BETA
Kata Hati
Sumber: telaga
Id Topik: 1165

Abstrak:

Salah satu misteri dalam hidup adalah hadirnya "suara" di dalam lubuk hati terdalam yang "bukan bagian dari diri sendiri." Dikatakan, "bukan bagian dari diri sendiri" sebab bukankah acap kali "suara" ini meminta kita melakukan sesuatu yang bukan saja TIDAK kita pikirkan sebelumnya, tetapi juga, TIDAK kita inginkan. Karena itu adakalanya kita berusaha melarikan diri dari "suara" ini. Atau setidaknya, kita berusaha mengalihkan perhatian sehingga tidak lagi berkesempatan mendengarkan "suara" ini. Namun, apa pun yang kita perbuat, satu hal yang TIDAK dapat kita lakukan adalah membungkam "suara" ini. "Suara" itu tetap berkata-kata—tidak peduli didengarkan atau tidak. Suara ini adalah kata hati atau nurani.

Transkrip:

Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi, beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling. Perbincangan kami kali ini tentang "Kata Hati". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

GS : Pak Paul, entah disadari atau tidak, kadang-kadang kita suka berdialog dengan diri sendiri, kadang-kadang ada semacam suara yang kita tidak bisa dengar terlalu jelas tetapi memberikan dorongan yang cukup kuat kepada kita sehingga kita harus berpikir. Sebenarnya apa itu, Pak Paul ?

PG : Memang salah satu misteri dalam hidup adalah hadirnya suara di dalam lubuk hati terdalam yang bukan bagian dari diri sendiri. Saya katakan bukan bagian dari diri sendiri sebab bukankah acapkali suara ini meminta kita melakukan sesuatu yang bukan saja tidak kita pikirkan sebelumnya, tetapi juga tidak kita inginkan. Itu sebab adakalanya kita berusaha melarikan diri dari suara ini. Atau setidaknya kita berusaha mengalihkan perhatian sehingga tidak lagi berkesempatan mendengarkan suara ini. Jadi saya berikan contoh, kalau misalkan kita marah dengan seseorang dan kita ini berkata, "Pokoknya sampai kamu minta maaf, maka saya tidak akan mau bicara dengan kamu" itu sebetulnya yang ingin kita lakukan tapi tiba-tiba muncul suatu suara dalam diri kita berkata, "Tidak, kamu harus memulai dulu percakapan itu". Itu sebabnya saya berkata suara ini sebetulnya bukan bagian dari diri kita dan apa pun yang kita perbuat satu hal yang tidak dapat kita lakukan adalah membungkam suara itu. Suara itu tetap berkata-kata tidak peduli didengarkan atau tidak, misalkan kita berkata, "Tidak, saya tidak mau" tapi suara itu tetap berkata, "Tidak, kamu harus". Suara itu seperti tidak kenal kompromi dan tetap akan berkata, "Kamu harus memulai percakapan dengan dia". Jadi benar-benar kita tidak bisa membungkam suara itu. Suara ini adalah kata hati atau nurani.

GS : Itu dimiliki oleh semua orang, Pak Paul ?

PG : Benar. Semua manusia memiliki kata hati ini.

GS : Kenapa itu disebut kata hati, bukankah itu berasal dari pikiran kita sendiri ?

PG : Masalahnya adalah kalau kita katakan dari pikiran kita sendiri, pikiran kita sebetulnya yang tadi saya sebut itu yaitu kita tidak mau bicara lagi dengan orang itu sampai dia yang memulai percakapan, itu yang kita inginkan dan kita tidak punya pikiran lain. Tapi suara itu tiba-tiba muncul dan kenapa saya katakan bukan bagian dari diri kita, sebab yang pertama kita tidak berpikir untuk seperti itu dan yang kedua kita tidak suka dengan perkataan itu. Jadi justru kalau bisa kita ingin melarikan diri dari suara itu, kita tidak mau mendengarkannya. Kalau kita berkata ini dari diri kita sendiri, saya percaya memang bukan, sebab benar-benar itu berlawanan dengan kehendak hati kita.

GS : Apakah itu berarti di dalam diri kita ada dua kepribadian, Pak Paul ?

PG : Tidak. Jadi dalam diri kita memang hanya ada satu kepribadian tapi entah mengapa di dalam diri manusia ada suara itu. Nanti kita akan mencoba menyimak sebetulnya apa suara itu dan dari mana datangnya suara itu.

GS : Jadi sebelum kita lebih jauh bicara tentang itu kami berharap Pak Paul bisa menjelaskan apa sebenarnya suara itu ?

PG : Istilah kata hati atau nurani, kata nurani berasal dari kata nur yang berarti sinar atau cahaya. Kita tahu bahwa suara ini selalu meminta kita melakukan sesuatu yang mulia, yang terang dengan cara memberikan panduan atau pencahayaan agar kita dapat melihat jalan yang semestinya ditempuh. Kita pun mahfum bahwa suara ini menerangi perbuatan yang kita lakukan bahkan di dalam gelap sekalipun. Itu sebabnya kendati tidak dapat dilihat apalagi diketahui orang, bagi kita yang melakukannya kita tetap mengetahui nilai moral dari perbuatan itu baik atau buruk, benar atau salah. Jadi misalkan kita mengerjakan tugas sekolah, tapi kita sebetulnya menyontek dan tidak ada yang melihat karena kita mengerjakannya di rumah, kemudian kepada guru kita berkata, "Ini hasil karya saya" padahal kita menyontek. Itu kita kerjakan di dalam gelap namun sewaktu kita mengerjakannya sebetulnya suara itu berkata, "Kamu sedang menyontek dan ini tidak benar." Ini yang saya maksud dengan nurani, pencahayaan tiba-tiba seperti cahaya datang menyinari perbuatan kita yang kita lakukan dalam gelap itu sehingga kita tidak bisa tidak, harus melihat apa adanya dan bahwa ini adalah sebuah perbuatan yang tidak benar. Dalam bahasa Inggris istilah nurani kita sebut "conscience" dan kata "conscience" berasal dari bahasa Latin yaitu con dan scire . Istilah ‘scire’ bermakna mengetahui, dari kata ‘scire’ ini muncul kata ‘science’. Sedangkan kata ‘con’ berarti dengan atau bersama-sama. Jadi istilah ‘conscire’ berarti mengetahui bersama dengan. Jadi maksudnya kata ‘conscience’ itu mengacu pada seperti ada orang dalam diri kita yang mengetahui bersama dengan kita, sebenarnya apa yang kita lakukan. Jadi suara ini mengetahui semua dan sedalam-dalamnya serta kepadanya kita tidak dapat berbohong, ia selalu bersama dengan kita. Itu sebab dia mengetahui apa pun yang kita perbuat.

GS : Jadi kata hati ini selamanya positif, begitu Pak Paul ?

PG : Betul. Kata hati selamanya positif karena selalu menuntun kita melakukan hal yang benar.

GS : Kalau ada suara lain yang berkata misalnya tadi mencontek. Kita sudah ditegur oleh suara atau kata hati itu tapi ada suara lain yang berkata, "Tidak apa-apa orang lain juga berbuat seperti itu". Itu suara yang mana lagi, Pak Paul ?

PG : Itu adalah suara kita, karena kita mencoba membenarkan tindakan kita. Nah yang menuduh kita dan menegur kita dan mencahayai kita sehingga kita melihat apa yang benar, itulah nurani atau kata hati.

GS : Apakah inspirasi yang dimiliki seseorang juga berasal dari kata hati ini ?

PG : Betul. Kalau kita mendapatkan suatu dorongan melakukan sesuatu yang mulia yang sebetulnya kita tahu ini akan merugikan kita bahkan mengorbankan diri kita, tapi kita tetap mau melakukannya. Nah, inspirasi seperti itu muncul dari nurani yaitu kata hati itu.

GS : Ini dari mana asal kata hati itu, Pak Paul ?

PG : Sudah tentu pesan moral yang kita serap baik dari orang tua maupun sekeliling bersumbangsih dalam perkembangan nurani. Sebagai contoh, kita tahu bahwa belajar bukan saja baik, tapi merupakan tanggung jawab kita sebagai pelajar. Itu sebabnya sewaktu kita tidak belajar misalnya kita malah bermain video games kitapun merasa bersalah karena nurani menegur kita yang lalai melakukan sesuatu yang seharusnya dilakukan. Pada umumnya pesan moral semacam ini diserap dari lingkungan dan menjadi bagian atau suara dari kata hati namun nurani atau suara ini lebih dari sekadar pesan moral dari lingkungan. Saya berikan sebuah hipotesis, jika suara atau nurani seluruhnya berasal dari pesan moral lingkungan, maka seharusnya apa pun yang diajarkan lingkungan diterima sepenuhnya tanpa ada pesan lain atau alternatif lain. Kenyataannya adalah tidak selalu kita mengikuti pesan moral lingkungan, kadang kita malah melawan pesan moral lingkungan, entah mengapa kita menyadari bahwa pesan moral lingkungan bukanlah pesan moral yang termulia. Saya berikan contoh, misalnya orang tua kita bukannya orang jahat tapi orang baik, namun manusia terbatas. Misalkan orang tua kita sering bicara begini, "Kamu jangan bodoh, kalau orang minta tolong jangan cepat-cepat berkata iya, ingat itu" ini pesan moral yang kita terima dari orang tua kita dan kita tidak mengenal pesan moral lain dari lingkungan. Nah, misalkan suatu hari kita sedang berjalan dan kemudian melihat seorang tukang minta-minta, dia mengeluarkan tangan meminta uang kepada kita, sebetulnya kita punya uang dan kita mau memakainya untuk membeli bekal kemudian tiba-tiba suara itu berkata dalam hati kita, "Berikan uangmu kepada orang yang mengemis itu". Darimanakah munculnya ? Kalau nurani kita sepenuhnya berasal dari pesan moral lingkungan dalam hal ini orang tua kita, maka seharusnya tidak ada lagi suara yang lain dan hanya dari orang tua kita, tapi kenapa tiba-tiba muncul suara yang meminta kita melakukan sesuatu yang tidak pernah kita pikirkan dan sulit karena merugikan kita, justru berlawanan dengan apa yang orang tua kita katakan. Jadi bisa kita simpulkan ada sesuatu dari dalam diri yang memberikan cahaya atau terang sehingga kita melihat alternatif lain yang berbeda, yang tidak diajarkan oleh lingkungan, namun dari lubuk hati terdalam kita tahu bahwa alternatif lain ini terlebih murni dan benar, tidak ada yang mengatakannya dan mengajarkannya tapi dari dalam hati kita tahu bahwa pesan suara ini, "Berikan uang itu kepada si pengemis" lebih mulia ketimbang pesan yang kita terima dari lingkungan atau dalam hal ini orang tua kita yang berkata, "Kalau orang minta kamu jangan langsung beri". Suara itu memang adalah cahaya penuntun yang menyadarkan kita bahwa ada yang benar dan sungguh-sungguh mulia yang dapat kita perbuat.

GS : Apakah pengaruh lingkungan itu cukup besar ? Misalnya seorang anak yang dibesarkan di suatu lingkungan keluarga yang seringkali tidak menghiraukan kata hati atau katakan selalu berbuat kejahatan dan sebagainya, dibandingkan dengan seorang anak yang dibesarkan dalam keluarga baik-baik dan terus memberikan bimbingan untuk mendengarkan kata hati itu.

PG : Itu benar sekali akan ada bedanya. Jadi anak yang dibesarkan dalam lingkungan dimana dia terus menerima pesan yang salah atau keliru, lama kelamaan sudah tentu pesan moral itu akan memengaruhi si anak sehingga meskipun suara itu tetap menunjukkan kebenaran, apa yang harus dilakukan dan sebagainya, namun tidak bisa disangkal perlawanan dari lingkungan yang diserap menjadi pesan moral dan si anak akan berusaha melawan suara tersebut. Tapi sebaliknya kalau lingkungan kita adalah lingkungan baik yang mementingkan hal yang benar, mementingkan kehendak Tuhan, waktu suara itu berkata lakukan hal yang benar dan sebagainya maka pesan moral lingkungan lebih sinkron, sudah tentu itu akan lebih mendukung atau memerkuat.

GS : Apakah kita sebagai orang beriman boleh mengatakan kalau suara hati adalah suara Tuhan, begitu Pak Paul ?

PG : Saya percaya memang demikian, bahwa benar-benar kalau kita pikir-pikir tidak ada lagi penjelasan lain, suara ini memang berasal dari Tuhan. Saya berikan contoh yang lain lagi, yang memerlihatkan bahwa suara ini benar-benar bukan dari manusia, bukan dari lingkungan. Saya ambil ini dari sejarah, selama ratusan tahun Kerajaan Inggris Raya melegalkan perdagangan dan kepemilikan budak, praktek kehidupan yang sudah mendarah daging dilakukan manusia di semua benua mulai dari ribuan tahun yang lampau, jadi bukan dimulai dari Kerajaan Inggris, tapi praktek memelihara budak, berdagang budak itu sering dilakukan ribuan tahun yang lalu. Seyogianya jika kata hati sepenuhnya berasal dari lingkungan maka semua orang di Kerajaan Inggris meyakini bahwa perbudakan bukanlah sesuatu yang salah sebab sekali lagi itu adalah sebuah praktek yang dilakukan turun-temurun dan tidak ada lagi yang mengatakan kalau ini tidak benar atau salah, karena semua melakukannya. Namun sebagaimana kita ketahui, setidaknya ada seseorang yang bernama William Wilberforce, seorang anggota parlemen yang menggagas untuk menghapuskan perbudakan. Setelah mencoba bertahun-tahun akhirnya perbudakan dihapuskan oleh Kerajaan Inggris dan efek perubahan hukum ini menjalar sampai ke Amerika, mantan koloni Kerajaan Inggris. Akhirnya kita mengetahui di bawah presiden Abraham Lincoln perbudakan dihapuskan. Baik Wilberforce maupun Lincoln keduanya ini bertumbuh besar di dalam lingkungan yang melegalkan perbudakan, karena saat itu Lincoln hidup di Amerika dimana perbudakan itu dilegalkan, namun keduanya menyadari bahwa perbudakan bukan bagian terbaik dari diri manusia. Jadi sekali lagi jika kata hati sepenuhnya berasal dari lingkungan maka keduanya baik Wilberforce dan Lincoln tidak seharusnya memunyai pesan moral yang lain. Kenyataan bahwa keduanya melihat pesan moral lain yang terlebih mulia, hal ini menandakan bahwa nurani atau kata hati bukan semata pesan moral yang berasal dari lingkungan.

GS : Lalu dari mana, kalau kita tidak bisa mengatakan itu dari lingkungan maka tidak mungkin tiba-tiba ada suara hati itu.

PG : Nurani memang berasal dari Tuhan sendiri. Kejadian 1:27 menjelaskan, "Maka Allah menciptakan manusia itu menurut gambar-Nya, menurut gambar Allah diciptakan-Nya dia". Kita ini benar-benar diciptakan Tuhan sangat serupa dengan Tuhan. Kita tahu yang terpenting dari Tuhan bukanlah wujud jasmaniah, yang terpenting dari Tuhan adalah nilai-nilai luhur moral, kekudusan-Nya, keadilan-Nya, kasih sayang-Nya, kesetiaan-Nya. Waktu Tuhan berkata Dia menciptakan manusia seturut dengan gambar-Nya, intinya adalah Tuhan menciptakan kita dengan modal-modal karakter seperti yang Tuhan miliki pula. Jadi benar-benar kita bisa berkata nurani berasal dari Tuhan sendiri sebab nurani adalah tuntunan yang dititipkan Tuhan kepada manusia agar ia dapat hidup sesuai dengan kehendak Allah.

GS : Sebelum manusia jatuh ke dalam dosa, memang kita bisa memahami seperti itu, tetapi bagaimana setelah manusia itu jatuh di dalam dosa, apakah dosa itu juga mencemari hati nurani yang Tuhan berikan kepada manusia ?

PG : Saya melihatnya seperti ini, nurani itu sendiri adalah titipan Tuhan dan tuntunan yang Tuhan berikan kepada manusia, namun pesan moral yang kita terima dari lingkungan, itu adalah tidak selalu mencerminkan kehendak Tuhan dan standar Tuhan, namun karena kita hidup dalam lingkungan kita dan dari kecil kita harus menelan dan menyerap pesan-pesan moral itu, maka tidak bisa tidak, pesan moral yang kita terima dari lingkungan menyerap masuk merembes ke dalam diri kita, makanya kadang-kadang pesan moral ini seolah-olah berdiri bertabrakan dengan nurani. Kadang-kadang yang kita ikuti adalah pesan moral ini. Jadi seperti contoh yang saya berikan, kita sudah diperingati orang tua kita jangan mudah memberikan kepada orang yang meminta. Kalau kita akhirnya hanya perhatikan pesan moral itu, maka tidak bisa tidak tindakan kita nantinya akan terkecohkan, tapi saya percaya Tuhan menempatkan nurani dalam hati kita supaya tetap kita berkesempatan mengetahui sebenarnya apakah yang benar itu. Kita tahu bahwa nanti akan ada penghakiman akhir, Tuhan hanya berhak menuntut kita bertanggung jawab atas perbuatan kita kalau kita tahu benar dari salah. Karena itu di surat Paulus kepada jemaat di Roma, kita bisa membaca di pasal satu dan dua, kondisi yang begitu rusak di kota Roma, Paulus dengan tegas mengatakan bahwa Tuhan sebetulnya sudah memberikan kepada mereka pengetahuan yang sangat jelas, apa yang seharusnya tapi mereka meninggalkan apa yang seharusnya itu. Jadi dengan kata lain, tidak ada seorang pun yang bisa berkata kepada Tuhan pada penghakiman akhir nanti, "Tuhan saya tidak tahu, benar-benar saya tidak mengerti mana yang benar" tidak! Tuhan akan berkata, "Aku sudah menitipkan suara-Ku di hatimu" namun besarnya pengaruh lingkungan itu. Jadi kalau kita dibesarkan dalam lingkungan yang memang buruk, kita menerima pesan moral yang sudah terselewengkan maka tidak bisa tidak pergumulan kita melakukan yang benar menjadi lebih berat.

GS : Tapi untuk bisa mendengarkan suara hati dengan baik, maka butuh latihan. Karena kita berhadapan dengan sesama manusia saja untuk bisa menangkap kata-kata, butuh latihan bertahun-tahun dan itu tidak mudah.

PG : Pada akhirnya yang dibutuhkan dan diminta Tuhan adalah ketaatan. Tuhan tidak menciptakan telinga yang berbeda-beda (maksudnya telinga rohani) semua diberikan telinga rohani yang sama. Kalau yang satu mendengar tapi yang satu tidak mendengar, bukan karena Tuhan itu tidak adil. Yang satu diberikan telinga yang lebih peka, yang satu lebih tuli, tidak seperti itu tapi persis sama, bedanya adalah yang satu memilih menaati yang satu memilih tidak menaati. Makin menaati suara Tuhan yang meminta kita melakukan kehendak-Nya, yang pertama kita semakin mengenali suara Tuhan itu dan yang kedua kita makin lebih jelas mendengar-Nya. Makin kita sering berbicara dengan orang tua kita, maka kita makin kenal suara orang tua kita. Kita makin dekat dengan suara orang tua kita. Jadi akhirnya apa yang orang tua kita katakan kita cenderung lebih sering melakukan, demikian juga sama dengan hati nurani ini, makin sering kita menaati maka makin jelas kita mendengarnya.

GS : Supaya seseorang yang tadinya pendengarannya lebih tumpul terhadap kata hati, supaya mereka bisa pulih lagi pendengarannya, itu bagaimana, Pak Paul ?

PG : Tidak ada jalan lain, Pak Gunawan, begitu kita mendengar nurani mengatakan sesuatu meskipun sulit untuk dia lakukan, melanggar egonya, merendahkan dirinya dan sulit untuk dia lakukan, maka dia harus melakukannya dan dia harus mendengarkan suara hati ini.

GS : Jadi sebenarnya sejahat-jahatnya seseorang kata hati itu tidak bisa mati, Pak Paul ?

PG : Tidak, suara itu akan terus berkata-kata kepada kita, kita tidak mau mendengarkan atau mau mendengarkan, tetap suara itu akan berkata-kata. Saya berikan contoh sewaktu Daud akhirnya masuk ke dalam istana Saul, Saul makin hari makin iri hati, Saul akhirnya bertekad membunuh Daud dan Yonatan anak Saul membela Daud, dia pernah meminta ayahnya, "Jangan kamu membunuh Daud, dia orang yang baik" ada saat-saat Saul mendengarkan kata-kata dari putranya Yonatan, dia bilang, "Baik, saya tidak akan lagi mengejar dan membunuh Daud". Ada contoh Saul berada di gua dan Daud berkesempatan membunuhnya, tapi Daud tidak membunuhnya dan Daud berbicara kepadanya, Saul menangis sedih dan berkata, "Kenapa saya jahat sekali mau berbuat jahat kepada kamu". Saya percaya saat itu Saul tidak berpura-pura dan memang menyesal, tapi itulah kelemahan Saul dia menyesal 2 hari dan dia lupa dengan penyesalannya. Jadi apa yang terjadi ? Menurut saya detik-detik itu dia seolah-olah disadarkan kembali sebab suara itu rupanya sudah sering berkata-kata kepada Saul, "Kamu bisa begitu jahat mau membunuh orang yang tidak bersalah". Tapi sekali lagi karena ambisinya, keinginannya mau memertahankan takhta kerajaan, itu yang membutakannya.

GS : Jadi sebenarnya kepekaan itu bisa dilatih. Jadi bisa ditumbuhkan kata hati itu di dalam diri seseorang ?

PG : Saya percaya begitu, ini menurut saya tanggung jawab kita. Tuhan memberikan suara yang sama kepada setiap orang, kitalah yang sekarang bertanggungjawab untuk menaatinya. Kalau kita tidak menaatinya memang makin hari hati kita makin keras, makin kita tidak peduli dengan suara itu, tapi kalau kita menaatinya maka hati kita makin lembut. Makin tidak bisa kita melawan suara itu, tidak tega, bersalah, jadi kita makin lebih cepat melakukannya.

GS : Jadi sebenarnya kita harus beryukur kalau Tuhan melengkapi kita dengan kata hati di dalam diri kita masing-masing. Hanya tinggal kita perlu melatih kepekaan kita untuk mendengarkannya karena ini semua positif yang keluar dari kata hati kita. Padahal ada bagian firman Tuhan yang mengatakan bahwa dari dalam hati juga keluar hal-hal yang buruk. Ini bagaimana, Pak Paul ?

PG : Karena sekali lagi kita diciptakan Tuhan sebetulnya sesuai kehendak Tuhan tapi kita memilih berdosa melawan Tuhan maka dosa itu menjadi bagian hidup kita. Pesan-pesan moral yang kita terima dari lingkungan sudah tentu pesan moral yang tidak sempurna, yang sudah tercemar dosa dan kita masukkan dalam diri kita, menjadi bagian dari hidup kita yang akhirnya kadang-kadang maunya kita itu melakukan hal-hal yang hanya memuaskan diri dan mementingkan diri dan tidak peduli dengan orang, sehingga suara itu terus memberi tekanan kepada kita, peringatan demi peringatan.

GS : Terima kasih sekali Pak Paul untuk perbincangan kali ini dan para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bapak Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Kata Hati" . Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan menghubungi kami melalui surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@telaga.org kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.


Ringkasan:

Salah satu misteri dalam hidup adalah hadirnya "suara" di dalam lubuk hati terdalam yang "bukan bagian dari diri sendiri." Saya katakan, "bukan bagian dari diri sendiri" sebab bukankah acap kali "suara" ini meminta kita melakukan sesuatu yang bukan saja TIDAK kita pikirkan sebelumnya, tetapi juga, TIDAK kita inginkan. Itu sebab adakalanya kita berusaha melarikan diri dari "suara" ini. Atau setidaknya, kita berusaha mengalihkan perhatian sehingga tidak lagi berkesempatan mendengarkan "suara" ini. Namun, apa pun yang kita perbuat, satu hal yang TIDAK dapat kita lakukan adalah membungkam "suara" ini. "Suara" itu tetap berkata-kata—tidak peduli didengarkan atau tidak. Suara ini adalah kata hati atau nurani.

Makna Kata

Istilah nurani berasal dari kata "nur" yang berarti sinar atau cahaya. Kita tahu bahwa "suara" ini selalu meminta kita melakukan sesuatu yang mulia—yang terang—dengan cara memberikan panduan atau pencahayaan agar kita dapat melihat jalan yang semestinya ditempuh. Dan, kita pun mafhum bahwa "suara" ini menerangi perbuatan yang kita lakukan bahkan di dalam gelap sekalipun. Itu sebab kendati tidak dapat dilihat apalagi diketahui orang, bagi kita yang melakukannya, kita tetap mengetahui nilai moral dari perbuatan itu—baik atau buruk; benar atau salah.

Di dalam bahasa Inggris, istilah nurani disebut conscience dan kata ini berasal dari bahasa Latin, con dan scire. Istilah scire bermakna "mengetahui" sedang kata con berarti "dengan" atau "bersama-sama." Jadi, istilah con-scire berarti "mengetahui bersama dengan." Ada sesuatu di dalam diri sendiri yang mengetahui semua dan sedalam-dalamnya dan kepadanya kita tidak dapat berbohong. Ia selalu bersama dengan kita; itu sebab ia mengetahui apa pun yang kita perbuat.

Asal Muasal Nurani

Darimanakah asalnya nurani atau kata hati? Sudah tentu pesan moral yang kita serap, baik dari orang tua maupun sekeliling bersumbangsih dalam perkembangan nurani. Sebagai contoh, kita tahu bahwa belajar bukan saja baik tetapi merupakan tanggung jawab kita sebagai pelajar. Itu sebabnya sewaktu kita tidak belajar—malah bermain video games—kita pun merasa bersalah karena nurani menegur kita yang lalai melakukan sesuatu yang seharusnya dilakukan.

Nah, pada umumnya pesan moral semacam ini diserap dari lingkungan dan menjadi bagian dari "suara" atau kata hati. Namun nurani atau "suara" ini lebih dari sekadar pesan moral dari lingkungan. Jika "suara" atau nurani seluruhnya berasal dari pesan moral lingkungan, maka seharusnya apa pun yang diajarkan lingkungan, diterima sepenuhnya tanpa ada pesan lain atau alternatif lain. Kenyataannya adalah tidak selalu kita mengikuti pesan moral lingkungan; kadang kita malah melawan pesan moral lingkungan. Entah mengapa kita menyadari bahwa pesan moral lingkungan bukanlah pesan moral yang termulia. Ada sesuatu dari dalam diri yang memberikan cahaya atau terang sehingga kita melihat alternatif lain yang berbeda—yang tidak diajarkan oleh lingkungan—namun dari lubuk hati terdalam kita tahu, bahwa alternatif lain ini terlebih murni dan benar.

Saya berikan sebuah contoh. Selama beratusan tahun Kerajaan Inggris Raya melegalkan perdagangan dan pemilikan budak—praktek kehidupan yang sudah mendarah daging dilakukan manusia di semua benua mulai dari ribuan tahun yang lampau. Seyogianya, jika kata hati sepenuhnya berasal dari lingkungan, maka semua orang di Kerajaan Inggris, meyakini bahwa perbudakan bukanlah sesuatu yang salah.

Namun sebagaimana kita ketahui, setidaknya ada seseorang yang bernama William Wilberforce, seorang anggota parlemen, yang menggagas untuk menghapuskan perbudakan. Setelah mencoba selama bertahun-tahun, akhirnya perbudakan dihapuskan dan efek perubahan hukum ini menjalar sampai ke Amerika, mantan koloni Kerajaan Inggris. Di bawah Presiden Abraham Lincoln perbudakan pun dihapuskan.

Baik Wilberforce maupun Lincoln, keduanya bertumbuh besar di dalam lingkungan yang melegalkan perbudakan namun keduanya menyadari bahwa perbudakan bukan bagian yang terbaik diri manusia. Jika kata hati sepenuhnya berasal dari lingkungan, maka keduanya tidak seharusnya mempunyai pesan moral yang lain. Kenyataan bahwa keduanya melihat pesan moral lain yang terlebih mulia, hal ini menandakan bahwa nurani atau kata hati bukan semata pesan moral yang berasal dari lingkungan.

Jika demikian, darimanakah asalnya nurani? Nurani berasal dari Tuhan sendiri. Kejadian 1:27 menjelaskan, "Maka Allah menciptakan manusia itu menurut gambar-Nya, menurut gambar Allah diciptakan-Nya dia . . . ." Nurani adalah tuntunan yang dititipkan Allah kepada manusia agar ia dapat hidup sesuai dengan kehendak Allah.


Questions: