BETA
Menanggapi Perasaan dalam Komunikasi
Sumber: telaga
Id Topik: 2060

Abstrak:

Sebagian orang merasa canggung ketika orang lain membagikan perasaannya, tidak tahu bagaimana menanggapinya - apalagi dalam percakapan formal. Berikut akan dibahas langkah praktis menanggapi perasaan dalam komunikasi.

Transkrip:

Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi di mana pun Anda berada, Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Acara ini diselenggarakan oleh Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) bekerja sama dengan radio kesayangan Anda ini. Saya Stella akan berbincang-bincang dengan Bapak Penginjil Sindunata Kurniawan, MK. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling keluarga. Perbincangan kami kali ini mengenai topik "Menanggapi Perasaan dalam Komunikasi". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

St : Pak Sindu, biasanya dalam komunikasi, perasaan waktu dilontarkan, kita sebagai pendengar itu merasa canggung waktu menanggapi perasaan tersebut. Bagaimana menurut Bapak ?

SK : Memang rupanya di dalam berkomunikasi itu lebih mudah kita alami bahwa kita canggung untuk merespon perasaan orang yang sedang berbicara kepada kita, tetapi fakta yang sesungguhnya, sebenarnya kalau kita bisa merespon atau menanggapi perasaan itu akan makin membuat komunikasi itu berjalan makin baik.

St : Tapi kadang-kadang sebagai pendengar, kami bingung bagaimana menanggapi orang yang mengutarakan perasaannya itu.

SK : Betul. Untuk itu saya mau bagikan terlebih dulu tentang level atau jenjang saat kita berkomunikasi satu sama lain. Level yang pertama adalah percakapan basa-basi. Jadi disana itu kita bertanya, misalnya, "Selamat pagi ! Sudah makan belum ?" atau "Mau kemana ?" "Bagaimana, sehat Pak ?" itu percakapan basa-basi. Itu level yang pertama. Kemudian level kedua yang lebih dalam dari level pertama adalah kita berbicara tentang orang lain. Jadi tentang hal-hal yang di sekitar kita atau khususnya tentang orang lain. Misalnya, "Bagaimana kabar berita ekonomi Indonesia ini. Wah kok seperti ini ya? Kenapa presiden kita seperti ini ?" atau "Eh, bagaimana kabar teman kita ? Apa yang sedang dia lakukan sekarang dengan perubahan yang terjadi ini ?" Jadi tentang orang lain. Level yang ketiga, yang lebih dalam dari level pertama dan kedua, yaitu sudah mulai berbicara tentang diri kita sendiri, Bu Stella.

St : Bagaimana maksudnya tentang diri ?

SK : Untuk level ketiga ini, kita mulai mengekspos pikiran-pikiran kita, Bu Stella.

St : Jadi kita mengutarakan pikiran-pikiran kita kepada lawan bicara kita ?

SK : Betul. Jadi dalam hal ini tentang ide, pendapat, argumentasi. "Aku tidak setuju dengan apa yang sudah diputuskan oleh ketua. Aku sendiri berpendapat begini. Alasannya begini, ini lebih masuk akal. Ini yang harus dipertimbangkan, bukan ? Aku melihat yang benar seperti ini." Jadi kita sudah mengekspos diri kita tetapi baru di level pikiran kognitif, di level logika rasional kita.

St: Jadi seperti kita mengutarakan ide atau pendapat kita ?

SK : Betul. Berikutnya untuk level keempat, yang lebih dalam dari level sebelumnya, adalah juga tentang diri kita. Kita mengkomunikasikan diri kita tapi di level yang lebih dalam, yaitu level perasaan kita.

St : Nah, ini yang biasanya sulit ditanggapi.

SK : Betul. Jadi sesungguhnya, Bu Stella, ketika kita atau orang lain mengekspos, menyatakan perasaannya, itu sesungguhnya orang menampilkan diri yang asli, diri yang lebih dalam, diri yang apa adanya. Jadi boleh dikatakan, jati diri, identitas kita cukup terwakili dalam sekian hal dari perasaan-perasaan kita.. perasaan-perasaan kita itu ibaratnya seperti tanah yang suci. Ketika kita membuka perasaan kita, kita sedang membuka diri kita yang asli dan apa adanya.

ST : Jadi ibaratnya topeng dan perisai diri kita sudah kita buka ?

SK : Tepat ! Jadi ketika orang hanya berargumentasi, sesungguhnya itu seperti perisai diri. Tapi ketika orang sudah mulai membuka perasaannya, itu seperti perisai dan benteng perlindungan diri itu ditanggalkan dan diri yang asli dibuka, tetapi sekaligus berarti diri yang rawan dan rentan untuk disakiti dan diserang.

St : Wah, kalau begitu ketika ada orang yang membuka perasaannya terhadap kita, kita mendapat kehormatan khusus dari orang tersebut ya, Pak ?

SK : Tepat, Bu Stella. Ketika orang membuka perasaannya, sesungguhnya kita sedang mendapat kehormatan untuk mengenal dia apa adanya. Maka mari kita membalas kehormatan yang kita terima ini dengan menghormati perasaannya.

St : Bagaimana cara menghormati perasaannya itu ?

SK : Yaitu menerima perasaannya. Jadi, kita menerima apa yang dia rasakan dan kita menghargai itu. Dalam hal itu muncul kata empati.

St : Ya, saya pernah dengar itu. Empati itu seperti kita menerima, memberi penghargaan pada apa yang orang lain rasakan.

SK : Betul. Ketika kita menghargai dan menerima perasaan orang tidak sama dengan menyetujui.

St : Jadi kita disini hanya mendengarkan, kita berusaha mengerti. Tapi bukan berarti kita membenarkan apa yang dia rasakan.

SK : Ya. Bukan berarti maksudnya membenarkan apa yang dia rasakan. Lebih tepatnya membenarkan tindakan-tindakan, keputusan-keputusannya oleh dasar perasaan itu. Ini hal yang berbeda. Kadang orang berkata, "Buat apa peduli perasaan orang lain ? Nanti dikiranya kita setuju dengan apa yang dia lakukan." Saya katakan dengan tegas: TIDAK SAMA. Jadi ketika kita memberi tempat, menerima, menghargai perasaan seseorang, itu bukan berarti dengan serta merta kita sedang menyetujui keputusan dan tindakannya yang muncul karena perasaan itu. Tetapi justru ketika kita menerima dan menghargai perasaan seseorang, kita sedang membangun jembatan komunikasi, jembatan untuk bisa berelasi dengan makin baik lagi.

St : Jadi kita juga membangun jembatan bahwa kita juga orang yang bisa dipercaya. Mereka boleh membuka diri mereka apa adanya.

SK : Betul. Ibaratnya ketika kita bisa memberi tempat pada perasaan orang lain, menghargai dan menanggapinya dengan empati, maka sesungguhnya kita membuat orang merasa diterima apa adanya. Karena kembali, perasaan itu ‘kan sesuatu yang lebih dalam ya daripada pikiran-pikiran atau rasionalitasnya. Ketika orang merasa diterima, nantinya dia akan berbalik, akan mau mulai menerima perasaan atau pun pikiran-pikiran kita. Ide dan masukan kita akan lebih mudah diterima ketika dia merasa diterima, yaitu ketika menerima perasaan-perasaannya.

St : Bagaimana cara kita mengekpresikan bahwa kita menerima perasaannya ?

SK : Yang pertama langkah yang penting yaitu dengarlah perasaannya.

St : Bagaimana mendengar perasaan ?

SK : Yang pertama, mari kita coba melihat wajahnya dengan mata kita, kita lihat perubahan rona wajahnya, ekspresi wajahnya. Kemudian dengan mata kita pula, mari kita lihat gerak bibirnya, apakah ada getaran atau tidak. Dengan mata kita, kita melihat gerak tubuhnya. Kemudian dengan telinga dan hati perasaan kita, mari kita coba setel. Kita tangkap frekuensi perasaan apa yang sedang terkandung atau terungkap dengan pilihan kata atau nada suaranya tau cara dia mengekspresikan diri dengan rona wajah dan gerak tubuhnya ini.

St : Wah, berarti butuh latihan ya, Pak ?

SK : Ya ! Memang butuh keterampilan. Dan itu masih mungkin. Jadi dengan kita mau terjun mau mendengar perasaan orang lain, maka kita akan terasah sejalan dengan waktu dan jam terbang kita mempraktekkan hal ini.

St : Jadi setelah kita bisa mendengar, mungkin kita bisa memberikan peneguhan terhadap nama perasaannya itu ya, Pak ?

SK : Betul. Sejalan dengan mendengar perasaan, kita juga bisa mencoba membayangkan dengan diri kita sendiri. kira-kira ketika bicara seperti ini, dengan ekspresi seperti ini, saya membayangkan kalau saya berada dalam posisinya dia dengan model perkataan seperti itu – pilihan kata, nada, ekspresi wajah, dan gerak tubuh – kira-kira perasaan apa yang terkandung. Kita bisa pakai jembatan itu. Kita bayangkan dengan imajinasi kita. Dengan begitu, setelah kita mendengar perasaannya, yang kedua kita mencoba menyatakan perasaannya. Kita beri nama dengan kata-kata kita. "Kamu kelihatannya sedang marah ya ? Kamu sedih ya dengan apa yang terjadi itu ? Iya ya. jengkel ya kalau keadaan seperti itu ?" Kita coba dengan kata-kata, kalimat pendek kita, kita beri nama perasaannya itu. Itu langkah kedua, Bu Stella.

St : Setelah itu apakah ada langkah lain ?

SK : Dari kita mendengar perasaannya, kemudian kita mengungkapkan atau memberi nama perasaannya itu secara lisan lewat kata-kata kita, kita coba tunggu responnya apa. Respon, tanggapan, dari rekan bicara kita yang kita ekspos perasaannya tadi.

St : Setelah kita tunggu, kemudian ?

SK : Ekspos itu akan memunculkan tiga kemungkinan tanggapan, Bu Stella. Tiga respon dari rekan bicara kita itu.

St : Maksudnya tiga respon ?

SK : Tiga respon yang muncul itu, yang pertama mungkin dia akan mengoreksi. "Oh, tidak kok. Aku tidak marah kok. Aku hanya merasa kecewa." "Oh, aku bukan sekadar sedih ya. Tapi aku benar-benar sakit hati dengan apa yang dia lakukan."

St : Jadi maksudnya waktu kita memberi nama pada perasaannya ternyata itu kurang tepat menurut orang tersebut ?

SK : Betul. Dalam hal ini kita tidak perlu kecil hati kalau kita dikoreksi. Paling tidak kita sudah berusaha mendengar perasaannya dan mengungkapkan dengan kata-kata kita. berarti kita sudah berusaha memunyai itikad baik untuk menerima perasaannya. Perkara itu kurang tepat, kita bisa belajar dari proses ini. Tapi butuh jam terbang seperti saya katakan tadi.

St : Ya. Jadi dengan kita juga menerima koreksi dari lawan bicara kita, kita juga makin bertumbuh, lawan bicara juga tidak merasa kita cuek terhadap dia. Begitu ya ?

SK : Tepat ! Tidak merasa tidak peduli. Saya setuju, Bu Stella. Jadi rekan bicara kita berkata, "Oh, dia cukup mau berusaha memahami perasaanku." Ada sukacita, ada kegembiraan. Kita seperti diberi oksigen ketika kita sedang megap-megap oleh ketidakenakan perasaan kita itu, rekan kita coba ekspos, kalaupun tidak pas, itu seperti memberi secuil oksigen yang membuat kita yang sedang sesak hati ini lebih lega.

St : Tapi pernah juga saya merasa seperti, "Oh dia kok langsung menolak apa yang saya bicarakan ?"

SK : Betul. Itu juga mungkin pengalaman yang bisa jadi sering kita alami ketika kita coba mengekspos perasaan rekan bicara kita itu. Misalnya kita menanggapi, "Kamu kelihatannya marah ya ?" Dijawab, "Tidak! Aku tidak marah!" Nah, dari sini kita bisa melihat sesungguhnya terjadi penyangkalan. Menyangkal. Padahal dari nadanya yang tinggi, dari gerak kepalanya yang mendongak, kita tahu bahwa dia marah ! Cuma dia menyangkal.

St : Kalau sudah begitu, bagaimana respon kita sebagai pendengar ?

SK : Dalam hal ini kita jangan berkecil hati. Kita bisa berpikir bahwa yang sedang ditolak itu semata-mata adalah ide kita, bukan diri kita. Jadi kalau kita merasa diri kita ditolak, kita mungkin akan membalas dengan marah, reaktif, dan kita, "Ah, jangankan saya mencoba memahami perasaannya, eh malah dimarahi. Malah saya dianggap salah. Sudahlah! Tinggalkan saja. Buat apa peduli dan menolong dia." Dalam hal ini kita bisa berpikir yang sedang ditolak bukan diri kita, tapi ide kita. "Oh, dia belum siap mengakui. Oh, dia tidak nyaman ketika perasaan yang sesungguhnya itu kita ekspos."

St : Jadi kita menunjukkan bahwa kita ini menerima dia tanpa syarat, begitu, Pak ?

SK : Betul. Dalam hal ini minimal ada penghiburan bagi kita. Kita bisa meyakini seusai percakapan itu, seusai kita berpisah secara fisik dengan rekan bicara kita itu, boleh kita yakini bahwa rekan bicara kita itu akan merenungkan apa yang tadi kita ekspos. "Kamu marah ya ? Kelihatannya kamu memang sakit hati ya dengan apa yang terjadi ini ?" Dijawab, "Tidak, kok! Aku tidak sakit hati. Itu ‘kan pengalaman biasa." Tapi saya yakin, setelah berpisah, dia akan merenung dan membuat dia berefleksi. "Iya ya, kelihatannya aku marah. Kelihatannya aku memang sakit hati ya." Dia akan berpikir lebih mendalam dan itu karena jasa kita mengekspos, memantulkan apa yang dia rasakan.

St : Tapi dengan syarat jangan memaksa ya. "Kamu ini memang marah !" begitu ya, Pak ?

SK : Iya, betul ! Jadi sekalipun kita peka dan jitu di dalam mendengar perasaan dan mengeksposnya, tapi jangan angkuh. Jadilah orang yang rendah hati. Ketika pun ditolak, yang ditolak adalah ide kita. kita perlu berbesar hati, menerima bahwa dia belum siap, "Oh, maaf kalau mungkin aku keliru dalam hal ini. Tapi minimal aku menangkap kamu dalam situasi yang kurang nyaman". Nah, kita beri nama yang lebih lembut ya, "Kamu kurang nyaman dengan situasi ini." Dijawab, "Ya, ya ! Itu yang tepat ! Aku tidak marah kok, cuma ya aku agak kurang nyaman saja." "Oke tidak apa-apa, memang kamu kurang nyaman." Nah, dia siapnya cuma segitu. Tapi paling tidak kita sudah menangkap "frekuensi radio" hatinya bahwa dia tidak nyaman. Paling tidak dia merespon. Ini juga jembatan komunikasi.

St : Jadi nanti perlahan-lahan mungkin dia akan menerima apa yang kita katakan, Pak ?

SK : Betul. Jadi jangan memaksa. Terimalah apa yang bisa dia terima pada saat itu.

St : Jadi respon yang ketiga itu menerima, Pak?

SK : Betul. Respon pertama dari rekan bicara kita adalah mengoreksi apa yang kita sebutkan, respon yang kedua adalah menyangkal, dan yang ketiga adalah menerima. Kalau menerima ya puji Tuhan ya. Kita pun ikut senang dan berarti jembatan akan lancar terbangun. Kepercayaannya juga akan bertumbuh bahwa kita memang memahami perasaannya, menghormati, tidak mengolok-olok, menginjak-injak. Ini membuat sebuah investasi relasi, bahwa kita layak dipercayai, kita menjadi rekan dan sahabat yang baik karena perasaannya diterima.

St : Pak, tapi bagaimana kalau kita sendiri sebagai pendengar kita tidak nyaman kalau membicarakan perasaan ?

SK : Iya, itu mungkin terjadi. Dalam hal ini mungkin sejak kecil kita memang tumbuh dalam lingkungan keluarga atau pergaulan yang tidak terbiasa menerima perasaan. "Sudahlah jangan sedih kamu itu cengeng. Buat apa sedih? Hidup itu harus move on. Jadi jalani hidup !" Akhirnya kita terbiasa dengan nilai-nilai itu sehingga perasaan itu seperti dimatikan dan kita asing dengan perasaan diri sendiri, akibatnya kita asing dengan perasaan orang lain juga.

St : Jadi apa yang bisa kita lakukan supaya kita tetap bisa merespon dengan baik dan kita tetap bisa mendengarkan perasaan orang ?

SK : Jadi dalam hal ini, Bu Stella, saya lebih mendorong mari kalau kita mendapati diri dalam situasi demikian, mari kita sendiri mencari pertolongan bagi diri kita, supaya kita sendiri pun nyaman dengan perasaan kita. Pentingnya yang pertama, kalau kita bisa nyaman dengan perasaan kita, bersedia mengakui apa yang kita rasakan, baik itu marah, jengkel, pahit, benci, dendam, kita mau mengakuinya, kita akan menjadi diri yang sehat. Karena perasaan itu adalah bagian dari diri kita. Kalau kita menolak perasaan yang kita rasakan dan alami, sesungguhnya kita sedang menolak diri kita. Bila kita menolak diri kita, itu berarti terjadi pertarungan dan konflik dalam diri kita, dan itu akan memudahkan kita masuk ke dalam fase depresi. Kita depresi, marah kepada diri kita, menelan kemarahan itu dan itu membuat hidup kita tidak seimbang. Kesehatan emosi jelas terganggu. Yang kedua, kesehatan fisik juga bisa tergerus karena emosi yang tidak seimbang ini. Dan ketiga, kesehatan relasi pun akan terganggu. Kita tidak jujur dengan perasaan kita dan akibatnya kita menolak perasaan orang lain. Relasi tidak akan pernah berjalan dengan optimal kalau tidak ada perasaan yang diterima antara diri kita dengan rekan bicara kita atau sahabat kita. Jadi ini hal yang penting.

St : Jadi kita sendiri sebagai pendengar, kita pun perlu merasa nyaman dengan perasaan-perasaan kita. Kita pun bisa membicarakannya sehingga itu juga menolong kita untuk bisa mendengarkan perasaan orang lain.

SK : Betul. Mungkin kalau dalam kondisi tertentu tidak apa-apa, datanglah untuk konseling. Mengekspos, menelisik, menelusuri di lapis peristiwa apa, fase usia berapa, kok saya terhambat dalam hal mengenali dan bisa merasakan perasaan saya, bisa menerima dan mengakui dengan nyaman. Itu berarti ‘kan ada luka atau trauma. Trauma bukan selalu hal-hal yang spektakuler. Bisa jadi hanya trauma-trauma kecil tapi itu ternyata cukup membatasi kita untuk nyaman dengan perasaan-perasaan kita. Jadi carilah pertolongan. Itu sebagai tanda kita sehat. Kalau kita tidak pernah mencari pertolongan, itu tandanya justru ada hal yang keliru dalam diri kita.

St : Hal penting apa yang perlu kita pelajari sebagai pendengar perasaan orang lain?

SK : Seperti yang tadi kita bahas, kita mendengar perasaannya, kita mengekspos, kemudian kita siap menerima umpan balik, kemudian kita mengalir. Dengan cara demikian kita akan bisa masuk. Tadi ‘kan orang mengekspos di level yang keempat tentang perasaannya. Ketika perasaannya sudah diekspos dengan nyaman, dia akan siap masuk ke dalam level ketiga lagi, yaitu siap menerima ide-ide, masukan-masukan, koreksi secara rasional. Dalam hal ini kita bisa dengan luwes mengikuti irama rekan bicara kita, ketika rekan bicara kita mulai mengekspos perasaannya, berarti dia sedang masuk ke level yang lebih dalam, yaitu level empat, mari kita respon dengan level empat. Kemudian ketika dia tidak mau masuk di level empat, maunya masuk ke level tiga, kita tanggapi dengan level tiga. Atau ketika dia sudah masuk di level empat, kita bisa mengekspos perasaannya dan diterima dengan baik, nantinya ketika dia siap untuk masuk ke level yang ketiga tentang level pikiran, kita akan masuk. Nanti masuk lagi ke level empat tentang perasaan, maka kita masuk lagi ke level empat yaitu menanggapi perasaannya. Jadi menanggapi perasaan dan menanggapi secara pikiran rasional itu bisa bersifat timbal balik dan itu kembali akan membuat komunikasi kita berjalan dengan baik, Bu Stella.

St : Istilahnya kita menjadi luwes, ya Pak ? Dan tidak memaksa orang untuk membuka sesuatu yang dia sendiri tidak siap.

SK : Tepat! Dalam hal ini kita perlu mengikuti irama dari rekan bicara ini. Di level apa dia bicara. Kalau dia baru di percakapan basa-basi, kemudian dia nyaman bicara tentang orang lain, mari kita bicara di level kedua tentang orang lain. Kalau dia nyaman tentang level ketiga atau tentang pikiran, maka kita ikuti. Dan ketika mulai terbersit perasaan tertentu yang tersirat dari apa yang dia sampaikan dari pendapatnya di level tiga tadi, mari kita pantulkan perasaannya. Dengar dan nyatakan perasaannya apa. Itu level empat. Dan ketika dia menanggapi dengan nyaman, nanti dia akan terus mengalir dengan perasaannya itu, dia akan banyak ekspos dan kita tanggapi. Maka jembatan akan terbangun dengan mulus. Tapi kalaupun tidak siap, dia hanya mau di level tiga tidak mau diekspos perasaannya, kita ikuti irama itu. Jadi dengan begitu kita akan menjadi komunikator yang baik.

St : Apa fungsinya ketika kita bisa berkomunikasi dengan baik ?

SK : Dengan komunikasi yang baik berarti terjadi relasi yang baik, pertemanan yang baik, persahabatan yang baik, rekanan yang baik. Dan itu berarti akan membuat hidup sosial kita berkembang dan juga membuat hidup sosial rekan bicara kita pun berkembang, karena orang butuh teman. Orang butuh penerimaan. Orang butuh dihargai dan itu terjadi ketika kita mau mengimbangi atau menanggapi perasaan orang tersebut ketika sedang berkomunikasi.

St : Jadi istilahnya ada hubungan yang "konek" ya Pak, bukannya hubungan yang "tulalit" – tidak nyambung ?

SK : Betul ! Jadi akan tercipta, kalau bahasa Inggrisnya "connectedness" artinya terjadi keterhubungan, antara diri kita, antara diri rekan kita itu. Tapi satu hal, Bu Stella, dalam hal ini penting, jangan kita menampilkan diri atau menjadi orang yang suka menelanjangi hal-hal yang rekan kita itu tidak siap untuk membuka diri.

St : Maksudnya kita seperti memaksa atau menyudutkan orang itu ?

SK : Betul. Seperti yang tadi Bu Stella contohkan, "Kamu marah ya ?" dijawab, "Tidak kok, tidak marah!" "Hei jangan bohong. Aku berpengalaman lho, aku bisa baca perasaan orang lain lho. Dari rupamu kamu pasti marah." "Tidak kok, tidak marah." "Ayo jujurlah." Itu tidak bijak ya. ataupun tanpa basa-basi kita bicara, "Kelihatannya kamu sedang curiga ya. Kelihatannya kamu sedang ada masalah ya? Saya bisa baca lho dari kernyitan dahimu, dari ekspresi wajahmu. Saya pintar membaca wajah orang lho. Gerak tubuh kamu kayaknya sedang malu ya. Ayo mengaku, kamu sedang merasa malu ‘kan ?" aduh, itu benar-benar menyakitkan ya. Jadi tidak tepat kalau kita pun punya kepekaan, bukan serta merta kita seperti menjadi orang yang serba mengekspos apa yang kita ketahui kepada orang lain.

St : Jadi dalam hal ini pun kita perlu bijak ya, Pak ?

SK : Tepat, Bu Stella.

St : Firman Tuhan mana yang melandasi pembicaraan tentang perasaan ini, Pak?

SK : Saya bacakan dari Kitab Amsal 20:5, "Rancangan di dalam hati manusia itu seperti air yang dalam. Tetapi orang yang pandai tahu menimbanya." Rupanya hati kita atau dalam hal ini adalah perasaan dalam diri kita itu ibaratnya seperti air yang dalam. Sesuatu yang tidak mudah untuk diselami. Tapi ketika kita bisa mendengar perasaan, bisa menanggapinya dengan tepat, ibaratnya kita akan memberi kesegaran kepada rekan bicara kita tersebut dan memberikan kepuasan. Dalam hal ini mari kita melatih, mengasah keterampilan tersebut. Minta hikmat dari Tuhan supaya kita peka dan bijak dalam menanggapi perasaan saat kita berkomunikasi.

St : Terima kasih, Pak Sindu, untuk perbincangan kita kali ini. Para pendengar sekalian, terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bapak Penginjil Sindunata Kurniawan, MK. dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Menanggapi Perasaan dalam Komunikasi". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini, silakan menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@telaga.org. Kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan, serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa dalam acara TELAGA yang akan datang.


Ringkasan:

Untuk sebagian orang, merasa canggung ketika orang lain membagikan perasaan dan tidak tahu bagaimana menanggapinya, apalagi dalam percakapan formal.

Ada beberapa level atau jenjang dalam kita berkomunikasi:

  1. Percakapan basa-basi, misalnya : "Selamat pagi, sudah makan belum ?" atau "Mau kemana, sehatkah?"
  2. Tentang orang lain, misalnya : "Mengapa presiden kita seperti ini ?"
  3. Tentang diri: pikiran, kita mulai mengutarakan pikiran kita (ide, pendapat, argumentasi) kepada lawan bicara kita.
  4. Tentang diri: perasaan, identitas kita terwakili melalui perasaan kita.

Ketika seseorang berkomunikasi di level perasaan, hendaknya kita menanggapi di segi perasaan juga, berempati. Empati tidak sama dengan menyetujui atau membenarkan. Empati itu menerima dan memberi tempat penghargaan pada apa yang dirasakannya. Bahwa yang dirasakannya itu adalah fakta, sesuatu yang faktual, ada dan layak dihormati. Ketika seseorang membuka perasaannya, ia sedang membuka diri yang asli dan inti, yang sekaligus rentan untuk diserang dan disakiti. Ibaratnya, topeng dan perisai dirinya sedang dibuka. Saat dibuka, kita bisa mengenal keasliannya atau keautentikannya. Berarti, satu sisi kita sedang dihormati dan dipercayai, karena tidak pada semua orang, dia membuka perasaannya. Tugas kita adalah menjunjung tinggi kehormatan untuk dipercayainya, yakni dengan tidak menyalahgunakan keterbukaannya lewat kata dan sikap merendahkan dan menyakitinya. Malah kita bisa berkata, "Saya menghargai kesediaanmu berbagi perasaan, saya menghargainya". Kemudian kita bisa memberi peneguhan dengan memberi nama perasaannya, "Ya, kamu sedih." "Kamu terlihat kecewa dan marah."

Langkah-langkah praktis untuk dapat menanggapi perasaan dalam komunikasi:

  1. Dengarlah perasaannya; kita mencoba melihat wajah, suara, lihat gerak bibir, mata, gerak tubuh: membayangkan dan merasakan. Masuk ke dalam dirinya. Ini memerlukan latihan.
  2. Menyatakan, memberi nama perasaannya.

Respons yang bisa muncul dari rekan bicara kita:

  1. Mengoreksi. Jika kita pun kurang tepat memberi nama untuk perasaannya, minimal kita sudah berusaha mendengar perasaannya. Kita semakin terasah memberi nama pada perasaan.
  2. Menyangkal. Contoh: "kamu marah ya." "Nggak kok! (nada tinggi). Belum siap mengakui. Respons kita: jadi kamu merasa apa ? Kalaupun kamu merasa kecewa, itu wajar, aku pun bisa demikian. Pesan: penerimaan tidak bersyarat, dan toleran/tidak memaksa. Memberi tempat pada dia untuk berproses. Penghiburan bagi kita: setelah percakapan itu usai dan kita dan rekan bicara berpisah, kecenderungannya rekan bicara itu akan memikirkan dan lebih terkoneksi, terhubungkan dengan perasaannya. Dalam hal ini kita sesungguhnya sudah menolong. Maka, dalam hal ini kita tidak bisa pasang pikiran bahwa bukan kita yang ditolak atau dipersalahkan. Yang ditolak adalah ide kita dan bukan diri kita. Ide yang ditolak: "O,ya ada yang keliru pada ide saya. Saya terbatas. Jika merasa diri yang ditolak: membuat kita marah, membalas, jadinya kita tidak bisa menolong dan menutup diri.
  3. Menerima: mengalir dan akan terbangun jembatan. Dia pun bertumbuh kepercayaan bahwa kita memahami perasaannya dan menghormatinya.

Penting bahwa kita tidak menampilkan diri sebagai orang yang suka menelanjangi hal yang dia tidak siap untuk membuka kepada kita. Membuat orang akan terancam dan membangun tembok, merasa dihakimi.

Berbesar hati, lalu bisa beralih ke ranah atau level ke-3: logika rasional. Kita misalnya menegaskan: ini yang benar, ini yang salah, ini pendapat saya, ini pilihan saya, ini saran saya.

Kita ikuti iramanya: naik turun di level pikiran dan perasaan. Dan terciptalah, keterhubungan (connectedness)

Firman Tuhan diambil dari Amsal 20:5, "Rancangan di dalam hati manusia itu seperti air yang dalam. Tetapi orang yang pandai tahu untuk menimbanya". Perasaan itu memang sesuatu yang sulit diketahui dan dikenali. Tapi ketika kita punya hikmat dan mengandalkan hikmat, kita bisa mengerti. Kadang orang itu sendiri tidak tahu apa yang ada dalam hatinya. Tapi ketika kita mengandalkan hikmat, Tuhan akan memampukan kita. Perasaan bagaikan air yang dalam: orang yang tidak mengenal perasaannya: bingung, kehausan. Air identik dengan kesegaran dan kepuasan.


Questions: