BETA
Penghiburan Dalam Kedukaan
Sumber: telaga
Id Topik: 2040

Abstrak:

Guncangan akibat kehilangan orang yang dikasihi secara mendadak benar-benar membuat kita kehilangan keseimbangan dan terjatuh.Begitu banyak pertanyaan yang tak terjawab dan begitu kuat kecamuk sedih dan marah di dalam batin.Apakah yang harus dilakukan bila kita berada pada posisi ini—dalam sekejap mata kehilangan bukan satu, tetapi sekaligus beberapa orang yang dikasihi?Sudah tentu tidak ada jalan pintas atau rumus mutlak yang dengan manjur dapat melenyapkan derita akibat kehilangan yang begitu dalam dan mengagetkan itu.Sungguhpun demikian, ada beberapa pedoman yang dapat kita gunakan sebagai pertolongan dalam meniti jalan yang bermedan mahaberat ini.

Transkrip:

Saudara–saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling. Perbincangan kami kali ini akan membahas tentang "Penghiburan dalam Kedukaan". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

GS : Pak Paul, yang namanya kedukaan memang datang secara mendadak tanpa terencana tanpa kita bisa duga-duga dan seringkali berskala cukup besar atau hanya kejadian kematian biasa. Tapi seringkali kita mendengar kisah-kisah tragis kematian massal, bahkan dalam keluarga kita, bisa sebagian besar keluarga kita itu meninggal dalam saat bersamaan. Belum lagi kalau jenasahnya ada yang tidak ditemukan karena korban kecelakaan atau bencana alam, kebakaran, perang dan sebagainya. Kadang orang tidak siap menghadapi hal-hal semacam ini. Apa saran Pak Paul, bagaimana kita mencoba mengatasinya ?

PG : Memang betul apa yang Pak Gunawan katakan. Saya melihat atau boleh mengibaratkan hidup ini bukan seperti sirkuit balap, tapi hidup ini lebih mirip dengan sebuah perjalanan pendakian. Kita dapat melihat letak gunungnya namun kita tidak selalu tahu dengan pasti jalan untuk mendakinya. Kadang kita harus memutar, menurun, tersandung, berlari, kadang mesti merangkak. Pada intinya kita memang tidak tahu semulus atau sesulit apakah medan yang terbentang di depan. Itulah hidup. Jadi apa yang harus kita lakukan jikalau tiba-tiba hidup kita ini harus berhadapan dengan kehilangan yang mengagetkan ? Apalagi kalau ini terkait dengan bencana atau musibah. Ada beberapa yang bisa saya bagikan. Yang pertama adalah ijinkanlah diri untuk berkabung. Secara khusus berilah kesempatan kepada diri untuk menangis. Tidak ada yang salah atau kurang rohani dengan berduka. Tuhan menciptakan kantung airmata supaya kita bisa mencucurkan air mata sewaktu bersedih. Tuhan tahu bahwa menangis adalah sesuatu yang perlu untuk melepaskan tekanan derita yang mendalam. Jadi jangan sampai kita beranggapan bahwa menangis adalah tanda bahwa kita lemah atau kurang beriman. Tidak ! Menangis adalah sekadar tanda bahwa kita tengah bersedih. Berkaitan dengan itu, saya ingin menyampaikan, jangan takut untuk menangis dan menangis lagi. Jangan menghindar dari ingatan tentang orang yang kita kasihi. Jangan lenyapkan barang-barang peninggalannya, setidaknya jangan menghindar meskipun sebagai akibatnya kita akan menangis lagi. Tidak apa-apa. Makin banyak air mata yang keluar, makin cepat kita keluar dari lembah kedukaan ini.

GS : Apalagi buat kaum pria, ketika istri atau anak kita meninggal lalu kita menangis, orang seringkali berkata, "Tidak usah ditangisi. Nanti kalau kita menangis nanti yang meninggal ini merasa kita belum rela melepaskannya dan ini menghambat perjalanannya." Penghiburan seperti itu juga sering kita dengar di kalangan orang Kristen.

PG : Betul. Saya ingin kita memiliki konsep yang benar. Kita diberi kantung air mata oleh Tuhan untuk menangis. Kalau kita sedih, kita berkabung, kita menangis, hal itu justru alamiah. Ketika kita senang, kita tertawa, itu adalah hal yang alamiah juga. Jadi tidak ada salahnya dan itu tidak berarti kita kurang rohani kalau kita menangis. Justru karena kita menangis dan berkabung maka lama kelamaan beban yang menghimpit kita makin hari makin ringan sehingga kita bisa melewati hidup ini dengan lebih baik. Berkali-kali saya menemukan kasus seperti ini dalam konseling saya. Ada orang-orang yang tidak menangis karena mungkin ada tekanan dari luar dan lain-lain sehingga akhirnya menyimpan air mata. Apa yang terjadi ? Proses perkabungan itu tertunda-tunda. Artinya meskipun sudah setahun atau dua tahun berlangsung sejak kehilangan itu, hidupnya tetap saja muram dan depresi. Saya kira itu akibat dari kita tidak melewati proses perkabungan dengan sehat atau sebenar-benarnya. Di Alkitab kita tahu bahwa orang-orang pada masa itu sewaktu berkabung bukan hanya satu-dua hari, bisa sampai 40 hari, 100 hari. Kenapa ? Sebab memang disadari orang perlu waktu yang panjang untuk bisa keluar dari perkabungan. jadi nasehat saya adalah ijinkan diri untuk menangis dan menangis. Tidak apa-apa.

GS : Tetapi ada sebagian orang yang kelihatannya memang tabah, Pak Paul. Dia tidak bisa menangis. Sekalipun sekelilingnya banyak orang yang menangis, dia tetap tidak menangis.

PG : Memang ada orang yang bisa menguasai diri sehingga dia tidak menangis saat itu. Tidak apa –apa. Namun selanjutnya sewaktu dia sedang sendiri, dia mengingat orang yang dikasihinya yang sekarang tidak ada lagi, tidak apa untuk menangis. Karena kalau kita bisa melewatinya dengan benar, perasaan kita benar-benar terkuras, benar-benar bisa keluar dengan alamiah, maka nantinya hidup kita juga akan lebih sehat, lebih tidak ada beban. Tapi kalau kita menahan-nahan perasaan kita, memang tampaknya tegar dan kuat, tapi lama kelamaan perasaan yang berkecamuk itu bisa membuat kita tidak seimbang, Pak Gunawan. Misalnya ada orang yang menjadi sering marah. Emosinya tidak terkontrol. Atau menjadi mudah tersinggung, sedikit-sedikit dia tersinggung dengan omongan orang. Atau untuk hal-hal yang lain dia bisa sedih dan menangis. Itu adalah tanda-tanda dimana seharusnya dia menangis pada awalnya sewaktu dia berkabung, sewaktu dia kehilangan orang yang dikasihi. Karena dia tidak melakukan itu, akhirnya perasaan-perasaan tersebut menjadi seperti kacau. Perasaan itu masih ada pada dirinya tetapi sekarang tidak lagi keluar dalam bentuk kesedihan tapi bentuk-bentuk yang tidak pas.

GS : Ada orang yang menangis dengan sekadar mengeluarkan air mata, tapi ada pula yang menangis sambil mengeluarkan air mata yang kadang tidak enak bagi yang mendengarkan. Lalu dia diberitahu supaya dia tidak usah menangis seperti itu.

PG : Biasanya saya akan membiarkan dulu dia seperti itu. Misalnya dia mengucapkan kata-kata seperti, "Saya ingin mati. Saya ingin bunuh diri." Itu mungkin waktunya kita menghentikan dia dengan berkata, "Tidak ! Hidup akan berlanjut karena Tuhan belum selesai dan Dia akan menyediakan kekuatan ekstra bagi kamu. Kami pun akan disini mendampingi kamu. Jangan ambil keputusan itu." Untuk hal seekstrem itu barulah kita mencoba untuk menghentikannya. Tapi kalau tidak sampai seperti itu, biarkan dia mengeluarkan perasaan-perasaannya. Biarkan walau perkataannya kurang pas. Pada masa berkabung kadang memang kita tidak terlalu bisa mengendalikan emosi kita.

GS : Apalagi yang bisa dilakukan, Pak Paul ?

PG : Yang kedua adalah ungkapkanlah rasa kehilangan itu lewat perkataan kepada orang yang mengenal orang yang kita kasihi itu. Jadi ungkapkanlah rasa kehilangan dan bagikanlah memori tentang orang yang kita kasihi itu semasa hidupnya. Nah, dengan kita membicarakannya seakan-akan kita tengah memasukkan potret-potret kenangan itu ke dalam sebuah album, Pak Gunawan. Album mental yang tidak kasat mata inilah yang akan kita simpan dan kita bawa di dalam hati kita selamanya. Jadi justru sehat untuk bercerita dengan orang yang juga mengenal orang yang kita kasihi itu. Kita bercerita dan dia juga akan tambahkan karena dia juga mengenalnya. Dia akan bisa mengerti karena dia juga mengenalnya. Seakan-akan secara mental kita sedang membuat sebuah album kenangan, Pak Gunawan. Dengan kita membuat album itu, kita tempelkan gambar-gambar dalam album mental ini, itu akan menolong kita melanjutkan hidup. Karena seolah-olah memori kita tersusun. Saya mengerti kadang orang melarang, "Sudah jangan dibicarakan lagi ya. Kamu jangan mengingat-ingat lagi." Justru semakin dia mengingat-ingat, sebetulnya dia sedang membuat sebuah album yang justru lebih rapi nantinya sehingga dia bisa melanjutkan hidupnya. Dengan kita melarang dia membicarakan tentang orang yang dikasihinya itu, album itu tidak pernah ada. Nanti malah tidak karuan.

GS : Tapi ‘kan di masa kedukaan seringkali kita membuat suatu kenangan yang penuh emosional dan tidak rasional tidak objektif lagi. Kadang terlalu dilebih-lebihkan.

PG : Betul. Pada masa-masa itu kita tidak bisa mengharapkan orang akan bertindak sangat tepat. Tidak ya. Dalam masa berkabung, kehilangan orang yang dikasihi, orang cenderung emosional, ada perkataan dan tindakan yang kurang tepat, tapi biarkan. Ijinkanlah orang itu untuk berbicara, berbicara dan berbicara. Makin dia sering berbicara, sebetulnya makin cepat dia membuat album kenangan itu. Sehingga ingatannya seolah-olah tertata. Kalau saja dia bisa melewati itu, dia akan melewatinya dengan lebih baik.

GS : Dalam rangka menyusun album kenangan secara mental, seringkali orang memilih untuk menyendiri, tidak mau diganggu. Tapi keluarga kuatir. Bukankah tidak mengerti orang ini sedang apa. Kuatir dia nanti melakukan perbuatan nekat yang merugikan dan membahayakan dirinya. Bagaimana ini, Pak Paul ?

PG : Sudah tentu kalau terus menerus mengurung diri di kamar, kita harus prihatin dan sering-sering mengecek dia. Namun sebetulnya adalah lumrah kalau kita ingin menyendiri saat sedang sedih atau berkabung. Sebab kita memang memerlukannya. Nah, jika itu yang kita butuhkan, silakan katakan pada orang di rumah bahwa, "Saya tidak apa-apa. Saya sedang ingin menyendiri diam di rumah dulu." Atau kebalikannya, Pak Gunawan. Ada waktu-waktu kita benar-benar ingin ditemani oleh orang. Jangan sungkan meminta orang tinggal di rumah menemani kita, sebab memang ada waktu-waktu kita ingin menyendiri, ada waktu-waktu kita ingin bersama orang. Orang mungkin bertanya apa gunanya menyendiri ? Sebetulnya itu seolah-olah kita masih ingin menghabiskan waktu berduaan dengan orang yang kita kasihi yang telah tiada. Kalau kita ramai-ramai, kita ‘kan tidak bisa berduaan dengan dia secara mental. Dengan kita menyendiri kita bisa berduaan dengan dia. Tapi kadang kita takut sendirian. Kita butuh ditemani. Tidak apa-apa, minta orang datang. Ini bukan pertanda kita tidak bisa hidup mandiri. Tidak, ini hanya sementara. Kita sedang lemah, kita butuh topangan agar kita bisa kembali menghadapi masa yang kelam ini.

GS : Ya. Karena saat kita membutuhkan seseorang, orang itu adalah orang yang kita percayai dan mau menerima curahan hati kita, kalau dia malah menasehati malah kita tidak nyaman.

PG : Betul. Bagi orang yang dipanggil menemani orang yang sedang berkabung, yang terpenting adalah kehadirannya di samping kita. Kita tidak perlu dia memberi masukan-masukan. Pada akhirnya kita akan mengerti. Tapi pada masa-masa transisi kita hanya perlu orang untuk berada di samping kita, kita tidak mau sendirian. Dan kita tahu kehadirannya itu membuat kita merasa lebih tentram.

GS : Menurut pengalaman Pak Paul sebagai pendeta, kalau ada keluarga yang sedang berduka seperti itu lalu misalnya Pak Paul diminta untuk memimpin upacara penutupan peti, apa yang akan Pak Paul sampaikan ?

PG : Biasanya seperti yang saya katakan tadi. Saya akan ingatkan mereka bahwa orang yang telah meninggal itu adalah bagian hidup mereka. Jadi tidak gampang untuk dilupakan dan jangan dilupakan. Sebab mengapa kita mau melupakan orang yang kita kasihi dan penting dalam hidup kita ? Ya tidak apa-apa kita mengingat dia. Yang terpenting adalah kita tidak terus menerus dikuasai oleh kesedihan ini sehingga kita tidak bisa melanjutkan hidup kita. Tapi mengingat, menangis dan menjalani proses perkabungan ini adalah sesuatu yang sangat alamiah.

GS : Kalau kematian yang terjadi atau musibah yang mereka alami ini terjadi secara serempak, merupakan bagian dari suatu keluarga sehingga yang tertinggal bukan keluarga inti, misalnya tinggal paman atau keponakannya. Bagaimana dampaknya ?

PG : Sudah tentu kehilangan satu orang sudah berat. Kehilangan beberapa orang sekaligus sudah tentu lebih berat lagi. Sebab kita tidak bisa lagi fokus pada satu orang. Sekarang kita harus membagi fokus kita kepada dua atau tiga orang yang telah meninggal dunia itu. Sudah tentu prosesnya akan lebih lama. Yang saya sarankan adalah jalani satu per satu. Ingat satu per satu. Berikan waktu untuk mengingat satu orang saja hari ini, besok berikan waktu mengingat satu orang yang lain, lusa berikan waktu mengingat satu orang yang lainnya dan seterusnya. Jadi kita secara khusus menatap satu per satu anggota keluarga kita yang sudah tiada dan kita keluarkan perasaan kita. Waktu kita mengingat dia, kita menangis dan sebagainya. Dengan cara itu kita menjalani proses perkabungan itu dengan lebih merata dan bisa keluar dengan lebih mudah.

GS : Banyak orang kesulitan memberitahukan berita kematian massal ini kepada ibunya, kalau kebetulan ibunya tidak terkena bencana itu. Bagaimana cara memberitahu ibu ini bahwa anak-anaknya meninggal bersamaan karena musibah kecelakaan atau bencana, Pak Paul ?

PG : Memang tidak bisa disangkal akan berat sekali. Kalau korbannya dalam jumlah besar, tidak bisa tidak kita harus memberitahunya. Memang akan sangat mengagetkan, yang penting kita harus mendampingi dia. Di Alkitab ada yang mengalami itu, namanya Ayub. Ayub kehilangan anak-anaknya sekaligus. Bukan hanya anak-anaknya, harta bendanya juga ludes/habis dalam waktu yang bersamaan. Jadi kita lihat pukulan itu begitu besar sehingga Ayub yang begitu rohani mengalami depresi berat. Jadi kita maklum bila seseorang, apalagi seorang ibu atau ayah, kehilangan beberapa anggota keluarganya sekaligus. Dia akan sangat terpukul, mungkin dia akan mengalami kemurungan atau depresi untuk suatu waktu, tidak apa-apa. Temani dia, ini bukan sesuatu yang salah atau lemah, melainkan sesuatu yang sangat wajar.

GS : Apalagi yang bisa dilakukan, Pak Paul ?

PG : Jangan tergesa-gesa mengubah kehidupan yang telah kita jalani bersama orang yang kita kasihi. Jangan cepat-cepat, misalnya, mengambil keputusan untuk menjual rumah atau pindah kota. Jangan menjalin relasi baru untuk menggantikan relasi yang lama secara khusus relasi romantis. Artinya jangan cepat-cepat memilih pasangan yang baru. Jangan sampai kita salah mengambil keputusan dan membuat kehidupan kita malah bertambah amburadul. Pikirkan semua masak-masak dan dalam kondisi tenang. Pada masa berkabung sebaiknya kita tidak membuat keputusan yang besar dulu.

GS : Mungkin kalau menikah lagi butuh waktu yang agak lama. Yang seringkali orang lakukan adalah menjadi pengganti kegiatan, tapi tujuannya sama yaitu melupakan atau mengalihkan perhatian kita. Itu bagaimana,Pak Paul ?

PG : Kalau kita hanya mengisi waktu yang biasanya kita lakukan dengan orang itu, itu justru yang sehat. Jadi sedapatnya isilah waktu yang biasa dihabiskan bersama orang yang kita kasihi itu dengan kegiatan yang lain. Semasa hidup, orang yang kita kasihi itu telah menjadi bukan saja bagian dari jiwa melainkan juga bagian dari kehidupan kita secara nyata. Ada sejumlah hal yang biasa kita lakukan, baik itu buat dia atau dengan dia. Kepergiannya menciptakan lubang kekosongan dan inilah yang seringkali menyulitkan kita untuk melanjutkan hidup. Itu sebabnya sedapatnya kita mengisi lubang-lubang waktu dan aktifitas itu dengan hal yang lain.

GS : Rupanya pada awalnya butuh orang lain untuk memotivasi dia melakukan hal-hal seperti itu, Pak Paul.

PG : Betul, Pak Gunawan. Sebab tidak bisa tidak, motivasi atau keinginan itu sudah banyak berkurang. Saya ingat satu kasus yang pernah saya hadapi. Seorang ibu yang sudah lanjut usia, yang sudah menikah puluhan tahun kemudian suaminya meninggal dunia. Akhirnya dia mengalami goncangan sebab dia biasa siapkan makanan buat si suami, dia cepat-cepat pulang dari gereja sebab mesti menyiapkan makanan bagi suami dan sebagainya. Sekarang tiba-tiba tidak ada lagi. Memang hal itu perlu diisi atau digantikan dengan kegiatan lain. Masalahnya kadang hati sudah tidak niat lagi, Pak Gunawan. Maka kita harus paksa diri menjalani rutinitas kehidupan seperti biasanya. Kita mesti melawan godaan untuk berhenti melakukan kegiatan rutin itu. Sedapat mungkin kita tetap melakukannya kendati kita tidak menginginkan atau menikmatinya lagi. Saya mengibaratkan masa berkabung seperti masa sakit. Pada masa sakit kita tidak begitu berselera makan. Tidak jarang citarasa berubah menjadi hambar. Tapi kita tetap harus memaksa diri untuk makan sebab tanpa makanan tubuh makin lemah dan makin sukar melawan penyakit yang di derita. Bukankah sedikit demi sedikit citarasa itu akan kembali dan kita pun akan bisa menikmati makanan yang disantap ? Jadi paksakanlah untuk terus melakukan kegiatan rutin apa pun perasaan kita. Jika kita berhenti, besar kemungkinan kita akan mengalami kesulitan untuk memulainya lagi.

GS : Pak Paul, seringkali pada masa kedukaan itu muncul berbagai macam pertanyaan dalam diri kita yang sulit dijawab orang. Tapi pertanyaan-pertanyaan itu selalu berkembang dan memenuhi pikiran seseorang yang sedang berkabung itu. Apalagi kalau dia mengalami peristiwa tragis, sebagian besar keluarganya meninggal. Sebab ini tidak wajar, karena orang meninggal satu demi satu sedangkan ini serentak. Bagaimana, Pak Paul ?

PG : Tidak bisa tidak kita bertanya-tanya ya, misalnya, "Kenapa ini bisa terjadi ? Mengapa Tuhan tidak mencegahnya ?" dan sebagainya. Namun saya mau memberikan nasihat, jangan menghabiskan banyak waktu dan tenaga untuk mencari jawaban mengapakah musibah ini terjadi. Jangan. Sudah tentu kita tahu dan percaya bahwa Tuhan telah berkehendak dan bahwa Dia mempunyai rencana yang tidak kita pahami. Tapi saya mengerti yang kita butuhkan adalah sebuah jawaban yang spesifik mengapa musibah ini terjadi pada diri kita atau keluarga kita. Saya juga maklum jika kita mempunyai keingintahuan yang besar mengapa semua ini terjadi. Kita beranggapan jika saja kita mengetahuinya maka kita akan dapat menerima kenyataan ini dan melanjutkan hidup. Saya tahu ada orang yang mendapatkan jawaban yang memuaskan dan ini menolong mereka untuk menerima kenyataan yang pahit ini. Namun seringkali jawaban itu tidak ditemukan melainkan datang kepada kita, artinya kita mencari-cari tidak akan ketemu jawabannya. Nanti suatu hari tiba-tiba kita mengerti jawaban itu datang kepada kita. Jadi pada saat itulah kita baru mengerti rencana Tuhan yang lebih dalam dan lebih besar.

GS : Memang hal-hal seperti ini sulit untuk kita bayangkan kalau tidak mengalami sendiri. Bahkan orang yang mengalaminya pun mungkin tidak bisa menceritakan secara rinci perasaannya kepada kita. Kesimpulan apa yang ingin Pak Paul sampaikan untuk perbincangan kita ini ?

PG : Kehilangan orang yang kita kasihi bukan saja menimbulkan kesedihan tetapi juga kerinduan. Kita merasa kehilangan dan ingin berjumpa dengannya. Tidak soal bahwa orang itu telah pergi bertahun-tahun yang lalu. Tidak apa, jangan memberi batas waktu kepada kerinduan. Ingat pada saat ini, bertahun-tahun kemudian, kita tidak lagi berkabung. Kita hanyalah merindukannya. Jadi tidak apa merindukannya bahkan setelah bertahun-tahun kemudian. Satu hal lagi, kematian juga mengingatkan bahwa hidup di dunia suatu hari kelak akan berakhir. Namun akhir kehidupan di dunia bukanlah akhir dari kehidupan. Hidup akan berlanjut. Pertanyaannya adalah apakah kita mengetahui dengan pasti dimanakah kita akan menghabiskan sisa waktu hidup yang kekal itu. Firman Tuhan di Yohanes 3:16 berkata, "Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini sehingga ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal." Anak Tunggal Allah yaitu Yesus telah datang menebus dosa kita. Dia pula yang akan menyambut kita dan membawa kita masuk ke rumah Bapa di surga. Jadi datanglah kepada-Nya, percayalah kepada-Nya, dan hiduplah untuk-Nya. Di surga nanti kita juga akan hidup bersama-Nya. Inilah pengharapan dan penghiburan kita di dalam kedukaan, Pak Gunawan.

GS : Memang kita ikut berbelasungkawa dan ikut prihatin dengan kondisi orang-orang yang sedang berduka. Tetapi firman Tuhan yang Pak Paul sampaikan juga memberikan suatu harapan, ada suatu penghiburan yang pasti di dalam Tuhan Yesus, sehingga ini bisa menjadi pedoman bagi saudara-saudara kita yang mungkin saat-saat ini baru saja mengalami musibah seperti itu.Terima kasih untuk perbincangan ini, Pak Paul. Para pendengar sekalian, terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Penghiburan dalam Kedukaan". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini, silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@telaga.org. Kami juga mengundang Anda untuk mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan banyak terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara Telaga yang akan datang.


Ringkasan:

Hidup bukanlah sebuah sirkuit balap. Hidup lebih mirip dengan sebuah perjalanan pendakian. Kita dapat melihat letak gunungnya namun kita tidak selalu tahu dengan pasti jalan untuk mendakinya. Kadang kita harus memutar, kadang menurun, kadang tersandung, kadang berlari dan kadang kita mesti merangkak. Pada intinya kita tidak tahu semulus atau sesulit apakah medan yang terbentang di depan. Itulah hidup.

Bagi para kerabat pesawat Air Asia QZ8501, hidup—setidaknya pada saat ini—mengharuskan mereka untuk merangkak agar dapat mendaki gunung kehidupan ini. Guncangan akibat kehilangan orang yang dikasihi secara mendadak benar-benar membuat mereka kehilangan keseimbangan dan terjatuh. Begitu banyak pertanyaan yang tak terjawab dan begitu kuat kecamuk sedih dan marah di dalam batin.

Beberapa waktu yang lalu saya diundang untuk memimpin kebaktian penghiburan di sebuah rumah yang tadinya dihuni oleh sebuah keluarga—ayah, ibu, dan keempat putranya. Rumah itu sekarang tidak berpenghuni sebab seluruh keluarga turut lenyap bersama hilangnya pesawat Air Asia. Bukan hanya mereka, satu lagi kerabat mereka, juga telah tiada. Sewaktu saya berbicara dengan seorang kerabatnya, yang menjadi tuan rumah kebaktian tersebut, dengan sedih ia menceritakan bahwa dalam sehari ia kehilangan dua adiknya.

Apakah yang harus dilakukan bila kita berada pada posisinya—dalam sekejap mata kehilangan bukan satu, tetapi tujuh orang yang dikasihinya? Sudah tentu tidak ada jalan pintas atau rumus mutlak yang dengan manjur akan dapat melenyapkan derita akibat kehilangan yang begitu dalam dan mengagetkan itu. Sungguhpun demikian, ada beberapa pedoman yang dapat kita gunakan untuk menolong kita meniti jalan yang bermedan mahaberat ini.

Pertama, izinkanlah diri untuk berkabung, secara khusus berilah kesempatan kepada diri untuk menangis. Tidak ada yang salah atau kurang rohani dengan berduka. Tuhan menciptakan kantung air mata supaya kita dapat mencucurkan air mata sewaktu bersedih. Tuhan tahu bahwa menangis adalah sesuatu yang perlu untuk melepaskan tekanan derita yang mendalam. Jadi, jangan sampai kita beranggapan bahwa menangis adalah tanda bahwa kita lemah atau kurang beriman. Tidak! Menangis adalah sekadar tanda bahwa kita tengah bersedih. Berkaitan dengan itu, saya pun ingin menyampaikan, janganlah takut untuk menangis DAN menangis lagi. Jangan menghindar dari ingatan tentang orang yang kita kasihi itu. Jangan melenyapkan barang-barang peninggalannya—setidaknya jangan sekarang. Lihatlah dan hadapilah semua; jangan menghindar, meskipun sebagai akibatnya kita akan menangis lagi. Makin banyak air mata yang keluar, makin cepat kita keluar dari lembah kedukaan ini.

Kedua, ungkapkanlah kehilangan itu lewat perkataan kepada orang yang mengenal orang yang kita kasihi itu. Ungkapkanlah rasa kehilangan itu dan bagikanlah memori tentang orang yang kita kasihi itu semasa hidupnya. Dengan kita membicarakannya, seakan-akan kita tengah memasukkan potret-potret kenangan itu ke dalam sebuah album. Nah, album mental yang tidak kasatmata inilah yang akan kita simpan dan bawa di dalam hati kita selamanya.

Ketiga, berilah kesempatan kepada diri untuk menyendiri – jika kita memerlukannya – dan jangan ragu untuk meminta ditemani – bila kita membutuhkannya. Ada waktu di mana kita ingin menyendiri di dalam kesedihan. Ini bukanlah sebuah gejala yang tidak sehat. Ini hanyalah memperlihatkan bahwa adakalanya kita tidak ingin diganggu dan bahwa kita ingin "berdua" dengan orang yang kita kasihi itu. Namun kadang kala kita justru takut untuk ditinggal sendirian dan butuh ditemani. Jika itu yang dirasakan, jangan ragu untuk meminta kesediaan orang untuk menemani kita. Ini bukanlah pertanda bahwa kita tidak dapat hidup mandiri. Bukan! Ini hanyalah pertanda bahwa kita tengah lemah dan membutuhkan topangan agar kita dapat kembali menghadapi masa yang kelam ini.

Keempat, jangan tergesa-gesa mengubah kehidupan yang telah kita jalani bersama orang yang kita kasihi. Jangan cepat-cepat mengambil keputusan untuk menjual rumah atau pindah kota. Jangan menjalin relasi baru untuk menggantikan relasi yang lama, secara khusus relasi romantis. Jangan sampai kita salah mengambil keputusan dan membuat kehidupan kita malah bertambah amburadul. Pikirkan semua masak-masak dan dalam kondisi tenang. Pada masa berkabung, sebaiknya kita tidak membuat keputusan yang besar dulu.

Kelima, sedapatnya isilah waktu yang biasa dihabiskan bersama orang yang kita kasihi itu dengan kegiatan lain. Semasa hidup, orang yang kita kasihi itu telah menjadi bukan saja bagian dari jiwa, tetapi juga bagian dari kehidupan kita secara nyata. Ada sejumlah hal yang biasa kita lakukan, baik itu untuknya atau dengannya. Nah, kepergiannya menciptakan lubang kekosongan dan inilah yang sering kali menyulitkan kita untuk melanjutkan hidup. Itu sebab sedapatnya kita mengisi lubang-lubang waktu dan aktivitas itu dengan hal lain.

Keenam, jalanilah rutinitas kehidupan seperti biasanya walaupun hati sudah tidak lagi ingin. Biasanya kepergian orang yang kita kasihi membuat kita tidak lagi mempunyai keinginan untuk melakukan hal-hal yang biasa kita lakukan. Bisa jadi, itu adalah hal-hal yang biasa kita lakukan bersama atau untuk orang yang kita kasihi, tetapi bisa jadi, itu adalah hal-hal yang biasa kita lakukan sendiri, terpisah darinya. Nah, jika itu terjadi, kita mesti melawan godaan untuk berhenti melakukan kegiatan rutin itu. Sedapat mungkin kita harus tetap melakukannya kendati kita tidak menginginkan atau menikmatinya lagi. Masa berkabung dapat diibaratkan dengan masa sakit. Pada masa sakit kita tidak begitu memunyai selera makan. Tidak jarang, citarasa pun berubah menjadi hambar. Namun kita tetap harus memaksa diri untuk makan sebab tanpa makanan, tubuh makin melemah dan makin sukar melawan penyakit yang diderita. Dan, bukankah sedikit demi sedikit citarasa itu akan kembali dan kita pun dapat menikmati makanan yang disantap? Jadi, paksakanlah untuk terus melakukan kegiatan rutin—apa pun perasaan kita. Jika kita berhenti, besar kemungkinan kita akan mengalami kesulitan memulainya lagi.

Ketujuh dan terakhir, jangan menghabiskan banyak waktu dan tenaga untuk mencari jawaban, mengapakah musibah ini terjadi. Sudah tentu kita tahu dan percaya bahwa Tuhan telah berkehendak dan bahwa Ia memunyai rencana yang tidak kita pahami. Namun yang kita butuhkan adalah sebuah jawaban yang spesifik —mengapa musibah ini terjadi pada diri kita. Saya mafhum bahwa ada rasa keingintahuan yang begitu besar untuk mengetahui mengapakah musibah ini terjadi. Kita beranggapan, jika saja kita mengetahuinya, maka kita akan dapat menerima kenyataan ini dan melanjutkan hidup. Saya tahu ada orang yang mendapatkan jawaban yang memuaskan dan ini menolong mereka untuk menerima kenyataan pahit ini. Namun, sering kali jawaban itu tidak ditemukan, melainkan DATANG kepada kita. Ya, sewaktu kita tidak mencari-cari, jawaban itu datang dan membuat kita mengerti rencana Tuhan yang lebih dalam dan besar.

Kesimpulan

Kehilangan orang yang kita kasihi menimbulkan, bukan saja kesedihan tetapi juga kerinduan. Kita merasa kehilangan dan ingin berjumpa dengannya, tidak soal bahwa orang itu telah pergi bertahun-tahun yang lalu. Tidak apa! Jangan memberi batas waktu pada kerinduan. Ingat pada saat ini—bertahun-tahun kemudian—kita tidak lagi berkabung, kita hanyalah merindukannya. Tidak apa merindukannya, bahkan setelah bertahun-tahun kemudian.

Satu hal lagi. Kematian juga mengingatkan bahwa hidup di dunia suatu hari kelak akan berakhir. Namun, akhir kehidupan di dunia bukanlah akhir dari kehidupan. Hidup akan berlanjut. Pertanyaannya adalah, apakah kita mengetahui dengan pasti di manakah kita akan menghabiskan sisa waktu hidup yang kekal itu?

Firman Tuhan di Yohanes 3:16 berkata, "Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini sehingga Ia telah mengaruniakan anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal." Anak tunggal Allah, Yesus, telah datang dan menebus dosa kita. Dia pulalah yang akan menyambut kita dan membawa kita masuk ke rumah Bapa di surga. Jadi, datanglah kepada-Nya, percayalah kepada-Nya, dan hiduplah untuk-Nya. Di surga nanti kita pun akan hidup bersama-Nya. Inilah pengharapan dan penghiburan kita di dalam kedukaan


Questions: