BETA
Ujaran Kebencian
Sumber: telaga
Id Topik: 2187

Abstrak:

Ujaran kebencian (hate speech) makin banyak kita temui di negeri kita. Sekarang apapun yang kita ucapkan bisa dengan cepat menjadi viral, menyebar ke berbagai lapisan masyarakat, seolah tiap kita adalah penyiar berita. Bagaimana mengatasinya?

Transkrip:

Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi di mana pun Anda berada, Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Acara ini diselenggarakan oleh Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) bekerja sama dengan radio kesayangan Anda ini. Saya, Daniel Iroth akan berbincang-bincang dengan Bapak Penginjil Sindunata Kurniawan, M.K. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling keluarga. Perbincangan kami kali ini adalah tentang "UJARAN KEBENCIAN". Kami percaya acara ini akan bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

DI : Pak Sindu, sekarang sangat marak ujaran kebencian di masyarakat Indonesia. Apa yang menimbulkan ujaran kebencian ini, Pak Sindu? Apa yang ingin Pak Sindu bagikan tentang masalah ujaran kebencian ini?

SK : Benar bahwa masa perkembangan teknologi informasi, secara khusus dengan maraknya media sosial lewat internet maupun lewat kemudahan menggunakan hal-hal berkenaan dengan teknologi digital membuat semakin marak pula eksesnya, yaitu ujaran kebencian atau ‘hate speech’, dimana orang melampiaskan kebencian dalam bentuk kalimat-kalimat yang kemudian dikirimkan bahkan disebarkan di grup-grup media sosial.

DI : Apa dampak masalah ini, Pak Sindu?

SK : Rasa benci yang akhirnya disebarluaskan membuat informasi menjadi bias bahkan fitnah pun tersebar. Tenggang rasa, empati, rasa persaudaraan, bagaikan terkoyak hanya karena beda pandangan. Bahkan kemudian bisa berubah menjadi serangan fisik dan bentrokan fisik yang terjadi di beberapa daerah Indonesia karena menyebarluasnya ujaran kebencian di media sosial.

DI : Intinya terjadi konflik horizontal di antara kita sendiri ya?

SK : Betul. Kalau belum ada media sosial, mungkin orang hanya mengetahui lewat media-media arus utama seperti surat kabar atau majalah umum dan itu ada proses filteralisasi / penyaringan sehingga tidak terlalu menimbulkan dampak sosial secara negatif. Tetapi dengan adanya media sosial di era digital ini tidak ada seperti penyaringan itu. Apapun yang kita ujarkan bisa dengan mudah langsung menyebar dan menjadi viral, bergulir kian membesar di banyak lapis masyarakat dan kita seperti menjadi penyiar itu sendiri, punya koran sendiri tanpa harus lewat media cetak. Inilah yang membuat kita di Indonesia masuk kepada masa yang belum pernah terjadi di masa-masa sebelumnya karena adanya media digital ini, Pak Daniel.

DI : Menurut saya kalau informasi yang masuk tidak mendapatkan filter yang ketat tentu akan membahayakan ya.

SK : Ya. Betul.

DI : Apakah bentuk-bentuk ujaran kebencian itu, Pak Sindu?

SK : Bentuknya antara lain penghinaan, pencemaran nama baik, penistaan, perbuatan tidak menyenangkan, provokasi, hasutan, penyebaran berita bohong yang bisa berdampak pada tindakan diskriminasi, berdampak pula pada tindak kekerasan bahkan penghilangan nyawa maupun konflik sosial.

DI : Memang sangat mengerikan melihatnya ya. Apa sasaran ujaran kebencian itu, Pak Sindu?

SK : Yang menjadi ujaran kebencian biasanya berkenaan dengan keberbedaan. Orang menolak dan merendahkan perbedaan. Baik itu perbedaan suku, agama dan kepercayaan, ras, golongan, warna kulit, etnis, jenis kelamin, ataupun orientasi seksual - termasuk di dalamnya mungkin orang membenci para LGBT, itu juga menjadi sasaran ujaran kebencian – ataupun perbedaan berkenaan dengan kesempurnaan tubuh, seperti kaum difabel. Orang-orang yang berbeda secara fisik, mental dan orientasi seksual inilah yang umumnya menjadi sasaran dari ujaran kebencian.

DI : Tentu dampaknya sangat buruk kalau ujaran kebencian ini tetap ada, akan makin banyak orang saling membenci. Mereka bisa saling merendahkan lalu bangsa ini bisa terkoyak, Pak Sindu.

SK : Betul.

DI : Apa media ujaran kebencian ini, Pak Sindu?

SK : Medianya lewat media sosial yang ada di tangan kita masing-masing yaitu handphone, media arus utama berupa media cetak dan elektronik, pamphlet, spanduk, ataupun pidato-pidato, orasi-orasi kampanye politik, ceramah-ceramah termasuk ceramah keagamaan juga bisa jadi media ujaran kebencian.

DI : Iya. Sekarang memang mudah sekali orang ber-SMS atau Whatsapp menyebarkan ujaran kebencian. Saya pikir negara perlu campur tangan supaya ujaran kebencian ini tidak perlu memakan korban lebih banyak lagi. Apa yang pihak negara lakukan untuk mengatasi ujaran kebencian ini?

SK : Kita bersyukur pemerintah kita responsif pada ujaran kebencian dan dampak negatifnya pada masyarakat kita. Kepolisian Republik Indonesia telah mengeluarkan Surat Edaran Kapolri berkenaan penanganan ujaran kebencian sebagai panduan dalam penanganan kasus-kasus ujaran kebencian. Sesungguhnya ini memang bukan hal yang baru, Pak Daniel. Surat Edaran Kapolri ini bersumber pada aturan-aturan yang sudah terlebih dulu ada dan dipakai di negara kita.

DI : Memang harapannya melalui apa yang dilakukan pemerintah ini masalah ujaran kebencian bisa dicegah dan mendapatkan pendamaian kalau ada konflik ya?

SK : Benar. Memang mengutamakan pencegahan, itu semangat Surat Edaran Kapolri ini. Dengan didamaikan lebih dulu antar pihak yang berselisih, maka tidak perlu mengambil langkah hukum. Langkah hukum adalah langkah terakhir setelah diingatkan, dimediasi, didamaikan, tapi tetap saja melemparkan ujaran kebencian. Daripada masyarakat terbelah lebih baik ambil langkah hukum.

DI : Saya melihat keluarga Kristen perlu sadar bahwa ujaran kebencian yang di depan umum itu ada akibatnya, Pak Sindu.

SK : Betul. Memang surat edaran ini mengacu pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), juga Undang-Undang tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronika, juga mengacu pada Undang-Undang tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis.

DI : Tentu ada dampak hukuman penjara atau denda uang kalau dari KUHP ya.

SK : Ya. Salah satu pasal acuannya adalah Pasal 156 KUHP, Siapa yang menyatakan permusuhan di depan umum terancam hukuman 4 tahun penjara. Siapa yang mencaci dan menyebarkan lewat tulisan, ancaman penjaranya paling lama 2,5 tahun. Ada juga pasal tentang Pencemaran Nama Baik penjara paling lama 9 bulan. Penyebar fitnah bisa dihukum penjara 4 tahun. Penyebaran berita bohong juga dapat dipenjara maksimal 6 tahun atau denda paling banyak 1 milyard. Yang terakhir adalah dari UU IT Pasal 28. Yang sebelumnya adalah pasal-pasal dari KUHP.

DI : Tentu penguasaan diri itu sangat perlu ya, khususnya dari orang Kristen. Disini kita membutuhkan peran Roh Kudus yang menolong kita menguasai diri sehingga kita tidak perlu jatuh ke dalam ujaran kebencian ya.

SK : Betul. Kebencian itu memang bisa berkenaan dengan diskriminasi ras dan etnis, penjaranya maksimal 5 tahun atau denda maksimal 500 juta Rupiah. Ini dari pasal 16 UU tahun 2008 tentang penghapusan diskriminasi ras dan etnis.

DI : Ya. Memang kebencian antar ras itu betul-betul merugikan dan merendahkan orang, Pak Sindu.

SK : Ya. Negara kita ini punya aturan demikian karena negara kita telah mengakui tentang hak asasi manusia yang dideklarasikan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) lewat Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia dimana setiap orang dapat menikmati hak-hak sipil dan politik, hak-hak ekonomi, hak-hak sosial dan budaya tanpa diskriminasi.

DI : Ya. Saya teringat dengan masa lalu seperti di Amerika waktu terjadi perbedaan suku antara orang kulit hitam dengan orang kulit putih. Banyak orang kulit hitam mengalami perbedaan hak, mereka direndahkan dan mengalami banyak hal yang buruk. Jadi, kalau sekarang ini sudah ada pengakuan terhadap hak-hak yang ada saya pikir ini sesuatu yang baik.

SK : Betul, Pak Daniel.

DI : Bagaimana peran PBB tentang hal ini, Pak Sindu?

SK : PBB sendiri tahun 1996 telah membuat covenant internasional hak-hak sipil dan politik dimana dalam pasal 20 dikatakan segala tindakan yang menganjurkan kebencian atas dasar kebangsaan, rasa tahu agama yang merupakan hasutan untuk melakukan diskriminasi, permusuhan atau kekerasan harus dilarang oleh hukum. Pernyataan ini mengamanatkan negara yang telah meratifikasi covenant itu atau telah menandatangani persetujuan perjanjian itu harus pula memiliki aturan atau perundang-undangan yang melarang perilaku-perilaku tersebut. Bersyukur negara kita telah merativikasi perjanjian ini pada 23 Februari 2006. Bahkan tak hanya sampai disana, sampai pada akhir 2011 PBB kembali mengeluarkan resolusi tentang perang perlawanan terhadap intoleransi, sterotip negatif, stigmatisasi atau pemberian label negatif, diskriminasi, hasutan yang mengakibatkan kekerasan, ataupun kekerasan terhadap orang atas dasar agama dan kepercayaan.

DI : Saya melihat negara-negara juga mengecam intoleransi ini ya.

SK : Ya. Memang dalam resolusi itu semua negara mengecam praktek-praktek intoleransi atas dasar agama. Bahkan menyerukan semua negara mengkriminalkan pelaku ujaran kebencian yang mengakibatkan kekerasan atas dasar perbedaan-perbedaan yang sesungguhnya bersifat alamiah dan perbedaan itu adalah rahmat bukan kutuk dan bukan masalah. Yang menjadi masalah adalah kita membenci, menolak perbedaan yang realitasnya sudah ada di dalam dunia ini.

DI : Tidak salah untuk berbeda ya.

SK : Ya.

DI : Berbeda dalam hal berpendapat, tak salah untuk punya pendapat yang berbeda.

SK : Berbeda itu tidak sama dengan bermusuhan. Kita bisa berbeda tapi tetap saling menghargai dan menghormati dan itulah kemuliaan kita sebagai manusia apalagi kalau kita mengenal anugerah penyelamatan Allah maka sesungguhnya anugerah Allah sendiri sudah menyatakan kita adalah orang yang terpuruk tapi Allah memberi anugerah mengangkat kehormatan kita lewat penebusan Kristus. Maka anugerah keselamatan itu juga mendasari kita untuk menolak membenci perbedaan. Perbedaan ada tapi tetap ada ruang untuk kita menghargai dan mengasihi.

DI : Ya. Ketika orang berbeda pendapat dengan kita, kita mestinya belajar membedakan ini pendapat dan ini pribadi. Jadi, kalau orang menolak pendapat kita itu pendapatnya yang ditolak, bukan pribadinya yang ditolak. Kalau orang bisa belajar seperti ini maka ujaran kebencian itu akan lebih bisa diatasi.

SK : Benar, Pak Daniel.

DI : Saya melihat pesan-pesan permusuhan ini semakin menguat bisa memicu tindakan kekerasan di dunia nyata. Kenapa ujaran kebencian ini makin marak?

SK : Yang pertama, saya melihatnya dalam sejarah bangsa kita, ini buah dari represi panjang selama kurang lebih 32 tahun pemerintahan Orde Baru dimana memang waktu itu orang merasa damai dan nyaman, tapi damai dan nyaman karena di bawah penindasan rezim yang sifatnya otoriter sehingga orang tidak berani berpendapat. Berpendapat pun harus yang sesuai dengan pemerintah yang berkuasa. Kelihatannya damai tapi begitu ada sedikit perkataan-perkataan yang tidak sesuai dengan keinginan pemerintah saat itu, wah bisa tidak pulang ke rumah, ibaratnya ya. Ada represi atau penindasan. Sejalan dengan munculnya Masa Reformasi tahun 1998, akhirnya orang merdeka untuk berpendapat. Sayangnya karena 32 tahun kita tidak terbiasa berpendapat secara bebas dan bertanggung jawab, begitu menerima kebebasan akhirnya kebablasan. Kita berlebihan sehingga kita tidak ada penyaringan. Apa yang kita pikir apa yang kita rasa langsung saja disuarakan. Kecerdasan emosi dan kecerdasan sosial – maaf dikata – pada masa Orde Baru tidak banyak berkembang karena sistem pendidikan dan sistem pemerintahan itu. Jadi, ini memang bagian dari sejarah bangsa kita ditambah memang 20 tahun belakangan ini perkembangan teknologi digital semakin luar biasa. Maka bertemulah ketidaksiapan kita untuk mengemukakan pendapat dengan bertanggung jawab dengan kemudahan teknologi digital, membuat ujaran kebencian itu marak di negeri kita.

DI : Sangat penting untuk memerhatikan kebebasan yang bertanggung jawab dan memerhatikan hak-hak orang lain juga dalam masa kebebasan berpendapat sekarang ini. Kemudian adakah alasan lain yang membuat ujaran kebencian ini marak?

SK : Yang kedua, berangkat dari kondisi kepribadian kita. Sebagian kita rupanya punya kepribadian yang cenderung negatifistik, artinya melihat, merasa, berespons secara negatif. Beberapa kita tumbuh dari keluarga yang menekan kita, orangtua-orangtua yang membuat kita mengalami masa kecil yang buruk. Kalau kita sejak kecil terbiasa menerima hinaan, ejekan, kata-kata merendahkan, maka secara alami kita akan tumbuh menjadi pribadi yang cenderung berpandangan negatif, memandang segala hal dari sudut pandang negatif, lebih banyak dari sisi ancaman dan bahaya, akibatnya kita kurang bisa berpikir kritis dan obyektif. Hanya informasi yang disukai atau yang dilihatnya yang diyakini benar itulah yang diterimanya, sementara yang lain salah. Jadi, ujaran kebencian itu marak sebagian karena ada pribadi-pribadi yang penuh dengan kepahitan dan kebencian sehingga apa yang dia ujarkan cenderung ujaran yang penuh kepahitan dan kebencian itu, Pak Daniel.

DI : Ya. Pribadi yang negatif itu mencela semua hal, bahkan sampai polusi dicela. Hidupnya mengeluh terus, Pak Sindu.

SK : Betul.

DI : Selain itu, apa lagi yang membuat ujaran kebencian itu marak?

SK : Yang ketiga adalah situasi politik sesaat. Ujaran kebencian umumnya menjadi viral terutama kalau sudah berkenaan dengan isu politik. Pemilihan kepala daerah, pemilihan presiden, pemilihan legislatif. Biasanya ujaran kebencian kian subur disitu karena sebagian itu disengaja oleh kelompok-kelompok kepentingan tertentu yang ingin mensukseskan keinginannya kemudian menghalalkan segala cara. Lemparkan ujaran-ujaran kebencian. Bahkan ada hoax di dalamnya, ada berita-berita bohong. Ini memang untuk kepentingan politik kelompok-kelompok ini. Sebenarnya ini situasi sesaat. Ketika orang sudah melewati masa kampanye, masa pemilihan kepala daerah atau pemilihan presiden, biasanya akan surut, karena memang situasi politik sesaat.

DI : Berikutnya apa lagi tentang maraknya ujaran kebencian ini, Pak Sindu? Mengapa ini ada?

SK : Sekarang perlunya respons kita, Pak Daniel. Bagaimana kita berperan untuk menolak dan menangkal ujaran kebencian. Yang pertama, ketika muncul ujaran kebencian di grup media sosial kita atau di dunia internet, silakan untuk menolak menanggapi.

DI : Ini peran kita sebagai keluarga Kristen ya.

SK : Ya. Sebagai orang percaya kita menolak ujaran kebencian. Sekalipun orang memberi ujaran kebencian kepada kita, tidak perlu membalasnya. Kejahatan kita balas dengan kebaikan. Malah firman Tuhan mengatakan kalau kita tetap berbuat baik pada orang yang membenci dan menyakiti kita, kita seperti meletakkan bara api di atas kepalanya, membuat dia berpikir ulang. Jadi, kita tolak penyebaran-penyebarannya. Karena kalau kita menyebarkan termasuk memberi komentar terhadap ujaran kebencian, kita seperti memberi angin. Sebaiknya laporkan kepada pihak yang berwenang. Misalnya di Facebook ada pilihan untuk melaporkan ke pihak Facebook atas tindakan tidak menyenangkan dari sang pemilik akun.

DI : Ya. Apalagi peran kita untuk mengatasi ujaran kebencian ini?

SK : Yang kedua, mari kita sendiri tidak terlibat dalam pusaran rasa benci. Kalau benci pada seseorang, kelompok masyarakat tertentu, benci kepada orang-orang yang sedang kampanye politik ataupun orang-orang yang ada di grup media sosial kita, mari akui kepada Tuhan. "Tuhan, aku punya rasa benci pada kelompok ini, pada orang ini. Di dalam nama Yesus aku mau melepaskan." Karena memang kebenarannya, kalau kita menyimpan rasa benci, sebenarnya kita sedang menyabotase otak kita sendiri. Ahli-ahli yang mendalami ilmu otak menunjukkan bahwa otak kita akan tumpul ketika kita menyimpan rasa benci.

DI : Sangat merugikan ya.

SK : Betul. Jadi akui rasa benci, lepaskan kepada Tuhan, ampuni yang bersalah dan ambil jarak untuk tidak kumpul dengan orang-orang yang mengganggu perasaan kita daripada kita dikuasai rasa benci. Kalau perlu kita meninggalkan grup media sosial itu daripada rasa benci kita terus disuburkan.

DI : Bagaimana dengan peran kerohanian dalam mengatasi hal itu, Pak Sindu?

SK : Penting untuk membangun keintiman dengan Allah. Kalau kebenaran firman biasa kita masukkan dari hari ke hari maka respons-respons firman Allahlah yang keluar dari ujaran kita, jadi bukan ujaran kebencian tapi ujaran kasih dan kebenaran. Resapilah rasa keberhargaan di dalam Kristus. Kenapa kita masuk dalam pusaran ujaran kebencian? Karena kita merasa tidak berharga, akhirnya kita berusaha meninggikan harga diri kita dengan menyatakan kebencian, menjelekkan orang lain. Kalau kita punya keberhargaan yang sehat di dalam Kristus kita tidak perlu dan tidak punya alasan untuk menjelekkan atau membenci orang lain.

DI : Sebelum menutup perbincangan kita tentang ujaran kebencian ini, apa ayat firman Tuhan yang bisa kita pelajari bersama untuk mengingatkan kita?

SK : Saya bacakan dari Amsal 10:12, "Kebencian menimbulkan pertengkaran tetapi kasih menutupi segala pelanggaran." Firman Tuhan dengan tandas menyatakan tidak ada gunanya kebencian itu. Merusak hubungan sosial kita. tetapi kalau kita mengobarkan kasih maka kita akan lebih toleran. Kesalahan-kesalahan orang lain masih mungkin kita maafkan dan kita ampuni. Mari tebarkan kasih, tolak ujaran kebencian.

DI : Saya setuju sekali kasih menjadi jawaban untuk mengatasi kebencian. Terima kasih, Pak Sindu. Para pendengar sekalian, terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bapak Penginjil Sindunata Kurniawan, M.K. dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang topik "UJARAN KEBENCIAN". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini, silakan menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@telaga.org. Kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan, serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa dalam acara TELAGA yang akan datang.


Ringkasan:

Maraknya ujaran kebencian di masyarakat Indonesia telah menimbulkan beberapa konflik horizontal. Rasa benci membuat banyak informasi menjadi bias, palsu dan fitnah disebar. Tenggang rasa, empati dan persaudaraan menjadi terkoyak hanya karena beda pandangan. Bahkan serangan fisik dan bentrokan terjadi di beberapa daerah karena ujaran kebencian di media sosial.

Bentuk-bentuk ujaran kebencian: penghinaan, pencemaran nama baik, penistaan, perbuatan tidak menyenangkan, provokasi, penghasutan dan penyebaran berita bohong, bisa berdampak pada tindakan diskriminasi, kekerasan, penghilangan nyawa, maupun konflik sosial.

Sasaran ujaran kebencian antara lain: suku, agama dan kepercayaan, ras, golongan, warna kulit, etnis, gender, kaum difabel atau orang-orang berbeda secara fisik dan mental, termasuk berbeda orientasi seksual: pria, wanita, transgender.

Media ujaran kebencian di antaranya: media sosial, media massa cetak dan elektronik, pamflet, spanduk, orasi kampanye, ceramah termasuk ceramah keagamaan.

Kepolisian Republik Indonesia telah mengeluarkan Surat Edaran Kapolri berkenaan penanganan ujaran kebencian sebagai panduan dalam penanganan kasus-kasus ujaran kebencian. Harapannya, ketika ada kasus ujaran kebencian di masyarakat, segera terjadi pencegahan untuk tidak bergulir membesar, didamaikan antarpihak yang berselisih. Jika tidak bisa didamaikan, barulah diambil langkah hukum.

Kenapa marak ujaran kebencian?
Buah Represi Masa Orde Baru. Selama 30 tahun Indonesia hidup dalam rezim Orde Baru yang menekan kebebasan berpendapat. Setelah tahun 1998 terjadi Reformasi, kebebasan berpendapat diraih, namun belum disertai cukup kematangan pikiran dan emosi, kesiapan bertanggungjawab maupun kontrol diri yang baik. Pencapaian pendidikan kita masih cukup rendah secara populasi. Kualitas pendidikan lebih banyak menekankan aspek rasionalitas kognitif semata. Dipicu oleh kemajuan teknologi informasi dan komunikasi melalui media sosial, Indonesia belum pernah mengalami badai ujaran kebencian dan pertentangan terbuka di masyarakat semasif ini. Ujaran kebencian di media sosial telah menjadi strategi kelompok tertentu untuk memprovokasi kebencian dan tindakan anarki.

Kepribadian Negativistik
Kebencian seseorang bisa berasal dari pola pikir menetap hasil pengasuhan dan pengalaman masa kecil yang buruk. JIka sejak kecil terpapar dan terbiasa menerima hinaan, ejekan, kata-kata merendahkan, dia cenderung menjadi pribadi yang berpandangan negatif. Memandang segala hal dari sudut pandang negatif atau ancaman bahaya. Akibatnya tak bisa berpikir kritis dan objektif. Hanya informasi yang disukai atau ingin dilihatnya,yang diyakini benar, selain itu, dianggap salah.

Situasi Politik Sesaat
Situasi politik mengubah sifat alamiah otak dan menyeret sebagian orang pada arus kebencian. Otak manusia menyukai kesenangan. Maka secara alami otak manusia menghindari kebencian. Kebencian menyedot energi otak dan membuat otak tumpul serta tak bisa tajam berpikir. Akibatnya orang-orang yang membenci akan sulit berpikir dan bertindak adil. Namun kebencian politik mudah berubah tergantung pada kemampuan orang yang membenci untuk mengakomodasi kepentingan kelompok lain.

Peran kita dan keluarga
Sebaiknya kita tidak usah mengomentari ujaran kebencian, apalagi menyebarkan, karena akan memberi angin dukungan. Laporkan saja ke pihak berwenang. Misalnya di Facebook, ada pilihan untuk melaporkan ke pihak Facebook tentang tindakan si pemilik akun itu. Belum tentu akun yang disebarkan posting-annya itu benar dibuat oleh pemilik akun. Bisa jadi dia diretas atau di-hack, atau menggunakan akun palsu. Cara berikutnya bisa dengan unfollow akun itu di media sosial. Kalau akun itu masih lalu lalang, bisa di-block saja. Jangan malah membuat orang-orang itu menjadi terkenal dan follower-nya naik. Jika akun itu melanggar hukum, bisa dilaporkan. Jika kita terlibat dalam rasa benci, sadari bahwa kebencian itu akan merugikan diri kita sendiri: berpikir tumpul dan berat sebelah. Akui rasa benci pada Tuhan, lepaskan, ampuni, dan ambil jarak. Berbeda pendapat tidak sama dengan bermusuhan. Dalam pilihan-pilihan politik yang berbeda, jelaskan argumentasi secara jernih dan tolak pilihan kalimat yang merendahkan maupun menghina. Izinkan perbedaan dan tidak memaksakan kehendak serta pilihan politik. Bangun keintiman dengan Firman Allah dan resapi keberhargaan di dalam Kristus. Amsal 10:12, "Kebencian menimbulkan pertengkaran tetapi kasih menutupi segala pelanggaran."


Questions: