Mencari Kasih di Tempat yang Salah
Sumber: telaga
Id Topik: 2104
Abstrak:
Anak yang bertumbuh besar tanpa bekal kasih dan penerimaan yang cukup akan mencari kasih di luar sebagai responnya. Sayangnya kerap kali ia gagal menemukan kasih karena ia mencarinya di tempat yang salah. Ia mengidentikkan beberapa hal dengan kasih padahal hal-hal itu bukanlah kasih. Lalu apa yang harus kita lakukan bila semasa kecil kita tidak cukup menerima kasih ?Transkrip:
Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi di mana pun anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling. Perbincangan kami kali ini tentang "Mencari Kasih di Tempat yang Salah". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
GS :Pak Paul, anak yang dibesarkan dalam keluarga, kita tidak tahu bagaimana keluarga itu, kadang setelah lepas masa remaja dan dia mulai mencari pacar untuk pasangan hidupnya, kesulitan dan kadang menemukan sesuatu yang salah. Sebenarnya apa yang melatarbelakangi ?
PG : Idealnya setiap anak bertumbuh besar dalam keluarga dimana orang tua mengasihi dan melindunginya, Pak Gunawan. Masalahnya tidak setiap anak beruntung menikmati perlakuan hangat seperti itu. Ada anak yang bahkan harus mengalami penolakan terus menerus akhirnya bertumbuh besar tanpa bekal kasih dan penerimaan yang cukup. Sebagai akibatnya dia pun mencari kasih di luar. Sayangnya kerap kali dia gagal menemukan kasih karena dia mencarinya di tempat yang salah. Masalah yang akan kita angkat adalah anak ini setelah besar mengidentikkan beberapa hal dengan kasih padahal hal-hal itu bukanlah kasih. Jadi, ini yang akan kita soroti, yang membuat anak-anak ini akhirnya mencari cinta di tempat yang salah.
GS : Ya. Mungkin karena dia kekurangan kasih sehingga dia tidak bisa mendeteksi mana yang kasih dan mana yang bukan kasih, Pak Paul ?
PG : Betul, Pak Gunawan. Dalam anggapan dia ini kasih jadi dia langsung menyimpulkan itu kasih sehingga akhirnya langkah-langkah berikut yang diambilnya keliru.
GS : Tapi biasanya orang tua akan selamanya mengasihi anak-anaknya, Pak Paul. Mungkin hanya karena anaknya banyak atau kesulitan ekonomi sehingga kasih yang diberikan kepada anak tidak bisa maksimal. Tapi apakah itu menjadi dasar ?
PG : Betul, Pak Gunawan. Saya kira hampir setiap orang tua sayang kepada anaknya. Tapi yang sering terjadi, misalnya ada orang tua yang tidak tahu bagaimana mewujudkan kasih itu karena dia sendiri sewaktu kecil tidak mendapatkannya dari orang tuanya. Jadi, kalau dia ditanya apakah dia mengasihi anaknya dan apa yang dia perbuat untuk menunjukkan kasihnya, mungkin dia berkata, "Saya bekerja. Saya mencoba mencukupi kebutuhannya." Tapi kita tahu bahwa kebutuhan jasmaniah hanyalah satu di antara sekian kebutuhan anak. Ada orang tua yang tidak mengerti hal itu. Jadi bukannya sengaja tidak mau mengasihi si anak. Akhirnya si anak tidak merasakan kasih itu meskipun sebetulnya orang tua mengasihi dia. Penyebab kedua yang cukup sering terjadi adalah ada orang tua yang tidak sama atau tidak rata dalam mengasihi anak-anaknya. Mungkin dia mengasihi si adik lebih besar daripada si kakak. Atau kalaupun kasihnya sama, tidak tahu kenapa dia lebih sering menunjukkan kasihnya itu kepada si adik. Sehingga si kakak merasa, "Saya dinomorduakan. Kenapa mama dan papa lebih mengasihi adik ?" Nah, perasaan ‘merasa tidak dikasihi sebesar adik saya’ itu lama kelamaan berubah menjadi ‘saya tidak dikasihi’. Jadi, kasih itu kalau memang kita dapatkan daripada apa yang didapatkan saudara kita, kecenderungannya akhirnya kita menyimpulkan ‘sebetulnya saya itu tidak dikasihi’. Meskipun sesungguhnya orang tua juga mengasihi. Tapi bisa jadi kasihnya tidak sama dan kepada si adik ditunjukkan sedikit lebih besar kepada dia.
GS : Atau orang tuanya sering bertengkar, Pak Paul ? Sehingga anaknya melihat.
PG : Betul, Pak Gunawan. Kadang orang tua tidak sempat dan tidak cukup energi untuk membagikan kasih karena relasi mereka sendiri pun tidak harmonis sehingga banyak waktu dan tenaga mereka tersita untuk mengurus persoalan di antara mereka sendiri.
GS : Pak Paul, hal-hal apa saja yang sering dinilai sebagai kasih padahal sebenarnya itu bukan kasih ?
PG : Yang pertama adalah penghargaan, Pak Gunawan. Anak yang kurang menerima kasih cenderung menyamakan penghargaan dengan kasih. Begitu menerima penghargaan dari seseorang, dia langsung menyimpulkan bahwa orang itu mengasihinya. Padahal belum tentu demikian. Penghargaan tertuju secara spesifik kepada perbuatan atau kualitas tertentu. Sedangkan kasih merupakan penerimaan dan penghargaan terhadap diri kita sepenuhnya. Berbeda antara penghargaan dan kasih. Kita bisa menghargai orang yang, misalnya bisa berbuat sesuatu untuk kita, orang ini bisa memberikan sumbangsih kepada orang lain, dan sebagainya. Jadi, penghargaan biasanya diberikan terhadap tindakan atau perbuatan yang spesifik dari seseorang. Kasih bukan hanya penghargaan. Kasih itu penerimaan. Menerima kelemahan pasangan, menerima apa adanya. Jadi, sebetulnya dua hal itu tidak sama. Masalahnya anak yang kurang menerima kasih cenderung menyamaratakan penghargaan dengan kasih. Akhirnya banyak anak-anak yang patah hati setelah menerima kenyataan bahwa kasihnya tak bersambut. Mungkin dia marah karena merasa dipermainkan padahal orang tidak mempermainkannya. Waktu dia berkata, "Kamu dulu mengasihi saya, kenapa sekarang tidak mengasihi saya ?" mungkin orang itu terkejut dan berkata, "Maaf saya tidak pernah berkata saya mengasihi kamu." "Tapi tindakan kamu seperti itu." Nah, mungkin tindakan-tindakan itu adalah tindakan yang menghargai dia. Jadi, dengan cepat dia simpulkan itu adalah tanda kasih. Akhirnya relasi dengan lawan jenis mudah bermasalah karena kesalahpahaman ini, Pak Gunawan.
GS : Iya. Itu juga bisa terjadi antara atasan dan bawahan atau guru terhadap muridnya, Pak Paul, yang memberikan perhatian berlebih dibandingkan dengan yang lain.
PG : Betul.
GS : Mungkin atasannya memuji dia karena pekerjaannya baik. Tapi karena dia haus akan kasih sayang, begitu mendengar penghargaan, dia menarik kesimpulan yang terlalu jauh. "Wah, pasti atasan saya ini tertarik pada saya." Atau sesama teman dalam pelayanan memujinya, "Kamu punya suara yang baik." "Kamu bisa memimpin ibadah dengan baik." Nah, pujian itu langsung ditafsirkan sebagai, "Wah, orang ini mencintai saya." Akhirnya dia hidup di bawah keyakinan bahwa orang itu mencintainya. Sewaktu dia tidak merasakan lagi cinta itu atau orang itu punya pacar, wah, dia bisa marah. "Kamu itu mempermainkan saya." Akhirnya relasi dia dengan orang mudah terkena konflik.
GS : Berarti kalau kita di pihak yang memberikan penghargaan, pujian atau perhatian, sebenarnya wajib berhati-hati juga ya, kepada siapa kita memberikan penghargaan itu.
PG : Kalau kita tahu latar belakangnya, kita bisa berhati-hati. Tapi kebanyakan kita mungkin sekali tidak tahu latar belakang rekan kerja atau teman sepelayanan kita, kita hanya tahu kita sama-sama terlibat dalam pelayanan atau pekerjaan. Kita karena mau murah hati, mau mendorong, mau memberi semangat, maka kita memberikan pujian dan penghargaan kepada teman tersebut, karena ketidaktahuan. Akhirnya disalahartikan.
GS : Selain penghargaan, apalagi yang dinilai sebagai kasih padahal bukan, Pak Paul ?
PG : Yang kedua adalah perhatian. Anak yang kurang kasih peka sekali dengan perhatian. Begitu menerima perhatian, dia bereaksi dan cepat menafsirnya sebagai cinta. Mungkin perhatian merupakan tanda awal cinta. Tetapi tidak semua perhatian merupakan ungkapan cinta. Bisa jadi perhatian merupakan tanda kasihan atau ungkapan sayang yang tidak bermuatan romantis. Jadi, salah satu bahaya yang mesti diwaspadai adalah karena terlalu cepat menyamakan perhatian dengan cinta, akhirnya malah kejeblos. Orang ini mudah menjadi korban kejahatan orang yang sengaja mengumpannya dengan perhatian atau dia terlalu cepat memberi kepercayaan dan masuk ke dalam pernikahan tanpa mengenal pasangannya dengan baik.
GS : Iya. Seringkali bentuk perhatian itu karena belas kasihan saja, pak Paul. Belas kasihan entah karena perbedaan ekonomi atau karena dia hanya merasa kasihan saja melihatnya. Tapi ditanggapinya sebagai mencintai.
PG : Betul sekali, Pak Gunawan. Mudah sekali terjadi kesalahpahaman karena dia menganggap orang tersebut mencintai saya maka memberi perhatian kepada saya. Menurut saya persoalan itu tidak seberat yang kedua. Yang kedua adalah kalau ada orang yang jahat, Pak Gunawan. Sengaja memberi perhatian padahal tidak mencintai. Tapi dia tahu bahwa orang ini mudah sekali jatuh, mudah sekali terpikat kalau diberi perhatian. Maka diberikanlah perhatian untuk mendapatkan orang tersebut. Padahal motifnya buruk. Misalnya ingin menikahinya supaya nanti bisa menungganginya, bisa memanfaatkannya, bisa mengambil uangnya dan sebagainya. Jadi, orang-orang yang haus kasih ini sebetulnya rentan sekali untuk dimanfaatkan oleh orang lain.
GS : Ya, karena di satu sisi dia butuh kasih lalu ada orang yang mengisi kekosongan itu, Pak Paul.
PG : Betul. Jadi, saran kita ya berhati-hatilah. Kalau memang kita tahu kita ini rentan, jangan mudah sekali terpikat, jangan mudah sekali percaya orang mencintai kita hanya gara-gara dia memberi perhatian kepada kita.
GS : Perhatian ini kadang-kadang dalam bentuk misalnya kalau pulang diajak sama-sama. Rasanya ya hanya belas kasihan saja. Daripada dia naik angkutan kota. Tapi lama-lama ini jadi masalah, Pak Paul.
PG : Betul. Dalam hal ini saya menganjurkan sebagai kebijakan umum, sebaiknya kita jangan gampang-gampang memberikan perhatian seperti itu kepada lawan jenis kita karena bisa saja disalahartikan. Tadi kita sudah singgung, berhati-hati juga dengan penghargaan. Jangan gampang-gampang sebab bisa saja orang salah arti dan berpikir kita mencintai dia.
GS : Iya. Selain itu apalagi yang sering dinilai sebagai cinta, Pak Paul ?
PG : Yang ketiga adalah seks. Begitu banyak anak yang kurang kasih akhirnya jatuh ke dalam dosa seksual. Dia jatuh bukan karena ia memiliki kelemahan dalam hal penguasaan diri. Dia jatuh karena dia mengira seks adalah bukti cinta. Kita tahu bahwa seks bukanlah bukti cinta yang sejati. Sebaliknya, pada masa berpacaran, seks adalah bukti kurangnya penguasaan diri. Begitu banyak anak yang kurang menerima kasih akhirnya terlibat secara seksual pada masa berpacaran dan terpaksa masuk ke dalam pernikahan walau belum memiliki kesiapan. Begitu banyak yang memilih pasangan yang salah karena sudah terlanjur berhubungan seksual. Tidak bisa tidak, pernikahan yang landasannya tidak kokoh ini mudah rubuh diterjang badai.
GS : Seringkali memang pihak pria menuntut wanita membuktikan kasihnya dengan cara meminta berhubungan intim dengan dia, Pak Paul. Jadi, si perempuan ini kuatir kehilangan orang yang dikasihinya sehingga mau saja melakukannya.
PG : Ya. Karena dia beranggapan bahwa ‘kalau saya mencintai ya seharusnyalah saya memberikan bukti cinta itu lewat seks’ dan dia juga menafsir tindakan pasangannya yang ingin berhubungan seks dengan dia sebagai ‘kamu pasti mencintai saya makanya mau berhubungan intim dengan saya’. Justru ini berbahaya sekali karena pada akhirnya bisa saja sudah berhubungan dan ternyata pasangannya bosan dengan dia lalu meninggalkan dia. Atau kalau pun akhirnya sampai ke pelaminan, setelah menikah relasi ini mudah sekali goncang dan mudah diterpa konflik karena sebetulnya landasan mereka sangat lemah. Yang mengikat mereka lebih banyak kepuasan seksual atau ketertarikan seksual. Begitu menikah maka ketertarikan seksual dan daya nafsu itu sendiri sudah berkurang, akhirnya relasinya tiba-tiba mulai layu. Mengapa ? Sebab dasar atau yang mengikatnya hanyalah seks. Jadi, berhati-hatilah. Jangan sampai menyamakan seks dengan bukti cinta.
GS : Di pihak lain, si pria selalu menganggap bahwa ternyata perempuan ini terlalu gampang, begitu gampang diajak berhubungan seksual. Ini bukan sesuatu yang menarik buat si pria ini, Pak Paul.
PG : Iya. Sebab pada dasarnya kalau kita tanya baik kepada laki-laki maupun perempuan, manakah yang engkau lebih beri respek : pasangan yang mudah menyerah untuk berhubungan seksual atau pasangan yang dengan gigih mempertahankan kekudusan untuk tidak terlibat ? Saya yakin baik laki-laki maupun perempuan akan berkata : sesungguhnya saya lebih menghargai, lebih salut, lebih hormat kepada pasangan yang menolak berhubungan sebelum menikah.
GS : Iya. adakah bentuk yang lain, Pak Paul ?
PG : Yang keempat adalah tuntutan dan pengekangan. Mudah sekali bagi anak yang kurang menerima kasih untuk menyimpulkan bahwa tuntutan dan pengekangan yang dilakukan kekasihnya adalah tanda kasih. Sesungguhnya tuntutan dan pengekangan berlebih adalah tanda ketidakamanan dan keegoisan. Sayangnya karena mengira ini adalah ungkapan kasih akhirnya dia jatuh ke dalam genggaman pasangan yang jahat. Bukan kasih yang diterimanya melainkan caci maki dan pelecehan. Tidak jarang dia harus menerima bogem mentah dari pasangan yang berkarakter buruk.
GS : Mula-mula mungkin dirasakan bahwa pengekangan ini sebagai suatu perlindungan buat dia. ‘Karena dia melindungi saya makanya dia tidak mau saya melakukan ini dan itu’ atau menuntut ‘memang kalau saya nanti jadi istrinya ya harus begitu’ semacam pembelajaran, Pak Paul. Padahal ini keliru.
PG : Betul. Mudah sekali orang itu berpikir ‘wah, dia pasti mencintai saya. Cintanya kepada saya begitu besar sehingga melarang saya kesana kesini, harus begini, seolah-olah memikirkan bagaimana saya bisa lebih baik lagi, memberi saran-saran saya harus begini dan begitu’. Padahal belum tentu itu cinta. Lebih seringnya itu adalah bukti keegoisan dan rasa tidak amannya. Nanti setelah menikah, barulah kelihatan jelas bahwa dia itu tidak aman. Karena tidak aman, dia mau mengekang pasangannya. Dia egois maka dia tuntut pasangannya untuk menjadi diri seperti yang diharapkannya.
GS : Iya. Karena begitu banyak jebakan-jebakan, yang kita rasa ini cinta ternyata bukan dan banyak juga anak yang mengalami kekurangan kasih, maka apa yang sebaiknya dilakukan ?
PG : Pertama, dia mesti mengakui kondisi dirinya, Pak Gunawan. Artinya dia mesti mengakui bahwa memang dia kekurangan kasih. Dia tidak boleh menutupi kenyataan dan menciptakan realitas baru yang keliru. Jika dia dapat mengakui kondisi bahwa dia kekurangan kasih, barulah dia dapat melihat kebutuhannya itu dan mulai berjalan untuk membereskannya. Jadi, langkah pertama adalah sebuah pengakuan akan kebutuhan yang ada dalam dirinya dan tidak menutupi atau menyangkalnya.
GS : Tapi bagaimana dia bisa mengetahui kalau dia memang tidak tahu apa yang sebenarnya dia rasakan dalam dirinya itu ?
PG : Biasanya anak yang memang kekurangan kasih, nomor satu akan merasakan hatinya sering kosong. Jadi, ada beda yang cukup jelas antara anak yang dikasihi dengan anak yang kurang dikasihi. Anak yang kurang dikasihi jarang merasakan kekosongan dalam hidupnya. Tapi anak yang kurang dikasihi secara berkala merasakan hidupnya kosong. Dia mungkin tidak langsung mengaitkannya dengan cinta atau pasangan hidup tapi yang dia butuhkan adalah dia merasa sepi jadi dia mesti didampingi atau diisi. Yang kedua adalah seringkali anak yang kurang dikasihi merasa hidupnya atau dirinya tidak berharga, Pak Gunawan. Jadi, dia membutuhkan orang yang dapat memberi penghargaan, yang dapat menilai dia positif. Sebetulnya ini ciri-ciri orang itu kurang kasih pada masa kecilnya. Kalau dia menyadari dia seperti itu, ya terimalah. Besar kemungkinan dia kurang dikasihi.
GS : Yang terjadi itu banyak orang yang tidak mau mengakui sehingga terjerumus dalam hal-hal yang keliru yang dia pikir itu kasih ternyata bukan.
PG : Betul. Tidak mau mengakui karena justru ingin menunjukkan diri kuat, Pak Gunawan. Daripada orang melihatnya lemah, mesti mengakui diri tidak kuat dan punya kebutuhan, jadi dia justru mau menunjukkan bahwa dia kuat. Saya pikir ini langkah yang keliru.
GS : Iya. Apalagi yang bisa dilakukan, Pak Paul ?
PG : Dia mesti mengakui kondisi relasinya dengan sesama. Artinya dia mesti sering-sering mengecek alasan mengapakah dia berada dalam sebuah relasi. Sebenarnya apakah yang mendorongnya untuk mencari dan memertahankan relasi ini. Nah, ini adalah pertanyaan yang mesti diajukan. Jika memang ada unsur pemenuhan kebutuhan kasih, dia mesti mewaspadai kecenderungannya untuk mengidentikkan hal-hal yang sudah kita bahas tadi dengan kasih. Mintalah pertolongan hamba Tuhan atau konselor untuk menolongnya mengevaluasi kondisi relasinya. Dan bila memang semua mengatakan bahwa relasi ini tidak sehat, ambillah keputusan yang berat namun perlu, yaitu putuskanlah hubungan.
GS : Iya.
PG : Jadi, kalau tidak bisa menilai dengan jelas, saya anjurkan tanya kepada teman baik, sahabat, konselor atau hamba Tuhan dan terimalah masukan mereka. Jangan kita menutupi atau membela diri kalau mereka berkata, "Iya lho, ini tidak sehat. Sepertinya kamu berada dalam relasi ini hanya untuk mendapatkan kasih dan dia sepertinya memanfaatkan kamu. Dia tidak sungguh-sungguh tulus mencintai kamu." Perhatikan. Pak Gunawan sudah pasti sering melihat orang-orang yang bersikeras berkata, "Oh, tidak. Pasangan saya sungguh-sungguh mengasihi saya." Walaupun orang-orang terdekatnya berkata tidak seperti itu. Terus maju akhirnya menikah dan pernikahan mereka pun akhirnya tidak stabil dan dirundung banyak masalah.
GS : Iya. Berarti anak perempuan ini yang harus peka terhadap dirinya sendiri bahwa dia sudah mulai jatuh cinta dengan seseorang yang sebenarnya tidak tepat.
PG : Iya. Apalagi kalau misalnya dia jatuh cintanya pada orang yang sesungguhnya terlalu berbeda dengan dirinya dan melanggar keyakinan-keyakinan moralnya tapi dia bisa jatuh cinta, hampir bisa dipastikan bahwa memang inilah masalahnya dia. Dia kekurangan kasih maka begitu melihat ada orang yang mengasihi ya dia tabrak semua rambu. Rambu Tuhan, rambu manusia, rambu orang tua, semua dia tabrak untuk mendapatkan orang tersebut.
GS : Itu repotnya. Karena dia menabrak segala rambu, kita yang ada di sekelilingnya ini kuatir, Pak Paul, karena kita tahu akhirnya nanti seperti apa. Tapi dia yang sedang dimabuk cinta ini, tidak tahu. Tidak mau tahu sebenarnya, bukannya tidak tahu.
PG : Betul. Kalaupun kita mau mencoba menjelaskan masalahnya adalah dia selalu akan bisa mengemukakan alasannya kenapa orang ini harus dinikahi dan sebagainya. Memang susah sekali untuk bisa mendengar masukan dari orang lain.
GS : Iya. Apalagi yang harus dilakukan, Pak Paul ?
PG : Yang terakhir, dia mesti mengakui kondisi relasinya dengan Tuhan. Tidak jarang di satu pihak dia mengutamakan Tuhan dan berupaya sekuat tenaga untuk hidup buat Tuhan, di pihak lain dia menyimpan kekecewaan. Dia tidak mengerti mengapa dia mesti melalui masa kecil yang tidak menyenangkan. Dia pun sulit menerima keadilan Tuhan. Mungkin dia bertanya mengapakah sampai hari ini Tuhan belum menyediakan seorang yang tepat untuk mengisi kehidupan saya. Dalam kondisi inilah seharusnya dia datang kepada Tuhan membawa diri apa adanya, membawa kekecewaannya dan membawa ketidakmengertiannya. Pada titik inilah dia harus mengambil langkah iman yaitu memercayai pemeliharaan Tuhan dalam kehidupannya di masa lampau yang tidak ideal itu dan memercayai Tuhan dalam kehidupannya di masa mendatang yang tidak jelas ini. Jadi, intinya dia mengambil langkah iman memercayai. Tuhan tidak salah membimbing hidupnya di masa lampau dan Tuhan juga pasti akan membimbing hidupnya di masa mendatang.
GS : Masalahnya pada saat-saat seperti itu, Tuhan pun disingkirkannya, Pak Paul. Dia hanya dikendalikan oleh emosinya saja. Akal sehatnya pun sudah tidak jalan dengan baik.
PG : Betul. Memang ini kesulitannya. Mudah-mudahan ada pendengar yang memunyai pergumulan seperti ini dan sekarang sedang mendengarkan uraian ini, kami ingin meminta Anda datang kepada Tuhan. Bawalah apa yang pernah dialami yang tidak menyenangkan dan mengecewakan itu kepada Tuhan lalu ambillah langkah iman dan berkata, "Tuhan tidak membuat kesalahan memimpin hidup saya di masa lampau dan Tuhan juga pasti akan memimpin saya untuk hidup di masa mendatang."
GS : Kalau begitu adakah firman Tuhan yang dapat jadi pegangan bagi kita ?
PG : Yesaya 41:10 berkata, "Janganlah takut sebab Aku menyertai Engaku. Jangan bimbang sebab Aku ini Allahmu. Aku akan meneguhkan bahkan akan menolong Engkau dengan tangan kanan-Ku yang membawa kemenangan."
GS : Iya. Firman Tuhan ini sangat meneguhkan dan memberkati kita. Kita percaya dan kita lakukan, Pak Paul.
PG : Baik.
GS : Terima kasih untuk perbincangan kali ini, Pak Paul. Para pendengar sekalian, terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Mencari Kasih di Tempat yang Salah". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@telaga.org. Kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.
Ringkasan:
Idealnya setiap anak bertumbuh besar di dalam keluarga di mana orang tua mengasihi dan melindunginya. Masalahnya, tidak setiap anak beruntung menikmati perlakuan hangat seperti itu; ada anak yang malah harus mengalami penolakan terus menerus. Alhasil anak ini bertumbuh besar tanpa bekal kasih dan penerimaan yang cukup; sebagai respons ia pun mencari kasih di luar. Sayangnya kerap kali ia gagal menemukan kasih karena ia mencarinya di tempat yang salah. Ia mengidentikkan beberapa hal dengan kasih padahal hal-hal itu bukanlah kasih. Berikut akan dipaparkan apakah hal-hal itu.
- PENGHARGAAN. Anak yang kurang menerima kasih cenderung menyamakan penghargaan dengan kasih. Begitu menerima penghargaan dari seseorang, ia langsung menyimpulkan bahwa orang itu mengasihinya, padahal belum tentu demikian. Penghargaan tertuju secara spesifik pada perbuatan atau kualitas tertentu sedang kasih merupakan penerimaan dan penghargaan terhadap diri kita sepenuhnya. Banyak anak yang kurang menerima kasih akhirnya patah hati setelah menerima kenyataan bahwa kasihnya tak bersambut. Mungkin ia marah karena merasa dipermainkan padahal orang tidak mempermainkannya. Tidak bisa tidak, relasinya dengan lawan jenis mudah bermasalah karena kesalahpahaman ini.
- PERHATIAN. Anak yang kurang kasih peka dengan perhatian. Begitu menerima perhatian, ia bereaksi dan cepat menafsirnya sebagai cinta. Mungkin perhatian merupakan tanda awal cinta tetapi tidak semua perhatian merupakan ungkapan cinta. Bisa jadi perhatian merupakan tanda kasihan atau ungkapan sayang yang tidak bermuatan romantis. Salah satu bahaya yang mesti diwaspadai adalah karena terlalu cepat menyamakan perhatian dengan cinta, akhirnya malah kejeblos. Ia mudah menjadi korban kejahatan orang yang sengaja mengumpannya dengan perhatian. Atau, ia terlalu cepat memberi kepercayaan dan masuk ke dalam pernikahan tanpa mengenal pasangannya dengan baik.
- SEKS. Begitu banyak anak yang kurang kasih akhirnya jatuh ke dalam dosa seksual. Ia jatuh bukan karena ia memiliki kelemahan dalam hal penguasaan diri; ia jatuh karena ia mengira seks adalah bukti cinta. Kita tahu bahwa seks bukanlah bukti cinta yang sejati; sebaliknya pada masa berpacaran seks adalah bukti kurangnya penguasaan diri. Begitu banyak anak yang kurang menerima kasih akhirnya terlibat secara seksual pada masa berpacaran dan terpaksa masuk ke dalam pernikahan walau belum memiliki kesiapan. Dan, begitu banyak yang memilih pasangan yang salah karena sudah telanjur berhubungan seksual. Tidak bisa tidak, pernikahan yang tidak berlandaskan kokoh ini mudah rubuh diterjang badai.
- TUNTUTAN dan PENGEKANGAN. Mudah sekali bagi anak yang kurang menerima kasih untuk menyimpulkan bahwa tuntutan dan pengekangan yang dilakukan kekasihnya adalah tanda kasih. Sesungguhnya tuntutan dan pengekangan berlebih adalah tanda ketidakamanan dan keegoisan. Sayang, karena mengira ini adalah ungkapan kasih, akhirnya ia jatuh ke dalam genggaman pasangan yang jahat. Bukan kasih yang diterimanya, melainkan caci-maki dan pelecehan. Tidak jarang ia pun harus menerima bogem mentah dari pasangan yang berkarakter buruk.
- Ia mesti mengakui KONDISI DIRINYA. Artinya, ia mesti mengakui bahwa memang ia kekurangan kasih. Ia tidak boleh menutupi kenyataan dan menciptakan realitas baru yang keliru. Jika ia dapat mengakui kondisinya, barulah ia dapat melihat kebutuhannya, dan mulai berjalan untuk membereskannya.
- Ia mesti mengakui KONDISI RELASINYA DENGAN SESAMA. Artinya, ia mesti sering-sering mengecek alasan mengapakah ia berada di dalam sebuah relasi. Sebenarnya apakah yang mendorongnya untuk mencari dan mempertahankan relasi itu? Jika memang ada unsur pemenuhan kebutuhan kasih, ia mesti mewaspadai kecenderungannya untuk mengidentikkan hal-hal di atas dengan kasih. Mintalah pertolongan hamba Tuhan atau konselor untuk menolongnya mengevaluasi kondisi relasinya. Dan, bila memang semua mengatakan bahwa relasi ini tidak sehat, ambillah keputusan yang berat namun perlu: Putuskanlah hubungan!
- Ia mesti mengakui KONDISI RELASINYA DENGAN TUHAN. Tidak jarang, di satu pihak ia mengedepankan Tuhan dan berupaya sekuat tenaga untuk hidup buat Tuhan, di pihak lain ia menyimpan kekecewaan. Ia tidak mengerti mengapa ia mesti melalui masa kecil yang tidak menyenangkan; ia pun sulit menerima keadilan Tuhan. Mengapakah sampai hari ini Tuhan belum menyediakan seorang yang tepat untuk mengisi kehidupannya? Di dalam kondisi inilah seharusnya ia datang kepada Tuhan, membawa diri apa adanya—kekecewaannya dan ketidakmengertiannya. Pada titik inilah ia harus mengambil langkah iman: Memercayai pemeliharaan Tuhan dalam kehidupannya di masa lampau yang tidak ideal ini dan memercayai Tuhan dalam kehidupannya di masa mendatang yang tidak jelas ini.
Firman Tuhan mengingatkan, "Janganlah takut, sebab Aku menyertai engkau; janganlah bimbang sebab Aku ini Allahmu; Aku akan meneguhkan, bahkan akan menolong engkau dengan tangan kanan-Ku yang membawa kemenangan." (Yesaya 41:10)