Mekanisme Pertahanan Diri (II)
Sumber: telaga
Id Topik: 2007
Abstrak:
Di bawah tekanan kecemasan yang berlebihan, seseorang bisa terpaksa menempuh cara-cara ekstrem untuk menghilangkan tekanan.Cara-cara itu disebut mekanisme pertahanan diri.Meskipun mekanisme pertahanan diri adalah normal dan digunakan oleh semua orang, namun bila digunakan secara ekstrem atau berlebihan, mekanisme ini menyebabkan perilaku kompulsif dan neurotik.Perbincangan kali ini membahas 26 macam mekanisme pertahanan diri.Apa saja itu?Transkrip:
OlehEv. SindunataKurniawan, MK
Saudara–saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Acara ini diselenggarakan oleh Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK bekerja sama dengan radio kesayangan Anda ini. Saya, Heman Elia, akan berbincang-bincang dengan Bapak Sindunata Kurniawan. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling dan keluarga. Perbincangan kami kali ini adalah tentang "Mekanisme Pertahanan diri"bagian yang kedua. Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian, dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
HE : Pak Sindunata, pada waktu yang lalu kita sudah pernah berbincang-bincang mengenai mekanisme pertahanan diri ini.Sekadar mengingatkan pendengar bahwa mekanisme pertahanan diri ini ada beberapa sifat misalnya kurang disadari dantimbul dari kecemasan misalnya karena adanya serangan sehingga menuntut kita untuk bertahan.
SK : Iya.
HE : Dan pada waktu yang lalukita sudah membahas ada tiga jenis mekanisme pertahanan diri ini, ya Pak, yaitu represi, proyeksi dan intelektualisasi. Pak Sindunata, apakah masih ada jenis mekanisme pertahanan diri yang lain?
SK : Jenis yang keempat adalah rasionalisasi, Pak Heman.
HE : Rasionalisasi itu seperti apa, Pak?
SK : Rasionalisasi berasal dari kata"rasio" yang berarti sesuatu yang masuk akal. Jadikata"rasionalisasi"berarti merupakan usaha untuk membuatnya kedengaran rasional atau masuk akal. Ini sebuah proses dimana orang kedapatan sangat mungkin bersalah, tapi kemudian dia berusaha untuk membenarkan diri dengan penjelasan-penjelasan yang masuk akal. Inilah rasionalisasi itu, Pak Heman.
HE : Seperti apa contohnya dalam kehidupan sehari-hari, Pak?
SK : Yang paling umum, misalnya orang terlambat datang ke sekolah atau terlambat masuk kerja. "Kenapa terlambat lagi?" "Ya bagaimana, Pak, macet sekali, apalagi ada kecelakaan sehingga tambah macet."
HE : Oke. Rupanya dia mencari penjelasan yang masuk akal, ya Pak?
SK : Ya.
HE : Ada satu peristiwa atau kesalahan, kemudian orang itu berusaha mencari alasannya.
SK : Betul. Dan alasan itu dibuat, dalam bahasa teknisnya, terjadi pendistorsian fakta atau kenyataan. Artinya kenyataan objektif yang terjadi itu dipelintir supaya kedengaran masuk akal. Padahal mestinya dia terlambat karena berangkat kurang awal, sudah tahu macet kenapa tidak datang lebih awal. Dan mungkin juga kecelakaan itu sebenarnya tidak terlalu mengganggu. Tapi dia akan berusaha pertegas supaya alasan untuk terlambat itu benar-benar sangat bisa diterima oleh sang guru atau atasan.
HE : Masalahnya kadang kita memang terlambat karena alasan yang masuk akal. Bagaimana kita bisa membedakan kedua hal ini, Pak ?
SK : Penjelasan yang masuk akal dan yang dibuat terkesan masuk akal memang beda tipis. Memang bergantung pada segi motif kita, artinya hati kita akan berbicara, apakah memang demikian atau karena kita benar-benar berangkat dari rasa bersalah yang begitu besar dan cemas, lalu muncul mekanisme pertahanan diri ini. Sesuatu yang tidak ada kita adakan. Inilah yang membedakan antara yang masuk akal dan yang dibuat masuk akal. Yang dibuat masuk akal memang mengarah kepada kebohongan. Ada fakta yang diubah atau didistorsi. Terjadi semacam pelemparan tanggung jawab, yang salah bukan saya tapi kondisi ini atau orang itu. Inilah yang melatari rasionalisasi. Sementara kalau bukan rasionalisasi, penjelasannya memang apa adanya,masih akan nampak sisi tanggung jawab yang dia tunjukkan.
HE : Tanggung jawab dengan kata lain lebih rela atau lebih bisa mengakui kesalahan sendiri ya, Pak?
SK : Betul.
HE : Tentu saja ada orang yang merasa bersalah. Nah, sehubungan dengan rasa bersalah dan mungkin hal ini juga kurang disadari, bagaimana menjelaskannya Pak? Orang itu berusaha memberikan alasan lalu Bapak katakan tadi setengah berbohong ya, tapi juga tidak disadari.
SK : Itu ‘kan berangkat dari faktor kecemasan. Poin-nya adalah kenapa terjadi rasionalisasi? Karena secara alami kita memunyai keinginan untuk menghindari konsekuensi atau akibat dari kesalahan yang kita buat, sehingga kita dengan memberanikan diri membuat alasan yang kedengaran logis supaya bisa dipandang ringan atau bahkan terbebas dari konsekuensi sanksi atau hukuman. Jadi berangkat dari sikap hati. Kalau kita berangkat dari sikap hati yang siap menanggung konsekuensi-dimarahi, dihukum, diskorsing-maka itu akan membuat kita sudah berdamai dari awal dan kita akan condong memberi alasan apa adanya. "Iya, memang ada kemacetan ada kecelakaan. Tetapi memang semestinya saya berangkat lebih awal supaya tidak perlu berhadapan dengan kemacetan dan kecelakaan di jalan itu".
HE : Memang ini kaitannya dengan kecemasan. Rupanya kecemasan ini karena kita berhadapan dengan serangan dan reaksi-reaksi kecemasan ini terjadi dengan kurang disadari. Juga karena didorong oleh kecemasan, kita berbohong.
SK : Kenapa cemas? Karena kita takut dengan konsekuensi. Seandainya kita tidak takut dengan konsekuensi, tapi bukan berarti ‘bondo nekat’ (bonek), artinya kita siap menanggung konsekuensi dari kesalahan saya, maka dengan sendirinya kita sudah punya kecemasan yang lebih rendah atau kesiapan menerima sanksi atau konsekuensi. Dengan demikian, karena siap maka kecemasannya lebih rendah, kita condong tidak terlalu cepat merasionalisasi, tapi kita akan memberikan penjelasan apa adanya bahkan mungkin tidak memberi alasan lagi. "Memang saya salah karena tidak berangkat lebih awal." Sudah, tidak ada alasan ini dan itu lagi.
HE : Iya kalau melihat ini, rasionalisasi ini kurang sehat secara psikologis maupun secara rohani.
SK : Iya. Hal itu ketika terlalu sering kita lakukan. Memang kita tidak bisa di satu sisi menjadi orang yang sama sekali tidak punya pertahanan diri. Misalnya berhadapan dengan orang yang berniat jahat. Secara alami kita condong untuk membuat alasan agar kita terlindungi, itu reaksi manusiawi. Kalau orang sama sekali tidak punya mekanisme pertahanan diri juga tidak sehat. Tapi ketika rasionalisasi ini menjadi kebiasaan yang terus menerus, artinya kita bukan orang yang bertanggung jawab, tapi menjadi orang yang suka melempar tanggung jawab. Ini yang bermasalah. Kalau sesekali dilakukan itu sangat manusiawi, masih ada ruang toleransi. Tapi ketika menjadi kebiasaan yang berulang-ulang kita lakukan, inilah yang tidak sehat.
HE : Selain rasionalisasi, apakah ada jenis mekanisme pertahanan diri yang bentuknya lain?
SK : Jenis yang kelima yaitu pembentukan reaksi atau bahasa Inggrisnya Reaction Formation. Kita mengenal adanya aksi dan reaksi. Jadi setelah adanya aksi maka dibentuklah suatu reaksi. Ini merupakan suatu cara pertahanan diri dengan menyembunyikan diri atau menyamarkan diri dalam selubung yang sama sekali bertentangan dengan bentuk semula. Misalnya, aslinya sangat benci kepada orangtua. Tapi apa kata orang kalau tahu saya membenci orangtua saya? "Ih keterlaluan sekali!" karena cemas, akhirnya dia berusaha menyembunyikan, menyamarkan rasa benci itu dengan bentuk yang berseberangan atau bertentangan dengan kebencian, yaitu cinta, maka dia akan menunjukkan kepada orangtua yang dibencinya itu rasa cinta.
HE : Bapak katakan ada rasa benci, misalnya benci kepada orangtua. Bapak juga menyebutkan ada kecemasan karena rasa benci ini bisa menimbulkan kecemasan. Bisakah Bapak jelaskan bagaimana hubungan antara benci dan cemas ini?
SK : Benci adalah fakta keadaan diri, perasaan yang sesungguhnya. Tapi ketika perasaan itu hendak diungkapkan untuk diketahui orang lain, menimbulkan rasa takut dan cemas, nanti orang lain menganggap saya buruk. Karena takut ditolak, maka muncul rasa cemas itu.
HE : Hubungannya dengan penilaian orang lain, ya?
SK : Tepat.
HE : Selain pembentukan reaksi misalnya benci yang dinyatakan dengan cinta, apakah ada contoh lain, Pak?
SK : Saya tambahkan, pembentukan reaksi ini sangat terlihat selain karena bentuk yang sama sekali bertentangan dengan aslinya, yang kedua, tampilannya berlebihan. Orang bisa lihat, cintanya kok seperti tidak asli atau apa adanya. Cium pipi kiri kanan, terlalu memuji-muji, bahkan kesannya membual, seperti tidak wajar. Berangkat dari penyamaran, penyembunyian atau penipuan, akhirnya tampilannya berlebihan. Bahkan tampilannya seperti obsesif kompulsif. Artinya diulang-ulang menjadi hal yang berulang-ulang, berlebihan, dan kesannya tidak alami. Inilah ciri dari pembentukan reaksi, Pak Heman. Orang yang menerima perlakuan ini, misalnya ibu, akan merasa anaknya berlebihan. Orang lain yang melihat juga bisa merasakan ketidakwajarannya. Itulah pembentukan reaksi.
HE : Salah satu yang bisa membuat kita membedakan mana yang asli mana yang mekanisme pertahanan diri.
SK : Ya. Mekanisme pertahanan diri memang berangkat dari ketidaktulusan.
HE : Tadi Bapak juga katakan misalnya bentuknya kebohongan, ya.
SK : Ya. Orang tersebut malah membanjiri orang yang dia benci dengan perhatian yang berlebihan. Ciri yang lain, misalnya kita saksikan pada anak usia 7 – 11 tahun. Secara alami, anak laki-laki diusia ini condong dengan penuh keyakinan akan menceritakan betapa buruknya dan betapa tidak menyenangkan teman-teman perempuannya. Tapi kita sebagai orang dewasa bisa geli melihat cara anak laki-laki itu mengekspresikan rasa tidak sukanya kepada anak perempuan. Sesungguhnya justru saking sukanya dengan anak perempuan itu, tapi karena malu untuk menampilkan rasa suka itu, malah dia memunculkan pernyataan dan sikap rasa benci terhadap anak perempuan. Ini bagian dari tahap perkembangan anak, Pak Heman. Sepertinya menjauh, tapi sebenarnya ingin dekat. Tapi kalau mendekat, dia malu. Daripada malu dan dipermalukan, dia menunjukkan sikap yang ekstrem, "Aku benci. Aku tidak suka!" padahal dalam hati dia mengharapkan dekat.
HE : Pak Sindu, saya pernah mendengar ada istilah bahkan dibuat sebuah lagu
"Benci Tapi Rindu". Ini semacam pembentukan reaksi ya, Pak?
SK : Betul, Pak Heman.
HE : Pak Sindu, apakah ada contoh lain lagi yang bisa menggambarkan pembentukan reaksi ini?
SK : Dalam bentuk lain, misalnya orang yang punya dorongan homoseksual dalam dirinya. Karena dia merasa tidak bisa menerima itu, takut apa kata orang lain kalau sampai ketahuan, akhirnya berubah menjadi penentang kaum gay atau lelaki penyuka lelaki. Dia sangat aktif menentang gerakan kaum gay padahal dalam dirinya sebenarnya memiliki dorongan homoseksual juga. Tapi dia berusaha menolaknya, takut, sehingga dia malah menjadi ekstrem menentang kaum gay yang berkembang di suatu daerah, kota atau negara. Itu juga salah satu contoh pembentukan reaksi.
HE : Saya masih ingat, ternyata ada juga yang sangat menentang korupsi, ternyata dia sendiri tertangkap karena korupsi. Apakah itu termasuk pembentukan reaksi?
SK : Betul! Justru ini yang membuat orang sangat kecewa. "Dia aktif di kegiatan beragama, berkoar-koar pentingnya kepemimpinan bersih bebas KKN, eh ternyata dia salah satu pelaku."
HE : Ini berbeda atau sama dengan kemunafikan?
SK : Ada kemiripannya, Pak Heman. Perbedaannya mungkin dari sisi penekanan. Kalau pembentukan reaksi, sebuah hal yang berangkat dari kecemasan dan ada proses yang tidak disadari. Tekanannya disana. Sementara kemunafikan itu ada kemungkinan disadari. Relaks, dia menikmatinya. Tidak ada hal yang bersifat spontan. Tetapi sesuatu yang sudah direncanakan. Pembentukan reaksi bukan hasil perhitungan rancangan, tapi proses yang refleks dan tidak disadari. Ketika disadari, mungkin bisa masuk ke pasal kemunafikan. Begitu, Pak Heman.
HE : Saya makin mengerti bedanya antara yang disadari dan direncanakan dengan yang tidak disadari. Antara kecemasan dengan yang dilakukan dengan sengaja. Apakah masih ada jenis yang lain lagi?
SK : Jenis keenam adalah pemindahan atau pengalihan. Dalam bahasa Inggris disebut displacement. Dari kata itu kita bisa mengerti bahwa ada pemindahan pengalihan dorongan-dorongan yang tidak dikehendaki atau yang tidak sesuai ini dari objek aslinya dipindahkan kepada sejumlah orang atau objek yang berbeda. Dalam hal ini sebenarnya mirip dengan pembentukan reaksi. Kalau pembentukan reaksi, diubah bentuknya secara ekstrem tapi dikenakan pada satu orang. Misalnya benci pada orangtua diganti cinta yang berlebihan pada orangtua. Tetapi pemindahan atau pengalihan ini, tampilannya beda dari benci menjadi cinta atau dari cinta menjadi benci, tapi sasarannya kepada pribadi atau sosok yang berbeda.
HE : Oke, karena itu dinamakan pemindahan. Sedangkan pembentukan reaksi itu objeknya sama.
SK : Ya. Bedanya disana.
HE : Contohnya ada seorang yang marah pada teman sekamarnya. Tapi dia sungkan untuk mengekspresikan kemarahannya pada teman sekamar ini, karena mungkin merasa sudah terlalu banyak menerima kebaikan darinya. Karena ada kecemasan untuk diekspresikan kepada pribadi yang membuatnya marah ini, maka secara tidak sadar dia alihkan rasa marahnya pada orang lain, misalnya pada orang yang bekerja di rumah itu, pada bonekanya, pada anjing peliharaannya. Tapi pada teman yang membuatnya marah itu dia tetap baik, santun, walau sebetulnya marah dan benci. Karena cemas bila diekspresikan apa adanya, jadi dia alihkan kepada pribadi atau benda-benda yang lain.
HE : Ini banyak terjadi, Pak. Misalnya orangtua bertengkar, anak bisa jadi sasaran ya.
SK : Betul.
HE : Padahal ini masalah orangtua yang seharusnya bisa dibatasi.
SK : Betul. Misalnya, biasanya anak bebas bermain di ruang keluarga. Tapi karena suami-istri baru bertengkar, keluar kamar lalu melihat anaknya, "Kamu kok main disini?! Ayo kesana. Kamu kok nakal ya!" anaknya bingung, biasanya tidak apa-apa main disana. Rupanya terjadi pengalihan kemarahan yang masih menyala-nyala ini akhirnya terlampiaskan kepada anak.
HE : Ini tentang kemarahan ya, Pak. Apakah mungkin ada emosi lain yang juga sering orang pindahkan?
SK : Umumnya kemarahan ya, Pak. Kemarahan dan emosi-emosi negatif. Kecenderungannya itu marah, benci, jengkel, naik pitam, sakit hati. Memang condongnya emosi negatif yang kalau diekspresikan kepada yang bersangkutan, dia akan merasa tidak nyaman. Contohnya dimarahi habis-habisan oleh atasan. Kalau marah dibalas marah ‘kan bisa dipecat. Jadi diterima dan ditahan saja. Tapi karena masih marah, ketika ketemu bawahannya dia marah kepada bawahannya itu. Bawahannya juga jengkel tapi tidak bisa melawan, dia pulang ke rumah marah ke istri. Istrinya jengkel karena suaminya pulang marah-marah tanpa sebab, akhirnya istri yang menyimpan kemarahan ini bertemu anaknya yang baru pulang bermain. Anaknya dimarahi. Anaknya jengkel, lalu menendang anjing kesayangannya. Itulah pengalihan.
HE : Jadi tidak ada habis-habisnya ya! Kebanyakan ini bicara tentang kemarahan ya.
SK : Betul.
HE : Apakah ada contoh yang lain, Pak?
SK : Ya. Dalam contoh lain misalnya peristiwa ketika orang ada rasa kemarahan, mungkin kemarahan itu karena tersimpan belum tersampaikan kepada pribadi yang lain, bisa jadi teralihkan dalam bentuk mimpi, Pak Heman. Jadi pembentukan mimpi. Ada sisi yang bersinggungan dengan represi yang pernah kita bahas ya. Represi itu menekan, menahan, karena kita cemas untuk ceritakan kepada orang lain jadi kita simpan dan ketika tidur alam kesadaran kita ‘kan mulai kendor, akhirnya muncul dalam bentuk mimpi. Misalnya dia mimpi anjing ketabrak mobil. Padahal itu kemungkinan sebuah simbolisasi harapan kepada orang yang dia marahi itu, misal orangtua, harapannya biar orang itu celaka, kena akibatnya karena menyakiti dia. Pemindahan bisa beralih dalam bentuk mimpi.
HE : Kalau misalnya orang sering dilanda mimpi buruk, lalu misalnya tidurnya tidak nyenyak, jangan-jangan bisa karena mekanisme pertahanan diri ini, ya?
SK : Iya, Pak Heman.
HE : Saya juga masih ingat pernah seorang anak bercerita bahwa dia seperti dicari-cari kesalahannya oleh gurunya, tapi dia tidak bisa menghindar dari gurunya. Suatu kali dia cerita bahwa gurunya ini bunuh diri. Apakah ini juga semacam displacement ini?
SK : Iya. Bisa demikian. Bisa menjadi suatu bentuk harapan. Harapan yang tidak bisa diwujudkan akhirnya tercetus dengan kata-kata yang seperti itu atau mimpi yang seperti itu.
HE : Wah, dampak dari mekanisme pertahanan diri ini ternyata panjang dan banyak bervariasi ya, Pak?
SK : Betul, Pak Heman.
HE : Dan kebanyakan kalau hal ini berlebihan, akan membuat kita tidak sehat. Pak Sindunata, apakah ada ayat firman Tuhan yang bisa menjadi pegangan kita?
SK : Saya bacakan dari Amsal 9:8-9, "Janganlah mengecam seorang pencemooh supaya engkau jangan dibencinya. Kecamlah orang bijak, maka engkau akan dikasihinya. Berilah orang bijak nasihat, maka ia akan menjadi lebih baik. Ajarilah orang benar, maka pengetahuannya akan bertambah."Jadi berdasarkan nasihat Pengamsal, kita perlu mengembangkan sikap mau menerima masukan, umpan balik, nasihat, mau diajari. Dengan demikian, maka kita akan bertumbuh menjadi orang bijak dan orang benar. Orang bijak dan orang benar akan mengalami suatu keadaan dimana mekanisme pertahanan dirinya akan lebih banyak berkurang dan dia menjadi pribadi yang sehat.
HE : Pak Sindunata, terima kasih atas perbincangan kita kali ini dan kita akan lanjutkan perbincangan ini pada kali berikutnya.Para pendengar sekalian, terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan BapakSindunata Kurniawan dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga).Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Mekanisme Pertahanan Diri" bagian kedua. Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini, silakan menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK, Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat mengirimkan e-mail ke alamat telaga@telaga.org.Kami juga mengundang Anda untuk mengunjungi situs kami di www.telaga.org.Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara Telaga yang akan datang.
Ringkasan:
Mekanisme pertahanan diri yang sudah dibahas adalah represi, proyeksi dan rasionalisasi. Kini akan kita lanjutkan dengan membahas tiga lagi yaitu :
4. RASIONALISASI
Melalui rasionalisasi, orang mengakui perilakunya, tetapi mendistorsi motif yang mendasarinya. Perilaku diterjemahkan ulang sehingga tampak rasional dan dapat diterima. Lewat rasionalisasi kenyataan menjadi tidak lagi memberi kesan menakutkan. Kita kerap melakukan hal ini secara sadar ketika kita mencoba memaafkan diri sendiri dari kesalahan dengan menyalahkan orang lain. Bagi orang yang memiliki ego sensitif, menyalahkan orang lain begitu mudah dilakukan. Lewat rasionalisasi orang dengan mudah membohongi diri sendiri. Rasionalisasi memungkinkan manusia melakukan tindakan-tindakan paling kejam atas nama cinta. Kita dapat bersikap bermusuhan pada saat menyatakan cinta dan tidak bermoral ketika mengejar moralitas.
5. PEMBENTUKAN REAKSI
Pembentukan reaksi terjadi ketika seseorang tanpa sadar menyamarkan dorongan dari dalam dirinya yang tidak bisa diterima secara norma sosial dengan mengekspresikan kebalikannya. Perilaku reaktif ini tampak dalam perilaku yang bisa diterima secara sosial, namun tampak bisa kaku, dan berlebih-lebihan.
Contoh: seorang perempuan muda yang sangat marah dan benci pada ibunya. Karena masyarakat menuntut anak untuk sayang pada orang tuanya, maka kesadaran akan rasa benci pada sang ibu, membuatnya merasakan kecemasan yang besar. Guna menghindari rasa sakit akibat kecemasan tersebut, maka perempuan muda ini berkonsentrasi pada dorongan-dorongan yang sebaliknya—cinta, Akan tetapi, "cinta"-nya pada sang ibu tidaklah tulus. Cintanya terlalu ditonjolkan, dibesar-besarkan dan dibuat-buat. Orang lain bisa dengan mudah melihat perasaan yang ada di balik rasa cintanya.
6. PEMINDAHAN atau PENGALIHAN
Berbeda dengan pembentukan reaksi yang terbatas hanya pada satu objek tunggal, pada pemindahan atau pengalihan (displacement), orang bisa mengarahkan dorongan-dorongan yang tak sesuai ini pada sejumlah orang atau objek sehingga dorongan aslinya terselubung atau tersembunyi. Misalnya, seorang perempuan yang marah pada teman sekamarnya bisa mengalihkan rasa marahnya kepada para pegawainya, anjing peliharaannya atau boneka miliknya. Ia akan tetap bersikap ramah pada teman sekamarnya. Akan tetapi, berbeda dengan pembentukan reaksi, sikap ramah tersebut tidak diungkapkan secara berlebihan atau dibesar-besarkan.
Dampak dari mekanisme pertahanan diri ini ternyata panjang dan banyak bervariasi. Ayat firman Tuhan yang bisa menjadi pegangan adalah Amsal 9:8-9, "Janganlah mengecam seorang pencemooh supaya engkau jangan dibencinya. Kecamlah orang bijak, maka engkau akan dikasihinya. Berilah orang bijak nasihat, maka ia akan menjadi lebih baik. Ajarilah orang benar, maka pengetahuannya akan bertambah." Jadi berdasarkan nasihat Pengamsal, kita perlu mengembangkan sikap mau menerima masukan, umpan balik, nasihat, mau diajari. Dengan demikian, maka kita akan bertumbuh menjadi orang bijak dan orang benar. Orang bijak dan orang benar akan mengalami suatu keadaan dimana mekanisme pertahanan dirinya akan lebih banyak berkurang dan dia menjadi pribadi yang sehat.