BETA
Mengatasi Trauma
Sumber: telaga
Id Topik: 1172

Abstrak:

Sebagaimana gangguan lainnya, makin parah atau besar trauma yang pernah dialami, maka makin lama dan sukar penyelesaiannya. Didalam psikologi, gangguan ini dikenal dengan nama Post-Traumatic Stress Disorder, disingkat PTSD. Ketakutan yang mencekam akibat trauma dapat membuat kita sulit tidur, atau kalau pun dapat tidur, kita sering diganggu oleh mimpi buruk yang menyeramkan. Untuk mengatasi dampak trauma yang tidak separah PTSD, ada beberapa saran yang dapat diberikan. Pada prinsipnya oleh karena roh, jiwa, dan raga terkait erat, tidak bisa tidak untuk mengatasi trauma diperlukan penanganan terpadu.

Transkrip:

Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi, beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling. Perbincangan kami kali ini tentang “Mengatasi Trauma". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

GS : Pak Paul, beberapa waktu yang lalu kita memperbincangkan tentang trauma masa kecil dan sekarang kita membicarakan tentang mengatasi trauma. Mungkin ada para pendengar kita yang tidak mengikuti pada kesempatan yang lalu, supaya para pendengar kita bisa mengikuti acara ini dengan baik, boleh Pak Paul mengulang sejenak apa yang kita bicarakan pada kesempatan yang lalu ?

PG : Boleh. Jadi trauma itu mengacu pada sebuah peristiwa atau kejadian yang benar-benar menggoncangkan kalbu secara dahsyat. Jadi kita tidak membicarakan tentang rasa takut biasa, kita terkejut karena apa, bukan. Jadi kita menyaksikan sesuatu yang memang mengerikan kita, akibatnya dampak ketakutan itu terus berbekas. Ada beberapa hal yang perlu kita ketahui tentang trauma, yang pertama adalah makin muda kita mengalaminya makin berat efeknya, sebab kita ini makin dewasa dan makin memunyai kemampuan untuk bisa menahan trauma, bisa melihatnya dari kacamata yang berbeda, bisa merasionalisasi atau menolak untuk merasakan perasaan tertentu. Kalau anak kecil tidak bisa, jadi apa yang dialaminya itu langsung menohok dirinya. Jadi gempurannya itu lebih hebat. Dan yang berikut tentang trauma yang harus kita ketahui adalah kalau kita di masa kecil harus mengalami trauma apalagi yang berat berkali-kali maka sistem pertahanan jiwa kita terganggu misalnya kita menjadi orang yang rapuh, yang mudah sekali tegang, yang menghindar dari ketegangan atau kebalikannya kita mematikan perasaan, kita tidak lagi memunyai kepekaan sebab kita tidak mau dekat-dekat dengan perasaan. Itu adalah efeknya, jadi sistem pertahanan emosional kita terganggu sehingga kita tidak bisa hidup dengan perasaan kita secara bebas. Hal ketiga yang harus kita ketahui tentang trauma adalah kita akhirnya mengembangkan rasa takut terhadap banyak hal dan bukan hanya terhadap trauma tersebut. Jadi misalnya awalnya kita takut dengan suara yang keras, karena itu mengingatkan kita dengan orang tua yang bertengkar, tapi lama-lama kita tidak bisa melihat rasanya tidak harmonis, begitu melihat teman kerja kita tidak akur dengan temannya sedikit saja, kita sudah tegang sekali dan kita merasa seolah-olah nanti akan menjadi keributan yang besar. Jadi itulah tiga ciri trauma yang kita telah bahas. Sekarang kita akan mulai melihat bagaimana cara mengatasi trauma tersebut.

GS : Walaupun trauma itu sesuatu yang berat dan dimulai sejak kecil sebenarnya bisa diatasi, Pak Paul ?

PG : Memang ada orang yang tidak bisa mengatasinya secara tuntas karena memang trauma itu terlalu berat tapi dengan pertolongan Tuhan kebanyakan bisa diatasi.

GS : Ini bagaimana, Pak Paul ?

PG : Trauma yang kadarnya besar sekali dan memang efeknya bisa melumpuhkan hidup kita sehingga kita tidak bisa lagi hidup bebas. Ada satu lagi gangguan akibat trauma yang memang sering kita dengar yaitu PTSD (Post Traumatic Stress Disorder), jadi ketakutan yang mencekam akibat trauma dapat membuat kita sulit tidur ataupun kalau dapat tidur kita sering diganggu oleh mimpi buruk yang menyeramkan. Gejala lainnya adalah kita acap diganggu oleh serangan kepanikan dimana selama beberapa saat jantung kita berdegup bukan saja dengan cepat tapi juga dengan keras, kita seperti kehilangan tenaga tiba-tiba menjadi lemas dan terus mengeluarkan keringat dingin. Sudah tentu gangguan PTSD memerlukan penanganan yang lebih intensif dan tidak jarang juga obat untuk membantu memberikan ketenangan yang diberikan. Untuk mengatasi dampak trauma yang tidak separah PTSD ada beberapa saran yang dapat saya berikan, prinsipnya oleh karena roh, jiwa dan raga itu terkait, tidak bisa tidak, untuk mengatasi trauma diperlukan sebuah penanganan terpadu yang menyangkut roh, jiwa dan raga.

GS : Jadi orang yang mengalami trauma itu akan nampak di dalam kehidupan jasmaninya. Yang tadi Pak Paul katakan, lemas lalu berkeringat dingin, kelihatan sekali.

PG : Itu adalah gejala yang kita sebut dari serangan kepanikan. Jadi adakalanya datang mendadak, seringnya ini datangnya di pagi hari. Kenapa begitu ? Sebab pada malam hari waktu tidur kita tidak bisa mengendalikan apa yang kita akan mimpikan, biasanya pada waktu tidur yang akan muncul dari alam bawah sadar kita adalah hal-hal yang menakutkan sehingga waktu kita bangun, kita masih dibawah pengaruh hal-hal yang menakutkan itu, hal-hal yang traumatis itu. Itu sebabnya waktu kita bangun pagi hari, tidak ada angin tidak ada hujan datanglah serangan kepanikan tersebut kita tiba-tiba lemas, jantung kita tidak bisa berhenti berdegup dengan keras dan dengan cepat. Pikiran kita tiba-tiba sangat kalut dan kita merasa seakan-akan kita akan meninggal dunia, sepertinya serangan jantung tapi sebetulnya bukan, nafas kita pun bisa tersengal-sengal seolah-olah kita baru saja lari 10 km padahalnya kita baru bangun dari tidur, itu adalah gejala serangan kepanikan. Gejala PTSD yang lain adalah kita mimpi buruk, seringkali kita memimpikan perkara yang buruk dan yang mengerikan itu. Orang yang memang misalnya mengalami trauma yang berat itu seringkali harus dibayang-bayangi oleh ketakutan mimpi itu, maka sebagian dari mereka akhirnya susah tidur karena sebelum tidur sudah berantisipasi bahwa saya bakal mimpi buruk jadi ketakutan, ini seperti sebuah siklus, makin dia tidak tidur makin dia lemah, makin dia lemah makin mudah terserang oleh serangan kepanikan dan tubuhnya makin melemah berarti dia tidak bisa mengendalikan pikirannya dan tidurnya juga semakin terganggu.

GS : Kalau kita mulai saja dengan bagaimana cara mengatasinya secara jasmani dulu bagaimana, Pak Paul ?

PG : Secara jasmaniah kita harus menjaga kehidupan yang berimbang dan sehat. Kita harus makan sehat dan teratur serta tidur cukup dan konsisten artinya hampir pada waktu yang sama setiap hari, kita pun harus menjaga keseimbangan antara bekerja dan beristirahat sebab tubuh yang letih lebih memberi peluang munculnya serangan kecemasan. Kita juga harus berolahraga secara teratur, karena jantung yang sehat akan lebih kuat menahan gempuran ketakutan. Jadi langkah pertama adalah kalau kita mau memulainya dari aspek jasmaniah, benar-benar perhatikan tidur kita, makan kita dan keseimbangan antara bekerja dan juga beristirahat.

GS : Padahal trauma ini sangat erat kaitannya dengan perasaan seseorang. Ini terkait langsungnya dengan tubuh ini bagaimana ?

PG : Begini, sebab kalau tubuh kita sehat maka kita lebih bisa nanti misalnya melawan serangan kecemasan karena serangan kecemasan meskipun itu emosional langsung bermanifestasi di dalam degup jantung yang begitu keras dan kuat. Kalau jantung kita sehat, tubuh kita sehat berarti degupan itu lebih bisa dilawan secara otomatis oleh jantung kita. Tapi misalkan tubuh kita kurang sehat dan kita kurang tidur, tubuh kita sering letih atau sakit-sakitan dan jantung kita lebih melemah. Waktu kita diserang oleh serangan kepanikan jantung kita benar-benar tidak bisa lagi dikuasai dan benar-benar langsung berdegup keras sekali dan cepat sekali untuk memompa darah itu. Tapi kalau jantung kita sehat maka dia lebih bisa secara otomatis melawannya pula.

GS : Jadi harus diupayakan orang itu dalam kondisi yang sehat terus jasmaninya.

PG : Tidak bisa kita sangkal dalam tubuh yang sehat nanti ada sikap jiwani yang lebih positif; tidak bisa kita sangkal orang yang benar-benar tubuhnya fit cenderung berpikir lebih positif, sedangkan orang yang cenderung sakit cenderung untuk dikuasai oleh pikiran negatif dan itu berdampak buruk.

GS : Bagaimana mengatasinya secara jiwani ini, Pak Paul ?

PG : Secara jiwani kita harus menjalankan kehidupan mental yang positif dan terbuka. Coba saya paparkan apa yang harus kita lakukan. Yang pertama, jika kita belum pernah membicarakan trauma yang kita alami secara terbuka dan mendalam maka kita harus memulainya. Pada dasarnya kita harus kembali kepada peristiwa yang justru membuat dia trauma, oleh karena upaya melupakan tidak membawa hasil maka tidaklah efektif kalau kita terus berkutat pada usaha yang tidak membawa hasil ini. Jadi beranikanlah diri untuk membicarakannya secara terbuka dan mendalam. Didalam bercerita kenalilah perasaan yang dialami pada saat trauma itu berlangsung dan bila perasaan itu meluap, ijinkanlah untuk keluar secara alamiah. Misalnya kita ingin menangis, ijinkan diri untuk menangis, kita ingin marah maka ijinkan diri untuk merasakan marah. Proses mengingat dan menyalurkan keluar ini dapat berlangsung beberapa hari tapi juga dapat lebih lama. Coba saya berikan contoh misalnya, kita ini membicarakan tentang pertengkaran orang tua kita, kita mesti membicarakannya secara mendetail dengan seorang pembimbing atau konselor bahwa orang tua kita ini marahnya seperti begini dan biasanya orang tua kita akan berbuat ini dan mengatakan ini. Jadi benar-benar kita harus menceritakan sedetail mungkin dan pada saat itu kita menempatkan diri kembali pada peristiwa tersebut dan menanyakan apa yang kita rasakan. Apapun perasaan yang muncul, kita bukan saja keluarkan lewat perkataan, kalau memungkinkan langsung kita nyatakan secara emosional misalkan kemarahan, kesedihan, ketakutan, itu yang langsung kita rasakan dan ijinkan diri kita untuk merasakan itu semua. Jadi inilah langkah pertamanya, secara jiwani kita harus secara terbuka mengangkat kembali trauma tersebut dan membicarakannya. Ini susah justru, tadi kita sudah singgung, karena kita berusaha melupakannya tapi poin saya adalah kita tidak berhasil melupakannya dan ini terus mengikuti kita dan lebih baik dihadapi.

GS : Seringkali orang yang trauma terhadap sikap seperti itu, setiap kali dia bercerita maka setiap kali pula dia menangis. Seolah-olah kadar traumanya itu tidak berkurang.

PG : Memang tadi sudah saya singgung ini bisa berhari-hari atau berminggu-minggu atau berbulan-bulan. Jadi harus sering-sering dibicarakan, sampai akhirnya efek itu mulai berkurang. Yang tadinya emosi bisa sangat kuat mencekam keluar dengan begitu kerasnya, lama-kelamaan keluar sedikit dan tidak banyak lagi dan lama-kelamaan dia hanya menceritakan, tapi tidak sampai menangis, hanya menampakkan raut wajah yang sedih atau nada suara yang kecewa dan sebagainya. Jadi itulah yang kita harapkan sampai akhirnya.

GS : Karena lama maka yang bersangkutan menjadi enggan untuk bercerita karena dia tahu setiap kali dia bercerita maka pasti dia bakal menangis. Jadi dia menghindar jangan dibicarakan tentang itu, tapi itu tidak menyembuhkan diri.

PG : Betul sekali. Karena mungkin dia lelah sebab menangis itu lelah sekali dan benar-benar waktu dia harus menceritakan peristiwa itu tenaganya terkuras habis maka kecenderungannya adalah dia tidak mau cerita lagi. Dalam pembimbingan kita tidak meminta dia bercerita setiap hari, kalau kita tahu dia begitu kita minta dia untuk bercerita misalkan minggu depan bahkan dalam konseling kadang-kadang kita bisa berkata kepada klien kita misalkan dia minggu lalu sudah menceritakan seperti itu maka minggu ini tidak, jadi seperti istirahat sejenak dan minggu depannya baru melihat lagi peritiwa tersebut. Jadi kita harus mengerti bahwa untuk orang bisa menceritakan semua ini diperlukan suatu ketahanan emosional yang juga kuat.

GS : Kalau tidak harus bercerita hanya untuk dipikirkan saja dan akhirnya dia menangis juga karena memikirkan itu.

PG : Kenapa ? Sebab sekali lagi apa yang terjadi itu memang sangat berdampak pada dirinya sendiri. Jadi poin berikut yang saya mau angkat selain dari ketakutan yang mencekam, kita pun mesti dapat melihat dan mengakui dampak yang lain dari peristiwa traumatik itu pada diri kita. Misalnya oleh karena ayah dan ibu sering bertengkar hebat, akhirnya bukan saja relasi mereka sebagai suami istri memburuk, relasi mereka dan kita pun turut retak dan kita tidak lagi dapat bercengkerama dengan mereka secara bebas dan tidak bisa lagi menikmati sukacita bersama mereka dengan bebas. Singkat kata, kita kehilangan orang tua. Inilah dampak lain dari trauma tersebut yang harus dilihat dan diakui. Maka tadi Pak Gunawan cerita ada orang yang baru mengingat saja dia sudah sedih, sebab memang akhirnya trauma itu bukan saja memberikan dampak ketakutan, tapi juga merenggut hal-hal lain dalam dirinya dan hidupnya. Itu sebabnya bisa jadi kesedihan yang muncul itu keluar dari rasa kehilangan, kehilangan masa kecil, kehilangan orang tua, kehilangan kebahagiaan, kehilangan kehangatan dan sebagainya, itu yang dibawanya sampai usia dewasa sehingga waktu dia membicarakan perasaan yang keluar bukan hanya ketakutan. Maka penting dalam pembimbingan kita mau mengekplorasi perasaan-perasaan lainnya, karena dampak dari peristiwa yang menjadi trauma itu seringkali bukan hanya membuat kita tegang atau takut seringkali dampaknya meluas dan lebih dalam lagi.

GS : Selain itu dampak lain yang perlu kita hadapi apa, Pak Paul ?

PG : Begini, jadinya kita perlu menyadari dampak lain sebab dampak lain inilah yang memengaruhi kehidupan kita secara menyeluruh jadi bukan hanya ketakutannya itu. Misalnya karena kehilangan orang tua maka akhirnya kita sekarang menjadi orang tua yang takut kehilangan anak, kita tahu ada orang tua yang sangat protektif terhadap anaknya, bisa jadi karena masa kecil kita terhilang, orang tua kita tidak ada disamping kita misalnya terlalu ribut, hubungannya terlalu buruk sehingga tidak bisa bersama dengan kita. Jadi akhirnya setelah kita menjadi orang tua, kita sangat takut kehilangan anak dan kita berusaha memayungi mereka dari segala resiko kehidupan, karena tanpa disadari ada desakan dalam diri kita untuk selalu hadir dalam kehidupan anak, seakan-akan kita terus berupaya agar jangan sampai anak mengalami kehilangan orang tua seperti yang pernah kita alami. Inilah yang membuahkan bukan saja sikap protektif terhadap anak, tapi juga sikap mencemaskan anak. Ini salah satu dampaknya oleh karena trauma yang kita alami itu.

GS : Dan itu biasanya bagi anak juga tidak sehat karena terlalu dilindungi oleh ibunya atau ayahnya yang sebenarnya trauma, begitu Pak Paul.

PG : Betul. Jadi akhirnya kita mematahkan sayap si anak, anak itu jadinya tidak bisa mengembangkan dirinya dan tidak bisa mengembangkan kemandiriannya dan kepercayaan dirinya juga terganggu karena kita yang terlalu mencemaskan dia.

GS : Kadang-kadang orang tua juga tidak mau mengakui hal itu sebenarnya ini akibat dari traumanya. Dia hanya mengatakan, “Saya berhak untuk sayang terhadap anak saya".

PG : Jadi kadang-kadang untuk menyadarkan hal ini tidak mudah, sebab tadi sudah saya singgung kalau kita mengalami hal-hal yang buruk di masa kecil kita sedapat-dapatnya mau melupakannya. Akhirnya kita tidak melihat kaitan apa yang kita alami dulu itu dengan sikap kita sekarang terhadap anak dan kita tidak melihat itu, bahkan kalau disadarkan pun oleh pasangan kita mungkin kita marah dan kita berkata, “Tidak, saya sudah tidak ingat-ingat lagi masa kecil saya, memang dulu tidak enak dan sebagainya, tapi sekarang sudah tidak saya ingat lagi", tapi dia tidak sadari kalau itu adalah penyebabnya. Oleh karena dia kehilangan masa kecil maka dia tidak pernah benar-benar merasakan ada orang tua dalam hidupnya, sehingga sekarang dia menjadi orang yang terlalu mengkhawatirkan anak-anaknya.

GS : Kalau orang yang tidak menyadari akan masalahnya ini maka sulit untuk dibantu. Dia akan selalu menolak dan mengatakan, “Bukan itu masalahnya".

PG : Benar. Jadi kalau orang tidak siap untuk melihatnya maka kita tidak bisa memaksakan itu dan kita hanya berkata, “Kalau bukan itu memang tidak apa-apa". Mudah-mudahan saja satu kali misalkan sedang suasana enak bicara tentang masa kecil dan sebagainya dan kemudian kita tanya-tanya tentang peristiwa yang dialaminya itu dan kita bisa memunculkan pertanyaan-pertanyaan untuk mencari tahu perasaan apa yang dialami saat itu, misalnya dalam percakapan yang santai itu dia mengatakan, “Saya akhirnya merasa saya kehilangan masa kecil saya dan saya sepertinya hidup tanpa orang tua meskipun saya punya orang tua", kalau dia bicara seperti itu maka kita bisa berkata begini, “Saya bisa mengerti kenapa kamu sangat mau menjadi orang tua yang paling baik bagi anak-anak". Kita jangan langsung tangkap itu dan kemudian menembak dia dan berkata, “Itu yang saya bilang, sekarang kamu menjadi seperti ini, terlalu mencemaskan anak, terlalu protektif dengan anak karena dulu kamu begitu". Jangan seperti itu, kita jangan serang dia dan justru kita harus berikan pengertian kita dan berkata, “Saya sekarang mengerti kenapa kamu berusaha sekeras mungkin menjadi orang tua yang paling baik bagi anak-anakmu dan kamu tidak mau sampai anak-anak kehilangan orang tua". Pelan-pelan berbicara seperti itu bisa jadi nanti dia menyadari, “Ternyata itu yang membuat saya sangat takut kehilangan anak, sehingga saya selalu mau ikut campur dan hadir dalam kehidupan anak-anak saya".

GS : Kalau secara rohani bagaimana, Pak Paul ?

PG : Secara rohaniah kita harus menjalankan kehidupan yang beriman dan bersyukur. Ini dua kuncinya beriman dan bersyukur. Coba kita lihat dulu yang beriman, sesungguhnya beriman mengandung dua langkah, yang pertama kita berserah dan yang kedua berharap. Di dalam kitab Daniel 6 dicatat tentang Daniel yang dimasukkan ke dalam gua singa, pada zaman pemerintahan Raja Darius di Persia, Daniel ini menjadi salah seorang dari 3 pejabat tinggi negara yang membawahi 120 wakil raja. Pengangkatan ini menimbulkan iri hati sebab Daniel sendiri bukanlah orang Persia, melainkan orang Israel yang menjadi jajahan Persia. Oleh karena tidak dapat menemukan kesalahan Daniel akhirnya para wakil raja yang lain bermufakat membuat hukum agar semua insan di kerajaan Persia selama 30 hari tidak boleh menyampaikan doa permohonan kepada dewa atau manusia lain kecuali kepada raja. Dengan kata lain, mereka mengajukan sebuah hukum kepada raja seolah-olah raja itu adalah dewa yang mesti disembah. Sayangnya Raja Darius memenuhi saran dan hukum itu ditetapkan, begitu mendengar penetapan hukum itu di pasal 6 ayat 11 dikatakan Daniel pergi ke rumahnya dan berdoa serta memuji Allahnya seperti yang biasa dilakukannya. Sebagai akibat ketidaktaatannya kepada titah raja, Daniel kemudian dilempar ke gua singa namun singa tidak menerkamnya, coba dengarkan apa yang dikatakan kepada raja sewaktu ia dikeluarkan dari gua singa di Daniel 6:22 ditulis, “Allahku telah mengutus malaikat-Nya untuk mengatupkan mulut singa-singa itu, sehingga mereka tidak mengapa-apakan aku, karena ternyata aku tak bersalah di hadapan-Nya" . Disini kita bisa melihat bahwa Daniel beriman dalam pengertian dia berserah penuh kepada Tuhan akan apa pun yang menimpanya, ia menyerahkan hidupnya kepada Tuhan bukan saja untuk menerima apa yang baik, tapi juga untuk menerima apa yang buruk demi nama Tuhan maka kita tahu Daniel terus berdoa meskipun ada hukum yang melarangnya berdoa. Namun Daniel pun berharap entah bagaimana Tuhan akan melepaskannya dari mulut singa. Inilah bagian kedua dari iman. Jadi iman itu mengandung unsur berserah dan juga berharap, namun selain dari beriman kita pun juga harus menjalani kehidupan rohaniah yang bersyukur, sikap bersyukur dimulai dengan pemahaman bahwa Tuhan adalah Bapak yang baik dan mengasihi kita oleh karena ia baik dan mengasihi kita ia pun memberikan kepada kita karunia demi karunia. Singkat kata bersyukur berarti terus berterima kasih kepada Tuhan atas segala pemberian-Nya, baik kecil maupun besar. Jadi sekali lagi kuncinya adalah kehidupan yang beriman dan yang bersyukur, ini adalah resep untuk mengatasi trauma.

GS : Seringkali dimulai dari sini, pengobatan atau pemulihan orang itu dari trauma justru diperbaiki dari segi rohaniahnya orang itu.

PG : Memang idealnya kalau kita bisa langsung berikan ini dan dia langsung menerimanya dan dia bisa berubah, puji Tuhan, itu yang kita harapkan. Namun kadangkala tidak bisa, sebab sumbatan-sumbatan emosional itu sudah begitu parah di dalam jiwanya, itu sebabnya tidak bisa tidak kita harus meminta dia mengeluarkan dulu dan benar-benar semua sumbatan emosional harus dibukakan sehingga tekanan emosional bisa keluar dari dalam dirinya.

GS : Apalagi kalau traumanya itu diakibatkan karena ada kaitannya dengan sisi rohani, misalnya masa kecil dia dipaksa harus ke Sekolah Minggu dan itu menimbulkan hal yang tidak enak setiap kali masuk ke gereja, itu sulit melalui rohaniah lebih dulu.

PG : Betul. Jadi saya meyakini sebaiknya kita memberikan kesempatan untuk dia mengeluarkan perasaan-perasaannya dulu dan kita dengarkan dengan penuh empati baru kita bawa kepada tahapan yang terakhir yaitu mulailah hidup yang beriman dan yang beryukur, berserah kepada Tuhan apa adanya dan bersyukur apa yang Tuhan berikan kita terima. Jadi hidup yang lebih bebas dan kita tidak lagi akhirnya dikuasai oleh trauma tersebut.

GS : Terima kasih sekali Pak Paul untuk perbincangan kali ini, saya percaya akan menolong banyak orang yang hidup di dalam trauma. Para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bapak Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang “Mengatasi Trauma" . Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan menghubungi kami melalui surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@telaga.org dan kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.


Ringkasan:

Sebagaimana gangguan lainnya, makin parah atau besar trauma yang pernah dialami, maka makin lama dan sukar penyelesaiannya. Stres atau tekanan jiwa begitu kuat sehingga kita sulit melanjutkan hidup secara bebas. Didalam psikologi, gangguan ini dikenal dengan nama, Post-Traumatic Stress Disorder, disingkat PTSD. Ketakutan yang mencekam akibat trauma dapat membuat kita sulit tidur, atau kalau pun dapat tidur, kita sering diganggu oleh mimpi buruk yang menyeramkan. Gejala lainnya adalah kita acap diganggu oleh serangan kepanikan, dimana selama beberapa saat jantung berdegup bukan saja dengan cepat, tetapi juga dengan keras. Kita seperti kehilangan tenaga, tiba-tiba menjadi lemas dan terus mengeluarkan keringat dingin. Sudah tentu gangguan PTSD memerlukan penanganan yang lebih intensif dan tidak jarang, juga obat untuk membantu memberikan ketenangan yang dibutuhkan.

Untuk mengatasi dampak trauma yang tidak separah PTSD, ada beberapa saran yang dapat saya berikan. Pada prinsipnya oleh karena roh, jiwa dan raga terkait erat, tidak bisa tidak untuk mengatasi trauma diperlukan penanganan terpadu.

SECARA JASMANIAH, kita mesti menjaga kehidupan yang berimbang dan sehat. Kita mesti makan sehat dan teratur serta tidur cukup dan konsisten—hampir pada jam yang sama. Kita pun harus menjaga keseimbangan antara kerja dan istirahat sebab tubuh yang letih lebih memberi peluang besar munculnya serangan kecemasan. Kita juga mesti berolahraga secara teratur karena jantung yang sehat akan lebih kuat menahan gempuran ketakutan.

SECARA JIWANI, kita harus menjalankan kehidupan mental yang positif dan terbuka. Ada beberapa langkah yang bisa kita lakukan.

  • Jika kita belum pernah membicarakan trauma yang kita alami secara terbuka dan mendalam, kita harus memulainya. Dan, bila perasaan itu meluap, izinkanlah untuk keluar secara alamiah. Misalkan kita ingin menangis, izinkan diri untuk menangis. Bila kita ingin marah, izinkan diri untuk merasakan kembali kemarahan.
  • Berikut, selain dari ketakutan yang mencekam kita pun mesti dapat melihat dan mengakui dampak yang lain dari peristiwa traumatik itu pada diri kita. Misalkan, oleh karena ayah dan ibu sering bertengkar hebat, akhirnya bukan saja relasi mereka sebagai suami-istri memburuk, relasi mereka dan kita pun turut retak.
  • Kita perlu menyadari dampak lain ini, sebab sering kali dampak lain ini memengaruhi kehidupan kita secara menyeluruh. Sebagai contoh, oleh karena kehilangan orang tua inilah, maka akhirnya kita sekarang menjadi orang tua yang takut kehilangan anak. Kita berusaha memayungi mereka dari segala risiko kehidupan karena tanpa disadari, ada selalu desakan dalam diri kita untuk selalu hadir dalam kehidupan anak. Seakan-akan kita terus berupaya agar jangan sampai anak mengalami kehilangan orang tua seperti yang pernah kita alami.

SECARA ROHANIAH kita harus menjalankan kehidupan yang beriman dan bersyukur. Sesungguhnya beriman mengandung dua langkah: (a) berserah dan (b) berharap. Di dalam Kitab Daniel 6 dicatat tentang Daniel yang dimasukkan ke dalam gua singa. Pada masa pemerintahan Raja Darius di Persia, Daniel menjadi salah satu dari tiga pejabat tinggi negara yang membawahi 120 wakil raja—dan pengangkatan ini menimbulkan iri hati sebab Daniel sendiri bukanlah orang Persia melainkan orang Israel yang menjadi jajahan Persia. Oleh karena tidak dapat menemukan kesalahan Daniel, akhirnya mereka bermufakat membuat hukum agar semua insan di Kerajaan Persia selama 30 hari tidak boleh menyampaikan doa permohonan kepada dewa atau manusia lain, kecuali kepada raja. Sayangnya raja memenuhi saran dan hukum itu pun ditetapkan. Begitu mendengar penetapan hukum itu, Daniel pergilah ke rumahnya dan "berdoa serta memuji Allahnya, seperti yang biasa dilakukannya." (6:11) Sebagai akibat dari ketidaktaatannya kepada titah raja, Daniel pun dilempar ke gua singa namun singa tidak menerkamnya. Coba dengarkan apa yang dikatakannya kepada raja sewaktu ia dikeluarkan dari gua singa, "Allahku telah mengutus malaikat-Nya untuk mengatupkan mulut singa-singa itu sehingga mereka tidak mengapa-apakan aku, karena ternyata aku tidak bersalah di hadapan-Nya . . . ." (6:22)

Disini kita dapat melihat bahwa Daniel beriman, dalam pengertian ia berserah penuh kepada Tuhan akan apa pun yang menimpanya. Selain dari beriman, kita pun mesti menjalani kehidupan rohaniah yang bersyukur. Sikap bersyukur dimulai dengan sebuah pemahaman bahwa Tuhan adalah Bapa yang baik dan mengasihi kita. Oleh karena Ia baik dan mengasihi kita, Ia pun memberikan kepada kita karunia demi karunia. Singkat kata, bersyukur berarti terus berterima kasih kepada Tuhan atas segala pemberian-Nya—kecil atau pun besar. Ya, beriman dan bersyukur adalah resep mengatasi trauma.


Questions: