BETA
Tanda Pernikahan Sehat (I)
Sumber: telaga
Id Topik: 2175

Abstrak:

Tim Gardner mencetuskan tentang enam tanda pernikahan yang sehat. pada sesi pertama ini kita akan membahas tiga tanda yaitu kesatuan, penerimaan, dan keintiman.

Transkrip:

Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi di mana pun anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya, Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling. Perbincangan kami kali ini tentang "Tanda Pernikahan Sehat ". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

GS : Pak Paul, untuk sebuah pernikahan yang dikatakan sehat itu ternyata ada tanda-tanda yang bisa dikenali ya. Jadi, sebaliknya kalau pernikahan itu tidak sehat atau buruk atau sakit, kita juga bisa mengenalinya dengan membalikkan ciri-ciri pernikahan sehat itu tadi, Pak Paul. Tapi siapa yang punya gagasan untuk menemukan tanda-tanda pernikahan yang sehat itu, Pak Paul ?

PG : Namanya Tim Gardner, beliau adalah seorang konselor pernikahan dan keluarga di Amerika Serikat. Beliau ini mencetuskan enam kriteria tanda pernikahan yang sehat, Pak Gunawan. Jadi, kita akan membahasnya dan saya juga akan memasukkan masukan pribadi saya tentang ciri-ciri pernikahan yang sehat itu. Yang pertama adalah KESATUAN. Tuhan tidak memanggil kita untuk bergabung dalam pernikahan. Tuhan memanggil kita untuk bersatu dalam pernikahan. Kita ‘kan dapat bergabung bersama orang dalam suatu wadah atau organisasi tanpa harus menjadi satu dengannya. Nah, tujuan pernikahan adalah menjadikan kita satu dengan pasangan, bukan hanya bergabung dengannya.

GS : Ya. Memang sejak awal Tuhan Allah mengatakan bahwa Adam dan Hawa menjadi satu daging. Orang itu meninggalkan orang tuanya untuk menjadi satu. Bersatu. Tuhan Yesus juga menegaskan bahwa apa yang sudah disatukan Allah tidak boleh diceraikan oleh manusia. Memang itu cukup jelas dinyatakan oleh Alkitab, Pak Paul. Tetapi untuk melaksanakan di dalam kehidupan pernikahan itu sendiri ternyata tidak semudah pemahaman yang kita mengerti. Ini bagaimana, Pak Paul ?

PG : Memang betul, Pak Gunawan. Secara konsep kita mengerti bahwa kita ini seyogianyalah menjadi satu. Tapi pada kenyataannya melakukan itu tidak mudah. Nah, salah satu tanda bahwa kita sudah menyatu dengan pasangan adalah kita mulai meninggalkan pola pikir "Aku" dan menggantikannya dengan pola pikir "Kita". Dalam pola pikir "Kita" yang hadir adalah kita berdua dimana kita senantiasa mengikutsertakan pasangan di dalam setiap keputusan yang kita buat. Bukan saja kita memikirkan keinginan sendiri, kitapun memikirkan keinginan pasangan. Bukan saja kita memikirkan apa yang baik bagi diri sendiri, kita pun memertimbangkan apa yang baik buat pasangan. Jadi, dapat kita simpulkan bahwa makin sehat pernikahan makin sering dan serius kita memertimbangkan kepentingan pasangan di dalam tindakan dan keputusan kita. Sebaliknya, kita bisa pula menyimpulkan bahwa tanda pernikahan tidak sehat adalah kita kurang atau tidak lagi mengikutsertakan pasangan di dalam tindakan dan keputusan yang kita ambil.

GS : Ya. Jadi, bermula dari pola pikir kita, Pak Paul. Kalau pola pikir kita sudah benar maka untuk selanjutnya akan lebih mudah untuk dilakukan daripada kalau mikir saja sudah keliru. Begitu ya, Pak Paul ?

PG : Ya. Memang penting kita memunyai pola pikir yang tepat bahwa setelah kita menikah, kita harus mulai beranjak meninggalkan pola pikir "Aku". Sudah tentu ini tidak akan terjadi dalam waktu yang singkat karena kita terbiasa dengan "Aku" namun kita mesti terus berusaha mengingatkan diri kita dan mengingatkan pasangan kita. Jangan sampai akhirnya kita ini lupa dan pokoknya ya sudahlah, saya mengurus hidup saya, kamu mengurus hidup kamu. Tidak bisa. Jadi, selalu ingat pasangan kita dalam tindakan dan pengambilan keputusan.

GS : Iya. Tapi setelah pikiran itu terbentuk dengan baik, perasaan kita pun juga harus diolah sesuai dengan yang kita pikirkan, Pak Paul ?

PG : Betul, Pak Gunawan. Memang kalau kita masuk ke dalam pernikahan kita sudah memunyai pola pikir "Kita", kemudian kita mencoba untuk menyatukannya, selalu memikirkan apa yang baik juga bagi pasangan kita. Memang tidak mudah ya, Pak Gunawan. Jadi, menyatukan dua pendapat atau keinginan yang berbeda jauh lebih sulit ketimbang melakukan apa yang kita sendiri anggap baik. Tapi kendati tidak mudah, kita tetap harus mengusahakan. Pada awalnya mungkin, atau pada, atau untuk kurun yang panjang, kita sering berbenturan. Tapi tetap ini adalah jalan yang sehat dan semestinya. Jangan mengambil jalan pintas dan memisahkan hidup dari pasangan. Usahakanlah menyelaraskan pendapat dan nilai hidup kita agar pada akhirnya kita makin sehati. Nah, makin sehati, makin sering kita memertimbangkan pendapat dan keinginan pasangan. Saya juga kadang-kadang mendengar orang berkata, "Kenapa saya harus mencoba mengikutsertakan pandangan atau keinginan pasangan saya ? Berbeda kok, nanti akhirnya juga ribut. Ya sudahlah, jalan sendiri-sendiri sudah." Tidak ya. Memang jalan ini adalah jalan konflik, awal-awalnya, tidak bisa tidak. Tapi kalau kita menyerah di tengah jalan, benar-benar akhirnya pernikahan kita menjadi pernikahan yang terbelah. Tapi kalau kita terus tidak menyerah, terus mencoba menyelaraskan, lama-lama makin pas, makin cocok sehingga kita pun lebih mau memertimbangkan kehendak pasangan kita. dan dia pun juga lebih mau memertimbangkan kehendak kita di dalam keputusan yang diambilnya.

GS : Mungkin itu salah satu alasan mengapa di tahun-tahun awal pernikahan itu menjadi sangat berat bagi pasangan suami istri, Pak Paul ?

PG : Iya. Dan cobaan untuk menyerah itu besar, Pak Gunawan. Karena kita berpikir, "Sudahlah daripada ribut tidak usah kita bicarakan lagi. Kamu maunya begitu ya sudah, silakan." Tapi kalau makin banyak cara penyelesaian yang kita lakukan seperti itu – "Ya sudah, kalau kamu maunya begitu ya silakan. – makin banyak yang seperti itu, makin kita terbelah. Akhirnya, ya sudahlah, kita tidak pernah mencapai kesatuan di dalam pernikahan kita.

GS : Ya. Mungkin itu sebabnya ada orang yang melukiskan bahwa pernikahan itu seperti dua arus sungai yang bertemu pada satu titik dan itu menimbulkan riak yang luar biasa, tapi setelah jalan lebih jauh sungai itu akan menjadi lebih tenang dan volume airnya pasti membesar.

PG : Itu ilustrasi yang baik sekali, Pak Gunawan. Memang betul, pada waktu bertemu dua arus ini tidak bisa tidak akan tabrakan, akan menimbulkan riak atau gelombang, tapi kita jangan menyerah, kita teruskan. Nantinya kita ini waktu mulai menyatukan diri dengan pasangan, maka kita juga akan lebih memikirkan dampak perbuatan dan keputusan kita pada pasangan. Kita sadar kita tidak lagi hidup sendiri dan bahwa perbuatan dan keputusan kita berpengaruh pada kehidupan pasangan. Itu sebabnya bukan saja kita menjadi lebih berhati-hati dalam bertindak dan mengambil keputusan, kita pun berupaya mencegah bertindak dan mengambil keputusan yang dapat menyusahkan atau dapat merugikan pasangan. Kita dapat melihat tanda pernikahan yang tidak sehat adalah kebalikan dari ini, Pak Gunawan. Orang akan melakukan apa-apa tanpa memikirkan dampaknya pada pasangan. Misalnya ada orang yang menghabiskan uang di meja judi, ada orang yang berhubungan dengan pria lain atau wanita lain dan sebagainya. Dampaknya pada pasangan sebetulnya sangat berat, tapi ya karena hidupnya sudah terpisah, dia tidak memikirkan dampaknya itu. Nah, tanda bahwa kita menyatu adalah kita selalu memikirkan jangan sampai perbuatan kita ini memberi dampak buruk pada pasangan kita.

GS : Ya. Malah yang sering dipikirkan itu justru dampak buruk terhadap anak, Pak Paul. Ada pasangan suami istri yang mau bercerai itu yang dipikir cuma anaknya, tapi tidak memikirkan tentang pasangannya.

PG : Betul. Betul. Sudah tentu kita harus memikirkan dampaknya pada anak namun pertama kita mesti memikirkan dampaknya pada pasangan kita. Singkat kata kesatuan dalam pernikahan ditandai dengan hidupnya pasangan di dalam diri kita, Pak Gunawan. Dia berada bukan di samping atau di luar diri kita. dia berada di dalam diri kita. Meski ia tidak hadir secara jasmaniah, ia hadir secara batiniah seakan-akan ia turut mendengar apa yang kita katakan dan melihat apa yang kita lakukan. Kesenangan kita adalah kesenangannya dan kesenangannya adalah kesenangan kita, kesedihan kita adalah kesedihannya dan kesedihannya adalah kesedihan kita. Itu sebab dalam bertindak dan mengambil keputusan, kita tidak mau melakukan apapun yang membuat dia dan kita sedih. Kita hanya mau melakukan hal-hal yang membuat dia dan kita senang.

GS : Iya. Padahal pengertiannya ini ‘kan sudah ditanamkan pada waktu pemberkatan nikah dan sebagainya supaya kita tetap setia pada waktu susah senang sehat sakit, dan seterusnya. Tetapi ketika berjalan dalam biduk pernikahan ini sulit dilaksanakan, Pak Paul. Pak Paul, kalau kesatuan itu menjadi ciri yang pertama, ciri atau kriteria yang kedua apa ?

PG : Tanda pernikahan sehat yang kedua adalah ADANYA PENERIMAAN. Tim Gardner mengatakan bahwa dalam pernikahan yang sehat kita tahu bahwa kita dikenal dan diterima apa adanya. Itu sebab dalam pernikahan yang sehat ada keterbukaan, keberanian dan kebebasan untuk mengutarakan pemikiran, gagasan, impian dan bahkan kegagalan kita. Itu berarti di dalam pernikahan yang sehat, kita tidak takut bertengkar atau berselisih pendapat karena kita tahu bahwa perselisihan atau pertengkaran tidak akan mengurangi penerimaan pasangan terhadap diri kita. Jadi, inilah dasarnya ya: PENERIMAAN. Sehingga kita tahu kita bebas untuk mengutarakan isi hati kita kepada pasangan dan kita juga tidak takut kalau berselisih pandang karena kita tahu pasangan sudah menerima kita apa adanya dan dia pun tahu kita sudah menerima dia apa adanya. Sehingga kalaupun terjadi konflik, itu tidak akan mengurangi penerimaan kita kepadanya.

GS : Iya. Pengertian itu juga sudah ditanamkan oleh Alkitab ya. Dikatakan Allah menciptakan manusia pada awalnya ‘kan telanjang ya, artinya tidak ada pemisah. Telanjang dan mereka bisa bersatu. Tetapi setelah dosa masuk jadinya tidak seperti itu.

PG : Betul. Memang setelah dosa masuk, reaksi kita adalah mau menyembunyikan diri, Pak Gunawan. Nah, di dalam pernikahan kita mesti juga melawan dorongan ini. Kadang-kadang ada dorongan untuk menyembunyikan diri, tidak mau pasangan mengetahui bagian dalam diri kita atau kita perbuat. Nah, kita mesti berusaha terus menerus membuka diri apa adanya sehingga pasangan sungguh-sungguh tahu siapakah kita dan kita juga tahu siapakah dia. Di dalam penerimaan yang penuh seperti itu, baru ada rasa aman, rasa tentram. Kita tidak lagi bertanya-tanya. Kita tidak lagi takut atau curiga.

GS : Tapi apakah itu berarti bahwa kita tidak boleh memiliki sesuatu yang bersifat pribadi, Pak Paul? Misalnya rahasia yang sifatnya pribadi buat kita.

PG : Sudah tentu harus ada hikmat di dalam membuka diri, Pak Gunawan. Apakah pasangan akan siap untuk menerima apa yang ingin kita katakan kepadanya? Belum tentu. Jadi kita mesti menimbang-nimbang juga dampaknya seperti apa kalau memang kita mengatakannya kepada dia. Kedua, kita memang harus memikirkan apakah ini sesuatu yang wajar yang memang hampir semua orang juga memunyai pergumulannya atau apa, jadi ya sudah tidak usah dibicarakan lagi. Kalau dibicarakan nanti menimbulkan masalah atau kecurigaan yang tidak perlu. Jadi, kadang-kadang kita juga mesti berhikmat disitu. Dan ada kalanya juga kita mesti menimbang-nimbang apakah ini berkenaan dengan pasangan kita. Kalau memang tidak berkenan mungkin tidak harus kita ceritakan kepada dia kalau ini adalah sesuatu yang memang kita alami sendiri.

GS : Jadi, tetap ada ruang untuk kita memunyai sesuatu yang memang tidak pantas untuk kita bicarakan dengan pasangan kita, begitu Pak Paul ya?

PG : Ya. Jadi memang perlu hikmat ya dalam membuka diri. Tapi intinya adalah kita bukan sedang menyembunyikan diri kita atau merahasiakan perbuatan yang kita lakukan. Bukan.

GS : Bagaimana hubungannya dengan pengharapan-pengharapan kita di dalam pernikahan itu, Pak Paul?

PG : Penerimaan tidak berarti menghilangkan tuntutan dan pengharapan dalam pernikahan. Tuntutan dan pengharapan menumbuhkan pernikahan. Jadi tidak apa ya kita mengutarakan pengharapan dan tuntutan kita. Terpenting adalah pasangan tahu bahwa tuntutan dan pengharapan kita tidak mengurangi penerimaan diri kita terhadapnya. Ia tahu bahwa penerimaan kita terhadapnya tidak berhubungan dengan perubahan yang kita harapkan. Jadi, jangan sampai pasangan kita memunyai anggapan dia hanya diterima oleh kita kalau dia itu menjadi seperti yang kita harapkan sepenuhnya. Sebagai contoh, Pak Gunawan, kadang saya mendengar keluhan istri yang berkata, "Suami saya terus menuntut saya untuk menguruskan tubuh, suami saya terus mengeluh saya ini terlalu gemuk." Nah, masalahnya adalah kita ini tahu bahwa gemuk atau kurus bukan hanya masalah makan tapi masalah gen atau keturunan. Ada orang yang memang asalnya gemuk sehingga makan tidak terlalu banyak sudah langsung menjadi daging dan menambah berat badannya. Jadi, kasihan saya pikir kalau sampai-sampai suaminya itu berkata, "Kamu harus kuruskan badan. Kamu harus kuruskan badan !" sehingga si istri harus menyiksa dirinya untuk menguruskan badan sebab dia tahu kalau dia tidak menguruskan badan dia tidak diterima oleh suaminya. Jadi, penting sekali ya kita ini juga menyeimbangkan antara tuntutan dan harapan serta penerimaan. Kalaupun kita mau memberikan atau mengajukan pengharapan kita atau tuntutan kita kepada pasangan, kita mesti yakinkan dia bahwa kita sudah menerimanya. Kita memintanya berbuat ini atau itu, itu adalah untuk kebaikan tapi itu tidak akan mengurangi penerimaan kita terhadapnya.

GS : Ya. Penerimaan ini ‘kan erat sekali hubungannya dengan penghargaan kita terhadap pasangan kita, Pak Paul?

PG : Betul sekali, Pak Gunawan. Tim Gardner menekankan bahwa penerimaan berarti menghargai pendapat atau pemikiran pasangan. Jadi, penerimaan bukan hanya ya sudah dengar keluar masuk kuping kiri kuping kanan. Bukan ya. Penerimaan berarti menghargai apa yang pasangan kita katakan atau pikirkan. Dalam pernikahan tidak sehat, kita sekadar menoleransi pemikiran atau pendapat pasangan atau kita malah menentang atau menghina pendapat atau pemikiran pasangan. Nah, itu tidak berarti bahwa kita selalu membenarkan pendapat atau pemikiran pasangan. Tidak ya. Sudah tentu sama seperti kita, pasangan pun tidak sempurna. Namun kita tidak merendahkannya karena ia mengeluarkan pendapat yang berbeda dari kita. Jadi, kita mesti menjaga mulut kita atau reaksi kita. Jaga jangan sampai kita merendahkan dia. Kita ini manusia ya, kadang-kadang karena jengkel kok pasangan kita merasa begini, buat kita tidak masuk akal atau apa, akhirnya keluar kata-kata yang menghina atau merendahkannya. Nah, kalau itu yang kita lakukan, tidak bisa tidak dia tahu kita memang tidak menghargai dia bahkan menghina dia, itu berarti kita tidak menerima dia.

GS : Ya. Jadi, orang yang menoleransi atau menyetujui tindakan pasangannya itu belum tentu menghargai pasangan itu ya, Pak Paul?

PG : Ya. Ada orang yang memang membiarkan, masa bodoh, tapi tidak menghargai. Yang diminta disini bukan hanya menoleransi tapi secara aktif mengatakan, "Saya mau mendengar pendapatmu. Saya mau menghargai apa yang kamu katakan."

GS : Jadi, penghargaan itu pun harus dilakukan secara tulus dan terbuka ya sehingga pasangan kita juga tahu bahwa dia dihargai bukan hanya sekadar disetujui tindakannya.

PG : Betul.

GS : Ya. Kriteria yang ketiga apa, Pak Paul?

PG : Tanda pernikahan sehat yang ketiga adalah ADANYA KEINTIMAN, termasuk keintiman fisik. Di dalam pernikahan yang sehat kita menikmati kebersamaan dengan pasangan. Sewaktu ia tidak bersama kita, kita merasa kehilangan dan kita merindukannya. Kehadirannya kita nantikan. Di dalam kebersamaan itulah keintiman fisik menjadi kepanjangan dari keintiman emosional. Nah, keintiman ini, Pak Gunawan, hanya dapat terjadi bila ada kesatuan dan penerimaan. Di dalam iklim penerimaan yang kuat kita berani menjadi diri apa adanya dan berani pula menyerahkan diri apa adanya kepada pasangan tanpa takut dikritik apalagi ditolak. Kita pun ikhlas menyerahkan diri kepada pasangan karena kita tahu bahwa kita hadir dalam hatinya. Sebaliknya dalam pernikahan yang tidak sehat kita justru takut mendekat apalagi menyatu dengan pasangan. Kita merasa tidak diterima apa adanya, kita takut ditolak atau dikritik. Kalaupun sekarang diterima, kita cemas kalau-kalau penerimaan ini tidak berlangsung lama. Setelah menikmati keintiman fisik, ia akan mencampakkan kita. Nah, kita pun sulit untuk menyerahkan diri karena kita tahu bahwa kita tidak berarti banyak baginya. Kita tidak hadir dalam hidupnya sebab dalam bertindak dan mengambil keputusan ia tidak mengikutsertakan kita di dalamnya. Jadi bagaimana mungkin kita bisa menjalin keintiman kalau kita tidak merasa pasangan kita itu mengikutsertakan kita di dalam tindakan dan keputusannya?

GS : Iya. Tadi Pak Paul katakan bahwa keintiman fisik itu merupakan kepanjangan dari keintiman emosional. Saya sendiri kadang-kadang agak bingung, mana yang lebih dahulu terjadi, Pak Paul? Keintiman emosional membuat kita intim secara fisik atau karena kita intim secara fisik lalu secara emosional kita juga intim?

PG : Seyogianya harus keintiman emosional terlebih dahulu, Pak Gunawan. Jadi, kita ini menjalin relasi yang sehat, yang baik, dimana masing-masing merasa adanya sebuah kedekatan, ada saling memerhatikan, saling menghargai. Nah, di dalam keintiman emosional seperti itulah baru keintiman fisik dimungkinkan. Seolah-olah keintiman fisik menjadi puncak atau penutupnya. Begitu. Bukan awalnya. Nah, kalau kita balik susunannya, yang terjadi adalah tidak bertahan lama, Pak Gunawan. Orang yang hanya menekankan keintiman fisik dalam waktu yang tak lama akan terpisah lagi kalau secara emosional tidak pernah menyatu.

GS : Tapi itu merupakan suatu jalinan yang lama-lama tidak bisa ditengarai dengan jelas, Pak Paul. Orang yang sudah intim secara emosional akan intim secara fisik dan keintiman fisik ini akan menimbulkan keintiman emosional lagi. Dan ini sambung menyambung dan memperkuat biduk pernikahan itu.

PG : Betul. Betul, Pak Gunawan. Jadi, pada akhirnya kalau roda itu sudah berputar maka makin hari pasangan ini akan makin intim karena tadi Pak Gunawan sudah katakan, memang betul keintiman emosional melahirkan keintiman fisik, akhirnya keintiman fisik juga melahirkan keintiman emosional. Begitu.

GS : Iya. Karena ada banyak orang kelihatan di luarnya seperti intim, kebersamaannya baik bersama pasangan maupun bersama anak-anaknya, tetapi sebenarnya di dalam rumah tangganya ini goyah. Jadi, tidak seintim apa yang kita lihat.

PG : Betul. Salah satu tanda bahwa pasangan kita itu benar-benar ada dalam hidup kita dan kita ini menikmati keintiman kita dengan dia adalah benar-benar kita kehilangan dia sewaktu dia tidak bersama kita, kita akan benar-benar merindukannya karena dia tidak ada disitu. Kita melihat contoh di Alkitab dimana keintiman fisik mendahului keintiman emosional dan akhirnya memang gugur, yaitu kisah Tamar dan kakak tirinya. Kakaknya itu mencintai Tamar, katanya. Akhirnya dia memperdaya Tamar, memintanya datang, masuk merawatnya, dia berpura-pura sakit, nah kemudian memperkosa Tamar. Tapi setelah dia memperkosa, yang dia lakukan adalah mengusir Tamar. Nah, kita lihat disitu keintiman fisik sama sekali tidak menjalin adanya keintiman emosional. Setelah terpuaskan, dalam waktu singkat akhirnya gugur berantakan semuanya.

GS : Ya. Ini juga sering terjadi dalam hubungan seseorang dengan selingkuhannya atau bahkan dengan pelacur yang hanya mementingkan keintiman fisik tanpa ada keintiman emosional, Pak Paul.

PG : Betul. Jadi, keintiman fisik tanpa keintiman emosional berlangsung singkat, bersifat pemuasan dan berpusat pada diri sendiri. Itu. Tapi kalau memang didahului, didasari atas, keintiman emosional, justru makin memperkuat makin mengintimkan kita dengan pasangan kita.

GS : Nah, sebelum kita mengakhiri perbincangan ini mungkin ada ayat firman Tuhan yang ingin Pak Paul sampaikan ?

PG : Firman Tuhan di Amsal 11:25 berkata, "Siapa banyak memberi berkat, diberi kelimpahan. Siapa memberi minum, ia sendiri akan diberi minum." Pernikahan yang sehat merupakan buah dari usaha keras dan sehat dari kedua belah pihak. Pernikahan yang sehat dimulai dengan kerelaan untuk memberi berkat kepada pasangan. Ia bukan menunggu diberi berkat, menunggu pasangan berbuat ini dan itu dulu buat kita. Tidak. Kita memulai. Kita rela memberi berkat kepada pasangan. Nah, di dalam memberi inilah Tuhan menjanjikan kita juga akan diberi.

GS : Memang seperti yang Pak Paul katakan tadi, ini merupakan usaha keras dari dua belah pikah. Ini yang penting, Pak Paul, yang tidak mungkin terwujud kalau hanya satu sisi saja seperti orang yang tidak mungkin bertepuk tangan hanya dengan salah satu tangannya saja. Begitu, ya?

PG : Ya.

GS : Jadi, yang memberi banyak, diberi kelimpahan. Dan siapa yang memberi minum, ia sendiri akan diberi minum. Ini akan membuat seseorang lebih bergairah untuk memberi dan membagikan sesuatu kepada orang lain khususnya terhadap pasangannya.

PG : Dan kadang-kadang, Pak Gunawan, kita ini tidak harus memberi yang seperti apa besarnya lho. Tidak lho. Saya masih ingat ada sepasang suami istri dimana si istri minta kepada si suami, "Bisa tidak kamu itu olahraganya tidak lagi beberapa kali seminggu (saya lupa beberapa kali seminggu) tapi kurangilah menjadi beberapa kali seminggu?" Begitu. Sebab memang suaminya ini keranjingan olahraga tertentu. Saya tidak habis pikir si suami itu tidak rela dan berkata, "Tidak mau. Saya memang mau olahraga dan ini jadwal saya. Saya biasanya setiap hari setelah menikah dengan kamu ya sudah saya kurangi." Tapi memang ya cukup banyak. Jadi, kalau dia pulang kerja, dia olahraga sampai malam baru pulang. Dan akhirnya apa yang terjadi? Bercerai, Pak Gunawan. Saya tidak habis pikir, wah kok tidak mau memberi sesimpel itu yang tidak begitu susah sampai akhirnya kok bayar harga begitu mahal? Tapi yah itulah yang terjadi. Jadi, Tuhan sudah memberi kepada kita nasihat-Nya: Orang yang memberi, akan diberi.

GS : Tadi di awal perbincangan ini, Pak Paul katakan ada enam kriteria ya dan kita baru membicarakan tiga dari enam ini. Tentu kita akan melanjutkan perbincangan ini pada kesempatan yang akan datang. Tapi untuk ketiga hal ini saya rasa sesuatu yang penting sekali untuk diperhatikan. Kami juga berharap para pendengan juga akan mengikuti perbincangan selanjutnya. Terima kasih untuk kesempatan ini, Pak Paul.

GS : Para pendengar sekalian, terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Tanda Pernikahan Sehat" bagian pertama. Kami berharap para pendengar juga akan mengikuti perbincangan kami ini pada perbincangan yang akan datang. Sedangkan bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@telaga.org. Kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.


Ringkasan:

Ada banyak cara untuk menilai seberapa sehatnya sebuah pernikahan. Tim Gardner, seorang konselor pernikahan dan keluarga, mencetuskan enam kriteria atau tanda pernikahan sehat. Berikut akan dibahas pokok pemikirannya ditambah dengan pengamatan pribadi saya.

(1) Pertama adalah KESATUAN. Tuhan tidak memanggil kita untuk BERGABUNG dalam pernikahan; Tuhan memanggil kita untuk BERSATU di dalam pernikahan. Kita dapat bergabung bersama orang di dalam suatu wadah atau organisasi tanpa harus menjadi satu dengannya. Nah, tujuan pernikahan adalah menjadikan kita satu dengan pasangan, bukan hanya bergabung dengannya.

Salah satu tanda bahwa kita sudah menyatu dengan pasangan adalah kita mulai meninggalkan pola pikir "aku" dan menggantikannya dengan pola pikir "kita." Di dalam pola pikir "kita" yang hadir adalah kita berdua di mana kita senantiasa mengikutsertakan pasangan di dalam setiap keputusan yang kita buat. Bukan saja kita memikirkan keinginan sendiri, kita pun memikirkan keinginan pasangan. Bukan saja kita memikirkan apa yang baik bagi diri sendiri, kita pun mempertimbangkan apa yang baik buat pasangan.

Jadi, dapat kita simpulkan bahwa makin sehat pernikahan, makin sering dan serius kita memertimbangkan kepentingan pasangan di dalam tindakan dan keputusan kita. Sebaliknya, kita bisa pula menyimpulkan bahwa tanda pernikahan TIDAK sehat adalah kita kurang atau tidak lagi mengikutsertakan pasangan di dalam tindakan dan keputusan yang kita ambil.

Sudah tentu menyatukan dua pendapat atau keinginan yang berbeda jauh lebih sulit ketimbang melakukan apa yang kita sendiri anggap baik. Kendati tidak mudah, kita tetap harus mengusahakannya. Mungkin pada awalnya—dan bahkan untuk kurun yang panjang—kita sering berbenturan, tetapi tetap ini adalah jalan yang sehat dan semestinya. Jangan mengambil jalan pintas dan memisahkan hidup dari pasangan. Usahakanlah menyelaraskan pendapat dan nilai hidup agar pada akhirnya kita makin sehati. Nah, makin sehati, makin sering kita memertimbangkan pendapat dan keinginan pasangan.

Kesatuan juga mengandung arti bahwa kita memikirkan DAMPAK perbuatan dan keputusan kita pada pasangan. Kita sadar bahwa kita tidak lagi hidup sendiri dan bahwa perbuatan dan keputusan kita berpengaruh pada kehidupan pasangan. Itu sebabnya bukan saja kita menjadi lebih berhati-hati dalam bertindak dan mengambil keputusan, kita pun berupaya mencegah bertindak dan mengambil keputusan yang dapat menyusahkan atau merugikan pasangan.

Singkat kata, kesatuan di dalam pernikahan ditandai dengan hidupnya pasangan di dalam diri kita. Ia berada bukan di samping atau di luar diri kita; ia berada DI DALAM diri kita. Meski ia tidak hadir secara jasmnaniah, ia hadir secara batiniah; seakan-akan ia turut mendengar apa yang kita katakan dan melihat apa yang kita lakukan. Kesenangan kita adalah kesenangannya dan kesenangannya adalah kesenangan kita. Kesedihan kita adalah kesedihannya dan kesedihannya adalah kesedihan kita. Itu sebab dalam bertindak dan mengambil keputusan kita tidak mau melakukan apa pun yang membuat dia—dan juga kita—sedih. Kita hanya mau melakukan hal-hal yang membuatnya—dan kita—senang.

(2) Tanda pernikahan sehat adalah adanya PENERIMAAN. Tim Gardner mengatakan bahwa di dalam pernikahan yang sehat, kita tahu bahwa kita dikenal dan diterima apa adanya. Itu sebab di dalam pernikahan yang sehat ada keterbukaan—keberanian dan kebebasan untuk mengutarakan pemikiran, gagasan, impian dan kegagalan kita. Itu berarti di dalam pernikahan sehat kita tidak takut bertengkar atau berselisih pendapat karena kita tahu bahwa perselisihan atau pertengkaran TIDAK akan mengurangi penerimaan pasangan terhadap diri kita.

Penerimaan tidak berarti menghilangkan TUNTUTAN atau PENGHARAPAN dalam pernikahan. Tuntutan dan pengharapan menumbuhkan pernikahan; jadi, tidak apa kita mengutarakan pengharapan dan tuntutan kita. Terpenting adalah pasangan tahu bahwa tuntutan dan pengharapan kita TIDAK mengurangi penerimaan diri kita terhadapnya. Ia tahu bahwa penerimaan kita terhadapnya tidak berhubungan dengan perubahan yang kita harapkan. Tim Gardner menekankan bahwa penerimaan berarti MENGHARGAI pendapat atau pemikiran pasangan. .

(3) Tanda pernikahan yang sehat adalah adanya KEINTIMAN, termasuk keintiman fisik. Di dalam pernikahan yang sehat kita menikmati kebersamaan dengan pasangan. Sewaktu ia tidak bersama kita, kita merasa kehilangan dan kita merindukannya. Kehadirannya kita nantikan. Di dalam kebersamaan itulah keintiman fisik menjadi kepanjangan dari keintiman emosional. Keintiman hanya dapat terjadi bila ada KESATUAN dan PENERIMAAN. Di dalam iklim penerimaan yang kuat, kita berani menjadi diri apa adanya dan berani pula menyerahkan diri apa adanya kepada pasangan, tanpa takut dikritik, apalagi ditolak. Kita pun ikhlas menyerahkan diri kepada pasangan karena kita tahu bahwa kita hadir di dalam hatinya.

Sebaliknya, di dalam pernikahan tidak sehat, kita takut mendekat, apalagi menyatu dengan pasangan. Kita merasa tidak diterima apa adanya; kita takut ditolak atau dikritik. Kalaupun sekarang diterima, kita cemas kalau-kalau penerimaan ini tidak berlangsung lama—setelah menikmati keintiman fisik, ia akan mencampakkan kita. Kita pun sulit untuk menyerahkan diri karena kita tahu bahwa kita tidak berarti banyak baginya. Kita tidak hadir di dalam hidupnya sebab dalam bertindak dan mengambil keputusan, ia tidak mengikutsertakan kita di dalamnya.

Pernikahan yang sehat merupakan buah dari usaha keras yang sehat dari kedua belah pihak. Firman Tuhan mengajarkan, "Siapa banyak memberi berkat, diberi kelimpahan, siapa memberi minum, ia sendiri akan diberi minum" (Amsal 11:25). Pernikahan yang sehat dimulai dengan kerelaan untuk memberi berkat kepada pasangan. Di dalam memberi inilah, kita akan diberi.


Questions: