Kekerasan Terhadap Anak 1
Sumber: telaga
Id Topik: 1227
Abstrak:
Berdasarkan data Komisi Nasional Perlindungan Anak, tindak kekerasan terhadap anak terus mengalami peningkatan signifikan dari tahun ke tahun. Kekerasan terhadap anak diartikan sebagai perlakuan berulang berupa pengabaian maupun tindakan aktif yang membahayakan dan merusak anak-anak. Hal ini juga mencakup kegagalan orang tua dalam menjalankan tugas dan tanggungjawab pengasuhan mereka. Diharapkan, dengan mengenal apasaja bentuk kekerasan terhadap anak, faktor-faktor penyebabnya, akibat yang ditimbulkan, serta mengetahui solusinya, orangtua dapat lebih bertanggungjawab dalam pengasuhan anak.Transkrip:
Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada, Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Acara ini diselenggarakan oleh Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK bekerja sama dengan radio kesayangan Anda ini. Saya, Hendra, akan berbincang-bincang dengan Bp. Penginjil Sindunata Kurniawan, M.K., beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling keluarga. Perbincangan kami kali ini tentang "Kekerasan Terhadap Anak" Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
H : Pak Sindu, kenapa topik "Kekerasan Terhadap Anak" penting untuk diangkat ?
SK : Topik ini penting, pertama mengingat jumlah anak di Indonesia sangatlah besar yakni sekitar 34% atau sepertiga dari jumlah penduduk Indonesia yang mencapai 240 juta jiwa. Ini berarti penduduk Indonesia yang dalam usia anak-anak itu sekitar lebih dari 80 juta jiwa. Ini angka yang sangat besar yang perlu kita beri perhatian secara khusus, usia anak-anak di negeri kita ini.
H : Jadi sepertiga masyarakat Indonesia itu adalah anak-anak ya, Pak ?
SK : Betul. Dan jangan lupa, berbicara anak, itu berarti dalam 10 – 20 tahun ke depan mereka inilah yang akan menjadi penentu bagi kehidupan negeri kita. mereka akan menjadi angkatan muda, menjadi pemimpin-pemimpin muda yang akan mempengaruhi kualitas bangsa kita ke depan.
H : Apakah Bapak memiliki data-data mengenai kekerasan terhadap anak di Indonesia, Pak ?
SK : Ya. Jadi data-datanya bisa saya ambil dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) yang kemudian berubah nama menjadi Komnas PA atau Komisi Nasional Perlindungan Anak. Dimana pada tahun 2003 tercatat 481 kasus kekerasan terhadap anak. Setahun kemudian jumlah dari 481 ini menjadi 547 kasus. Dan 8 tahun kemudian, tahun 2012, melonjak menjadi 2637 kasus kekerasan terhadap anak. Jadi dalam 8 tahun melonjak sampai 5 kali lipat kasus kekerasan terhadap anak. Kemudian pada bulan Januari hingga Juli, satu semester 2013, tercatat 1824 kasus. Jadi kita lihat kalau tahun 2012 ada 2637 kasus, tahun berikutnya baru setengah tahun itu sudah mencapai 1824. Berarti jumlahnya bertambah sekitar 70% dari tahun sebelumnya hanya dalam enam bulan ! Jadi kita bisa melihat bahwa memang ada kecenderungan grafik yang naik dari tahun ke tahun dalam hal kekerasan terhadap anak.
H : Belum lagi kasus yang tidak tercatat atau tidak terlaporkan, ya Pak ?
SK : Betul. Jadi memang berbicara tentang angka-angka ini, ini bukanlah angka baku atau angka yang bersifat eksakta. Tapi ini merupakan angka sebuah puncak dari gunung es di lautan. Jadi yang muncul di atas permukaan air laut itu hanya secuil puncak dari gunung es. Tapi bagian yang paling besar ada di bawah permukaan air laut. Jadi kalau angkanya misalnya 1824 itu angka sesungguhnya bisa jadi 3 – 5 kali lipat dari angka yang terlaporkan. Karena begini, tidak semua orang akan melaporkan kasus kekerasan terhadap anak. Ada yang karena malu, takut dan kemudian ada berbagai sebab yang akhirnya tidak terdeteksi, tidak diketahui atau dilaporkan kepada Komisi Nasional Perlindungan Anak.
H : Ini angka yang sangat mencengangkan sekaligus mengkhawatirkan, ya Pak Sindu. Definisi dari kekerasan terhadap anak itu sendiri sebenarnya apa, Pak ?
SK : Kekerasan terhadap anak bisa kita mengerti sebagai semua perlakuan berulang terhadap anak baik berupa pengabaian maupun tindakan aktif yang berakibat pada kondisi yang membahayakan atau menimbulkan kerusakan pada diri anak, baik dari segi fisiknya maupun dari segi perkembangan dan kesehatan emosional sang anak. Dan biasanya kekerasan terhadap anak ini dilakukan oleh orang tua atau orang-orang lain yang bertanggung jawab terhadap pengasuhan anak.
H : Oh, jadi kekerasan terhadap anak ini tidak melulu terbatas pada kekerasan fisik, ya Pak ?
SK : Ya, jadi memang bukan hanya fisik tapi juga menyentuh segi emosional anak. Tadi saya jelaskan, perlakuan berulang terhadap anak yang membahayakan atau menimbulkan kerusakan ini bukan semata-mata tindakan aktif, Pak Hendra, tapi juga termasuk perlakuan pengabaian terhadap anak. Pengabaian disini mencakup dari segi kegagalan orang tua di dalam menjalankan tugas dan tanggung jawab pengasuhan mereka. Baik itu berupa penolakan orang tua secara sengaja terhadap tugasnya maupun bisa jadi karena orang tua tidak mampu untuk menjalankan tugas pengasuhannya. Mungkin karena dia mengalami keterbatasan fisik, keterbatasan emosional atau orang tua terpaksa harus meninggalkan anaknya untuk bekerja di tempat yang jauh, ini termasuk dalam kategori kekerasan terhadap anak.
H : Kalau boleh disimpulkan, sebenarnya ada berapa banyak kategori kekerasan kepada anak atau "Child Abuse" ini?
SK : Kekerasan terhadap anak atau child abuse itu ada 4 kategori, Pak Hendra. Yang pertama, kekerasan secara fisik terhadap anak. Yang kedua, kekerasan secara psikis. Yang ketiga, kekerasan secara seksual. Yang keempat, kekerasan secara sosial terhadap anak.
H : Tadi Bapak sempat menyinggung tentang kekerasan secara fisik. Tapi untuk mendalami supaya kita semua bisa tahu kekerasan terhadap anak secara fisik itu seperti apa saja, bisakah dijelaskan lebih mendalam ?
SK : Kekerasan secara fisik terhadap anak itu bisa berupa penyiksaan, pemukulan, penganiayaan terhadap anak, baik dengan menggunakan benda-benda tertentu ataupun tanpa menggunakan benda-benda tertentu yang akibatnya menimbulkan luka-luka fisik ataupun kematian pada anak.
H : Kematian pada anak, seperti apa yang bisa diakibatkan dari kekerasan terhadap anak secara fisik ? Apakah orang tua bisa sampai hati seperti itu ?
SK : Ya. Memang bisa jadi awalnya orangtua tidak berniat untuk membunuh sang anak. Tetapi karena tindakan yang tidak terkendali, hajaran-hajaran secara fisik bertubi-tubi, bahkan biasanya berhari-hari, berminggu-minggu, dan berbulan-bulan, akhirnya berujung pada kematian sang anak. Karena kondisi anak juga punya keterbatasan. Pukulan dan hajaran yang dilakukan orang tua itu 'kan kuat dan berupa hantaman yang keras bagi anak, sehingga bisa jadi bagi orang dewasa tidak apa-apa atau tidak terlalu parah. Tapi bagi anak, dengan daya tahan tubuh yang terbatas, akhirnya itu mengenai organ-organ dalam tubuhnya. Fungsi-fungsi vital dalam tubuhnya seperti pernafasan atau organ paru-paru, pencernaan, ginjal dan sebagainya mengalami hambatan sehingga akhirnya berujung pada kematian anak.
H : Padahal awalnya maksud orang tua adalah mungkin hanya untuk mendisiplin, tapi jadi lepas kendali, seperti itu Pak ?
SK : Betul. Saya tambahkan, tadi saya menyinggung bahwa hajaran, penganiayaan, penyiksaan secara fisik itu 'kan menimbulkan luka-luka fisik atau kematian pada anak. Tentu luka itu macam-macam. Bisa berupa lecet yang ringan, memar pada bagian tertentu akibat kekerasan benda tumpul, baik itu berupa bekas gigitan, cubitan ataupun hajaran dengan ikat pinggang sehingga membekas ada bilur-bilurnya, ataupun bilur karena hajaran rotan dan hantaman benda-benda lainnya. Selain itu, luka bisa berupa karena benda tajam. Seperti sayatan akibat silet, pisau, parang, sampai bercucuran darah. Juga bisa berupa luka bakar, akibat siraman minyak panas, air panas sampai melempuh, air keras, ataupun akibat sundutan rokok dan seterika. Itupun lokasi lukanya bisa di berbagai bagian. Biasanya beberapa orang dewasa yang melakukan kekerasan secara fisik berusaha melakukan di bagian-bagian tubuh yang tidak terlalu nampak ketika sang anak berpakaian. Misalnya bekasnya ada di bagian paha, lengan, punggung, perut, pantat. Memang ada kalanya orang tua tidak terencana atau berniat menutup-nutupi, jadi secara spontan, akhirnya lukanya ada di bagian kepala. Baik itu mulut, pipi, di bagian sekitar mata, jadi bisa kelihatan
H : Mengerikan sekali. Tapi itu sungguh-sungguh terjadi di dunia nyata. Terjadinya kekerasan terhadap ini dipicu oleh apa, Pak, sampai-sampai orang tua bisa beringas seperti itu ?
SK : Kalau kita kaji, pemicunya umumnya adalah hal-hal yang sebenarnya sepele. Misalnya ada beberapa perilaku anak yang semestinya wajar untuk anak-anak, seperti rewel, tidak mau makan, tidak mau tidur, rewel tidak mau ke sekolah atau mungkin ke gereja. Atau bisa juga ketika anak menangis terus, tidak mau berhenti karena mengekspresikan marahnya atau karena anak merengek minta jajan atau minum susu atau ketika anak misalnya buang air kecil, buang air besar atau muntah, tapi sayangnya di tempat yang tidak dikehendaki oleh pengasuhnya atau orang tuanya. Jadi buang di sembarang tempat atau anak tanpa sengaja memecahkan barang berharga. Hal-hal demikian yang bisa memicu amarah dari orang tua atau sang pengasuh anak.
H : Amarah yang tidak terkendali akhirnya dilampiaskan dalam bentuk kekerasan fisik. Selain kekerasan secara fisik, kekerasan secara psikis itu seperti apa ?
SK : Kekerasan secara psikis itu meliputi hardikan, maksudnya berupa lontaran kata-kata yang keras, yang menghardik, yang memang bermaksud memarahi sang anak. Kekerasan secara psikis juga bisa berupa penyampaian kata-kata yang kasar, sumpah serapah dan kata-kata yang kotor. Dalam hal ini lewat hardikan, lewat lontaran kata-kata yang kasar dan kotor itu, sebenarnya jiwa atau psikis anak mengalami teror, guncangan dan tekanan. Sehingga ini dikategorikan sebagai kekerasan secara psikis. Bisa juga berupa ketika anak dipaparkan atau dipertontonkan, baik itu gambar-gambar, sebuah film atau sejumlah buku, yang berkaitan dengan produk pornografi. Jadi itu juga termasuk kekerasan secara psikis karena semestinya secara kejiwaan anak seharusnya terlindungi dari paparan pornografi, tapi kemudian dipertunjukkan sehingga psikis anak pun mengalami goncangan menyaksikan hal seperti itu. Apalagi jika berkali-kali, itu menggedor jiwanya sehingga ini termasuk kekerasan secara psikis terhadap anak.
H : Kalau tadi yang disakiti adalah fisik, sekarang yang disakiti adalah jiwa anak itu.
SK : Ya, kejiwaan atau kita bisa sebut sebagai segi emosional atau perasaan sang anak.
H : Kalau kekerasan terhadap anak secara seksual itu bentuknya seperti apa ?
SK : Kalau boleh saya tambahkan, berkenaan dengan kekerasan secara psikis memang menimbulkan beberapa dampak. Jadi ada perilaku yang 'maladaptive' atau perilaku yang menunjukkan sang anak kurang dapat menyesuaikan diri atau anak mengalami rasa kurang nyaman dengan lingkungan dimana dia berada. Perilaku yang disebut 'maladaptive' atau kurang dapat menyesuaikan diri ini dapat diperlihatkan dengan perilaku menarik diri, tidak mau bertemu orang, menghindar dari orang-orang lain, mengasingkan diri, mengunci diri, atau kalau bersama orang tua dia tidak mau bersama orang lain, dia hanya bersama 1 -2 orang yang dia rasa paling aman. Bisa juga perilaku yang kurang dapat menyesuaikan diri sebagai akibat kekerasan psikis, anak menjadi pemalu, menarik diri, menangis kalau didekati, takut keluar rumah, takut bertemu dengan orang lain. Jadi kalau kita melihat gejala-gejala tersebut, kita mungkin bisa mulai mempertanyakan, apakah mungkin anak ini mengalami kekerasan secara psikis. Tentunya itu bisa jadi salah satu kemungkinannya, bukan jadi satu-satunya kemungkinan.
H : Jadi kalau kekerasan fisik bisa terlihat dari luka-luka di tubuhnya. Kalau kekerasan psikis karena tidak terlalu tampak bentuk-bentuk lukanya, tapi kita bisa melihat gejala-gejala yang Bapak sampaikan tadi ?
SK : Betul, Pak Hendra.
H : Kembali ke pertanyaan tadi, kekerasan secara seksual itu seperti apa bentuknya ?
SK : Kekerasan secara seksual terhadap anak bisa berwujud dua hal. Yang pertama, perlakuan yang mengarah kontak seksual secara tidak langsung. Jadi biasanya dilakukan oleh orang yang usianya lebih tua, baik itu melalui kata-kata, sentuhan, gambar visual ataupun tindakan exhibitionist. Exhibitionist artinya tindakan yang mempertontonkan alat vital kepada anak-anak. Selain perlakuan yang mengarah kepada kontak seksual tidak langsung tadi, bisa juga kekerasan secara seksual itu berupa perlakuan kontak seksual secara langsung yang dilakukan oleh orang dewasa terhadap anak. Misalnya hubungan sedarah (inses/incest) dimana orang tua kandung melakukan hubungan seks dengan anak kandungnya sendiri. Bisa juga berupa tindak pemerkosaan atau eksploitasi seksual atau dengan kata lain pemanfaatan secara seksual dengan cara yang tidak bertanggung jawab. Inilah beberapa bentuk kekerasan secara seksual terhadap anak.
H : Ini tidak kalah mengerikannya dengan kekerasan fisik dan psikis tadi, ya Pak. Kalau yang terakhir, kekerasan secara sosial terhadap anak itu seperti apa Pak ?
SK : Dari kata sosial itu kita bisa mengerti ini berkaitan dengan bagaimana relasi sang anak dengan orang-orang di sekitarnya. Dalam hal ini, bentuknya ada dua hal, yaitu penelantaran anak dan eksploitasi anak. Penelantaran anak atau pengabaian anak yaitu dimana anak tidak diberi perhatian yang layak oleh orang tuanya atau pengasuhnya. Sehingga mengganggu proses tumbuh kembang anak. Misalnya anak tidak diberi makan dan minum sesuai dengan kebutuhan nutrisinya. Sengaja diabaikan atau tanpa sengaja, tapi itu terjadi berulang-ulang. Bisa juga diabaikan kebutuhannya untuk berkembang lewat dunia pendidikan, mestinya disekolahkan tapi diabaikan kebutuhannya untuk belajar dalam pendidikan formal. Atau bisa juga perawatan kesehatan yang tidak layak, seperti tidak dimandikan atau dimandikan dengan air yang kotor secara sengaja, kalau sakit korengan, batuk, dibiarkan dan tidak diobati padahal orang tua masih bisa mengobati anaknya. Bentuknya juga bisa berupa eksploitasi anak. Dimana anak diperlakukan sewenang-wenang baik oleh keluarga atau masyarakat.
H : Kalau yang tadi lebih dalam konteks dikenai perbuatan secara aktif, kalau ini bisa dikatakan dalam bentuk pasif ? Seperti yang Bapak katakan di awal.
SK : Kekerasan secara sosial bisa sifatnya diabaikan, sepertinya pasif tidak diberi perlakuan apa-apa, atau yang kedua yaitu diberi perlakuan yang buruk seperti eksploitasi anak. Jadi eksploitasi ini misalnya anak dipaksa melakukan sesuatu demi kepentingan ekonomi. Dipaksa bekerja. Ada yang melakukan sesuatu demi kepentingan sosial atau politik, misalnya diajak kampanye politik. Padahal mestinya anak tidak perlu dan tidak boleh hadir dalam kerumunan masa demonstrasi, masa kampanye politik, tapi oleh orang tua dibawa ke tempat-tempat itu, yang sifatnya bisa menimbulkan kegoncangan bagi jiwa anak.
H : Nah, eksploitasi yang Bapak sampaikan ini yang banyak terjadi, yaitu anak-anak dijadikan pekerja untuk memenuhi kebutuhan ekonomi.
SK : Benar. Tanpa sadar kita menganggap lumrah bila anak bekerja. Baik berupa sebagai pekerja rumah tangga, atau bekerja di industri rumah tangga, di sebuah pabrik dan lingkungan industri lainnya. Tapi ini bisa termasuk dalam kategori kekerasan terhadap anak. Jadi memang ada batasan yang pemerintah berikan kepada kita, bagaimana supaya kita tidak memperlakukan anak dengan buruk di dunia kerja.
H : Berapa batasan usia anak untuk bekerja, Pak ?
SK : Pertama, anak yang berusia 13 – 15 tahun diperbolehkan melakukan pekerjaan ringan sepanjang tidak mengganggu perkembangan dan kesehatan fisik, mental dan sosial. Dalam hal ini usia 13 -15 tahun, atau usia SMP, anak boleh bekerja dengan batas waktu maksimum 3 jam dan itu pun ada ijin tertulis dari orang tua atau wali dan ada perjanjian kerja antara pengusaha dengan orang tua atau wali. Dan pekerjaan itu dikerjakan pada siang hari sehingga tidak mengganggu waktu sekolah, kesehatan dan keselamatan kerja sang anak dijamin. Ini menurut Undang-undang No. 13 Tahun 2003. Untuk usia yang minimal untuk 14 tahun, pekerjaan yang dalam rangka kurikulum pendidikan atau pelatihan. Biasanya bagi anak SMK, pendidikan kejuruan. Jadi anak-anak usia minimal 14 tahun boleh bekerja tapi dalam konteks diklat untuk mengembangkan sang anak. Ada lagi yang berkaitan dengan pekerjaan yang asal untuk mengembangkan bakat, minat yang memang sesuai dengan kemauan sang anak, itu pun dalam batas-batas yang aman secara fisik, mental, dan sosial anak.
H : Berarti ada kategori pekerjaan yang tidak aman bagi anak-anak itu ya, Pak ?
SK : Betul. Yang tidak aman bagi anak yaitu ketika berkaitan dengan pornografi, minuman keras, narkotika, membahayakan secara fisik misalnya kerja di pabrik alat berat atau berkaitan dengan mesin-mesin berat ataupun yang menimbulkan kontaminasi bahaya kimia atau biologis. Selain itu berbahaya dari segi moral anak, misalnya diskotik, bar, tempat bilyard, bioskop, panti pijat, lokasi prostistusi, lokasi berkaitan dengan seksualitas, minuman keras atau rokok. Ini merupakan jenis-jenis pekerjaan atau lingkungan pekerjaan yang memang tidak memperbolehkan anak bekerja di sana.
H : Artinya bukan hanya memperhatikan batasan usia, tetapi juga harus melihat dengan jeli tempat kerja yang seperti apa, jenis pekerjaannya seperti apa. Baik dari pihak anak, terutama dari pihak orang tua.
SK : Betul. Mari, kita perlu memperhatikan hal ini supaya kesejahteraan mental emosional dan fisik anak, termasuk anak usia remaja, bisa berkembang optimal dengan kita memperhatikan rambu-rambu ini.
H : Terima kasih, Pak Sindu. Apa pesan firman Tuhan yang ingin Bapak sampaikan di akhir perbincangan sesi pertama ini ?
SK : Saya bacakan dari Amsal 16:29, "Orang yang menggunakan kekerasan menyesatkan sesamanya, dan membawa dia di jalan yang tidak baik." Firman Tuhan ini menegaskan bahwa kekerasan itu hanya menimbulkan dampak yang negatif buat hubungan kita dengan orang lain, buat orang lain yang dikenai kekerasan itu dan membawa kepada hasil kehidupan yang benar-benar buruk. Firman Tuhan saja sudah mengingatkan kita apalagi paparan tadi sepatutnya semakin meneguhkan kita: jauhilah jalan kekerasan. Termasuk kekerasan terhadap anak-anak kita.
H : Terima kasih, Pak Sindu. Para pendengar sekalian, terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bapak Penginjil Sindunata Kurniawan, M.K., dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang topic "Kekerasan Terhadap Anak" bagian pertama. Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan menghubungi kami melalui surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@telaga.org. kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.
Ringkasan:
Satu sisi kita juga perlu menyadari benar: Jumlah anak di Indonesia sangat besar, sekitar 34 % atau sepertiga dari jumlah penduduk Indonesia yang mencapai 240 jutajiwa.
Menurut Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), yang kemudian menjadi Komisi Nasional Perlindungan Anak, selama tahun 2003 tercatat 481 kasus kekerasan terhadap anak. Jumlah ini meningkat menjadi 547 kasus di tahun 2004. Delapan tahun kemudian, tahun 2012 melonjak menjadi 2.637 kasus kekerasan terhadap anak. Sementara selama Januari-Juli 2013 tercatat 1.824 kasus. Dari sini kita melihat kecenderungan grafik yang menaik dari tahun ke tahun. Namun, angka itu merupakan fenomena gunung es karena tak semua korban kekerasan mau melaporkan kasusnya karena takut, malu dan berbagai sebab.
Definisi Kekerasan terhadap Anak (child abuse). Semua perlakuan berulang terhadap anak, baik berupa pengabaian maupun tindakan aktif, yang membahaya-kan atau membuat kerusakan segi fisik, maupun perkembangan dan kesehatan emosi anak, yang biasanya dilakukan oleh orangtua atau orang-orang lain yang bertanggungjawab terhadap pengasuhan anak. Perlakuan pengabaian di sini mencakup kegagalan orangtua dalam menjalankan tugas dan tanggungjawab pengasuhan mereka, baik berupa penolakan orangtua terhadap tugasnya maupun karena ketidakmampuan orangtua dalam menjalankan tugas pengasuhannya.
Bentuk-Bentuk Kekerasan pada Anakada 4 kategori, yaitu :
- Kekerasan secara Fisik terhadap Anak
- Kekerasan secara Psikis terhadap Anak
- Kekerasan secara Seksual terhadap Anak
- Kekerasan secara Sosial terhadap Anak
Adalah penyiksaan, pemukulan dan penganiayaan terhadap anak, dengan atau tanpa menggunakan benda-benda tertentu, yang menimbulkan luka-luka fisik atau kematian pada anak. Bentuk luka dapat berupa lecet atau memar akibat kekerasan benda tumpul, seperti bekas gigitan, cubitan, ikat pinggang atau rotan, hantaman. Dapat berupa luka benda tajam, seperti akibat silet, pisau, parang. Dapat juga berupa luka bakar akibat minyak panas, air keras atau akibat sundutan rokok dan seterika. Lokasi luka biasanya ditemukan pada daerah paha, lengan, mulut, pipi, dada, perut, punggung atau daerah pantat. Terjadinya kekerasan secara fisik terhadap anak umumnya dipicu oleh tingkah laku anak yang tidak disukai orangtuanya, seperti perilaku yang dianggap nakal atau rewel, menangis terus, minta jajan, buang air kecil maupun besar atau muntah di sembarang tempat, memecahkan barang berharga.
Meliputi penghardikan, penyampaian kata-kata kasar dan kotor, memperlihatkan buku, gambar dan film porno pada anak. Anak yang mendapatkan perlakuan ini umumnya menunjukkan gejala perilaku maladaptif atau perilaku yang menunjukkan bahwa anak tersebut kurang dapat menyesuaikan diri atau kurang nyaman dengan lingkungan di mana dia berada, seperti menarik diri, mengunci diri, pemalu, menangis jika didekati, takut ke luar rumah dan takut bertemu dengan orang lain.
Berwujud perlakuan yang mengarah ke kontak seksual antara anak dengan orang yang lebih besar usianya melalui kata, sentuhan, gambar visual, tindak ekshibisionisme; maupun perlakuan kontak seksual secara langsung yang dilakukan orang tua terhadap anaknya sendiri seperti 'incest', perkosaan, eksploitasi seksual atau pemanfaatan seksual.
Meliputi penelantaran anak dan eksploitasi anak. Penelantaran atau pengabaian anak adalah sikap dan perlakuan orangtua yang tidak memberikan perhatian yang layak terhadap proses tumbuh-kembang anak, a.l. anak dikucilkan, diasingkan dari keluarga atau tidak diberikan pendidikan dan perawatan kesehatan yang layak. Eksploitasi anak menunjuk pada sikap diskriminatif atau perlakuan sewenang-wenang terhadap anak yang dilakukan keluarga atau masyarakat. Contoh : memaksa anak melakukan sesuatu demi kepentingan ekonomi, social atau politik tanpa memerhatikan hak-hak anak untuk mendapatkan perlindungan sesuai dengan perkembangan fisik, psikis dan status sosialnya a.l. memaksa anak bekerja di pabrik yang membahayakan dengan upah rendah atau anak dipaksa melakukan pekerjaan rumah tangga yang melampaui batas kemampuannya.
- Faktor Orangtua dan Keluarga
- Dibesarkan dengan kekerasan dengan kata lain terjadi pewarisan kekerasan antargenerasi.
- Orang tua belum mencapai kematangan fisik, emosi maupun sosial terutama untuk mereka yang memunyai anak sebelum usia 20 tahun.
- Pecandu minuman keras dan obat-obatan.
- Gangguan jiwa
- Asumsi orang tua keliru tentang anak
- Ketidakmengertian kebutuhan perkembangan anak
- Relasi pernikahan yang tidak memuaskan dan struktur keluarga yang tidak sehat
- Stres lain:
- Faktor Lingkungan Sosial atau Komunitas
- Kemiskinan dalam masyarakat dan tekanan nilai materialistik.
- Keyakinan masyarakat bahwa anak adalah milik orangtua sendiri.
- Nilai masyarakat yang terlalu individualistik dan masyarakat kian terpisah.
- Status wanita yang dipandang rendah.
- Faktor Anak itu Sendiri
- Berupa luka fisik seperti memar-memar, goresan-goresan, luka bakar, cacat tubuh permanen, hingga kerusakan otak.
- Yang belum banyak orang menyadari bahwa kekerasan pada anak berakibat pada kerusakan emosional anak.
30 persen dari anak yang mengalami kekerasan dari orangtuanya, ketika tumbuh menjadi dewasa, menjadi orangtua yang melakukan kekerasan kepada anak-anaknya. Anak-anak yang yakin bahwa perilaku buruk layak mendapatkan tindakan kekerasan akan lebih sering menjadi orangtua yang memperlakukan anaknya secara salah, dibandingkan anak-anak yang yakin bahwa orangtua mereka salah saat memperlakukan mereka dengan kekerasan. Pola kekerasan orangtua menjadi patron anak dan mungkin satu-satunya patron terlebih ketika mendapati dirinya sukses dalam ukuran dunia: kaya raya dan mendapat status sosial tinggi di masa dewasanya.
Menikah itu membagi hidup berarti membutuhkan diri yang sudah cukup mantap untuk kemudian membagikan ke pasangannya. Apalagi ketika ada anak bayi, membagi dengan minimal kepada 2 orang. Dirasakan kehadiran anak adalah beban, bukan berkat.
Memperbesar stres dan merangsang perilaku kekerasan. Pecandu mengalami emosi yang labil dan tidak terkontrol kata dan tindakan. Dirinya saja tidak terurus, apalagi pasangan (:istri) dan anaknya. Mereka malah dieksploitasi untuk kecanduannya.
Orang tua yang mengalami gangguan jiwa memunyai potensi menjadi orang tua yang melakukan kekerasan kepada anaknya. Misalnya orang tua menderita depresif secara klinis, murung terus, berputus asa, sehingga orang tua mengabaikan anak. Anak menyerap pola yang demikian. Orang tua yang menderita schizophrenia, halusinasi, paranoid, sehingga anak tinggal dalam kondisi yang tidak sehat.
Anak sebagai individu yang seharusnya memberikan dukungan dan perhatian kepada orangtua. Di sini terjadi pembalikan peran, sehingga ketika anak tidak dapat memenuhi harapan tersebut, orangtua merasa bahwa anak harus dihukum.
Anak yang semestinya memang belum saatnya mampu dan terampil melakukan sesuatu, tapi karena minimnya pengetahuan orangtua, anak kemudian dipaksa untuk melakukannya. Ketika ternyata anak memang belum bisa, orangtua menjadi marah.
Anak rentan menjadi sasaran pelampiasan kekecewaan orangtua ketika tidak puas dan dikecewakan dalam pernikahannya. Orangtua tunggal, hubungan yang salah satu dominan dan istri menjadi sasaran kekerasan, sering bertengkar, keluarga terpecah.
akibat tekanan ekonomi, kelahiran bayi baru, ada anggota keluarga yang masuk Rumah Sakit atau mengalami musibah.
Miskin membuat keluarga-keluarga dan masyarakat berfokus pada materi sebagai kebutuhan pokok. Sementara keluarga-keluarga dan masyarakat yang tidak miskin namun materialistik, juga terfokus pada materi sebagai pengejaran hidup yang tiada henti. Kemiskinan juga menyebabkan kondisi tempat tinggal yang benar-benar kurang memadai misal hanya satu kamar untuk beberapa anggota keluarga.
Anak seperti menjadi barang milik orangtua, yang nyaris bisa diperlakukan sesuka orangtua. Orang-orang sekitar menjadi merasa sungkan bertindak ketika mendapati anak mendapat kekerasan dari orangtuanya sendiri. Anak bukan milik orang tua sendiri tapi milik kita bersama.
Tidak ada lagi kepedulian terhadap sekitar. Uruslah urusanku sendiri. Akhirnya tercipta "pulau-pulau pribadi" secara sosial di antara keluarga-keluarga dalam suatu masyarakat. Padahal stres menjadi orangtua dan stres keluarga yang rentan bermuara pada kekerasan terhadap anak, akan lebih mudah dihadapi dengan baik jika ada sistem dukungan sosial yang didapat dari orang-orang sekitar. Maka, sebaliknya nilai masyarakat yang komunal dan saling peduli satu sama lain akan cenderung meminimalkan kekerasan terhadap anak.
Anak perempuan menjadi rentan untuk menjadi sasaran kekerasan baik secara fisik, psikis, seksual maupun sosial. Matius 19:13-15, "Lalu orang membawa anak-anak kecil kepada Yesus, supaya Ia meletakkan tangan-Nya atas mereka dan mendoakan mereka; anak tetapi murid-murid-Nya memarahi orang-orang itu. Tetapi Yesus berkata:'Biarkanlah anak-anak itu, janganlah menghalang-halangi mereka datang kepada-Ku; sebab orang-orang yang seperti itulah yang empunya Kerasaan Sorga'. Lalu Ia meletakkan tangan-Nya atas mereka dan kemudian Ia berangkat dari situ. Tuhan Yesus sangat menghargai anak-anak, anak-anak adalah sosok pribadi yang sama berharga seperti orang dewasa.
Mengalami ketidaksempurnaan fisik dan mental serta mengalami gangguan perkembangan.
Cacat fisik, retardasi mental, gangguan tingkah laku, autisme, Gangguan perkembangan bisa akibat keterbatasan sejak lahir maupun akibat penyakit yang berkembang saat usia dini yang berakibat pada ketidakberfungsian di salah satu panca indra, kemampuan memahami dan psikomotorik.
Akibat Kekerasan terhadap Anak
Kita perlu menyadari betapa tubuh anak ringkih dan proses pemantapan sedang terus terjadi. Perlakuan-perlakuan buruk secara fisik bahkan hajaran dan aniaya fisik oleh orang dewasa sangat rawan mengganggu metabolisme tubuh bagian dalam dan menimbulkan keretakan dan patah tulang. Beberapa kasus pun berakhir dengan kematian, sebagaimana kasus Arie Hanggara (1986), bayi dan anak balita yang ditenggelamkan oleh ibunya di bak mandi dan anak yang dihajar hingga tewas oleh ayahnya.
Kekerasan pada anak menimbulkan trauma pada anak. Trauma adalah peristiwa yang sedemikian menggedor jiwa seseorang, khususnya anak dalam perbincangan kita ini. Begitu kerasnya hajaran fisik dan apalagi berulang-ulang dan dibarengi dengan begitu menyakitkannya kata-kata dan kerasnya hardikan yang diterima, membuat anak mengalami trauma. Anak menjadi sulit tidur dan jika tidurpun terbangun-bangun oleh mimpi buruk dan menjerit di tengah malam. Dalam bentuk yang lain kecemasan dan rasa takut anak menjalar ke tubuh menjadi psikosomatis: keluhan atau kelemahan fisik yang sebenarnya akibat dari ketertekanan jiwa. Anak bisa tumbuh menjadi pribadi yang negatif, agresif serta mudah frustrasi. Artinya melihat sekitar lebih kuat dari sudut rasa tidak aman, oversensitif, mudah tersinggung, curiga, berprasangka buruk, tidak sabar dan mudah terpicu dengan ledakan amarah dan tindakan-tindakan menyerang yang reaktif serta minim penguasaan diri. Secara khusus menjadi pribadi yang negatif, agresif serta mudah frustrasi ini terjadi pada anak laki-laki dan tidak menutup kemungkinan anak perempuan.
Sebagaimana orangtua memperlakukannya dengan kasar dan agresif, maka anak pun melakukan peniruan secara alamiah. Kecenderungan peniruan secara alamiah ini khususnya terjadi pada anak yang sejenis kelamin dengan orangtuanya. Anak laki-laki meniru ayah, anak perempuan meniru ibu. Jika pelaku kekerasan adalah ayah, maka anak laki-laki tumbuh kepercayaan dan keyakinan bahwa laki-laki identik kekerasan dan agresifitas.
Sebaliknya, anak perempuan dengan ayah yang pelaku kekerasan dan ibu yang turut menjadi korban, di antaranya bisa tumbuh menjadi gadis yang serba nrimo perlakuan laki-laki dan merasa harkat martabatnya di bawah laki-laki. Ketika menikah kelak, secara tanpa sadar, anak perempuan yang tumbuh dewasa ini akan memilih pria pelaku kekerasan sebagai suaminya. Ada tindakan instingtif atau naluriah yang tidak disadarinya untuk tidak berminat dan menghindar pria yang baik dan lebih tertarik secara alami pada pria-pria yang sesungguhnya bakal menghajar dan menganiayanya kelak. Kesesatan berpikir ini sebenarnya sudah ditanamkan dan dipoles berulang-ulang sejak anak perempuan ini tumbuh sebagai anak yangmelihat dan mengalami kekerasan dari ayah dan juga belajar dan menyerap dari respons-respons ibunya yang nrimo. Satu sisi benci ayahnya juga merindukan ayahnya. Akhirnya membias pada benci tapi rindu pada pria penganiaya.
Di sini kita melihat sebuah keterkaitan bahwa perlakuan orangtua pada anak membentuk pola merasa anak, pola perasaan anak atau pola dalam anak memproses perasaannya. Juga membentuk pola pikir anak, pola anak mempersepsi sebuah peristiwa dan menginterpretasikannya atau menafsirkannya dan pola keyakinan-keyakinan anak. Termasuk dalam hal ini keyakinan anak terhadap dirinya yang biasa disebut sebagai konsep diri atau gambar diri. Kekerasan pada anak berdampak pada segi konsep diri, keyakinan-keyakinan atau sistem nilai, pola reaksi yang terwujud dalam mekanisme pelarian dan mekanisme pertahanan diri, penghakiman dan kepahitan.
Respons atau dampak pada anak bisa bermacam-macam. Tadi dipaparkan anak yang menjadi agresif secara aktif lewat kata-kata yang menyerang secara terbuka maupun lewat tindakan kekerasan fisik namun ada juga anak yang tumbuh menjadi agresif yang bersifat pasif. Misal kedua orangtua sama-sama pelaku kekerasan. Sedikit melawan dan memberontak langsung ditebas. Ada kemarahan yang terserap dalam diri anak namun tak berani diekspresikan secara terbuka. Maka anak mengekspresikan kemarahan dan pembangkangannya secara diam-diam dan terselubung. Muncullah pola kebiasaan perilaku agresif pasif. Agresif, menyerang namun tidak kentara. Terlambat,melakukan sabotase. Dalam pergaulan dengan teman di masa remaja dan dewasa, tumbuh menjadi pribadi yang suka main belakang. Seperti bunglon, tampilan di depan, baik, simpatik, bersahabat, tapi di belakang ternyata bermain intrik, berlaku licik, menggigit dari belakang. Ketika dikonfrontasi, berkelit dan tidak mau mengakui. Malah membangkitkan amarah dan kebencian yang semakin besar, dan siap melakukan sabotase yang lebih besar jika perlu mati bersama. Lebih baik saya kalah, kamu juga kalah, daripada kamu menang, saya kalah. Kenal di luaran tidak tampak, tapi semakin kenal, baru tahu.
Matius 18:6, "Tetapi barangsiapa menyesatkan salah satu dari anak-anak kecil ini yang percaya kepada-Ku, lebih baik baginya jika sebuah batu kilangan diikatkan pada lehernya lalu ia ditenggelamkan ke dalam laut". Perlakuan orang dewasa bisa membawa anak semakin dekat pada pribadi Yesus atau sebaliknya perlakuan kekerasan akan menyesatkan anak.
Kenapa bisa demikian? Karena selama di rumah menjadi anak, aku kalah. Kini di luaran, aku harus menang. Sedikitpun tak ada ruang untuk kekalahan. Menang atau mati, mungkin begitu semboyan hidup anak korban kekerasan. Bermuka dua, bermain intrik, menerkam dari belakang, saat kecil menjadi mekanisme pertahanan dirinya, cara untuk bisa survive, eksis, hidup di tengah kekerasan dan penindasan orangtua. Ketika menemukan cara atau strategi ini kok manjur, cespleng, maka diulangi, diulangi dan diulangi. Jadilah kebiasaan, jadilah pola hidup, mekanisme hidup. Jadilah karakter. Di sini kita melihat rentetan yang panjang dan mencetak. Perlakuan orangtua mencetak menjadi anak yang bagaimana: anak yang memiliki rasa aman dan kepribadian yang sehat, atau menjadi anak yang penuh curiga dan memiliki kepribadian yang buruk dan negatifistik.
Bentuk yang lain, ada anak yang tidak agresif, baik agresif aktif maupun tidak agresif. Mengalami kekerasan di rumahnya, membuat sang anak seperti habis-habisan. Semua yang dimiliki dan perlu dimiliki untuk menjadi diri yang sehat seperti sudah dirampas dan dirampok lewat berbagai bentuk kekerasan yang dialaminya selama bertahun-tahun. Maka ia tumbuh menjadi pribadi yang sama sekali tidak mampu menghargai dirinya sendiri, konsep dirinya negatif, gambar dirinya buruk dan paling parah, memiliki rasa benci yang luar biasa kepada dirinya sendiri. Ini membuatnya menjadi sangat pasif dan apatis terhadap kehidupan. Hidup hanyalah sekadar menggelinding memenuhi apapun yang orang tua mau, tanpa ada minat, aspirasi, semangat apalagi impian. Karena membenci dirinya, maka secara alami orang tidak tertarik berteman dengannya. Maka iapun kesulitan menjalin relasi dengan orang lain. Sisi lain ia terbiasa untuk bersikap masa bodoh dan mematikan perasaan dan minatnya. Butuh tapi cuek. Hidupnya datar dan flat. Menarik diri dari orang lain. Sikap membenci diri menjerumuskannya untuk melakukan berbagai hal yang mengarah pada pengrusakan diri dan kematian. Rentan untuk merokok, alkohol dan penyalahgunaan obat-obatan, menatto dan menindik tubuh di sana-sini. Merajah tubuh di sini bukan sekadar seni tapi ini mekanisme pelarian dari rasa sakit dalam batinnya.
Kebencian pada diri bisa berwujud dalam minat yang besar untuk melakukan kegiatan-kegiatan ekstrem yang menantang maut: menjadi petinju, petarung, suka berkelahi, kebut-kebutan liar. Juga membuatnya rentan untuk menjadi budak seks, baik seks yang normal maupun yang abnormal. Seks menjadi penawar sementara bagi rasa sakit hatinya dan membuatnya putus sesaat dengan rasa sakitnya. Karena seks bukan dirancang Tuhan untuk pelarian dan obat sakit hati maka tak heran menjadi anak korban kekerasan bisa tumbuh begitu obsesif dengan seks dan akhirnya masuk dalam kehidupan seks yang liar dan tak terkendali dan begitu menjijikkan: mulai dari pornografi, masturbasi, seks di luar nikah, seks sejenis, seks masokis berhubungan seksual sampai dirinya disiksa, sebagian menjadi penyiksa orang lain, menjadi pelacur dan seterusnya. Terus bereskalasi untuk mencari kepuasan palsu yang tidak ada ujungnya sampai kemudian dia hadapi kehancuran dirinya yang makin menjadi.
Mekanisme pelarian selain dalam rupa penyalahgunaan obat-obatan, narkoba dan kehidupan seks yang permisif, juga bisa berupa pencarian kekuatan diri yang palsu. Belajar beladiri, tenaga dalam dan bermain kuasa kegelapan atau okultisme, guna memperkuat diri yang diri lemah dan bertahun-tahun menjadi korban kekerasan. Pengejaran tubuh yang atletis, jago beladiri, bertatto, perokok, peminum, menjadi anggota bahkan pemimpin geng, meniduri banyak wanita.
Selain mekanisme pelarian, anak korban kekerasan juga kental dengan mekanisme pertahanan diri, baik itu penyangkalan, pembenaran diri, rasionalisasi, intelektualisasi, termasuk berbohong. Maka di tengah kecemasan dan ketakutannya, berbohong menjadi caranya melindungi diri dari kekerasan yang bisa bertub-tubi. Karena cukup efektif, maka diulangi dan diulangi. Menjadi pola tetapnya: mekanisme, cara untuk mempertahankan dan melindungi diri di saat tersudut.
Keyakinan-keyakinan yang keliru menjadi kental bagi anak korban kekerasan. Ada tiga bentuk: Keyakinan-keyakinan yang keliru berkenaan diri sendiri, berkenaan orang lain dan berkenaan Tuhan.
Berkenaan diri sendiri, misalnya :
- Bagi anak laki: Disiplin dan wibawa itu identik dengan sikap keras, agresif dan mati rasa. Perasaan bikin lembek.
- Bagi anak perempuan: Wanita itu diciptakan untuk dijajah pria dan kelas dua. Menjadi wanita adalah sebuah kesalahan besar.
- Aku tidak berharga, aku pecundang, apapun yang kulakukan pasti salah dan gagal.
- Hanya 1 jalan hidup sukses: kuat, hebat dan berkuasa jika tidak mau ditindas
- Bagi anak laki: wanita itu milik pria, layak dipukul dan direndahkan.
- Bagi anak perempuan: laki-laki itu serigala: lawan dan injak.
Berkenaan Tuhan: Berpikir bahwa Tuhan itu memang ada, tapi Tuhan itu begitu jauh tidak terjangkau. Tuhan itu penuh kasih tapi sayangnya tidak mengasihi diriku.
Mata rantai kekerasan akan diwariskan dari generasi ke generasi.
Efesus 6:4, "Dan kamu, bapa-bapa, janganlah bangkitkan amarah di dalam hati anak-anakmu, tetapi didiklah mereka di dalam ajaran dan nasihat Tuhan".
Para orang tua dengarlah Firman Tuhan, didiklah anak dalam kuasa Tuhan bukan dalam amarah, membangkitkan kebencian atau kepahitan pada diri anak.
Solusi kekerasan terhadap anak adalah :
- Orang itu perlu bersedia mengakui bahwa pola yang diterimanya adalah salah.
- Bersedia mengenali di titik-titik mana ia terluka, masih menyimpan amarah dan kesedihan. Ini harus dibereskan melalui hamba Tuhan atau konselor.
Tandanya, ia bisa mengingat peristiwa itu tapi gema negatifnya, gema amarah dan ketakutan itu berangsur-angsur hilang.
Orang tua perlu bersedia untuk sekolah menjadi orang tua, antara lain membaca buku, artikel-artikel dan lain-lain.
Bagi orang yang menikah dengan usia terlalu muda, jalani bimbingan pra-nikah yang baik. Setelah menikah ikuti bimbingan pasca nikah dari konselor atau hamba Tuhan yang mengerti.
Dalam hal orang tua yang bermasalah sebagai pecandu minuman keras atau obat-obatan. Akui dulu dia bermasalah, kemudian mencari jalan keluar baik itu melalui konselor, rumah-rumah singgah dan lain-lain. Berani menjadi orang tua artinya bersedia belajar dan 'bayar harga'. Pelajari pembahasan tentang perkembangan anak, jadikan hal itu sebagai kompas dalam menghadapi anak sesuai dengan tahap perkembangannya.
Dalam konteks personal, pasutri mengadakan waktu berdua dimana bisa berdiskusi yang bisa menjadi energi bagi anak. Orang tua tunggal juga perlu waktu 'time-out'.
Kenali faktornya, selesaikan masalah dari faktor itu dan perlahan-lahan pasti akan memberikan energi bagi anak-anak kita yang lain.
Keyakinan-keyakinan yang keliru seperti nilai-nilai masyarakat yang menganggap anak adalah milik orang tua sendiri, masyarakat yang terlalu individualistik, masyarakat yang menganggap status wanita itu lebih rendah. Kita perlu mengoreksi keyakinan-keyakinan seperti itu, mari kita akui bahwa belajar Firman Tuhan itu penting.
Firman Tuhan juga mengajarkan agar kita peduli kepada orang lain. Sesama saudara seiman silakan berkonsolidasi. Kita masing-masing adalah bagian dari gereja lokal, gereja lokal adalah tempat berkomunitas. Esensi gereja adalah komunitas, di dalam gereja kembangkan komunitas menjadi kelompok-kelompok yang bisa saling mendukung.
Matius 25:21, "Maka kata tuannya itu kepadanya : Baik sekali perbuatanmu itu, hai hambaku yang baik dan setia; engkau telah setia dalam perkata kecil, aku akan memberikan kepadamu tanggungjawab dalam perkara yang besar. Masuklah dan turutlah dalam kebahagiaan tuanmu".
Tuhan ingin agar hidup kita siap untuk dipertanggungjawabkan. Talenta juga termasuk anak-anak yang dipercayakan kepada kita, apakah kita telah mengembangkan potensi yang positif dari masing-masing anak? Sebagaimana kita serius di masing-masing bisnis, marilah kita juga serius untuk masing-masing anak, jadikan pergumulan dalam apa yang terbaik yang bisa kita berikan bagi anak-anak. Anak adalah batu ujian kesetiaan dan batu ujian kinerja kita di hadapan Tuhan.