BETA
Mengatasi Konflik dalam Rumah Tangga
Sumber: telaga
Id Topik: 1885

Abstrak:

Konflik sudah menjadi suatu pengalaman bagi setiap keluarga, namun topik ini diangkat bagi kita pasangan Kristen untuk lebih dapat menghadapi atau mengatasi konflik itu sendiri. Baik penyebabnya apa dan penanggulangannya bagaimana.

Transkrip:

Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso bersama Ibu Idayanti Raharjo dari LBKK (Lembaga Bina Keluarga Kristen), telah siap menemani Anda dalam sebuah perbincangan dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling dan dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Kali ini kami akan berbincang-bincang tentang mengatasi konflik dalam rumah tangga. Kami percaya acara ini akan sangat bermanfaat bagi kita semua, dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap
(1) GS : Pak Paul, namanya kehidupan bersama dalam rumah tangga dengan latar belakang yang berbeda, antara suami istri tentu terjadi konflik. Kadang-kadang muncul dan rasanya lebih mudah memunculkan konflik daripada mengatasinya. Kita mau berbincang-bincang pada kesempatan ini bagaimana mengatasi konflik karena hampir menjadi pengalaman bagi setiap keluarga. Namun sebelumnya kami ingin tahu terlebih dahulu, apa sumber-sumber konflik atau penyebab konflik itu, Pak Paul?

PG : Sudah tentu kalau kita membicarakan sumber konflik, kita dapat menemukan daftar yang sangat panjang sekali. Tapi saya kira hampir atau kebanyakan konflik mempunyai satu tema yang serupa yaitu bahwa kita merasa pasangan kita tidak lagi seperti yang kita harapkan atau dengan kata lain kalau saya gunakan satu kalimat kita berkata "Engkau tidak hidup seperti yang aku harapkan".

Bentuknya, wujudnya bisa berbeda-beda, tapi saya kira salah satu akarnya adalah ini.
GS : Karena itu orang sering mengatakan berbeda pandangan atau berbeda pendapat Pak Paul, jadi berbeda pandangan dengan pasangan kita, pasangan kita memandang kita berbeda.

PG : Betul, nah itu kalau tentang perbedaan pandangan, saya kira lebih merupakan buahnya atau lebih merupakan wahananya, kendaraannya, tapi ujung-ujungnya selalu adalah engkau tidak seperti ang aku harapkan.

Misalkan kita berbeda pandang mau membeli rumah yang seperti apa misalnya kita berbeda pendapat, berdebat akhirnya bertengkar. Nah, saya kira di dalam perdebatan tersebut ada satu tema yang tersembunyi yaitu engkau tidak seperti yang aku harapkan, kalau engkau seperti yang aku harapkan maka engkau akan.... , misalnya engkau akan bisa mengerti masalah ini seperti aku mengertinya. Engkau akan mempunyai nilai seperti nilai aku dan sebagainya.
GS : Tapi biasanya bukan hal yang sangat prinsip, tapi kenapa bisa menimbulkan konflik yang berkepanjangan?

PG : Nah, biasanya kalau kita ini berbeda pandang sedikit-sedikit, lama-lama menjadi bukit. Lama-lama kita akan membangun suatu persepsi bahwa pasangan kita itu tidak bisa bertemu dengan kit, memahami kita dan mulailah kita merasa frustrasi sewaktu belum berbicara dengan dia.

Jadi jangankan sudah berbicara, sebelum berbicara pun kita sudah membangun sikap atau reaksi bahwa percakapan ini akan berujung pada pertengkaran, akhirnya benar-benar terjadi pertengkaran karena sikap kita sudah mulai berjaga-jaga atau bersiap-siap untuk terlibat percekcokan, kita harus menjaga diri jangan sampai kita diserang olehnya.
GS : Atau mungkin harapan kita terhadap pasangan ini yang terlalu tinggi atau tidak pernah kita komunikasikan kepadanya.

PG : Nah, Pak Gunawan di sini memunculkan satu kata kunci yaitu harapan, jadi saya percaya setiap kita sewaktu menikah sebenarnya membawa suatu kantong yang berisi harapan. Harapan-harapan yng akhirnya kita embankan pada pasangan kita untuk dipenuhi olehnya.

Kita boleh menyadarinya, boleh tidak menyadarinya tapi yang pasti kita masuk ke pernikahan membawa harapan-harapan ini.
GS : Pasangan kita pun sama, Pak Paul?

PG : Tepat sekali.

GS : Tapi apakah itu seharusnya dikomunikasikan untuk mengurangi tingkat konflik itu, Pak Paul?

PG : Seyogyanya sebelum menikah, suami dan istri itu mulai membicarakan apa-apa yang diharapkan, sehingga harapan-harapan itu dikomunikasikan dan mulai dicoba untuk dipenuhi, kalau tidak bis dipenuhi akan dicoba disesuaikan atau dikompromikan.

Memang kita tidak bisa membicarakan harapan dengan tuntas, tapi setidak-tidaknya harus ada sebagian besar atau garis besar harapan yang telah terungkapkan. Yang berbahaya kalau harapan-harapan ini tidak pernah dibicarakan, karena ada anggapan tidak penting atau akan beres dengan sendirinya, nah terus melangsungkan pernikahan. Setelah menikah barulah muncul, karena harapan-harapan tersebut ternyata memang ada dan ternyata waktu tidak dipenuhi, kita merasa sangat jengkel.
IR : Kira-kira contoh konkretnya itu apa, Pak Paul?

PG : Saya membagi dua jenis harapan, Bu Ida, yang pertama adalah harapan itu muncul dari yang saya sebut idealisme. Kita membawa harapan yang bersumber dari hal-hal yang seharusnya memang kia dapati atau temukan dalam pernikahan yang disebut idealisme.

Contohnya apa, misalkan kita berkata seharusnyalah seorang suami berlaku seperti ini atau kita berkata seharusnyalah seorang istri bersikap seperti ini, nah itu adalah idealisme kita tentang apa yang seharusnya menjadi perbuatan atau sikap seorang suami atau istri. Yang lainnya lagi adalah konflik seharusnya diselesaikan malam itu juga, nah bagi kita yang sudah menikah bahwa hal itu tidak selalu bisa terwujud untuk membereskan konflik pada malam yang sama atau kita misalkan mempunyai idealisme terhadap anak-anak kita. Seharusnyalah anak-anak kita menjadi anak-anak yang membuahkan harapan dan ini yang kita bawa ke dalam pernikahan kita.
(2) GS : Yang melatarbelakangi timbulnya harapan seperti itu apa sebenarnya?

PG : Kalau idealisme itu bisa muncul sebagai sumber, yang jelas adalah dari idealisme orang tua kita sendiri misalnya. Maksudnya kita melihat inilah cara orang tua kita hidup misalnya Papa sngat 'knowing' Mama, kalau pulang selalu mengecup pipi Mama, kalau terlambat selalu menghubungi Mama melewati telepon.

Mama begitu sopan, hormat kepada Papa, kalau Papa sedang marah Mama tidak pernah menjawab, nah itu yang membentuk idealisme kita. Seharusnyalah Mama seperti ini, Papa seperti ini, nah itu kita bawa ke dalam pernikahan kita. Sumber lainnya lagi misalnya adalah tayangan-tayangan televisi atau film, tanpa disadari kita pun sangat dipengaruhi. Jadi seharusnyalah seperti ini, misalnya kita melihat dalam film tersebut si pria sangat dominan, semua tunduk pada kata-kata si ayah atau si suami. Nah waktu kita menikah, kita pun mempunyai anggapan seharusnya saya diperlakukan seperti itu pula. Nah kita juga mengharapkan hal tersebut terjadi dalam pernikahan kita, seharusnyalah suami istri bersaat teduh bersama di malam hari, kita juga mengharapkan hal itu terjadi dalam pernikahan kita. Jadi itulah kira-kira sumber-sumber yang membentuk idealisme kita.
GS : Selain idealisme, Pak Paul, apalagi sumber dari harapan itu?

PG : Yang lainnya lagi adalah kebutuhan. Kebutuhan-kebutuhan emosional yang kita miliki sebetulnya memerlukan pemenuhan, yang kita bawa dalam pernikahan kita sesungguhnya adalah kebutuhan.Kita ini ingin dikasihi, ingin merasa dihargai atau kita ingin merasa penting, bisa melakukan atau memberikan sumbangsih kepada pasangan kita.

Semua ini adalah kebutuhan-kebutuhan yang kita bawa, jadi misalnya munculnya dalam bentuk kata-kata seperti misalnya "seharusnyalah engkau tidak melukaiku". Nah, sewaktu misalnya istri kita mengatakan hal yang melukai hati kita, kita bereaksi keras sekali, sebab apa, kita selalu mempunyai harapan tanpa kita sadari, istri kita itu seharusnyalah membangun kita, menguatkan kita. Kita ini lemah ada kekurangan dalam hal ini misalnya, seharusnyalah istri kita membangun, bukannya malah mengolok atau melukai kita. Waktu istri kita melukai hati kita, kita tidak terima, salah satu penyebabnya adalah karena ada harapan yang muncul dari kebutuhan itu, kebutuhan untuk dibangun, dikuatkan, bukan untuk dilukai. Nah, kira-kira kebutuhan-kebutuhan inilah yang seringkali muncul dalam pernikahan. Kalau kita berasal dari rumah tangga yang lebih berantakan atau lebih buruk, maka kita akan lebih mempunyai kebutuhan yang besar, kita kurang dikasihi, dianggap anak buangan, kita memasuki pernikahan dengan kebutuhan yang besar untuk dikasihi. Kalau kita dianggap anak buangan, kita juga menuntut agar pasangan kita menghargai kita, kata-kata yang sedikit menyinggung, kita anggap itu adalah kata-kata penghinaan, meskipun pasangan kita berkata saya tidak ada maksud menghina kamu, tetapi kita berkata kamu memang bermaksud menghina saya. Atau kita dibesarkan dalam keluarga yang susah sekali dan seringkali menjadi objek pelecehan, dianggap tidak ada apa-apanya, nah kebutuhan kita untuk dianggap orang penting juga sangat kuat. Jadi sewaktu pasangan kita melakukan hal-hal yang seolah-olah meremehkan kita, menganggap kita tidak penting, kita bereaksi dengan sangat kuat sekali. Itu harapan yang kita bawa, jadi semakin buruk masa lalu kita, biasanya harapan yang bersumber dari kebutuhan ini akan semakin besar pula.
GS : Kalau seandainya salah satu dari pasangan menekan baik idealismenya maupun kebutuhannya, tidak mungkin akan terjadi konflik, ya Pak Paul?

PG : Kalau bisa ditekan, saya kira akan sulit sekali untuk menekannya, karena kita ini orang yang butuh hidup mendekat idealisme. Kalau kita hidup kenyataannya sangat di bawah idealisme kita biasanya kita akan merasa sangat frustrasi.

Contoh yang mudah sekali, kita mengharapkan bahwa setelah menikah, kehidupan kita akan lebih baik daripada sebelum menikah secara ekonomi. Kemudian kita membangun keluarga, mulailah kita bisa membeli rumah, membeli kendaraan dan sebagainya. Kemudian ketika kita membangun kita mengalami kejatuhan, kita harus menjual mobil dan akhirnya harus menjual rumah dan mengontrak rumah, nah kalau kita terlalu jauh dari yang kita harapkan bisa sangat memukul kita. Kita hidup seperti ilusi, seperti mengalami kekecewaan yang berat sekali, jadi memang idealnya kita harus menerima fakta tersebut. Tapi bukankah sulit menelan kepahitan seperti itu, jadi sampai titik tertentu kita masih bisa mentoleransi, kalau idealisme itu tidak terwujud. Kalau terlalu jauh dari idealisme kita biasanya bergolak, melawan, memberontak karena tidak mau melawan fakta tersebut.
GS : Mungkin bentuk konfliknya yang beda Pak Paul, bukan konflik dengan pasangannya, tapi konflik dengan dirinya sendiri.

PG : Kalau hanya itu lebih lumayan, Pak Gunawan, tapi seringnya konflik dengan pasangan. Karena ketidakpuasan itu, tidak bisa tidak, akan kita lampiaskan pada pasangan kita. Dan adakalanya mmang pasangan kita juga mempunyai andil yang besar, contoh kasus yang tadi saya gambarkan, misalnya kejatuhan tersebut dikaitkan dengan keputusan bisnis suami kita yang kita anggap kurang bijaksana, kita misalkan tidak begitu menyetujuinya tapi tetap dia laksanakan, hasil akhirnya adalah kebangkrutan.

Nah, cenderungnya dalam kasus seperti itu kita menyalahkan pasangan kita dan tidak bisa tidak itu akan menimbulkan kemarahan yang tanpa putus-putus.
(3) GS : Lalu mengatasinya bagaimana, Pak Paul, kalau konflik itu memang betul-betul muncul di dalam hubungan suami istri?

PG : Yang pertama adalah kita harus menyadari bahwa konflik terjadi tatkala harapan berubah menjadi tuntutan. Jadi maksud kita harus mempelajari atau menyadari anatomi konflik itu sendiri. Knflik mulai muncul tatkala harapan berubah menjadi tuntutan.

Saya berikan kata-kata misalnya kita sebelumnya berkata engkau seharusnya, itu harapan, engkau seyogyanyalah begini, itu harapan, lama-lama kalau harapan itu tidak terpenuhi, yang muncul bukan lagi engkau seharusnya, yang muncul adalah engkau harus. Engkau seharusnyalah menelpon kalau kau pulangnya lebih malam, lama-lama kalau tidak ditelepon-telepon engkau harus menelepon saya. Kalau tidak telepon berarti engkau tidak peduli dengan saya, nah seperti itu. Jadi yang muncul setelah harapan adalah penekanan tuntutan tersebut, kita akan menekan pasangan kita atau kita menuntut pasangan kita untuk memberikan yang kita minta. Jadi biasanya anatominya yang pertama adalah ini dulu, perubahan harapan menjadi tuntutan. Setelah itu pasangan kita bereaksi, bereaksinya begini kita menuntut, waktu kita menuntut pasangan kita merasa kita tidak mengerti dia, jadi dari pihak dia, dia akan berkata engkau tidak mengerti aku. Misalnya dalam soal pulang terlambat, aku lupa, orang lupa mohon dimaklumi misalnya, nah engkau tidak mau mengerti aku maka meskipun aku sudah menjelaskan engkau masih memarahi aku, berarti engkau tidak mau mengertiku. Rasa tidak mengerti ini biasanya melahirkan kemarahan, jadi pasangan kita marah karena merasa kita kurang mengerti situasi dia, terlalu menuntut dia. Dia marah kita balas marah, karena kita menuntut dia tidak memberikan malah marah, dia marah karena merasa kita tidak mengerti situasi dia, terus menuntut, marah dibalas marah akhirnya terjadilah pertengkaran.
GS : Lalu bagaimana, Pak Paul, kalau sudah sama-sama marah, katakan seperti orang yang dikendalikan emosinya?

PG : Betul, pada waktu marah yang penting adalah kita menyadari bahwa sebetulnya kita marah akibat kita menganggap pasangan kita gagal memenuhi tuntutan kita dan yang satunya akan berkata kia gagal untuk mengerti dia.

Dan akhirnya kita menganggap kegagalan memenuhi tuntutan dan kegagalan mengerti sebagai suatu pelanggaran. Kita akan masuk ke Firman Tuhan, Pak Gunawan untuk melihat metode penyelesaiannya. Saya akan membuka Galatia 6:1, "Saudara-saudara kalaupun seorang kedapatan melakukan pelanggaran maka kamu yang rohani harus memimpin orang itu ke jalan yang benar dalam roh yang lemah lembut, sambil menjaga dirimu sendiri supaya kamu juga jangan kena pencobaan." Kata pelanggaran yang digunakan di sini sebetulnya berarti jatuh atau langkah yang salah, memang dalam konteks Galatia 6 ini yang sedang dibicarakan Paulus adalah kejatuhan ke dalam dosa. Namun saya mau menerapkan konsep ini ke dalam keluarga pula, jadi maksud saya adalah pasangan kita atau anak kita bisa jatuh, bisa gagal memenuhi tuntutan kita. Nah apa yang kita lakukan sewaktu kita menemukan pasangan atau anak kita jatuh, gagal memenuhi tuntutan atau harapan kita. Yang pertama adalah Tuhan tidak memerintahkan kepada kita untuk memarah-marahi pasangan kita atau anak kita. Firman Tuhan meminta kita harus memimpin orang itu ke jalan yang benar. Kata memimpin ke jalan yang benar sebetulnya berasal dari istilah medis dalam bahasa aslinya, istilah medis yang dapat diterjemahkan adalah merestorasi, memulihkan, atau mengembalikan ke keadaan semula. Istilah medis sesungguhnya meluruskan tulang yang patah, jadi Tuhan meminta kita untuk meluruskan tulang yang patah itu atau orang yang gagal hidup sesuai dengan harapan yang kita minta darinya, jadi inilah langkah yang Tuhan minta. Berikutnya adalah Tuhan memberikan syaratnya, siapa yang boleh memimpin orang ke jalan yang benar. Tuhan berkata orang yang rohani, nah saya mengambil definisi orang yang rohani dari Galatia 5:22-23 yang kita juga sudah kenal, yaitu orang yang mempunyai buah Roh misalnya kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemahlembutan dan penguasaan diri serta Galatia 5:25 "jika kita hidup oleh Roh baiklah hidup kita juga dipimpin oleh Roh." Jadi maksud orang yang rohani, orang yang hidupnya dipimpin oleh Roh.
IR : Jadi sangat sulit ya Pak Paul, dan tidak mungkin dilakukan oleh orang yang belum mengenal Tuhan.

PG : Betul, orang yang belum mengenal Tuhan saya kira akan kesulitan untuk mempunyai kehidupan yang dipimpin oleh Roh Kudus.

GS : Dan itu kalau tadi Pak Paul singgung buah-buah Roh, di sana ada kelemahlembutan. Biasanya memang di dalam pertengkaran kalau ada salah satu yang mulai bersikap lemah lembut, konflik itu akan cepat diredakan, daripada berdua sama-sama keras.

PG : Tepat sekali Pak Gunawan, jadi Tuhan menambahkan syarat perawatannya yang dilakukan dalam roh lemah lembut, bukankah tulang yang retak kalau kita perlakukan dengan kasar malah patah. Jai orang yang dalam keadaan gagal atau jatuh kita marah-marahi atau perlakukan dengan kasar, biasanya makin patah.

Termasuk pasangan atau bahkan anak-anak kita sama, waktu mereka jatuh kalau kita kasari makin patah. Kenapa Tuhan meminta lemah lembut, karena kita harus menyadari kita pun sama-sama rawannya, jadi Tuhan berkata jangan sampai. Jadi sambil menjaga dirimu sendiri supaya kamu juga jangan kena pencobaan. Ada satu contoh yang bagus sekali, Pak Gunawan dan Ibu Ida, beberapa waktu yang lalu saya mencari-cari apa saya lupa barang saya ketinggalan, saya tanya anak saya, istri saya, tidak ada yang tahu. Saya punya anggapan kalau sampai barang saya hilang, pasti lupa menaruh di situ lagi sebab saya orangnya hati-hati dengan barang saya. Saya tanya-tanya tidak ada yang melihat, tapi dalam hati saya langsung menuduh pasti mereka ada yang memakai, tiba-tiba saya pegang kantong saya ternyata barang yang saya cari ada di situ.
GS : Kalau kita terburu untuk marah, yang lain pun akan marah, ya Pak Paul?

PG : Yang lainnya pun menjadi marah karena tidak merasa melakukan itu, tapi dituduh melakukan itu. Jadi di situ saya diingatkan Tuhan, kamu harus berhati-hati menuduh orang sebab kamu pun tiak luput dari kesalahan yang sama.

Saya kadang-kadang memang sedikit jengkel karena istri saya kalau menaruh barang suka lupa. Jadi kalau dia bertanya mana ini saya, dulu saya ikut jengkel karena saya ikut-ikutan mencari lama-lama akhirnya saya tidak ikut mencari sebab sudah terlalu biasa barangnya hilang berikan waktu beberapa menit nanti dia akan temukan lagi, jadi saya tahu saya orangnya berhati-hati, tidak mungkin hilang. Jadi waktu ada yang hilang saya menuduh orang lain yang menghilangkan, padahal saya sendiri yang salah menaruhnya.
GS : Memang sesuai dengan tadi yang dibacakan Pak Paul dari Alkitab bagaimana memperagakan kelemahlembutan dalam kehidupan keluarga untuk mengurangi pertengkaran dalam hubungan suami istri.

PG : Betul, Pak Gunawan, dan memang Tuhan meminta orang yang rohani, maksudnya orang yang lebih baik. Kalau kita ditegur oleh orang yang sama-sama banyak salahnya atau sering kali juga melakkan kesalahan yang serupa, kita tidak terima.

Justru kalau kita mempunyai kehidupan yang saleh, yang rohani, pasangan kita juga akhirnya lebih bisa mendengar teguran atau masukan, sehingga pertengkaran lebih bisa dihindarkan.
GS : Jadi memang pertengkaran boleh saja terjadi, kalau tidak bisa itu bukan berarti harus berlarut-larut dibiarkan, karena Tuhan sudah memberikan kemampuan kepada kita melalui Roh-Nya yang Kudus untuk bersikap lemah lembut pada pasangan kita.

Demikianlah tadi para pendengar yang kami kasihi kami telah persembahkan sebuah perbincangan bersama Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang mengatasi konflik dalam rumah tangga. Kalau Anda berminat untuk melanjutkan acara tegur sapa ini, kami persilakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK Jl. Cimanuk 58 Malang. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Dan dari studio kami mengucapkan terima kasih.END_DATA


Ringkasan:

Hampir kebanyakan konflik mempunyai satu tema yang serupa, yaitu bahwa kita merasa pasangan kita tidak lagi seperti yang kita harapkan atau dengan kata lain kalau saya gunakan satu kalimat kita berkta: "Engkau tidak hidup seperti yang aku harapkan."

Yang seharusnya dikomunikasikan untuk mengurangi tingkat konflik:

  1. Seyogyanya sebelum menikah, suami dan istri mulai membicarakan apa-apa yang diharapkan, sehingga harapan-harapan itu dikomunikasikan dan mulai untuk dicoba dipenuhi, kalau tidak bisa dipenuhi ya akan dicoba disesuaikan atau dikompromikan.

Ada dua jenis harapan :
  1. Harapan muncul dari yang disebut idealisme. Kita membawa harapan yang bersumber dari hal-hal yang kita memang semestinya kita dapati atau temukan dalam pernikahan. Contoh idealisme:

    1. Kita berkata seharusnya seorang suami berlaku seperti ini atau kita berkata seharusnya seorang istri bersikap seperti ini, ini adalah idealisme kita tentang apa yang seharusnya menjadi perilaku perbuatan atau sikap seorang suami atau istri.

    2. Konflik seharusnya diselesaikan malam ini juga

    3. Atau seharusnya anak-anak kita jadi anak yang membuahkan harapan.

  2. Kebutuhan, kebutuhan-kebutuhan emosional yang kita miliki sebetulnya memerlukan pemenuhan. Kita ingin dikasihi, ingin merasa dihargai atau kita ingin merasa penting, bisa melakukan atau memberikan sumbangsih kepada pasangan kita. Nah semua ini adalah kebutuhan-kebutuhan yang kita bawa, jadi misalnya munculnya dalam bentuk kata-kata seperti misalnya seharusnyalah engkau tidak melukaiku.

Untuk mengatasi konflik yang sudah benar-benar muncul dalam hubungan suami-istri adalah sbb:

  1. Kita mesti menyadari bahwa konflik terjadi tatkala harapan berubah menjadi tuntutan. Maksud saya kita mesti mempelajari atau menyadari anatomi konflik itu sendiri. Yang jadi metode penyelesaiannya adalah Galatia 6:1, "Saudara-saudara kalaupun seorang kedapatan melakukan pelanggaran maka kamu yang rohani harus memimpin orang itu ke jalan yang benar dalam roh yang lemah lembut, sambil menjaga dirimu sendiri supaya kamu juga jangan kena pencobaan."
    Saya mau menerapkan konsep ini ke dalam keluarga, jadi maksud saya adalah pasangan kita atau anak kita bisa jatuh, bisa gagal memenuhi tuntutan kita. Nah apa yang perlu kita lakukan sewaktu kita menemukan pasangan atau anak kita bisa jatuh:

    1. Tuhan meminta kita harus memimpin orang itu ke jalan yang benar, istilah medisnya merestorasi, memulihkan atau mengembalikan ke keadaan semula. Tuhan meminta kita untuk meluruskan orang yang gagal hidupnya sesuatu dengan harapan yang kita minta darinya.

    2. Tuhan memberikan syaratnya, siapa yang boleh memimpin orang ke jalan yang benar. Tuhan berkata orang yang rohani, Galatia 5:22,23 yaitu orang yang mempunyai buah Roh misalnya kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemahlembutan dan penguasaan diri serta ay. 25 "Jika kita hidup oleh Roh baiklah hidup kita juga dipimpin oleh Roh." Jadi orang yang rohani adalah orang yang hidupnya dipimpin oleh Roh.


Questions: