa yang diceritakan tidak untuk diceritakan ke pihak lain, hanya seputar di kelompok ini dan kita saling memberi dan menerima kasih karunia. Dari sanalah bisa digulirkan proses dinamika kelompok yang otentik dan sehat ini.

MT : Sebab sepertinya tiap pribadi pasti punya masalah ya, Pak ? Pasti mungkin ada dosa-dosa di masa lalu yang tidak pernah diungkapkan atau tidak pernah dibereskan, seperti itu ya, Pak ?

SK : Betul. Maka dalam hal ini juga di sekitar kita di Indonesia sudah cukup banyak bahan-bahan pendamping kelompok yang bagus, atau buku-buku spiritualitas yang bagus. Itu silakan diambil, tidak harus utuh satu buku mungkin satu bab difotokopi jadikan bahan sebagai prolog, sebagai stimulasi rangsangan lalu kita diskusi dan penerapannya. Intinya adalah bagaimana membentuk kelompok yang otentik dan berlandaskan kasih karunia.

MT : Berkaitan dengan hal ini Pak, bagaimana dengan konseling sendiri ? Apakah diperlukan oleh mahasiswa teologi ?

SK : Tepat. Jadi konseling jangan dipandang sebagai pesakitan. Orang yang sudah tidak bisa berpikir waras maka tidak bisa dikonseling. Dia hanya bisa diobati secara medis, setelah berpikir waras baru bisa konseling. Jadi orang konseling tandanya orang yang sehat.

MT : Begitu ya, Pak.

SK : Karena dia ingin bertumbuh. Jadi lihatlah perspektif yang benar tentang konseling. Kalau kita melihat Alkitab berbagai percakapan yang bercorak konseling tersebar di Alkitab. Dan itu adalah wujud orang-orang yang mau bertumbuh. Jadi mari silakan membuka diri. Ada nilai-nilai yang kita buta tentang masa lalu; perbuatan kita tentang kecanduan, keterikatan, kebiasaan buruk dari pornografi, masturbasi, suka berbohong, mengata-ngatai menghakimi orang lain, merasa rendah diri, keangkuhan dan berbagai pola-pola ini, itu biasanya punya akar emosional yang sangat dalam. Yaitu di masa 12 tahun pertama sangat mungkin ada keterlukaan. Dalam hal itulah konseling yang mendalam sangat dibutuhkan untuk membongkar akar-akar emosional, akar-akar batiniah dari luka dan distorsi cara berpikir dan distorsi kebiasaan kita bisa dibenahi. Jadi tidak cukup hanya cuma hafal ayat, tahu Firman dan buat penerapan. Itu untuk beberapa kondisi bisa, tapi untuk kondisi yang sudah berurat akar membutuhkan konseling mendalam. Ibaratnya akar di dalam ini perlu dibongkar. Konseling yang mendalam ini menolong sisi dari aspek emosi spiritual.

MT : Jadi dibutuhkan konselor atau mentor yang cakap di dalam bidang ini Pak?

SK : Jadi datanglah ke dosen yang paham atau konselor yang tersedia di STT tersebut. Kalau tidak, terbukalah untuk mencari konselor di luar STT, Sekolah Alkitab, Sekolah Teologi kita, karena nilainya mahal. Ibaratnya kalau bahasa hukum Pareto itu hukum dalam dunia manajemen, kita dengan konseling mendalam, kita menerapkan hukum 20% : 80%. Artinya yang kita kerjakan hanya "sebatas konseling" seminggu sekali, hanya memunyai kelompok otentik seminggu sekali atau sebulan 2 kali tapi dampaknya berlipat ganda. Karena mendongkrak kualitas manusia batiniah, manusia karakter, manusia integritas, manusia kematangan diri seorang pendeta dalam diri kita.

MT : Penjelasannya sangat menarik ya, Pak. Bagaimana seseorang yang ingin untuk menjadi pendeta melayani orang lain dan juga memulihkan orang lain, begitu ya, Pak ?

SK : Tepat.

MT : Jadi dia sebaiknya dipulihkan terlebih dahulu, betul ?

SK : Tepat. Jadi makanya memiliki pengertian ganda, seperti yang Bu Mega jelaskan. Diri ini dipulihkan sekaligus belajar secara langsung, bahasa Inggris nya experiential learning. Belajar dengan mengalami, bagaimana ya menjadi orang yang bergumul berat, dilayani konseling dan mengalami proses berderai air mata, bimbang dan bagaimana dengan tekun akhirnya bisa keluar dari masalah dan menjadi pemenang. Dengan begitu kita akan mudah berempati dan sekaligus mengembangkan keterampilan melakukan pelayanan serupa bagi domba-domba jemaat-jemaat yang Tuhan akan percayakan.

MT : Jadi justru itu akan menjadi "stepping stone", batu loncatan yang sangat baik ketika kita akan melayani orang lain.

SK : Tepat. Karena jangan lupa di dunia profesi umum pun sudah dipercayai diterima kebenaran faktual bahwa sukses karir, sukses dunia kerja itu hanya sekian persen bahkan dalam bahasa saya yang disederhanakan maksimal 20% untuk kemampuan yang bersifat hard-skill, kemampuan yang bersifat kognitif, ketrampilan-ketrampilan teknis. Tapi artinya 80% soft-skill yaitu kecerdasan emosi, kecerdasan sosial, kecerdasan spiritual. Itu yang perlu kita fokus dan secara sengaja perlu kita kembangkan. Maka dalam hal ini juga asahlah integritas sejak dini terutama ketika menjadi mahasiswa Teologi. Jadi artinya kita menjadi orang yang antara di muka orang dan di belakang tubuh orang, sama. "Tidak ada yang melihat, aku menyontek. Tidak ada yang melihat, aku ambil uang itu. Tidak ada yang melihat, aku buka situs porno. Tidak apalah aku ambil sedikit uangnya, aku lagi butuh", ini tidak berintegritas. Ibaratnya, pendeta apa sih modalnya ? Apakah kemampuan berkhotbah ? Kemampuan pastoral ? Kemampuan konseling ? Kemampuan-kemampuan ini, maaf ! Kemampuan seorang pendeta pada intinya yang terpenting adalah integritas, karena soal ketrampilan ini dan itu kadang bisa digantikan orang lain. Dia tidak berkhotbah dengan gegap gempita tapi karena dia memiliki integritas justru inilah yang akan diduplikasi, dilipat gandakan ke jemaat. Kalau ketrampilan itu tinggal panggil pelatih, panggil orang, itu bisa orang melakukan. Tapi integritas itu sesuatu yang tidak bisa begitu saja digantikan orang lain dan dibentuk bertahun-tahun.

MT : Tapi hal itu bukan berarti akademis juga ditinggalkan ya, Pak ?

SK : Tidak. Tentu yang saya tadi katakan lima formasi itu tadi bagian dari keutuhan.

MT : Iya. Jadi selain akademis, kecerdasan juga terus ditingkatkan tapi jangan melupakan integritas karena integritas yang melihat hanya Tuhan. Orang lain tidak dapat menilai, hanya Tuhan yang melihat.

SK : Dan pada akhirnya kita menuai apa yang kita tabur. Maka dalam hal ini beranilah berintegritas dalam bidang akademis juga. Tolak mencontek. Tolak plagiarisme yaitu mengambil sumber-sumber pustaka dari orang lain tanpa mencantumkan sumbernya dari mana. Juga beranilah, kalau pun kita di D.O (drop out) karena nilai akademis kita tidak memenuhi standar janganlah menyerah! Kita masih bisa pilih STT, Sekolah Teologi, Sekolah Alkitab yang standar akademisnya mungkin lebih rendah; tidak apa. Atau kita bisa memulai lewat profesi jalur umum. Jadi saya mau teguhkan, jangan gadaikan integritas sebagai mahasiswa teologi ! Sekalipun ujungnya D.O karena nilai ujian kita, nilai rapor tidak memenuhi standar dan kita harus di drop out, tetap kita menjadi pemenang. Karena menjadi pelayan Tuhan, menjadi pendeta kata kuncinya integritas, lebih daripada kompetensi.

MT : Jadi untuk setiap mahasiswa Teologi selain kita harus belajar dengan sungguh-sungguh dengan baik untuk semua pengetahuan kita juga harus meningkatkan integritas, kita harus juga melihat diri sendiri di dalam melalui konseling, melalui ada KTP dan juga kelompok-kelompok KTB. Ini ‘kan kita juga belajar selama masa kita berada di dalam tembok STT. Setelah kita selesai dengan studi kita, kita nantinya akan menuju ke ladang pelayanan. Kalau orang sekuler, mengatakan hal itu sebagai karir. Kalau untuk mahasiswa Teologi kita mengatakannya dengan pelayanan. Bagaimana Pak, di dalam persiapan pelayanan selain dari hal-hal yang kita tadi sudah bahas bersama untuk pelayanan ke depan setelah lulus? Apa tips-tips atau hal-hal yang harus dipersiapkan oleh mahasiswa-mahasiswa ini juga?

SK : Mungkin sedikit hal yang menyisip sebagai catatan pinggir. Kalau kata sekuler boleh dikatakan pakai kata umum. Jadi sekuler artinya, Tuhan tidak hadir sama sekali. Tidak. Di dunia profesi, pendidikan umum pun Tuhan juga hadir dan dipermuliakan, tergantung pada orang. Kemudian juga didalam dunia pelayanan kita juga mengenal karir. Bisa juga sedikit mengoreksi, bahwa maka kenapa muncul fenomena sekian pendeta burn-out, kelelahan karena mereka mengulangi aktivitas-aktivitas yang sama padahal sejalan dengan itu usia kematangan diri, kematangan pengalaman sebagai pendeta dia membutuhkan jenjang karir yang lebih tinggi yang penting spesifik. Maka kembali ke poin tadi sangat perlu di dalam masa studi sebagai mahasiswa Teologi, perlu mengenali profil pelayanannya lewat profil keterbebanan; apa yang menjadi keterbebanannya, minatnya. Lewat yang kedua, apa yang menjadi karunia rohaninya; ketrampilan-ketrampilan apa yang bisa dia gunakan dengan baik dan dia suka. Yang ketiga profil kepribadian; "Aku punya tipe temperamen" tipe kombinasi kepribadian yang seperti apa. Tiga profil ini kalau disatukan akan membentuk profil pelayanan. Caranya bagaimana ? Selama masa studi pentinglah, waktu kita magang pelayanan di berbagai gereja, sekolah atau magang pelayanan manapun, mintalah selalu umpan balik dari pendeta, majelis, pemimpin pelayanan tersebut atau dosen di sekitar kita atau teman-teman kita. Dengan umpan balik itu lewat tadi ‘Johari Window‘ ada nilai kita buta. Saya tidak tahu orang lain tahu, dan kita sengaja mencari umpan balik, kita pun jadi tahu. Dari sanalah akhirnya waktu kita lulus dari Sekolah Teologi, kita tidak dalam kebutaan, kegamangan, karir mana yang mau saya ambil dan saya tekuni dan langkah berikutnya seperti apa. Kita sudah punya peta garis besarnya minimal.

MT : Jadi dengan demikian Pak, untuk profil ini sendiri apakah hanya sebatas kita minta umpan balik atau mungkin ada hal lain yang bisa dilakukan untuk kita bisa mengenali saya itu terbeban dimana, saya itu bisanya dimana, karunia saya apa, kepribadian saya itu seperti apa?

SK : Ya, alat bantunya tentunya melalui penilaian-penilaian ya, penilaian psikologi, penilaian pelayanan. Kita bisa daya gunakan yang kita diskusikan dengan mentor kita, diskusikan dengan teman-teman kelompok pertumbuhan kita. Termasuk dalam hal ini muncul beberapa situasi bahwa kadang sebagai mahasiswa teologi bercita-cita menjadi misionaris. Tapi ujung-ujungnya, usut punya usut, dia sebenarnya ‘beli kucing dalam karung’. Semata-mata tidak mau di gereja lokal, bosan, kepahitan dengan gereja, pokoknya pelayanan di luar, dan kalau menjadi misionaris itu herois jadi pahlawan. Hebat! Berhadapan dengan suku-suku primitif, kesulitan, namanya akan masuk dalam buku daftar misionaris dunia. Itu romantika heroisme, maaf harus ditanggalkan! Dengan cara kalau memang memiliki bayangan menjadi misionaris, dekatkan diri cari misionaris, wawancarai, jalin komunikasi tukar-menukar email, surat, kita doakan dan kita survei. Jadi ada juga langkah-langkah, yang harus ditempuh kalau memang panggilan misionaris. Tidak tiba-tiba melamar menjadi misionaris. Jadi selama di Sekolah Teologi itu sudah menempuh langkah-langkah menyiapkan. Dan apakah kita siap tidak menyesuaikan pola makan, pola kebiasaan yang berbeda dan kalaupun menjadi misionaris sebaiknya masuk ke Seminari atau Sekolah Teologi yang multikultural, multi-budaya. Kalau homogen budayanya kurang membentuk jiwa mentalitas seorang misionaris.

MT : Jadi dengan demikian banyak sekali ya, Pak, yang harus dipersiapkan untuk menjadi pendeta ? Tidak hanya sekadar masuk, belajar, lulus, selesai, pelayanan. Tapi dari apa yang kita diskusikan ini tadi sangat luas ya, Pak ?

SK : Kalau saya tambahkan satu hal yang penting ialah soal keuangan dan gaya hidup. Karena akhirnya yang kita abdi uang atau Tuhan; Tuhan atau mamon. Maka selama di Sekolah Teologi terapkan gaya hidup fungsional, bukan gaya hidup materialisme pencitraan. Tapi kita pakai uang sesuai kebutuhan, tidak ada uang kita berani berdoa, berpuasa, melangkah dengan iman, jujur membuat pembukuan keuangan. Karena mudah juga seorang pendeta jatuh gara-gara cinta uang. Yang ditabur yaitu waktu di Sekolah Teologi dia tidak menerapkan prinsip akuntabilitas dalam keuangan dan dia tidak hidup dalam iman, tapi dia sering kali tanpa disadari memanipulasi orang lain untuk meminta bantuan sana-sini tanpa dia lebih dulu berdoa dan bersandar pada Tuhan.

MT : Jadi sebetulnya kalau bisa diringkas kata integritas itu tidak bisa lepas ya Pak dari berbagai segi apa yang kita pelajari di dalam tembok Sekolah Teologi.

SK : Iya, termasuk dalam hal berpacaran dan memilih pasangan itu juga bagian dari integritas bagaimana dalam berpacaran memilih pasangan kita melibatkan juga mentor dan teman pertumbuhan kita untuk menilai dan mengawasi serta membimbing.

MT : Baik Pak Sindu terima kasih banyak untuk semua penjelasan yang sangat lengkap dari apa yang kita harus pelajari, apa yang kita harus kerjakan selama mahasiswa-mahasiswa Teologi ini berada dalam Sekolah Teologi. Nah, sebagai penutup kita Pak Sindu, mungkin bisa dibagikan ayat dari Firman Tuhan yang bisa menguatkan setiap mahasiswa Teologi ini didalam menjalani panggilannya.

SK : Saya bacakan dari 2Timotius 21:2, "Jika seorang menyucikan dirinya dari hal-hal yang jahat, ia akan menjadi perabot rumah untuk maksud yang mulia, ia dikuduskan, dipandang layak untuk dipakai tuannya dan disediakan untuk setiap pekerjaaan yang mulia". Bahwa inilah yang perlu menjadi fokus diri yang siap untuk Tuhan pakai, untuk pekerjaan yang mulia. Maka kiranya melalui lima formasi kita memenuhi harapan Tuhan, gereja dan dunia.

MT : Para pendengar sekalian, terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bapak Penginjil Sindunata Kurniawan, M.K. dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Menjadi Mahasiswa Teologi". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini, silakan menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Atau Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@telaga.org. Kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan, serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa dalam acara TELAGA yang akan datang.


Ringkasan:

T 529 B "Menjadi Mahasiswa Teologia" dpo Ev. Sindunata Kurniawan, M.K.

Sekalipun disebut sekolah teologi atau sekolah alkitab, sekarang STT atau STFT, tapi sesungguhnya sekolah pendeta. Artinya yang dihasilkan adalah pendeta dalam keutuhannya, yakni: pikiran, perasaan, kehendak, atau jiwa seorang pendeta beserta kompetensi seorang pendeta. Maka ada lima formasi bagi mahasiswa teologi:

  1. formasi spiritualitas: relasi dengan Tuhan, aneka disiplin rohani
  2. formasi pengetahuan: teologi, biblika, sejarah gereja, wawasan dunia, ilmu sosial
  3. formasi karakter dan kepribadian: kejujuran, integritas, gambar diri, kesabaran, langkah iman, sopan, peka
  4. formasi kepemimpinan: merencana, memimpin rapat, berorganisasi
  5. formasi pelayanan: keterampilan menggali firman, berkhotbah, mengajar, menyanyi, melatih koor, mengiringi musik, PI, menyusun bahan PA, memuridkan

Sekalipun akreditasi dan nilai akademis itu penting, sisi-sisi lain perlu semakin diperhatikan. Sadari tren dosen sekolah teologi bergulat di aspek akademis dan penelitian empiris sehingga pemuridan mahasiswa bisa semakin terabaikan.

Maka krusial mahasiswa memiliki KTP tiap semester, kontrak target pertumbuhan, memiliki mentor dan teman sejenis KTB. Umpan balik sangat butuh didengar dan bahkan dicari. Ingat Johari Window: diri yang sehat adalah diri yang memperkecil ruang rahasia dan ruang buta dengan membuka diri dan menerima umpan balik. Sepakati untuk membentuk komunitas kasih karunia.

Terbukalah untuk konseling mendalam jika ada pola kebiasaan buruk dan pergulatan gambar diri buruk. Masa lalu terutama di masa 12 tahun pertama sangat mencetak jiwa. Pendekatannya tak cukup sebatas tahu dan berkomitmen. Namun, ada aspek afeksi, luka emosi yang perlu dipulihkan.

Membereskan beban masa lalu. Bandingkan : Scazerro, berkaitan dengan isu gambar diri dan motif. Bisa jadi mengerjakan pelayanan untuk pembuktian diri dan oleh motif amarah, kepahitan, kebencian. Datang ke sekolah teologi dengan keterikatan seksual (pornografi, masturbasi, seks luar nikah), kebiasaan berbohong, berhutang, bermuka dua, kepribadian bermasalah.

Asahlah integritas: dapat dipercayai: melakukan apa yang dikatakan, ada orang maupun tak ada orang tetap konsisten. Modal seorang pendeta adalah integritas, dapat dipercayai. Jika kehilangan integritas, kehilangan semuanya dan menjadi sebatas tukang atau teknisi belaka.

Dalam studi akademis, sepenuh hati, berintegritas, tolak plagiarisme dan mencontek. Ora et labora. Jika di-DO karena nilai akademis tak memenuhi standar, pilihlah STT yang standar akademis lebih rendah atau melayani Tuhan lewat jalur profesi umum.

Jika diskorsing atau di-DO karena nilai akademik di bawah standar yang telah ditentukan, jalanilah sepenuh hati dan bersedia dimentoring. Mundur dua langkah untuk maju tiga langkah.

Dalam praktik pelayanan

Saat tugas pelayanan akhir minggu, praktik 2 bulan, 1 tahun (beberapa STT tidak ada), jalani sepenuh hati. Bangun etos pelayan Tuhan. Melakukan sepenuh hati untuk Tuhan. Kecerdasan emosi dan kecerdasan sosial diasah:

  • bekerjasama dan bukan berkompetisi untuk pembuktian diri dengan mahasiswa STT lain
  • mendukung dan bukan beroposisi terhadap gembala maupun berkubu.
  • bersedia untuk memuliakan gembala setempat: ide diberikan ke gembala dan izinkan gembala yang ambil kemuliaan.
  • Laporkan senantiasa ke dosen pembimbing untuk setiap gesekan.
Dalam mengenali profil pelayanan

Lakukan semua tugas di kampus maupun ladang pelayanan sepenuh hati. Ajang eksplorasi Profil Pelayanan: Profil Keterbebanan, Profil Kemampuan (karunia dan keterampilan), Profil Kepribadian.

Hal minat jadi misionaris, carilah misionaris dan cari tahu bagaimana kehidupan seorang misionaris melalui wawancara intensif. Usahakan untuk bersekolah teologi di sekolah yang menerapkan kehidupan multikultural untuk membangun mentalitas seorang misionaris. Dan jalani pola kehidupan yang sederhana.

Dalam hal keuangan dan gaya hidup

Terapkan gaya hidup fungsional: sederhana. Melangkah dengan iman. Berintegritas. Jujur. Buat pembukuan keuangan.

II Timotius 21:2, "Jika seorang menyucikan dirinya dari hal-hal yang jahat, ia akan menjadi perabot rumah untuk maksud yang mulia, ia dikuduskan, dipandang layak untuk dipakai tuannya dan disediakan untuk setiap pekerjaaan yang mulia". "


Questions: