BETA
Masalah Ego Pria
Sumber: telaga
Id Topik: 1970

Abstrak:

Sebenarnya istilah ego berarti diri.Namun dalam perkembangannya, istilah ini dipakai untuk merujuk kepada sikap mementingkan diri. Dalam pembahasan kali ini penggunaan istilah ego diartikansebagai sesuatu yang kita kenali sebagai diri. Secara khusus saya akan menyoroti hal ego pada pria, yang sayangnya kerap berkonotasi negatif, terutama bila dikaitkan dengan keluarga. Apa yang perlu kita ketahui tentang ego atau diri pria?

Transkrip:

Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling. Perbincangan kami kali ini tentang Masalah Ego Pria. Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.



GS : Pak Paul, kita sering mendengar kata ego. Tapi sebenarnya pengertian yang jelas atau yang mau kita perbincangkan saat ini, pengertian ego itu seperti apa ?



PG : Ego berarti diri. Namun dalam perkembangannya istilah ini lebih sering dipakai untuk merujuk pada sikap lebih mementingkan diri. Dalam pembahasan kali ini saya akan menggunakan istilah ego sebagai sesuatu yang kita kaitkan dengan dan kita kenali sebagai diri. Secara khusus memang saya akan menyoroti hal ego pada pria yang sayangnya kerap berkonotasi negatif, terutama bila dikaitkan dengan keluarga.



GS : Jadi sebenarnya semua orang baik pria maupun wanita itu memunyai ego. Tapi kali ini kita berbicara tentang ego pada pria?



PG : Betul.



GS : Kalau seseorang dikatakan egois, pengertiannya seperti apa, Pak ?



PG : Sekarang memang kita mengaitkan sikap egois dengan sikap mementingkan diri.



Tapi sebenarnya kata ego hanya berarti diri. Tapi kata egois berarti mementingkan diri.



GS : Banyak orang salah menafsirkan ketika Tuhan mengatakan bahwa kita harus mengasihi orang lain seperti mengasihi diri sendiri. Apakah ini terkait dengan ego, Pak Paul ?



PG : Tidak sama sekali terkait. Dalam pengertian kita mengasihi diri tidak berarti kita egois. Yang Tuhan maksudkan dengan perintah itu adalah jangan sampai kita kurang mengasihi orang. Sebab asumsinya orang pertama yang paling kita kasihi adalah diri kita sendiri. kalau ada apa-apa bukankah kita ingin melindungi diri sendiri. Waktu kita punya kebutuhan bukankah kita ingin mendahulukan kebutuhan kita sendiri. Tuhan meminta kita mengasihi orang lain sebesar itu. Memang tujuannya adalah supaya kasih kita itu tidak lebih terbatas sewaktu kita mengasihi orang.



GS : Jadi ego tidak melekat pada diri seseorang ketika dia lahir, Pak Paul ? Atau tumbuh perlahan-lahan sesuai dengan perkembangan jasmaninya ?



PG : Tentu ada bawaan yang diwarisi dari orang tuanya. Misalnya ada orang yang dari kecil membawa sikap keras kepala, kelembutan dan sebagainya. Itu berperan besar dalam pembentukan dirinya. Nantinya pembentukan itu terjadi di dalam rumah. Apa yang didengarnya, diterimanya, dari orang tua dan kakak adiknya, kemudian



waktu dia bersekolah dia akan mendapatkan hal yang sama dari guru dan teman- temannya. Semua itu nanti menjadi atau membentuk diri atau ego di dalam orang tersebut.



GS : Jadi apa yang ingin Pak Paul sampaikan mengenai ego seseorang itu apa ?



PG : Yang pertama adalah bahwa ego pria terbentuk lewat perlakuan lingkungan. Jadi, saya jelaskan. Pada masa kecil ego pria terbentuk dalam relasinya dengan orang tua. Setelah itu ego pria terbentuk lewat interaksinya dengan teman dan guru di sekolah. Pada umumnya lingkungan keluarga maupun guru dan teman di sekolah, memerlakukan anak laki-laki sebagai diri yang kuat dan tangguh. Itu sebab mulai dari permainan sampai olahraga untuk anak laki-laki hampir semua bersifat fisik dan menuntut ketahanan serta kekuatan. Sudah tentu perlakuan dan tuntutan lingkungan tidak salah. Kelebihan kekuatan fisik pria membuatnya cocok berperan sebagai sosok pelindung wanita dan anak-anak. Juga kelebihan fisik pria menjadikannya sanggup melakukan pekerjaan berat guna menafkahi keluarga. Tidak heran, sejak kecil lingkungan memersiapkan anak laki-laki untuk menjadi kuat dan tangguh sehingga akhirnya mampu mengemban peran sebagai pelindung dan pencari nafkah bagi keluarga.



GS : Memang secara fisik anak laki-laki kelihatan lebih kokoh daripada wanita yang lebih lemah gemulai. Tapi faktanya setelah menjadi besar, apakah memang laki- laki lebih kuat daripada perempuan ?



PG : Saya kira secara kekuatan kasar iya Pak Gunawan. Misalnya mengangkat barang yang berat. Kita juga tahu prestasi olahraga dalam bidang olahraga yang sama, pria selalu melampaui wanita, misalkan lari, angkat besi dan sebagainya. Namun kalau kita membicarakan tentang ketahanan fisik, kesehatan tubuh dan sebagainya sudah tentu belum tentu sama. Kita tahu banyak wanita yang bisa berumur lebih panjang daripada pria. Tapi secara kekuatan kasar paa umumnya pria memang lebih kuat daripada wanita.



GS : Jadi ego seseorang itu dikondisikan oleh lingkungannya, Pak Paul ?



PG : Ya. Jadi apa yang diterima oleh lingkungan akhirnya juga membentuk dia. Apa yang diharapkan oleh orang tuanya, apa yang diharapkan oleh teman-temannya, bahwa dia harus menjadi kuat dan tangguh akhirnya membentuk dia sebagai laki- laki yang kuat dan tangguh. Dalam prakteknya untuk menjadi kuat dan tangguh, anak laki-laki dibentuk untuk tidak mudah ambruk dalam tekanan dan dapat bertahan dalam penderitaan. Kira-kira demikian. Jadi tidak mudah ambruk dalam tekanan dan bertahan dalam penderitaan. Anak laki-laki dibentuk supaya tidak gampang menyerah sebesar apapun rintangan yang mesti dihadapi. Itu sebab setelah besar anak laki-laki mempunya sebuah ego atau diri yang kuat dan tangguh. Yang artinya adalah tidak mudah ambruk, tidak gampang menyerah dan tahan menderita. Kira-kira itu yang dicoba dicapai oleh lingkungan dalam membentuk seorang anak laki-laki atau ego laki-laki. Hasil akhirnya, ego laki-laki itu menjadi kuat dan tangguh, tidak mudah ambruk, tidak gampang menyerah dan tahan menderita.



GS : Dengan cara bagaimana lingkungan membentuk anak supaya tangguh, kuat, tidak mudah menyerah, Pak Paul ?



PG : Misalnya kalau anak itu berkata, Aduh aku tidak bisa ikut olahraga ini. Biasanya guru akan berkata kamu pasti bisa, kamu anak laki-laki. Misalnya main sepakbola, anak itu berkata,Saya tidak suka main sepakbola. Dijawab, Oh tidak. Kamu anak laki-laki mesti bisa main sepakbola. Misal hal seperti itu. Anak laki- laki memang diarahkan untuk menjadi kuat dan tangguh. Sebab tidak bisa kita sangkal memang fungsi pria adalah untuk mencari nafkah bagi keluarga dan untuk melindungi keluarganya. Dan untuk itu diperlukan kekuatan serta ketangguhan.



GS : Tapi 'kan ada anak yang sejak kecil sudah sakit-sakitan sehingga sulit dipengaruhi atau dipaksakan seperti itu. Bagaimana itu, Pak Paul ?



PG : Maka anak laki-laki yang tidak bisa mencapai standart itu atau memenuhi harapan



itu, tidak bisa tidak pada masa remaja seringkali mengalami krisis. Krisis jati diri. Karena dia mungkin akan diejek teman-temannya, kamu kok tidak bisa, kamu kok penakut, kamu kok seperti perempuan dan sebagainya. Jadi akhirnya anak laki-laki itu mengalami krisis kepercayaan diri. Tapi sebetulnya kita harus mengerti orang itu tidak sama. Tidak semua anak laki-laki senang dengan permainan yang kasar. Ada anak laki-laki yang senang dengan permainan yang tenang dan tidak ada kontak fisik. Tapi kita mengerti beginilah masyarakat dimana kita tinggal, bukan hanya di Indonesia, di mana-mana sama, kebanyakan orang mengharapkan anak laki-laki untuk kuat dan tangguh.



GS : Yang lainnya apa Pak Paul ?



PG : Hal kedua tentang ego pria yang perlu kita ketahui adalah dalam perkembangannya, ego atau diri yang dibentuk untuk menjadi kuat dan tangguh cenderung kehilangan kepekaan terhadap penderitaan dan kelemahan. Singkat kata, untuk dapat bertahan dalam penderitaan dan sanggup menahan rasa sakit, maka anak laki-laki terpaksa mengabaikan penderitaan dan rasa sakit itu sendiri. Ini yang menyebabkan ego atau diri pria sulit menyelami penderitaan dan rasa sakit. Tidak heran di dalam pernikahan, salah satu keluhan yang sering kita dengar adalah istri mengeluhkan kekurangtanggapan suami terhadap perasaan sedih atau sakit. Tidak jarang istri marah kepada suami karena suami bersikap tidak peka dan misalkan terlalu keras pada anak. Semua itu adalah akibat dari pembentukan diri atau ego pria yang mengharuskannya untuk tidak terlalu memberi perhatian kepada perasaan, baik itu rasa sakit ataupun rasa sedih.



GS : Berarti pria memang punya kecenderungan untuk menyembunyikan perasaan yang sesungguhnya terutama kelemahan-kelemahannya, Pak Paul ?



PG : Saya kira demikian, Pak Gunawan. Sebab kita mesti mengakui kalau anak laki-laki menangis, misalnya betapa seringnya kita mendengar komentar dari orang dewasa Kamu anak laki-laki jangan cengeng. Anak laki-laki tidak boleh menangis. Nah, itu 'kan kata-kata yang sering kita dengar. Dengan kata lain, tidak boleh mengungkapkan kesedihan atau rasa sakitnya atau kelemahannya. Karena itu tadi,



lingkungan berusaha membentuk anak laki-laki harus kuat dan tangguh. Kuat dan tangguh artinya tidak boleh menangis, tidak boleh mengatakan rasa sakit.



GS : Tapi dia mengharapkan orang lain juga seperti itu ?



PG : Betul. Nantinya setelah dia besar dia akan menuntut hal yang sama kepada anak laki-lakinya atau kepada orang lain.



GS : Atau kalau punya saudara laki-laki, adiknya akan diperlakukan seperti itu.



PG : Ya. Makanya kita perlu mengakui, misalnya kita yang sudah dewasa dan sudah bekerja, ada teman laki-laki yang usianya paro baya seperti kita, misalnya waktu sedih dia menangis, saya kira kita merasa kurang nyaman dengan teman pria yang menangis, kadang-kadang mengeluh. Kenapa ? Karena sudah ada konsep atau tuntutan bahwa kita pria tidak seharusnya seperti itu. Kalau kita seperti itu berarti kita lemah. Jadi itu salah satu harga yang harus dipikul oleh anak laki-laki karena dibentuk untuk kuat dan tangguh akhirnya kurang tanggap terhadap perasaan dan penderitaan. Dalam pernikahan seringkali istri mengeluh, Kamu kurang memerhatikan perasaan saya. Kamu berbicara kasar. Kok kamu tidak lihat perasaan saya seperti apa. Kamu tidak tanggap dan berinisiatif ketika melihat saya sedih. Nah kebanyakan kita pria memang buta terhadap hal seperti itu.



GS : Apakah ego itu tumbuh terus dengan sempurnanya atau ada penyimpangannya, Pak Paul ?



PG : Dalam pembentukannya ego juga mengalami penyimpangan dan hal ini hal ketiga yang perlu kita ketahui. Mari kita perhatikan kembali ketiga karakteristik ego pria yang telah kita bahas tadi. Yang pertama, tidak mudah ambruk dalam tekanan. Yang kedua, sanggup bertahan dalam penderitaan. Dan yang ketiga, tidak gampang menyerah dalam menghadapi rintangan. Sesungguhnya tidak ada satu rumus atau tuntutan yang mengatakan bahwa untuk dapat kuat dan tangguh maka anak laki-laki tidak boleh mengakui bahwa ia tertekan, menderita dan tengah berjuang melawan rintangan. Tidak ada ! Tidak ada hukum atau tuntutan yang berkata bahwa anak laki-laki tidak boleh mengakui semua itu. Sayangnya itulah yang dikomunikasikan oleh lingkungan kepada anak laki-laki. Dia harus kuat dan tangguh tanpa boleh mengakui bahwa ia sudah letih dan kesakitan. Singkat kata, penyimpangan yang terjadi adalah ego pria menjadi begini: tidak semestinya mengakui adanya kelemahan dan kebutuhan.



GS : Jadi sebenarnya kalau orang tua atau lingkungan ingin mengharapkan agar ego yang terbentuk dalam anak laki-lakinya ini seimbang, bagaimana Pak Paul ?



PG : Anak laki-laki itu perlu diberi ijin untuk menyatakan perasaannya. Ijinkan dia marah. Dan ijinkan dia sedih. Kadang-kadang kita sebagai orang tua masih bisa diam ketika ada anak laki-laki marah. Tapi kalau ada anak laki-laki menangis, kita langsung berkata, Tidak boleh menangis! apalagi kalau dia anak laki-laki. Waktu dia marah, kita ijinkan, asal tidak marah terus menerus atau tidak mengungkapkan kemarahannya secara kasar. Demikian juga dengan menangis. Misal dia berumur



10 tahun, dia bersedih karena terjadi sesuatu di sekolah dan dia menangis. Ya tidak apa-apa, kita biarkan dia menangis. Kita mungkin bisa menerima anak laki-



laki menangis umur 3-4 tahun. Begitu dia berumur 10 tahun, kita larang. Kamu jangan menangis. Sudah sebesar ini kok menangis. Akhirnya anak itu jadinya belajar, lain kali kalau saya sedih, saya tidak boleh menunjukkan kesedihan saya. Waktu saya putus asa, saya tidak menyatakannya, saya harus sangkali semua perasaan itu. Orang tua perlu mengijinkan anak laki-laki untuk menyatakan kekecewaan, putus asa, sedih, merasa tertolak dan sebagainya. Disamping itu juga mendorong anak laki-laki untuk Oke saya mengerti kamu merasa begitu. Tapi ayo kita coba lagi, kita pikirkan jalan keluarnya, supaya kamu tidak usah harus menderita terus. Dengan cara seperti itu anak laki-laki lebih bisa diajar untuk lebih berimbang dalam mengungkapkan perasaan.



GS : Kalau sejak kecil anak ini terbiasa meredam emosinya, itu 'kan juga bisa mengganggu hubungan pernikahannya ?



PG : Seringkali itu yang terjadi. Ini menjadi wilayah konflik dalam pernikahan, seringkali istri mengeluh suaminya sulit meminta maaf, suami menuntut tapi tidak memberitahukan kebutuhannya, suami marah kalau dianggap tidak bisa. Ini semua adalah akibat dari penyimpangan. Akhirnya untuk menjadi kuat dan tangguh, ego pria menjadi diri yang sulit mengakui kelemahan dan kebutuhan. Padahal 'kan mengakui tidak sama dengan menyerah. Waktu dia berkata Aduh, saya lelah. Rasanya ingin menyerah saja. Itu tidak berarti dia menyerah. Tidak apa-apa kalau anak laki dibiarkan mengungkapkan kata-kata seperti itu. Menurut saya itu akan membuat dia menjadi lebih berimbang. Tidak membuat dia menjadi orang yang lemah dan mudah menyerah, tidak! Hanya bebas untuk mengatakan apa adanya tentang kondisinya itu.



GS : Kalau mereka sudah menikah, sebaiknya 'kan si istri menolong suaminya untuk bisa mengungkapkan perasaannya ya, Pak Paul ?



PG : Betul. Bagi pria ini tidak alamiah, sedangkan bagi wanita hal ini sangat alamiah.



Dan ini yang juga penting. Bagi wanita waktu pria bisa mengungkapkan perasaan- perasaan itu, itu akan jadi bahan terjadinya percakapan. Dan kita tahu percakapan adalah materi yang membentuk relasi. Kita tahu wanita mementingkan relasi, Pak Gunawan. Jadi waktu pria itu bisa mengungkapkan dirinya dengan lebih baik, nantinya itu akan menolong membangun relasi yang lebih sehat dalam keluarga pula. Wanita bisa menolong pria atau suaminya dengan berkata, Mungkin kamu sedang kesal, mungkin kamu sedang kecewa berat sekarang ini. Kalau itu perasaanmu, ya saya bisa mengerti. Jadi wanita bisa menolong dengan menyebutkan nama perasaan yang dirasakan oleh suami, lalu menyatakan dia menerima. Tidak apa-apa saya bisa mengerti. Nah, dengan cara-cara seperti itu si suami akan merasa lebih aman lain kali untuk menyatakan perasaannya.



GS : Artinya sesuatu yang diterima oleh orang laki-laki sejak kecil itu pada masa dewasa masih bisa diperbaiki lagi ?



PG : Masih bisa, Pak Gunawan. Memang perlu waktu, pembelajarannya tidak akan cepat. Tapi saya percaya itu bisa. Asal si laki-laki mau belajar dan juga mau berubah. Sebab kita laki-laki susah mengakui bahwa ini hal yang penting. Ya, tidak



apa-apa. Orang yang menangis tidak berarti lemah. Kita tahu Tuhan Yesus pun menangis, tapi bukan berarti Dia lemah, Dia terus bertahan dalam penderitaan- Nya. Jadi kita coba ubalah konsep-konsep yang kurang tepat ini.



GS : Hal lain yang perlu kita ketahui tentang ego pria, apa lagi Pak Paul ?



PG : Hal yang keempat yang perlu kita ketahui tentang ego pria adalah pada akhirnya ego pria memerlukan penebusan Kristus yang menyediakan kemerdekaan dan kekuatan. Penebusan Kristus di kayu salib memberikan kepada kita orang percaya kehidupan yang baru. Di dalam kehidupan yang baru ini kita memperoleh dan seyogyanya menikmati kemerdekaan untuk menjadi diri apa adanya. Kita 'kan tidak diselamatkan oleh karena perbuatan melainkan oleh karena kasih karunia Allah. Artinya Tuhan menerima kita apa adanya dan ini memberikan kepada kita suatu kemerdekaan sejati. Karya penebusan Kristus memberi kemerdekaan kepada ego atau diri pria untuk menjadi diri apa adanya lengkap dengan kelemahan dan kebutuhan. Saya kutip dari Roma 5:8, Akan tetapi Allah menunjukkan kasihNya kepada kita oleh karena Kristus telah mati untuk kita ketika kita masih berdosa. Disini dapat kita lihat, Kristus mati dan sudah menerima kita apa adanya bahkan sewaktu kita tidak kuat dan tidak tangguh, sewaktu kita lemah dan hampir menyerah. Maka firman Tuhan berkata Kristus telah mati untuk kita ketika kita masih berdosa. Dengan kata lain, benar-benar sewaktu kita tidak kuat, tidak tangguh, waktu kita lemah dan hampir menyerah. Nah, kalau Dia sudah menerima kita apa adanya dalam kelemahan kita, berarti kita bisa menikmati kemerdekaan itu. Tuhan sudah menerima kita apa adanya, kita tidak usah pakai perisai, tidak usah memakai topeng, menjadi orang yang bukan diri kita kuat dan tangguh. Kita apa adanya. Ini akan memberi kita kelegaan.



GS : Tapi orang yang terbiasa untuk menekan perasaannya jadi tidak tampil apa adanya di hadapan sesamanya, itu juga akan terpengaruh ketika dia berkomunikasi dengan Tuhan ?



PG : Saya kira iya. Karena terbiasa tidak mau menjadi diri apa adanya, waktu dia datang kepada Tuhan lewat doa pun juga tidak bisa menjadi diri apa adanya. Akhirnya keintiman dengan Tuhan terbatas. Karena tidak bisa benar-benar terbuka apa adanya dengan Tuhan.



GS : Itu sebetulnya masih ada belenggu yang mengikat dia. Dia belum menikmati



kemerdekaan yang sesungguhnya, begitu Pak Paul ?



PG : Betul, Pak Gunawan. Justru kita melihat tokoh-tokoh di Alkitab. Mereka tidak malu untuk menangis. Kalau memang mereka perlu menangis, mereka sedang sedih, ya mereka menangis apa adanya. Misalnya Daud, waktu Absalom meninggal dunia, dia menangis sedih karena kematian anaknya itu, meskipun anaknya memang anak yang memberontak kepadanya. Tapi kita lihat Daud tidak malu mengakui bahwa dia hanya manusia biasa.



GS : Karena itu harus dibiasakan dalam menghadapi sesamanya terlebih dahulu ya, Pak



Paul ?



PG : Iya. Setuju, Pak Gunawan. Dalam pergaulan akui apa adanya perasaan kita, jangan takut dianggap lemah.



GS : Tapi seringkali disalahmengerti orang, karena itu dia lebih sering menggunakan topengnya itu, Pak Paul.



PG : Saya mengerti. Karena pada umumnya tuntutan di lingkungan seperti itu. Kita tidak bisa dan tidak boleh menjadi diri apa adanya nanti dinilai lemah atau apa. Yang penting adalah kita 'kan tidak ambruk, yang penting kita tidak lari dalam kesusahan, yang penting 'kan kita juga tidak menyerah, ada rintangan ya tetap kita hadapi. Apapun reaksi kita kalau kita tetap tidak menyerah, orang tidak bisa berkata apa-apa.



GS : Jadi sebenarnya ego pria ini di satu sisi masih ada sisi positifnya. 'Kan tidak semuanya harus dibuang, tidak perlu punya ego. 'Kan bukan seperti itu ?



PG : Betul. Yang kita bicarakan adalah mempunyai ego yang sehat. Ego yang sehat adalah ego yang ditebus oleh Kristus. Sebab penebusan Kristus pertama memberikan kemerdekaan. Dan yang kedua memberikan kekuatan. Menjadi kuat dan tangguh menghadapi tantangan dan tekanan kehidupan ini. Jadi misalkan kita pada saat lemah, pada saat hampir menyerah, kita datang kepada Kristus. Kita minta kekuatan kepada-Nya. Sewaktu kita mengakui kelemahan dan kebutuhan, justru di saat itulah Tuhan mengaruniakan kekuatan kepada ego atau diri pria. Sebagaimana firman Tuhan di 2 Korintus 4:7 meneguhkan, Tetapi harta ini kami punyai dalam bejana tanah liat. Supaya nyata bahwa kekuatan yang melimpah- limpah itu berasal dari Allah, bukan dari diri kami. Jadi disini Paulus menggunakan pengibaratan kita adalah bejana untuk Tuhan. Terbuat dari apa ? Bukan dari besi. Bukan dari timah. Bukan dari tembaga. Tapi dari tanah liat yang memang bisa retak, bisa pecah. Inilah kondisi manusia kita apa adanya. Namun firman Tuhan menjanjikan Dia akan memberikan kekuatan melimpah-limpah.



GS : Yang dimaksud dengan harta itu apa, Pak Paul ?



PG : Sebetulnya harta di 2 Korintus mengacu pada Injil. Bahwa dia sudah diberikan kepada Tuhan kepercayaan yaitu Injil, Kabar Baik bahwa Allah telah mengampuni dosa manusia lewat Putra-Nya, Yesus.



GS : Terima kasih banyak, Pak Paul untuk perbincangan kita kali ini. Para pendengar



sekalian, terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang Masalah Ego Pria. Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini, silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@telaga.org. Kami juga mengundang Anda untuk mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan banyak terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara Telaga yang akan datang.




Ringkasan:

Sebenarnya istilah ego berarti diri. Namun dalam perkembangannya, istilah ini dipakai untuk merujuk kepada sikap mementingkan diri. Dalam pembahasan kali ini saya akan menggunakan istilah ego sebagai sesuatu yang kita kaitkan dengan dan kenali sebagai diri. Secara khusus saya akan menyoroti hal ego pada pria, yang sayangnya kerap berkonotasi negatif, terutama bila dikaitkan dengan keluarga.



Yang perlu kita ketahui tentang ego atau diri pria adalah :



(1)TERBENTUK LEWAT PERLAKUAN LINGKUNGAN. Pada masa kecil ego pria terbentuk dalam relasinya dengan orang tua dan setelah itu, ego pria terbentuk lewat interaksinya dengan teman maupun guru di sekolah. Nah, pada umumnya lingkungan--baik keluarga maupun guru dan teman di sekolah--memperlakukan anak lelaki sebagai diri yang kuat atau tangguh. Itu sebabnya mulai dari permainan sampai olahraga untuk anak lelaki, hampir semua bersifat fisik dan menuntut ketahanan serta kekuatan.



Sudah tentu perlakuan dan tuntutan lingkungan tidaklah salah. Kelebihan kekuatan fisik pria menjadikannya cocok berperan sebagai pelindung wanita dan anak-anak. Juga kelebihan fisik pria menjadikannya sanggup melakukan pekerjaan berat guna menafkahi keluarga. Tidak heran, sejak anak kecil lingkungan sudah mulai mempersiapkan anak lelaki untuk menjadi kuat dan tangguh sehingga pada akhirnya mampu mengemban peran sebagai PELINDUNG dan PENCARI NAFKAH bagi keluarga. Dalam prakteknya untuk menjadi kuat dan tangguh anak lelaki dibentuk untuk TIDAK MUDAH AMBRUK DALAM TEKANAN dan dapat BERTAHAN DALAM PENDERITAAN. Anak lelaki pun dibentuk supaya TIDAK GAMPANG MENYERAH--sebesar apa pun rintangan yang mesti dihadapi. Alhasil setelah besar anak lelaki mempunyai diri atau ego yang kuat dan tangguh--tidak mudah ambruk, tidak gampang menyerah dan tahan menderita.



(2) Cenderung KEHILANGAN KEPEKAAN TERHADAP PENDERITAAN DAN KELEMAHAN. Singkat kata untuk dapat bertahan dalam penderitaan dan sanggup menahan sakit maka anak lelaki terpaksa MENGABAIKAN penderitaan dan rasa sakit itu sendiri. Inilah yang membuat diri atau ego pria secara alamiah sulit memahami dan menyelami penderitaan dan rasa sakit. Tidak heran di dalam pernikahan, istri sering mengeluhkan KEKURANGTANGGAPAN SUAMI terhadap perasaan sedih atau sakitnya. Tidak jarang istri pun marah kepada suami karena suami bersikap tidak peka dan terlalu keras kepada anak. Nah, semua itu adalah akibat dari pembentukan diri atau ego pria yang mengharuskannya untuk tidak terlalu memberi perhatian terhadap perasaan--baik itu rasa sakit atau kesedihan.



(3) PEMBENTUKAN EGO JUGA MENGALAMI PENYIMPANGAN. Mari kita perhatikan kembali ketiga karakteristik ego pria yang telah kita bahas tadi: (a) tidak mudah ambruk dalam tekanan, (b) sanggup bertahan dalam penderitaan dan (c) tidak gampang menyerah dalam menghadapi rintangan.



Sesungguhnya tidak ada satu rumus atau tuntutan yang mengatakan bahwa untuk dapat kuat dan tangguh maka anak lelaki tidak boleh MENGAKUI bahwa ia tertekan, bahwa ia menderita dan bahwa ia tengah berjuang melawan rintangan. Sayangnya itulah yang dikomunikasikan oleh lingkungan kepada anak lelaki. Ia harus kuat dan tangguh tanpa boleh mengakui bahwa ia letih dan kesakitan. Penyimpangan yang terjadi adalah bahwa diri atau ego pria tidak semestinya mengakui adanya KELEMAHAN dan KEBUTUHAN.



Tidak heran dalam pernikahan masalah ini menjadi wilayah konflik. Sering kali istri mengeluh bahwa suami sulit meminta maaf, bahwa suami menuntut tapi tidak memberitahukan kebutuhannya dan bahwa suami marah bila dianggap tidak bisa. Ya, inilah akibat dari penyimpangan. Akhirnya untuk menjadi kuat dan tangguh, ego pria menjadi diri yang sulit mengakui kelemahan dan kebutuhan, padahal MENGAKUI tidak sama dengan MENYERAH.



(4) MEMBUTUHKAN PENEBUSAN KRISTUS YANG MENYEDIAKAN KEMERDEKAAN DAN KEKUATAN. Penebusan Kristus di kayu salib memberikan kepada kita, orang percaya, kehidupan yang baru. Di dalam kehidupan yang baru ini kita memperoleh--dan seyogianya--menikmati kemerdekaan untuk menjadi diri apa adanya. Kita tidak diselamatkan oleh karena perbuatan melainkan oleh karena kasih karunia Allah. Tuhan menerima kita apa adanya. Inilah kemerdekaan sejati.



Karya penebusan Kristus memberi KEMERDEKAAN kepada ego atau diri pria untuk menjadi diri apa adanya, lengkap dengan kelemahan dan kebutuhannya. Roma 5:8 mengingatkan, Akan tetapi Allah menunjukkan kasih-Nya kepada kita, oleh karena Kristus telah mati untuk kita, ketika kita masih berdosa. Kristus mati dan sudah menerima kita apa adanya bahkan sewaktu kita tidak kuat dan tidak tangguh--sewaktu kita lemah dan hampir menyerah.



Karya penebusan Kristus juga memberi KEKUATAN kepada ego atau diri pria untuk menjadi kuat dan tangguh menghadapi tekanan dan rintangan kehidupan. Pada saat lemah dan hampir menyerah, datanglah kepada Kristus dan Ia akan memberi kekuatan. Singkat kata sewaktu kita mengakui kelemahan dan kebutuhan, justru di saat itulah Tuhan mengaruniakan kekuatan kepada ego atau diri pria. II Korintus 4:7 meneguhkan, Tetapi harta ini kami punyai dalam bejana tanah liat, supaya nyata bahwa kekuatan yang melimpah-limpah itu berasal dari Allah, bukan dari diri kami. Ya, sesungguhnya kita adalah bejana untuk Tuhan, yang terbuat dari tanah liat.








Questions: