BETA
Depresi : Bawaan atau Lingkungan ?
Sumber: telaga
Id Topik: 1164

Abstrak:

Salah satu pertanyaan yang kadang muncul adalah, apakah depresi merupakan gangguan yang timbul dari bawaan—dalam pengertian, dari titipan genetik ayah dan ibu—ataukah dari lingkungan—dalam pengertian, dari sesuatu yang dialami atau terjadi dalam hidup ini? Sebagaimana gangguan lainnya, sesungguhnya faktor bawaan hampir selalu hadir dalam kasus depresi, terutama depresi berat. Namun, faktor lingkungan juga berperan memunculkan depresi. Disini akan dibahas faktor-faktor bawaan dan lingkungan itu.

Transkrip:

Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi, beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling. Perbincangan kami kali ini tentang “Depresi : Bawaan atau Lingkungan ?" Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

GS : Pak Paul, sebelum lebih jauh bicara tentang depresi itu bawaan atau lingkungan mungkin perlu penjelasan lebih jelas tentang depresi itu sebenarnya apa ?

PG : Depresi adalah sebuah kondisi terhimpit dalam jiwa kita, jadi kita akhirnya merasakan hidup ini kosong tidak lagi ada arah, tidak lagi kita bersemangat melakukan hal-hal yang biasanya kita lakukan dan kita juga biasanya mencoba menjauh dari orang dan perasaan kita akhirnya berat namun datar dan tidak ada lagi yang kita rasakan dan hanya berat sekali. Biasanya juga tanda-tanda lainnya adalah kita tidak ada tenaga, bawaannya capek dan tidur kita bisa terlalu banyak atau justru tidak bisa tidur sama sekali. Itu adalah kondisi yang kita sebut kondisi depresi.

GS : Kita orang awam biasa menyebutnya ini orang yang putus asa, tidak ada harapan apakah ini sama, Pak Paul ?

PG : Sama. Jadi memang pada titik akhir dalam kondisi depresi umumnya orang akan merasa tidak ada lagi harapan dan putus asa. Dari titik itu godaan untuk mengakhiri hidup menjadi besar sekali.

GS : Sekarang kita masuk pada inti pembicaraan kita. Jadi depresi atau putus asa ini munculnya karena faktor keturunan atau faktor lingkungan ?

PG : Jadi ini salah satu pertanyaan yang kadang muncul, apakah depresi merupakan gangguan yang timbul dari bawaan, dalam pengertian titipan genetik ayah dan ibu, ataukah dari lingkungan dalam pengertian dari sesuatu yang dialami atau terjadi di dalam hidup ini. Sebagaimana gangguan lainnya, sesungguhnya faktor bawaan hampir selalu hadir dalam kasus depresi terutama dalam depresi berat namun faktor lingkungan juga berperan memunculkan depresi. Kita akan coba bahas, apa yang dimaksud dengan faktor bawaan dan lingkungan itu.

GS : Dimulai dari faktor bawaan dulu, apa itu, Pak Paul ?

PG : Kita harus mengakui faktor bawaan dalam depresi sebab kemungkinan kita terkena depresi menjadi lebih besar bila orang tua juga mengidap masalah yang sama terutama bila mereka mengidap depresi berat. Selain dari itu tidak bisa disangkal ada orang tertentu yang sejak usia dini memerlihatkan kecenderungan depresi meskipun tidak mengalami sesuatu yang berat atau traumatik. Misalnya dia mudah sedih dan jika sedih cenderung bertahan dalam suasana hati yang murung untuk kurun yang lama. Atau ia kerap mengalami ayunan suasana hati dalam pengertian moodnya mudah turun naik. Ada juga yang cenderung berpikir negatif bahkan sejak kecil. Jadi semua diteropong dari lensa kemungkinan terburuk dan hidupnya penuh kecemasan tanpa alasan yang jelas. Jadi ada anak-anak remaja yang memunculkan semua gejala ini meskipun sesungguhnya tidak ada alasan untuk itu. Tidak bisa tidak, dari hal-hal ini kita akhirnya harus berkata, “Rasanya depresi ini lebih dari sekadar akibat lingkungan atau pengalaman, sepertinya ada sesuatu yang dalam dirinya sudah ada yang membuat dia seperti itu".

GS : Orang-orang melankolis juga punya sikap seperti ini, apakah ada perbedaan, Pak Paul ?

PG : Sudah tentu kita membicarakan masalah kadar. Orang yang berkepribadian melankolis itu sendiri tidak depresi dalam pengertian dia bisa senang dan bisa juga menikmati hidup, namun kalau sampai senangnya menikmati hidupnya terhilang dan kesedihannya terus bertahan maka sudah tentu akhirnya berubah menjadi depresi. Jadi dengan kata lain, tipe kepribadian itu sendiri yaitu melankolis bukanlah identik atau sama dengan depresi, sebab sekali lagi orang yang melankolis masih bisa senang. Kalau yang depresi senangnya itu hampir tidak ada lagi.

GS : Kalau faktor bawaan apakah langsung dari orang tua atau dari kakek nenek kita, bisa terjadi tidak, Pak Paul ?

PG : Memang masih bisa diturunkan dari garis keturunan ayah atau ibu namun sudah tentu makin jauh makin kecil kemungkinannya, makin dekat makin besar kemungkinannya. Jadi kita ketahui bahwa kalau salah satu orang tua kita mengalami depresi berat dan sebagainya kemungkinan kita terkena memang menjadi lebih besar, dan tidak berarti kita pasti terkena tapi kemungkinan terkena juga lebih besar. Ini semualah yang membuat kita akhirnya berkata bahwa depresi itu bukan hanya disebabkan oleh masalah-masalah lingkungan tapi juga ada orang-orang yang memang sudah membawa kecenderungan itu sejak kecil.

GS : Tapi ada juga dari faktor lingkungan. Itu seperti apa, Pak Paul ?

PG : Benar. Sudah tentu ada seribu satu peristiwa yang dapat menyebabkan timbulnya depresi namun untuk dapat memudahkan saya akan menggolongkannya ke dalam beberapa kategori. Yang pertama pengalaman kehilangan figur penting di masa kecil. Jadi ternyata kalau kita kehilangan ayah atau ibu kita di masa kecil, ternyata faktor ini memberikan dampak yang besar pada perkembangan jiwa. Artinya anak yang kehilangan ayah atau ibu di usia kecil membuat si anak lebih mudah merasakan kesedihan dan juga akhirnya lebih mudah untuk bisa terkena depresi.

GS : Tapi ada sebagian anak yang ditinggal orang tuanya semasa kecil malah jadi anak yang tangguh, Pak Paul.

PG : Betul, memang tidak semuanya begitu. Jadi dengan kata lain kita bisa berkata, “Selain dari faktor lingkungan, memang ada juga faktor-faktor bawaan" sebab tadi Pak Gunawan sudah singgung ada anak-anak yang kehilangan ayah atau ibunya di usia dini tetap saja dia bertumbuh normal dan tidak mengalami depresi, tapi kita ketahui juga seseorang yang kehilangan figur penting dalam hidupnya itu di masa kecil, seperti ayah atau ibunya, maka kecenderungan terkena menjadi lebih besar.

GS : Apalagi kalau dia secara faktor bawaan sudah punya benih untuk mudah depresi.

PG : Betul. Kalau pun kita tidak ada bawaan itu, kalau kita kehilangan ayah atau ibu di usia kecil atau muda dan kita sudah mulai mengertinya kecenderungan kita sedih tetap lebih besar dan tidak ada angin atau hujan kita bisa merasa sedih sekali. Jadi kadang-kadang bisa muncul tanpa kita sebetulnya kuasai. Selain kehilangan figur penting dalam kehidupannya, faktor lain apa, Pak Paul ?

PG : Faktor lain yang bisa menyebabkan orang mengalami depresi adalah pengalaman traumatik di masa kecil misalnya perceraian orang tua. Atau menyaksikan peristiwa mengerikan di masa kecil misalnya sering melihat ayah ibunya berkelahi dan itu peristiwa yang mengerikan. Anak-anak yang harus diperhadapkan dengan peristiwa traumatik seperti ini akhirnya lebih mudah untuk terkena depresi. Jadi misalnya dia sudah dewasa dan dia menghadapi tekanan yang besar maka kemungkinan dia ambruk bisa lebih besar dibandingkan orang-orang lain yang tidak harus mengalami itu.

GS : Kalau sudah diketahui sejak dini apakah tidak ada atau tidak bisa diupayakan mencegah supaya anak-anak ini menjadi anak yang tidak mudah depresi, begitu Pak Paul.

PG : Sebetulnya ada. Kalau orang tuanya menyadari dibawa konseling untuk di- tolong maka masih bisa. Jadi intinya adalah anak-anak ini terutama yang mengalami kehilangan pada usia muda atau mengalami hal-hal yang traumatik dalam konseling dia bisa mengeluarkan perasaan-perasaan ini atau apa yang disembunyikan dalam hatinya. Ternyata mengeluarkan semua perasaan ini di usia kecil dan kemudian diberikan perspektif yang jelas tentang apa yang terjadi maka dapat menolong anak ini, sehingga waktu dia besar kemungkinan dia terkena depresi akan diperkecil.

GS : Selain kedua faktor tadi apa ada faktor lain, Pak Paul ?

PG : Faktor pola asuh orang tua yang sarat tuntutan dan minim penerimaan serta miskin kehangatan. Ini juga berpotensi menambah kerentanan terhadap depresi. Jadi seolah-olah anak ini bertumbuh besar kekurangan gizi emosional. Namun meskipun kurang gizi emosional menerima banyak sekali tuntutan harus begini dan begitu. Akhirnya beban tuntutan itu berat, sedangkan kekuatan menahannya tidak ada, karena kekuatan menahannya seharusnya diperoleh dari penerimaan dan kehangatan dari orang tuanya. Jadi anak-anak yang terus hidup dalam tuntutan namun kurang gizi emosional tidak ada kehangatan penerimaan dan dorongan akhirnya lebih mudah patah dan lebih rentan menghadapi depresi.

GS : Padahal secara umum banyak orang tua yang memperkirakan kalau anaknya terlalu dilindungi maka dia akan rentan terhadap tantangan kehidupan ini.

PG : Betul sekali. Ekstrem yang satu juga kurang baik. Jadi anak yang terlalu diproteksi sehingga tidak pernah menghadapi hidup ini secara nyata, akhirnya mudah patah. Maka yang penting dalam hidup adalah kita menyeimbangkan kalau anak kita harus keluar maka harus keluar, kalau harus menghadapi maka harus menghadapi sendiri, kalau harus pergi sendiri maka harus pergi sendiri. Lewati hal itu ketangguhan anak dipupuk.

GS : Kalau katakan masih balita atau masih di bawah 10 tahun apakah sudah terlihat gejala bahwa ini bakal menjadi orang yang mudah depresi. Apakah bisa kelihatan, Pak Paul ?

PG : Bisa, tapi dengan pengertian bahwa mungkin saja nanti di masa remaja sesuatu terjadi dan mengubahnya. Jadi dengan pengertian kalau tidak ada apa-apa yang mengubahnya seperti kereta api yang berjalan sampai ke tujuan memang bisa kita perhatikan. Jadi misalnya anak yang cenderung pendiam dan tidak berani bersuara, yang wajahnya cenderung murung dan kalau bicara cenderung perlahan dan tidak begitu berani bersosialisasi dengan anak-anak lain dan selalu penuh dengan ketakutan dan kecemasan. Ini sebetulnya adalah ciri-ciri yang memang kita perlu perhatikan. Sebab kalau tidak ada apa-apa dan terus begini maka nantinya di usia remaja atau dewasa awal, maka besar kemungkinan dia rentan dan tidak jatuh ke dalam depresi. Biasa ambruknya ke dalam depresi kalau ada sesuatu yang terjadi, yang kita bicarakan pada pertemuan sebelumnya yaitu adanya faktor stres, yang membuat dia frustrasi hidup tidak jalan seperti yang diharapkan, maka itu yang membuat dia akhirnya patah dan mengalami depresi.

GS : Apakah ada faktor yang lain yang bisa memengaruhi seseorang mudah depresi, Pak Paul ?

PG : Yaitu faktor pengalaman hidup yang buruk, hidupnya penuh kekecewaan, kegagalan, penolakan. Kalau kita mengalaminya berulang kali pada akhirnya kita bisa jatuh ke lembah depresi pula. Ini sekuat-kuatnya kita, kalau mengalami pukulan-pukulan seperti itu biasanya kita akan terkena juga tapi sekali lagi kalau di saat-saat itu kita juga mendapatkan dukungan dari sesama, kita bisa misalkan juga menguatkan di dalam Tuhan, itu juga faktor yang bisa menahan kita sehingga kita tidak tergelincir ke lembah depresi.

GS : Kalau mendengarkan uraian Pak Paul ini sebenarnya faktor lingkungan itu lebih dominan daripada faktor bawaan yang bisa membuat seseorang depresi ?

PG : Faktor bawaan jadinya seperti minyak yang memang menyulutnya adalah api dan api itu adalah faktor lingkungannya, namun sebetulnya begini, kalau faktor bawaannya itu sudah kuat maka api sekecil apa pun cukup membuat nyala api tapi kalau faktor bawaannya lemah sudah tentu meskipun api itu besar dan kita ini menghadapi banyak masalah kecenderungannya kita jatuh ke dalam lembah depresi sebetulnya kecil.

GS : Itu semacam harus ada kedua faktor itu yang bertemu di dalam diri seseorang, Pak Paul ?

PG : Sebetulnya ini sesuatu yang tidak aneh, karena secara fisik atau medis kita tahu adanya interaksi yang erat antara bawaan dan juga lingkungan. Contoh misalkan penyakit jantung. Sudah tentu kalau gaya hidup kita tidak sehat bisa membuat kita terkena penyakit jantung, tapi ada orang yang lahir dengan jantung yang sangat kuat sehingga walaupun hidupnya kurang sehat, tidurnya sedikit, makannya sembarangan tapi jantungnya memompa terus karena bawaan jantungnya kuat sekali, sedangkan ada orang-orang tertentu dengan jantung yang tidak begitu kuat dan ditambah dengan gaya hidup yang tidak sehat akhirnya lebih mudah terkena sakit jantung.

GS : Kalau kita lanjutkan pembicaraan ini pada bagaimana kita menangani atau menolong orang-orang yang depresi ini, bagaimana Pak Paul ?

PG : Kita harus mengerti bahwa pada dasarnya depresi merupakan sebuah kehilangan yang mencakup tiga aspek kehidupan, yaitu aspek emosional, mental dan spiritual. Pada tataran emosional, depresi merupakan kehilangan sukacita. Jadi kalau kita berkata, “Aduh orang ini depresi" secara emosional dia kehilangan sukacita, yang langsung tidak ada di daftar emosionalnya adalah sukacita dan menjadi murung. Pada tataran mental, depresi merupakan kehilangan arah dan tujuan hidup. Jadi secara mental dan pikiran orang itu mesti ada arah dan tujuan hidupnya, waktu dia mengalami depresi itu yang terhilang. Sedangkan secara spiritual atau rohani, depresi merupakan kehilangan iman pada kuasa dan kasih Tuhan, kita akhirnya berkata, “Tuhan tidak berkuasa menolong saya atau Tuhan tidak mengasihi saya. Itu adalah kehilangan iman pada kuasa dan kasih Tuhan yang sebetulnya terjadi di dalam tataran spiritual orang yang terkena depresi. Idealnya kita tetap dapat mengalami sukacita kendati kesedihan, kekecewaan atau kemarahan melanda namun kenyataannya tidak demikian. Sewaktu Yesus, putra Allah, berdoa di taman Getsemani sebelum penangkapan dan penyaliban-Nya Ia tidak dapat bersukacita sebaliknya Ia merasa sangat tertekan. Lukas 22:44 mencatat, “Ia sangat ketakutan dan makin bersungguh-sungguh berdoa. Peluh-Nya menjadi seperti titik-titik darah yang bertetesan ke tanah." Jadi kita lihat di situ pada masa Tuhan mau disalib Dia dalam keadaan begitu terhimpit tertekan, yang terhilang adalah sukacita, Alkitab mencatat dia sangat tertekan atau sedih.

GS : Padahal firman Tuhan di sisi lain juga berkata, “Kita harus bersukacita senantiasa" dan pada saat depresi bagaimana ?

PG : Memang tidak bisa. Artinya bersukacitalah senantiasa adalah kita memunyai kesempatan untuk memilih, untuk mendapatkan kembali kesempatan bersukacita, tapi untuk satu waktu sukacita itu akan hilang dan tidak bisa tidak, kita hidup di dunia kalau mengalami kehilangan yang besar, maka kita juga akan kehilangan sukacita, itu adalah bagian dari kehidupan namun di dalam Tuhan kita tidak harus terus-menerus berada di dalam kondisi seperti itu.

GS : Untuk memulihkan seseorang memeroleh sukacita, itu harus datang dari dalam diri seseorang itu bahwa dia mau bersukacita untuk merebut kembali sukacita yang hilang karena depresi itu.

PG : Memang benar. Harus ada tekad bahwa saya tidak mau begini terus dan saya mau bangkit. Kalau kitanya tidak ada semangat untuk melawannya, “Biarkan saja seperti ini terus" maka sampai kapan pun tidak akan bisa bangkit. Kalau sampai kita harus mengalami depresi maka kita sendiri harus ada tekad itu.

GS : Biasanya orang-orang yang menolong atau mendampingi orang yang sedang depresi maka membuat-buat suasana supaya dia senang entah dibuatkan pesta entah diajak pergi ke tempat lain tetapi itu hanya sifatnya sementara saja.

PG : Betul. Jadi selama itu terjadi dia sedang pergi dan pesta maka terhilang dan dia tidak ingat tentang kesedihannya tapi nanti semuanya balik lagi. Jadi tadi semua yang Pak Gunawan sudah katakan betul, mesti ada tekad dari dalam diri orang itu sendiri untuk bangkit.

GS : Kehilangan arah dan tujuan hidup yang Pak Paul katakan ini jauh lebih serius daripada kehilangan sukacita itu sendiri.

PG : Kehilangan arah dan tujuan hidup terjadi ketika sesuatu yang menjadi tumpuan atau alasan untuk kita hidup tiba-tiba lenyap. Saya berikan contoh tentang Raja Daud. Sewaktu Daud mendengar bahwa putranya Absalom telah mati terbunuh dalam peperangan, dia menangis dan berseru dan dicatat di 2 Samuel 18:33, "Anakku Absalom, anakku, anakku Absalom! Ah, kalau aku mati menggantikan engkau, Absalom, anakku, anakku!" Kendati Absalom mati dalam pertempuran melawan Daud, memberontak terhadap ayahnya tetap sebagai ayah yang mengasihi anak, Daud sangat terpukul dan dalam keadaan kehilangan yang besar itu, ia pun kehilangan arah dan tujuan hidup membuatnya berharap mati.

GS : Apakah itu menjadi ciri dari seseorang yang depresi bahwa dia berharap untuk mati saja, Pak Paul ?

PG : Sampai titik yang jauh sekali memang iya, dalam kisah Daud inilah anak yang disayanginya, sekarang sudah mati. Jadi waktu kita kehilangan tumpuan kita yang kita sayangi, andalkan, biasanya secara mental kita merasa kehilangan arah dan tujuan hidup ini sehingga bagi kita sama juga dengan sudah mati, sehingga godaan untuk mengakhiri hidup menjadi besar sekali saat itu.

GS : Tetapi waktu itu Daud sempat diingatkan oleh orang-orang dekatnya bahwa untuk merelakan kalau Absalom sudah meninggal dan bangsa Israel membutuhkan dia.

PG : Di situ kita bisa melihat pentingnya pengaruh orang-orang yang dekat dengan kita sewaktu kita mengalami depresi, merekalah yang seolah-olah bisa menarik tangan kita keluar dari lumpur depresi.

GS : Lingkungan itu juga bisa membawa kita depresi, tapi lingkungan itu juga bisa mengeluarkan seseorang dari depresi itu.

PG : Betul sekali. Salah satu pemikiran orang yang depresi, yang membuat dia akhirnya lebih baik mati daripada hidup adalah pemikiran bahwa tidak ada lagi yang peduli. Jadi orang yang depresi sampai pada kesimpulan tidak ada lagi yang peduli, maka itu sangat bahaya. Jadi memang kita yang di sekelilingnya harus menunjukkan kepedulian dan itu yang penting, itu yang seolah-olah menjadi tali yang dipegangnya sehingga dia tidak melepaskan tali itu.

GS : Kalau yang kehilangan spiritual itu bagaimana, Pak Paul ?

PG : Pada akhirnya depresi juga merupakan kehilangan spiritual yaitu kehilangan iman pada kuasa dan kasih Tuhan. Kita beranggapan bahwa bukan saja Tuhan tidak sanggup menolong, Ia pun tidak mau menolong karena Ia tidak lagi peduli dengan kita. Patahnya iman biasanya berakibat fatal dan kita merasa sendirian dan tidak seorang pun bersama kita, termasuk Tuhan. Jadi pada saat ini memang bahaya kalau orang sampai kehilangan iman pada kuasa dan kasih sayang Tuhan. Jadi benar-benar ia merasa semua sudah hilang dan tidak ada lagi yang peduli dan tidak ada lagi yang menolong saya dan Tuhan pun tidak mau menolong saya atau Tuhan pun tidak mampu menolong saya. Kalau sampai ke titik itu maka genting sekali kondisinya.

GS : Jadi sebenarnya depresi itu melalui tahapan-tahapan sampai seseorang itu betul-betul putus asa.

PG : Betul sekali. Sekarang kita mau lihat cara penanganannya. Jikalau perjalanan depresi itu diawali dengan kehilangan emosional, tadi sudah kita bahas jadi yang pertama hilang adalah sukacita dan berakhir dengan kehilangan spiritual dalam hal ini kehilangan iman, maka pemulihan depresi dimulai dengan pemulihan spiritual yaitu kembali beriman pada kuasa dan kasih setia Tuhan. Jadi untuk memulihkan depresi kita tidak memulainya dari tataran emosional, membuat dia bahagia, tidak. Justru kita memulainya dari tataran spiritual dan orang mesti kembali dari kasih Tuhan. Kita tahu dari keadaan yang berat dan mencekam Yesus Putra Allah berdoa, "Ya Bapa-Ku, jikalau Engkau mau, ambillah cawan ini dari pada-Ku; tetapi bukanlah kehendak-Ku, melainkan kehendak-Mulah yang terjadi." Ini dicatat di Lukas 22:42. Pemulihan spiritual diawali dengan penyerahan sepenuhnya terhadap kehendak Bapa di sorga dan kita tidak mengerti apa yang sesungguhnya terjadi dan kita tidak tahu apa jalan keluarnya tapi kita menyerahkan pada Bapa di Sorga. Kenapa kita menyerahkannya kepada Bapa di sorga sebab kita yakin dia tahu apa yang terjadi dan dia juga tahu jalan keluarnya. Penyerahan seperti inilah yang menjadi tunas bertumbuhnya iman kembali pada kuasa Tuhan dan kasih setia Tuhan.

GS : Tentu saja ini harus pekerjaan Roh Kudus di dalam diri seseorang, karena kita sebagai sesama manusia kadang-kadang sulit sekali meyakinkan seseorang bahwa masih ada harapan didalam Tuhan sebab orang yang sedang depresi dikatakan dia kehilangan imannya.

PG : Betul. Jadi tidak bisa tidak, ini kerjasama antara manusia dan Tuhan, sebagai manusia kita hanya bisa menyampaikan, tapi Tuhanlah yang bisa membuatnya mengerti dan kembali percaya.

GS : Tapi pendampingan terus-menerus terhadap korban depresi ini sangat diperlukan, Pak Paul.

PG : Betul sekali. Meskipun tidak ada yang bisa menjamin apa yang dia akan lakukan tapi dengan dia mengetahui ada orang-orang di sekitarnya yang mengasihi itu bisa menolong, meskipun sekali lagi perasaan itu kalau datang bisa sangat mencekam dan membuat dia merasa sudah tidak ada lagi harapan untuk hidup.

GS : Tapi kalau dia sudah bertekad untuk mengakhiri hidupnya, dia akan menempuh segala macam cara, menghindar dari orang dan pada waktu orang itu lengah maka dia akan melakukan bunuh diri dan sebagainya.

PG : Betul sekali. Ini tidak ada jawaban yang mudah, makin kita selidiki, makin kita menyadari begitu banyak hal yang terlibat, maka yang penting adalah di awalnya sewaktu orang mulai mengalaminya, di saat itulah kita yang tahu harus berusaha menolongnya keluar dari lembah depresi itu.

GS : Semoga perbincangan ini akan menolong banyak orang untuk keluar dari depresi mereka masing-masing. Terima kasih, Pak Paul untuk perbincangan kali ini dan para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bapak Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang “Depresi : Bawaan atau Lingkungan ?". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan menghubungi kami melalui surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@telaga.org kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.


Ringkasan:

Salah satu pertanyaan yang kadang muncul adalah, apakah depresi merupakan gangguan yang timbul dari bawaan—dalam pengertian, dari titipan genetik ayah dan ibu—ataukah dari lingkungan—dalam pengertian, dari sesuatu yang dialami atau terjadi dalam hidup ini? Sebagaimana gangguan lainnya, sesungguhnya faktor bawaan hampir selalu hadir dalam kasus depresi, terutama depresi berat. Namun, faktor lingkungan juga berperan memunculkan depresi. Berikut akan dibahas apakah yang dimaksud dengan faktor-faktor bawaan dan lingkungan itu.

Faktor Bawaan

Kita mesti mengakui keberadaan faktor bawaan dalam depresi sebab kemungkinan kita terkena depresi menjadi lebih besar bila orang tua juga mengidap masalah yang sama, terutama bila mereka mengidap depresi berat. Misalnya, ia mudah sedih dan jika sedih, cenderung bertahan dalam suasana hati murung untuk kurun yang lama.

Faktor Lingkungan

Sudah tentu ada 1001 peristiwa yang dapat menyebabkan timbulnya depresi namun untuk memudahkan, saya akan menggolongkannya dalam beberapa kategori:

  • Pertama, pengalaman KEHILANGAN FIGUR PENTING di masa kecil ternyata memberi dampak besar pada perkembangan jiwa. Seorang anak yang kehilangan ibu atau ayahnya di usia belia pada akhirnya lebih rentan terhadap kesedihan dan depresi.
  • Kedua, PENGALAMAN TRAUMATIK di masa kecil juga memberi dampak yang besar pada perkembangan jiwa. Seorang anak yang mengalami perceraian orang tua atau menyaksikan peristiwa yang mengerikan di usia kecil—seperti perkelahian orang tua— juga memiliki kerentanan terhadap depresi.
  • Ketiga, pola asuh orang tua yang SARAT TUNTUTAN DAN MINIM PENERIMAAN serta MISKIN KEHANGATAN, juga berpotensi menambah kerentanan terhadap depresi.
  • Keempat, PENGALAMAN HIDUP YANG BURUK, penuh dengan kekecewaan dan penolakan serta kegagalan, pada akhirnya dapat menjatuhkan kita ke lembah depresi.
Penanganan

Pada dasarnya depresi merupakan sebuah KEHILANGAN, yang mencakup tiga aspek kehidupan: emosional, mental dan spiritual. Pada tataran emosional, depresi merupakan kehilangan SUKACITA. Pada tataran mental, depresi merupakan kehilangan ARAH DAN TUJUAN hidup. Sedang, secara spiritual depresi merupakan kehilangan IMAN pada kuasa dan kasih Tuhan. Marilah sekarang kita melihat ketiga kehilangan itu satu per satu.

  • Idealnya kita tetap dapat mengalami sukacita kendati kesedihan, kekecewaan, atau kemarahan melanda. Namun kenyataannya tidaklah demikian. Sewaktu Yesus, Putra Allah, berdoa di Taman Getsemani sebelum penangkapan dan penyaliban-Nya, Ia tidak dapat bersukacita. Sebaliknya ia merasa sangat tertekan,
  • Kehilangan arah dan tujuan hidup biasanya terjadi sewaktu sesuatu yang menjadi tumpuan atau alasan untuk kita hidup tiba-tiba lenyap. Tatkala Daud mendengar bahwa putranya Absalom telah mati terbunuh dalam peperangan, ia pun menangis dan berseru, "Anakku Absalom, anakku, anakku Absalom! Ah, kalau aku mati menggantikan engkau, Absalom anakku, anakku!" (2 Samuel 18:33)
  • Pada akhirnya depresi merupakan kehilangan spiritual yakni kehilangan iman pada kuasa dan kasih setia Tuhan. Kita beranggapan bahwa bukan saja Tuhan tidak SANGGUP menolong, Ia pun tidak MAU menolong karena Ia tidak lagi peduli dengan kita. Patahnya iman biasanya berakibat fatal.

Jika perjalanan depresi diawali dengan kehilangan emosional—sukacita—dan berakhir dengan kehilangan spiritual—iman—maka pemulihan depresi dimulai dengan pemulihan spiritual—kembali beriman pada kuasa dan kasih setia Tuhan. Di dalam keadaan yang begitu berat dan mencekam, Yesus, Putra Allah berdoa, "Ya, Bapa-Ku jikalau Engkau mau, ambillah cawan ini dari pada-Ku, tetapi bukanlah kehendak-Ku melainkan kehendak Allah yang jadi." (Lukas 22:42)

Pemulihan spiritual diawali dengan penyerahan sepenuhnya kepada kehendak Bapa di surga. Kendati kita tidak mengerti sesungguhnya apa yang tengah terjadi dan apa jalan keluarnya, kita menyerahkannya kepada kehendak Bapa di surga. Ia tahu apa yang terjadi dan Ia tahu jalan keluarnya. Penyerahan adalah tunas iman pada kuasa dan kasih setia Tuhan!


Questions: