Konflik dalam Pernikahan Kristen
Sumber: telaga
Id Topik: 201
Abstrak:
Konflik itu selalu ada dalam hubungan pernikahan Kristen, sebagai suatu hal yang menjadi suatu pergumulan. Namun ada yang perlu kita kerjakan dalam menghadapi konflik agar tidak berubah menjadi suatu pertengkaran.
Transkrip:
Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso bersama Ibu Idayanti Raharjo dari Lembaga Bina Keluarga Kristen, telah siap menemani Anda dalam sebuah perbincangan dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling dan dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Kali ini kami akan berbincang-bincang tentang pandangan-pandangan yang ada seputar kehidupan berkeluarga. Dan kami percaya acara ini akan sangat bermanfaat bagi kita sekalian, dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
PG : Saya juga mengalami yang Pak Gunawan alami, jadi waktu saya baru menikah saya lumayan terkejut sewaktu menyaksikan bahwa saya dan istri saya bisa bertengkar dan bertengkar yang lumayan anas.
Dan itu tidak saya harapkan, kenapa tidak saya harapkan karena adanya mitos tersebut Pak Gunawan, jadi saya pun berkesan bahwa kalau kami ini dijodohkan Tuhan dan hubungan kami diberkati Tuhan, seharusnyalah tidak ada lagi konflik dalam hubungan kami. Ternyata yang terjadi tidaklah demikian, kita acapkali mengidentikkan berkat Tuhan dengan hidup tanpa pergumulan atau hidup tanpa ketegangan atau masalah. Nah, setelah saya menikah dan juga mengamati pasangan-pasangan Kristen lain, saya akhirnya menemukan bahwa hidup dalam Tuhan tidaklah senantiasa berarti bebas dari problem, hidup dalam pernikahan memang benar-benar memberikan peluang bagi kita untuk berkonflik. Karena definisi konflik itu sendiri adalah perbedaan pendapat atau perbedaan pandangan. Dua orang yang tidak dibesarkan dalam rumah dan keluarga yang sama, sudah tentu mempunyai cara pikir yang berbeda dan cara hidup yang juga tidak sama, otomatis proses pernikahan menjadi proses penyesuaian diri. Dan dalam penyesuaian itu sudah tentu ada tarik ulur, ada rasa tidak senang, ada rasa tidak mau berubah, ada rasa menuntut yang satunya untuk lebih berubah, ada rasa kurang dimengerti dan sebagainya dan semua itu adalah bagian yang alamiah atau yang normal dalam suatu pernikahan. Jadi jangan sampai kita ini terburu-buru melabelkan bahwa karena kami sekarang mengalami konflik berarti pernikahan kami ini tidak dikehendaki Tuhan.PG : Itu adalah mitos nomor dua Bu Ida, yaitu ada di antara kita yang berpandangan bahwa kalau konflik terjadi itu berarti akan memperkuat pernikahan kita, jadi konflik dilihat sebagai sesuau yang positif.
Saya mempunyai suatu pandangan yang sedikit berbeda dari keyakinan tersebut, konflik itu sendiri memang tidak apa-apa, konflik dalam pengertian beda pandang. Namun yang sering kali terjadi adalah konflik akhirnya membuahkan pertengkaran, jadi saya bedakan konflik dengan pertengkaran. Pertengkaran adalah di mana kita dengan emosi yang tinggi mengeluarkan pendapat kita dan mulai menyerang pasangan kita. Saya justru melihat kalau konflik sudah berkembang menjadi pertengkaran, sebetulnya pertengkaran itu tidaklah membawa hal yang positif di dalam pernikahan. Konflik tidak apa-apa, tapi pernikahan kalau terus-menerus dilanda oleh pertengkaran, pernikahan itu justru menjadi goyang. Ibaratnya pondasi pernikahan itu makin terkikis oleh pertengkaran yang terjadi.PG : OK! Itu pertanyaan yang bagus sekali Pak Gunawan, menurut saya konflik itu sendiri bukanlah dosa, jadi konflik memang muncul secara natural karena kita harus menyesuaikan diri dengan orng yang beda dari kita.
Pertengkaran adalah usaha kita untuk mempertahankan kebenaran kita dengan emosi yang tinggi dan juga adakalanya dengan upaya untuk menyerang atau melemahkan lawan bicara kita. Konflik itu sendiri tidak berdosa dan Alkitab pun tidak memanggil itu dosa, bahkan marah sendiri pun tidak dilabelkan dosa oleh Tuhan. Kita tahu diPG : Saya adakalanya juga berkonflik, bertengkar dengan istri saya dan ini yang kami coba lakukan, waktu suami dan istri itu berkonflik atau bertengkar sudah tentu biasanya masing-masing mersa diri benar.
Nah, bagaimanakah orang yang masing-masing merasa diri benar didamaikan, akan sangat sulit sekali Pak Gunawan. Jadi yang kami coba lakukan adalah kami mencoba melihat diri masing-masing tatkala sedang bertengkar itu. Apakah waktu kami bertengkar, kami misalnya menjatuhkan satu sama lain, apakah saya mengucapkan kata-kata yang kasar, ataukah saya mengucapkan kata yang memang benar-benar sepertinya menghina dia. Nah, sejauh saya itu hanyalah mengungkapkan ketidaksenangan saya dan di mana kami berbeda, saya kira itu tidak apa-apa. Tapi sewaktu saya misalnya mulai menggunakan kata-kata yang kasar dan sebagainya kepada dia, di saat itulah saya berdosa.PG : Betul, itupun saya pelajari dari istri saya sebelum saya menikah Pak Gunawan dan Ibu Ida. Saya masih ingat kami bertengkar sewaktu kami masih berpacaran, saya masih ingat sekali itu teradi sewaktu kami masih kuliah, saya mengunjungi sekolahnya dan di situ kami berbeda pendapat dan bertengkar.
Dan dia yang memberitahu saya, dia berkata: "Kenapa kamu kalau lagi marah, kamu menyerang saya, kamu tidak membahas problemnya saja," dan di situ baru saya mengerti memang harus dibedakan antara orang dan problem.PG : Kita mempunyai waktu 24 jam itu sampai besok matahari terbenam lagi. Saya kira yang paling efektif adalah sewaktu kita bertengkar dengan pasangan kita, kita tidak mencoba untuk memaksa asangan kita mengerti apa yang sedang kita lakukan.
Kita tidak mencoba untuk membuat dia setuju dengan kita, sebab usaha-usaha itu saya rasa sering kali gagal atau sia-sia. Jadi yang lebih efektif adalah sewaktu kita akhirnya mulai bertengkar sebaiknya kita melihat apa yang sedang kita lakukan saat itu. Apakah kita mulai bertindak kasar, apakah kita mulai sepertinya menghina dia, nah bagian-bagian itulah kita mesti meminta maaf kepadanya. Jadi tadi saya sudah singgung, misalkan saya tahu saya itu berkata sesuatu yang salah bukan berkaitan dengan solusi atau masalahnya tapi dalam mengungkapkan, ekspresi diri saya marah dan sebagainya saya malah melukai dia, nah untuk hal itu saya minta maaf. Dan yang saya temukan adalah sewaktu saya atau dia meminta maaf, mengambil inisiatif meminta maaf atas cara kita bertengkar tiba-tiba seolah-olah emosi yang sedang tinggi itu langsung turun. Dan biasanya problem itu tidaklah menjadi sebesar tadi.PG : Betul, saya kira itu yang susah.
PG : Tapi saya temukan wanita juga begitu, ada pria yang mengeluh aduh istri saya tidak pernah minta maaf.
PG : Betul, saya mau menggarisbawahi yang tadi ibu Ida katakan yaitu penyangkalan diri dalam wujud kerendahan hati. Saya pernah mempunyai pengalaman seperti itu Ibu Ida, ini beberapa tahun yng lalu, kami bertengkar istri saya dan saya bertengkar.
Saya tidak tahu saat itu apa yang menjadi penyebabnya, tapi yang saya ingat adalah saya marah sekali, waktu itu kami masih di Jakarta. Saya marah sekali dan saya merasa kali ini saya tidak mau minta maaf, dia yang harus minta maaf itulah keputusan saya. Dia masuk ke kamar anak saya, saya tetap di kamar kami jadi saya sendirian di kamar mencoba untuk tidur karena itu sudah tengah malam. Saya tidak bisa tidur Bu Ida, kenapa tidak bisa tidur, karena firman Tuhan terngiang-ngiang di telinga saya yaitu dariPG : Saya jujur Pak Gunawan, saat itu tidak ada kasih sebab saya lagi jengkel.
PG : Mengingatkan, jadi motivasi saya adalah menaati firman Tuhan itu saja.
PG : Ini adalah salah satu mitos juga Pak Gunawan, apalagi di kalangan pasangan muda yang masih berpacaran, mereka acapkali berkata pokoknya cinta semuanya akan beres. Justru saya temukan tiak begitu, cinta tidak cukup untuk mempertahankan atau memelihara pernikahan, cinta mungkin cukup untuk membangun pernikahan maksudnya untuk memulainya saja cukup cinta, tapi untuk mempertahankan atau memelihara dan apa lagi menumbuhkembangkan pernikahan dibutuhkan lebih banyak faktor selain dari cinta atau kasih.
Jadi kalau misalkan kita melihat cinta itu sebagai cinta agape seperti Tuhan mencintai kita otomatis komplet, saya setuju itu memang satu-satunya yang kita perlukan. Tapi kita harus mengakui bahwa tidak semua kita mempunyai cinta agape, seperti cintanya Tuhan mencintai kita tanpa kondisi. Kita adalah manusia yang tetap memiliki tuntutan, pengharapan-pengharapan, jadi cinta kita tidak murni seperti cinta Tuhan kepada kita semua. Jadi apalagi yang diperlukan selain cinta kasih? Ada segudang hal. Pak Gunawan dan Ibu Ida sudah menikah lama bisa meng-iakan, sebetulnya ada segudang hal yang tidak berkaitan dengan cinta yang kita harus hadapi setelah menikah.PG : Bisa jadi, berkurang dalam pengertian teralihkan karena adanya kesibukan dengan anak, dan anak itu menuntut perhatian dari orang tua. Tapi biasanya kalau memang masalah belum sungguh-sugguh selesai, adanya anak hanya akan menunda pertengkaran yang akan nanti muncul kembali.
Biasanya sewaktu anak-anak sudah remaja saat itulah pertengkaran mulai muncul lagi, karena apa, setelah remaja anak-anak tidak terlalu menyita perhatian seperti waktu masih kecil, dan bahkan ada kecenderungan anak-anak pada masa remaja menyita perhatian orang tua secara negatif karena mereka mulai nakal, mulai memberontak dan sebagainya. Jadi akibatnya adalah orang tua menghadapi stres yang ditimbulkan oleh kenakalan anak remajanya. Stres ini sewaktu menekan hubungan yang memang pada dasarnya kurang kuat akan benar-benar bisa menggoyangkan pernikahan itu.PG : Betul, dan yang juga sering terjadi adalah pada masa anak remaja orang tua itu berkonflik dalam pengertian mulai membangkit-bangkitkan penyesalannya yaitu misalnya seorang suami berkata "Engkau terlalu lunak kepada anak," seorang ibu yang berkata: "Engkau terlalu keras kepada anak."
Nah, kenapa masing-masing bisa berkata begitu karena memang adanya ketidakpuasan sebelum anak itu remaja. Namun karena anak itu belum benar-benar bermasalah, konflik bisa dihindarkan. Waktu anak itu akhirnya bermasalah maka muncullah keinginan untuk mempermasalahkan pasangan kita, sebab kita merasa anak menjadi begini gara-gara ulahmu, begitu biasanya yang terjadi.PG : Nomor satu, saya kira yang perlu dilakukan berhenti mempermasalahkan pasangan kita, kita mungkin marah karena mungkin sekali pasangan kita keliru, namun setelah kita marah saya kira yan baik adalah tidak lagi membangkit-bangkitkan kesalahan pasangan kita.
Yang penting sekarang adalah apa yang harus kita lakukan dari titik ini sampai ke depan, apa yang harus dilakukan sudah pasti menyelaraskan kembali bagaimana kedua orang tua ini bisa bersatu dalam menghadapi masalah si anak. Nah, di sini memang yang nomor satu harus dipersatukan bukannya anak dengan orang tua, tapi ayah dan ibu harus bersatu dulu, kalau ayah dan ibu belum bersatu, belum sevisi, belum sependapat dalam menghadapi si anak, anak biasanya terus bermasalah jadi sangat diperlukan kesatuan orang tua.PG : Lama sekali biasanya, sebab waktu anak-anak sudah remaja dan bila memang masalah itu muncul dari hubungan orang tua yang kurang baik, sebetulnya sudah sedikit terlambat untuk bisa dikorksi karena apa, karena anak itu sudah lumayan dewasa.
Jadi untuk memutar kembali jarum jam kehidupan tidak mungkin lagi.PG : Biasanya akan membuat si anak itu hidup dalam rasa frustrasi, karena ketegangan yang bertubi-tubi dan terus berkepanjangan akan membuat daya tahannya dalam menghadapi stres makin lemah,sehingga dia memerlukan ruang gerak atau tempat untuk bisa bebas dari ketegangan ini.
Nah, biasanya dia akan lari keluar, dia akan mencari teman supaya dia lebih bisa tenang itu yang positif, yang negatif adalah justru dia akan berbuat lebih banyak masalah di luar karena dia juga marah di dalam rumah, tapi tidak bisa mengungkapkannya jadi dia akan keluar dan mengkompensasikannya itu dengan berbuat hal-hal yang lebih bermasalah lagi.PG : Saya ingin membacakan dari
PG : Betul, betul.
GS : Saya setuju sekali dengan apa yang Ibu Ida katakan. Jadi demikianlah tadi saudara-saudara pendengar kami telah persembahkan sebuah perbincangan seputar kehidupan keluarga khususnya tentang masalah-masalah mitos yang berkaitan dengan konflik di dalam kehidupan rumah tangga, bersama Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Dan bagi Anda yang berminat untuk melanjutkan acara tegur sapa ini, silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK Jl. Cimanuk 58 Malang. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.
Ringkasan:
Hidup di dalam Tuhan tidaklah senantiasa berarti bebas dari problem, hidup dalam pernikahan memang benar-benar memberikan peluang bagi kita untuk berkonflik. Karena konflik itu sendiri adalah perbedaan pendapat atau perbedaan pandangan.
Mitos yang seringkali muncul dalam pernikahan yaitu:
Pernikahan itu dijodohkan Tuhan dan diberkati Tuhan, seharusnya tidak ada lagi konflik dalam hubungan pernikahan.
Konflik akan memperkuat pernikahan, jadi konflik dilihat sebagai sesuatu yang positif.
Cinta merupakan satu-satunya pengikat hubungan pernikahan.
Perbedaan antara konflik dan pertengkaran adalah kalau konflik sering kali diartikan beda pandangan. Sementara pertengkaran adalah kita dengan emosi yang tinggi mengeluarkan pendapat kita dan mulai menyerang pasangan kita.Pertengkaran sebetulnya tidaklah membawa hal yang positif di dalam pernikahan. Konflik yang terus-menerus dilanda oleh pertengkaran mengakibatkan pondasi pernikahan terkikis. Cinta tidak cukup untuk mempertahankan atau memelihara pernikahan, cinta mungkin cukup untuk membangun pernikahan maksudnya untuk memulai saja cukup cinta, tapi untuk mempertahankan atau memelihara dan apalagi menumbuhkembangkan pernikahan dibutuhkan lebih banyak faktor selain dari cinta atau kasih.
Jadi ditekankan kalau kita ada masalah dengan yang lain, kita ini seyogyanyalah memimpin dengan lemah lembut bukan menghancurkan atau menyerang.
Questions:
GS : Sejauh itu tidak diwarnai dengan perasaan-perasaan yang negatif tadi Pak Paul, tapi itu 'kan sulit untuk menghindari hal itu, kalau misalnya saya konflik dengan istri saya, sampai sejauh mana saya bisa mengontrol perasaan itu tadi Pak Paul?
GS : Mungkin itu yang Pak Paul katakan bahwa yang kita serang itu adalah masalahnya, yang berbeda itu kita selesaikan tapi kita tidak menyerang orangnya yang bisa menimbulkan sakit hati pada pihak yang lain.
GS : Yang sulit dihindari lagi adalah bagaimana kita itu membuat konflik tidak berlarut-larut. Tadi Pak Paul mengambil ayat dari Efesus yang mengatakan harus diselesaikan sebelum matahari terbenam. Nah, biasanya konflik itu justru terjadinya mungkin malam hari karena kalau pagi hari kami tidak sempat membahas banyak masalah Pak Paul, pagi-pagi istri saya juga sibuk, kemudian saya juga mesti ke kantor terus kerja sampai sore. Nah, sore itu justru banyak masalah yang muncul, itu bagaimana Pak Paul?
GS : Terutama oleh kaum pria ini Pak Paul.
GS : Tapi sebenarnya unsur yang mendorong Pak Paul sampai mau datang ke kamar sebelah itu tadi menemui istri, sebenarnya 'kan ada sesuatu kekuatan Pak Paul, apa itu yang disebut kasih terhadap pasangan kita atau apa Pak Paul?
GS : Tapi firman Tuhan yang tadi tergiang-ngiang itu mengingatkan.
GS : Kalau begitu Pak Paul, anggapan bahwa kasih itu merupakan satu-satunya yang mengikat hubungan pernikahan itu bagaimana?
GS : Ada yang beranggapan juga bahwa faktor keturunan, jadi kalau kita sudah mempunyai anak-anak konfliknya menjadi makin berkurang Pak Paul?
GS : Itu akan lebih sukar dalam penyelesaian konflik kalau yang menjadi obyek ini anak kita yang sama-sama kita kasihi daripada suatu barang atau apa. Tapi penyelesaiannya bagaimana Pak Paul?
GS : Konflik-konflik jenis ini yang tidak bisa selesai dalam semalam Pak Paul?
GS : Tapi pasangan suami-istri yang sering kali konflik di depan anak mereka, apa dampaknya bagi anak Pak Paul?
GS : Berarti pasangan-pasangan suami-istri Kristen ini juga tidak kebal terhadap konflik Pak Paul,jadi walaupun diberkati di gereja tetap bisa terjadi konflik. Konflik itu juga tidak selalu memperkuat pernikahan, bisa menghancurkan kalau tidak diselesaikan dengan baik. Apakah ada ayat Alkitab yang Pak Paul siapkan untuk itu?
GS : Saya setuju sekali dengan apa yang Ibu Ida katakan. Jadi demikianlah tadi saudara-saudara pendengar kami telah persembahkan sebuah perbincangan seputar kehidupan keluarga khususnya tentang masalah-masalah mitos yang berkaitan dengan konflik di dalam kehidupan rumah tangga, bersama Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Dan bagi Anda yang berminat untuk melanjutkan acara tegur sapa ini, silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK Jl. Cimanuk 58 Malang. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.