Depresi dan Bunuh Diri 1
Sumber: telaga
Id Topik: 1153
Abstrak:
Bersamaan dengan kemajuan jaman, semakin banyak pula gangguan depresi yang dialami orang masyarakat sekarang. Pemicu awal depresi adalah stres, namun dari stres yang tidak terselesaikan itulah, kemudian mengarah ke depresi dan bisa sampai pada langkah yang terburuk yaitu mengambil tindakan bunuh diri. Bagaimana kita bisa mengetahui gejala depresi ? Agar tidak sampai bunuh diri, apa yang bisa kita lakukan untuk menolong orang yang sedang depresi?Transkrip:
Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Acara ini diselenggarakan oleh Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK bekerjasama dengan radio kesayangan Anda ini. Saya Hendra akan berbincang-bincang dengan Penginjil Sindunata Kurniawan, M.K., beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling keluarga. Perbincangan kami kali ini tentang “Depresi dan Bunuh Diri". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
H : Pak Sindu, mengapa topik depresi dan bunuh diri ini penting untuk diangkat ?
SK : Pak Hendra, topik ini memang penting karena melihat satu perkembangan yang terjadi di tingkat internasional bahkan nasional dimana gangguan depresi kini sudah menjadi suatu wabah bisu atau istilah bahasa Inggrisnya ‘silent epidemic’. Disebut wabah bisu karena telah semakin luas gangguan depresi dialami banyak orang di berbagai negara namun dampak kematian yang ditimbulkan tidak serta merta nampak sebagaimana misalnya wabah flu burung, infeksi virus SARS yang sempat menggegerkan dunia dan negeri kita Indonesia beberapa tahun belakangan ini. Saat ini diperkirakan 350 juta orang di seluruh dunia terjangkit gangguan depresi yang telah menjadi penyakit tidak menular yang bersifat global namun juga serius. Maka tidaklah salah bahwa Federasi Dunia untuk Kesehatan Mental telah menentukan Hari Kesehatan Jiwa Sedunia yang biasanya jatuh tiap tanggal 10 Oktober, khusus untuk tahun 2012 diberi tema Depresi Suatu Krisis Global karena memang posisi depresi sebagai beban penyakit dunia yang pada tahun 1990 menduduki peringkat ke-4 namun pada tahun 2020 bakal menempati peringkat ke dua, bayangkan dari peringkat ke-4 tahun 1990 dalam waktu 30 tahun kemudian, tahun 2020 telah menjadi peringkat kedua di bawah penyakit jantung koroner.
H : Waw, ini merupakan angka statistik yang sangat mengejutkan. Pak Sindu, apakah memang gangguan depresi sudah sedemikian mewabah di Indonesia ?
SK : Memang depresi bukan lagi hanya isu internasional tapi di negeri kita sendiri sudah menjadi isu yang bertaraf nasional dan mungkin kita tidak melihatnya secara nyata tapi kita bisa melihat akibat depresi yang dialami masyarakat dimana kita sudah akrab sekali dengan banyaknya konflik di tengah masyarakat kita, agresifitas di jalan raya, pembakaran, perusakan bahkan orang bisa dibunuh beramai-ramai karena dia mencuri, merampok, dihakimi secara massal. Kita mengetahui kian tingginya angka Kekerasan Dalam Rumah Tangga, juga gejala-gejala fenomena kasus kesurupan massal baik yang terjadi di sekolah-sekolah, di pabrik-pabrik, kita juga melihat meluasnya penggunaan narkoba, narkotika dan obat terlarang yang sesungguhnya merupakan upaya pelarian dari tekanan jiwa. Juga kita mengetahui semakin maraknya kasus bunuh diri, semua itu merupakan akibat-akibat yang muncul karena gangguan depresi yang kian banyak dialami oleh masyarakat kita. Jadi dalam hal ini depresi bisa bersifat perorangan tapi depresi juga bisa bersifat massal dan sekaligus depresi bisa bersifat terselubung serta angka-angkanya semakin serius di Indonesia.
H : Pak Sindu, baru saja anda menyebutkan ada kesurupan massal. Yang ingin saya tanyakan apakah keterkaitan antara kesurupan masal dan persoalan depresi ?
SK : Pak Hendra, lebih mudah kebanyakan kita menghubungkan kesurupan dengan fenomena supranatural. “Ini ada kuasa gelap yang sedang bekerja sehingga orang itu mengalami kesurupan" tetapi sesungguhnya dalam kasus-kasus kesurupan massal lebih banyak faktor psikologis yang bekerja. Orang-orang ini kalau kita telisik lebih jauh sebenarnya sedang mengalami tekanan-tekanan tertentu dalam jiwanya baik kalau dia seorang siswa mungkin mengalami tekanan dalam pelajaran sekolah, tekanan dari keluarga yang dibawa ke sekolah, demikian juga buruh-buruh pabrik, tertekan dengan upah yang diterima begitu minim sementara biaya hidup begitu tinggi. Ketika seorang mengalami kondisi ledakan emosi dengan perilaku seperti orang kesurupan, itu seperti punya efek menular karena orang-orang itu seperti terintimidasi untuk meledakkan emosi yang terpendam sehingga muncullah gejala kesurupan massal ini.
H : Jadi jika kita bertemu dengan kasus kesurupan massal, kita tidak boleh cepat-cepat menyimpulkan kalau itu faktor kuasa gelap atau gaib, Pak Sindu ?
SK : Betul. Memang dalam satu atau dua kasus faktor kuasa gelap bisa bermain, tapi kalau saya amati kasus kesurupan massal lebih banyak dipicu oleh faktor depresi yang dialami oleh orang-orang tersebut.
H : Pak Sindu, tadi menyebutkan ada kasus depresi yang bersifat terselubung, apa Pak Sindu dapat menjelaskan lebih lanjut apa maksud depresi yang bersifat terselubung ?
SK : Sebagaimana kata terselubung, itu artinya secara penampakan di luar orang tidak melihatnya tetapi yang di dalamnya sesungguhnya adalah depresi. Jadi sebagaimana kita melihat gejala dimana orang cepat tersinggung, marah dan semakin agresif, itu dibalik perilakunya sebenarnya orang itu mengalami ketertekanan yang mendalam atau yang kita sebut depresi, demikian juga orang-orang yang mengambil jalan pintas untuk membunuh orang lain, kalap, brutal atau mungkin brutal terhadap dirinya yaitu membunuh diri, membunuh istri dan anak-anaknya. Dibalik perilaku brutal, kesan yang tampaknya sadis itu sesungguhnya adalah depresi. Jadi itulah yang disebut depresi yang terselubung dimana orang itu tidak menyadarinya atau orang lain tidak melihat itu sebagai depresi, tapi sesungguhnya kalau ditelisik lebih dalam akar masalahnya adalah depresi.
H : Pak Sindu, memang benar contoh-contoh yang bapak sebutkan baru saja, banyak sekali kita jumpai di berita, media massa maupun media elektronik. Namun adakah angka survei yang bisa menggambarkan wabah ini ?
SK : Ada, tahun 2007, riset Kesehatan Dasar menyebutkan bahwa di Indonesia angka gangguan mental emosional pada penduduk berusia 15 tahun ke atas mencapai 11,6%. Jadi boleh dikatakan di antara 100 penduduk Indonesia yang berusia 15 tahun ke atas, ada 11-12 orang mengalami gangguan mental emosional, itu angka rata-rata tahun 2007. Dan untuk angka yang paling tinggi, itu terdapat di Provinsi Jawa Barat yaitu mencapai angka 20%, sedangkan angka yang terendah ada di kepulauan Riau yaitu di angka 5,1%. Kemudian data yang lain menunjukkan gangguan depresi global sendiri mencapai angka 5-10% dan angka di Indonesia tidak jauh berbeda. Berarti angka 5-10% kalau penduduk Indonesia saat ini diperkirakan berjumlah 220 juta jiwa maka ada kira-kira 11-22 juta jiwa penduduk Indonesia mengalami gangguan depresi, itu angka yang luar biasa. Ditambah lagi tahun 2009 telah dilakukan di negeri kita Indonesia, Simposium Nasional Bunuh Diri dimana diungkapkan pada tahun 2004 tercatat di Indonesia ada 1030 orang telah melakukan percobaan bunuh diri dan 705 orang di antaranya mengalami kematian. Sementara itu di tahun 2005 seorang bernama Bp. Benedetto, Direktur Departemen Kesehatan Mental dan Penyalahgunaan Obat-obatan dari Lembaga Dunia WHO menyatakan kematian rata-rata karena bunuh diri di Indonesia yaitu 24/100 ribu penduduk maka sekali lagi dengan asumsi penduduk Indonesia berjumlah 220 juta jiwa maka didapatkan angka 50 ribu kasus kematian akibat bunuh diri.
H : Sedemikian mengerikan angka-angka ini, Pak Sindu. Apakah ada usaha Pemerintah untuk menghadapi wabah ini ?
SK : Di sinilah terjadi sebuah ironi, di tengah angka yang sangat dahsyat tingginya, sayangnya baik Pemerintah maupun masyarakat kita justru bersifat ‘abai dan lalai’ dalam menghadapi calon krisis nasional ini. Sayangnya hingga kini belum ada program khusus bagi penanganan depresi, program kesehatan yang dekat dengan masyarakat seperti Puskesmas belum memasukkan kesehatan jiwa sebagai salah satu dari enam Program Pokok Puskesmas padahal depresi sangat berpengaruh terhadap produktifitas penduduk negeri kita.
H : Jika dibandingkan dengan negara-negara lain, bagaimana kondisi depresi yang dihadapi oleh negara-negara lain misalkan negara-negara maju yang ‘super power’ atau negara maju di Asia Timur ?
SK : Dalam hal ini negara maju sudah memiliki usaha untuk menekan angka depresi apalagi angka bunuh diri. Jadi di negara-negara yang sudah lebih maju, sudah dikembangkan hotline, artinya saluran-saluran telepon yang bersifat satu kali 24 jam yang setiap saat bisa ditelepon. Jadi kalau orang mengalami kondisi sudah terancam melakukan tindakan bunuh diri sudah mengalami kondisi depresi dan tidak berdaya, maka dia sudah punya pilihan untuk menelepon nomor telepon tersebut untuk minta bantuan setiap saat dan bukan saja telepon yang bersifat 1x24 jam itu, tapi juga di klinik-klinik medis yang tersebar di segenap penjuru negara maju itu, dokter sudah siap untuk mendiagnosa, mengenali tanda-tanda awal pasiennya yang mengalami depresi. Jadi kalau pasien yang datang ke dokter itu dan menunjukkan gejala awal mengalami depresi maka dokter itu sudah punya saluran komunikasi yang bisa terhubungkan baik dengan Rumah Sakit, klinik yang menangani kasus depresi atau bahkan Kantor Kepolisian yang bisa segera menangani kasus depresi dengan lebih baik, intensif dan lebih cekatan. Apalagi kalau itu kasus yang sudah ada indikasi dimana pasien tersebut sudah melakukan usaha ke arah tindakan bunuh diri. Jadi di sini kita bisa melihat negara maju sudah jauh lebih bisa memberikan penghargaan terhadap pentingnya harga satu jiwa manusia. Sementara di negeri kita Indonesia sebenarnya sudah ada telepon-telepon hotline yang diinformasikan kepada masyarakat, baik lewat situs/website, Kementerian Kesehatan, atau mungkin di klinik / Rumah Sakit tertentu namun sayangnya nomer telepon itu ketika dihubungi sudah tidak berfungsi lagi, jadi berfungsinya hanya pada awal saja, mungkin karena keterbatasan sumber daya manusia, atau keterbatasan dana untuk mendukung pembiayaan saluran hotline tersebut, apapun alasannya tapi ini patut disayangkan karena memang kasus depresi ini sudah menjadi suatu potensi krisis nasional bagi negeri kita.
H : Jika kondisi bangsa atau masyarakat kita sulit sekali menemukan jalan keluar melalui hotline yang bapak sebutkan tadi. Kira-kira hal praktis apa yang bisa kita lakukan ?
SK : Dalam hal ini kita tidak boleh berpangku tangan, kita sebagai gereja, kita sebagai warga masyarakat patut bersikap proaktif untuk mengantisipasi wabah depresi ini, jadi kita tidak patut untuk berpangku tangan tapi kita berusaha melakukan seoptimal mungkin apa yang bisa kita lakukan. Minimal di bagian awal kita perlu mensosialisasikan gejala-gejala depresi supaya sedini mungkin orang memahami, “Saya sedang mengalami depresi". Dengan memahami maka nanti bisa dilakukan usaha penanganan yang lebih serius.
H : Apa saja gejala-gejala itu, Pak Sindu ?
SK : Ada tiga gejala utama dari depresi. Yang pertama kehilangan minat terhadap hal-hal yang dulu disukai, misalnya kalau dulu suka nonton sepak bola secara beramai-ramai maka tiba-tiba orang tersebut menarik diri dari kegiatan nonton bareng tersebut bahkan sama sekali tidak ada minat untuk nonton sepak bola, itu gejala yang pertama. Gejala utama yang kedua yaitu orang tersebut mengalami kehilangan energi meskipun sudah cukup tidur, sudah cukup makan tapi badannya terasa lelah, lemah, lunglai tidak berdaya. Gejala utama yang ketiga yaitu suasana perasaan yang murung, hal-hal yang dulu bisa membangkitkan keceriaan, kini sama sekali tidak ada pengaruh, sepanjang hari, sepanjang waktu terasa bahwa suasana hatinya buram, kelabu, sendu merasa bersalah secara berkepanjangan, merasa tidak berharga dan merasa putus asa. Jadi depresi ini adalah gangguan suasana hati dimana depresi bukan sekadar kesedihan dan dukacita, tetapi depresi lebih dari itu adalah kesedihan atau dukacita yang lebih hebat dan bertahan dalam jangka waktu yang lama. Jika ketiga gejala utama depresi ini bertahan selama 2 minggu lebih, maka sebaiknya segeralah mencari pertolongan.
H : Pak Sindu, selain tiga gejala utama ini, apakah masih ada gejala lain ?
SK : Pak Hendra, selain tiga gejala utama masih bisa disertai dengan gejala-gejala lainnya seperti kesulitan konsentrasi, misalnya dia seorang mahasiswa tidak mudah untuk memerhatikan kembali perkuliahannya, membaca buku tapi tidak bisa lagi memahami sebagaimana biasanya. Juga bisa berupa masalah tidur yaitu mengalami kesulitan untuk tidur atau istilah teknisnya insomnia. Jadi mau tidur, badan sudah lelah membaringkan badan, menutup mata tapi tetap saja tidak bisa tidur dan dilakukan dengan berbagai usaha tapi tetap tidak bisa tidur. Atau sebaliknya masalah tidur ini bisa berupa tidur yang berkelebihan atau hipersomnia. Jadi sekalipun mestinya sudah 8 jam tidur,, “Aku masih lelah", berbaring lagi, tidur 2 jam dan 3 jam terbangun, “Kenapa masih lelah" dan tidur lagi. Jadi tidur yang berkepanjangan. Sebaliknya gejala yang lain bisa berupa perubahan pola makan. Jadi orang tersebut bisa jadi makannya bertambah banyak, makan secara berkelebihan, sebenarnya sudah kenyang tapi ingin makan lagi. Jadi ini perubahannya kentara semula dia porsi makannya biasa, tapi kemudian meningkat pesat karena depresinya ini. Atau sebaliknya bisa kehilangan nafsu makan, bahkan sama sekali tidak mau makan sehingga tidak heran kemudian badan bertambah lama bertambah menyusut dan kehilangan berat badan. Disamping itu gejala lainnya dari depresi yaitu orang tersebut mengalami fantasi atau bayangan-bayangan untuk melakukan bunuh diri. Jadi pikiran-pikiran bunuh diri itu mulai bermunculan di benaknya. Ini juga merupakan satu tanda yang nyata bahwa orang tersebut sudah mengalami depresi.
H : Pak Sindu, terkait dengan gejala-gejala yang bapak baru saja jelaskan, apakah ada perbedaan antara gender wanita dengan gender pria ?
SK : Secara gender memang ada perbedaan dimana data penelitian memerlihatkan wanita memunyai kemungkinan mengalami depresi lebih dari dua kali yang bisa dialami oleh pria. Jadi dalam hal ini jumlah wanita yang bisa mengalami depresi minimal 2 kali lipatnya pria, ini karena struktur otak wanita yang berbeda dengan pria, dimana otak wanita lebih bersifat emosional daripada otak pria, tetapi dalam hal ini ironisnya justru lebih banyak kemungkinannya pria yang melakukan tindakan bunuh diri daripada wanita karena wanita kuat dalam hal mengungkapkan isi hati. Dia memang lebih rentan mengalami depresi tapi wanita lebih mudah untuk mengungkapkan ketertekanan jiwanya itu kepada orang lain sehingga depresinya tidak sampai benar-benar menjadi usaha tindakan bunuh diri, tentu ada yang bunuh diri tapi angkanya lebih kecil. Sementara pria memang lebih sedikit yang mengalami depresi dibandingkan wanita, tetapi pria tidak terlatih untuk mengungkapkan isi hatinya dan lebih mudah untuk memendamnya dalam-dalam sehingga akhirnya rasa ketertekanan itu bertambah-tambah dan dia tidak mencari usaha pertolongan akhirnya berujung pada tindakan bunuh diri.
H : Lantas hal-hal apa saja yang dapat memicu timbulnya depresi ini, Pak Sindu ?
SK : Berbagai pengalaman hidup bisa menjadi sumber munculnya depresi baik itu perceraian, perpisahan, kehilangan pekerjaan, kehilangan orang-orang yang dikasihi karena meninggal dunia atau karena keterpisahan yang bersifat jangka panjang dan jaraknya jauh. Bisa juga mengalami kehilangan berupa sakit penyakit, apalagi sakit yang divonis tidak bisa disembuhkan, ini bisa menjadi alasan seseorang melakukan tindakan bunuh diri dan menjadi alasan bagi seseorang mengalami depresi bagi jiwanya.
H : Selain faktor-faktor yang bapak sebutkan tadi, apakah bisa juga terjadi misalnya di sekolah, di kampus atau di lingkungan pekerjaan ?
SK : Benar, jadi itu di berbagai tempat baik itu di lingkungan sekolah bagi yang bersekolah dan kampus bagi yang kuliah, di tempat kerja, di pabrik, di tempat industri dan termasuk di tempat dimana bersifat sosial keagamaan, justru semakin rentan mengalami depresi. Profesi yang bersifat menolong orang lain dokter, perawat, pendeta, rohaniawan itu justru lebih rentan mengalami depresi karena dia menanggung masalah orang lain dan menangani masalah orang lain yang beraneka ragam dan rupa. Mungkin ada saatnya dia tidak bisa menjaga jarak, memberi diri waktu cukup untuk beristirahat dan terlalu terkuasai oleh permasalahan hidup orang lain sehingga dia lebih rentan mengalami depresi.
H : Jadi dengan memahami 3 gejala utama dan gejala-gejala lain dari gangguan depresi ini, ini merupakan langkah yang sangat penting.
SK : Benar. Dengan memahami 3 gejala utama dan gejala-gejala lainnya maka kita lebih bisa melakukan usaha pencegahan, tidak perlu sampai terjadi masalah-masalah yang lebih besar dari gangguan yang sedang kita alami itu.
H : Pak Sindu, untuk menutup bagian pertama ini, apakah ada pesan Alkitab yang ingin bapak sampaikan ?
SK : Saya mau bacakan kitab Amsal 27:12, bunyinya demikian, “Kalau orang bijak melihat malapetaka, bersembunyilah ia, tetapi orang yang tak berpengalaman berjalan terus lalu kena celaka" . Dari teks firman Tuhan ini kita bisa menarik hikmat bahwa penting bagi kita mengenali benar gejala-gejala depresi sehingga dengan kita bisa memahaminya maka kita bisa lebih terhindar dari malapetaka yang bisa ditimbulkan kalau depresi itu dibiarkan berkepanjangan. Maka penting juga dalam hal ini kita menginformasikan gejala-gejala depresi ini disosialisasikan ke sebanyak mungkin orang supaya mereka menjadi orang yang lebih waspada, lebih mawas diri dan terhindar dari berbagai kecelakaan dan musibah yang tidak perlu.
H : Tentunya yang paling penting dimulai dari orang-orang terdekat kita ya, seperti teman di sekolah atau anggota keluarga sendiri ?
SK : Benar, dimana pun kita berada, kita bekerja, kita berteman dan bersahabat sepatutnya kita juga bisa ikut memasyarakatkan pemahaman tentang depresi ini, supaya dengan demikian mereka juga bisa melakukan usaha pencegahan bagi dirinya dan juga bagi orang-orang yang mereka kasihi.
H : Baik Pak Sindu, terima kasih untuk perbincangan ini dan kita akan melanjutkan perbincangan ini pada kesempatan mendatang. Dan para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bapak Penginjil Sindunata Kurniawan, M.K., dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang “Depresi dan Bunuh Diri" bagian pertama. Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan menghubungi kami melalui surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@telaga.org ; kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.
Ringkasan:
Gangguan depresi di tingkat internasional maupun nasional kini sudah menjadi suatu wabah bisu atau silent epidemics. Disebut wabah bisu karena telah semakin luas dialami banyak orang di berbagai negara namun dampak kematiannya tidak serta tampak sebagaimana misal wabah flu burung, infeksi virus SARS yang sempat menggegerkan dunia dan Indonesia beberapa tahun belakangan ini.
Saat ini diperkirakan 350 juta orang di seluruh dunia terjangkit depresi yang telah menjadi penyakit tidak menular global serius. Federasi Dunia untuk Kesehatan Mental menentukan Hari Kesehatan Jiwa Sedunia yang jatuh tiap tanggal 10 bulan 10, khusus untuk tahun 2012 bertemakan "Depresi: Suatu Krisis Global". Sementara itu, posisi depresi sebagai beban penyakit global yang pada tahun 1990 menduduki peringkat ke-4, pada tahun 2020 bakal menempati peringkat ke-2 di bawah penyakit jantung koroner.
Perwujudan depresi di masyarakat dapat kita lihat pada tingginya konflik di masyarakat, agresivitas di jalan raya, kekerasan dalam rumah tangga, kesurupan massal baik di sekolah, di pabrik-pabrik, meluasnya penggunaan narkoba yang merupakan upaya pelarian dari tekanan jiwa, juga maraknya kasus bunuh diri. Semua hal ini menunjukkan adanya depresi baik yang bersifat individual atau perorangan, depresi yang bersifat massal maupun depresi yang bersifat terselubung, makin serius di Indonesia. Makin banyak orang yang cepat tersinggung, mengamuk dan makin agresif atau sebaliknya, menjadi mudah menyerah dan mengambil jalan pintas dengan bunuh diri. Orang yang mengalami gangguan emosional cepat mengambil tindakan kekerasan. Hal itu memicu gangguan kecemasan dan menjadi tanda awal depresi yang dapat menjadi keadaan patologis atau keadaan yang semakin parah jika berlanjut.
Riset Kesehatan Dasar 2007 menyebutkan di Indonesia prevalensi gangguan mental emosional pada penduduk berusia 15 tahun ke atas 11,6 persen. Paling tinggi di Provinsi Jawa Barat 20 persen, terendah di Kepulauan Riau 5,1 persen.
Gangguan mental emosional itu terutama adalah kecemasan dan depresi. Prevalensi depresi global berkisar 5-10 persen dan angka di Indonesia tak jauh berbeda. Prevalensi 5-10 persen itu sudah besar dan sudah bisa menjadi masalah masyarakat. Jika penduduk Indonesia 220 juta jiwa, maka mencapai 11-22 juta jiwa!
Sementara itu dalam Simposium Nasional Bunuh Diri yang diadakan di tahun 2009 diungkapkan bahwa pada tahun 2004 tercatat di Indonesia 1.030 orang melakukan percobaan bunuh diri, 705 orang di antaranya tewas. Tahun 2005, Benedetto Saraceno, Direktur Departemen Kesehatan Mental dan Penyalahgunaan Substansi WHO, menyatakan, kematian rata-rata karena bunuh diri di Indonesia 24 kematian per 100.000 penduduk. Dengan asumsi penduduk Indonesia 220 juta jiwa, maka didapatkan angka 50.000 kasus kematian akibat bunuh diri. Ironisnya, baik pemerintah maupun masyarakat justru mengabaikan dan lalai dalam menghadapi calon krisis nasional ini. Sayangnya, hingga kini belum ada program khusus bagi penanganan depresi. Program kesehatan yang dekat masyarakat, seperti puskesmas, tidak memasukkan kesehatan jiwa sebagai satu dari enam program pokoknya. Padahal, depresi sangat berpengaruh terhadap produktivitas.
Maka menjadi tugas kita sebagai gereja dan warga masyarakat untuk proaktif mengantisipasi wabah ini. Pertama, kita perlu memahami gejala-gejala depresi dan mensosialisasikan secara meluas.
Tiga gejala utama depresi :
- Kehilangan minat terhadap hal-hal yang dulu disukai. Kalau dulu suka nonton bola ramai-ramai, maka tiba-tiba menarik diri dari kegiatan nonton bareng tersebut, bahkan sama sekali juga tak ada minat sama sekali nonton sepak bola.
- Kehilangan energi, meski mestinya sudah cukup tidur dan makan tapi badan terasa lelah, lemah, lunglai dan tak berdaya.
- Suasana perasaan murung. Hal-hal yang dulu bisa membangkitkan keceriaannya kini sama sekali tak ada pengaruh. Sepanjang hari, sepanjang waktu terasa suasana hati muram, kelabu dan sendu.
Selain tiga gejala utama ini masih bisa disertai dengan gejala-gejala lainnya seperti: kesulitan konsentrasi, masalah tidur: bangun lebih pagi (insomnia), atau tidur berlebihan (hipersomnia), perubahan pola makan, fantasi atau bayangan-bayangan melakukan bunuh diri bermunculan di pikirannya.
Dalam taraf depresi yang ringan kita bisa menangani dengan mengangkat suasana hati kita yang suram dan kelabu menjadi lebih cerah dan hidup, yaitu dengan cara :
- Usahakan bangun pagi dan berolahragalah. Tubuh segar akan mengangkat suasana hati kita menjadi lebih cerah dan hidup.
- Masalah-masalah yang terasa menyumbat hati dan pikiran kita, patut kita keluarkan. Datangilah orang lain, ceritakan masalah kita untuk bisa lebih terurai dan menjadikannya masalah-masalah yang lebih kecil. Teman seperjalanan akan membuat beban hidup terasa lebih ringan daripada seorang diri menempuhnya. Datang ke konselor bukan sebagai tanda kelemahan, justru tanda orang yang ingin hidup sehat.
- Sediakan waktu untuk Firman Tuhan setiap hari dan bangun relasi intim dengan Tuhan. Pola pikir yang bersifat negatif akan mulai tergantikan dengan perkataan-perkataan positif dari Firman Tuhan. Utarakan beban masalah kita di dalam doa. Izinkan kehadiran Tuhan mengisi diri kita.
Kalau taraf depresinya sudah sangat menekan, membutuhkan benar bantuan medis dokter. Dokter di antaranya akan memberikan obat jenis antidepresan. Ikutilah sepenuhnya saran dan dosis pemberian obat yang diberikan dokter.
Meski tidak semua orang melakukan bunuh diri karena mengalami depresi, tetapi 80 persen penyebab bunuh diri adalah depresi. Maka kita patut mewaspadai kemungkinan tindak bunuh diri yang bisa dilakukan penderita depresi.
Berikut ini tanda-tanda yang umumnya terjadi bagi seseorang yang kemudian mengambil tindak bunuh diri:
- Mengasingkan diri dari lingkungan sosial. Mereka biasanya mulai bersikap tertutup dan menyendiri.
- Kebiasaan makan dan tidur yang berubah.
- Sikap dan perilaku berubah. Misalnya dulu penurut, tiba-tiba jadi pembangkang.
- Mulai sering terlibat dalam kegiatan yang membahayakan kehidupan seperti tidak lagi takut mati.
- Sering menyalahkan diri sendiri dan merasa tidak berharga.
- Sering mengungkapkan secara langsung maupun tersirat bahwa ia ingin mati saja.
- Pernah melakukan percobaan bunuh diri. Ini merupakan tanda yang cukup serius.
Jangan tertawakan atau sepelekan ketika seseorang mengatakan menyatakan ingin mati, atau bahkan mengungkapkan ingin bunuh diri. Bahkan meski ungkapan tersebut hanya secara sambil lalu. Ini bisa jadi ungkapan hatinya yang terdalam yang harus segera mendapat respon. Kata-kata seperti, "Saya sudah tidak tahan lagi", "Mereka tidak perlu mengkhawatirkan saya", atau "Mereka akan lebih baik tanpa saya", merupakan contoh pernyataan yang umum diungkapkan oleh mereka yang akhirnya bunuh diri.
Hal yang bisa kita lakukan untuk menolong orang yang ingin bunuh diri:
• Jadi pendengar yang baik
Cobalah jadi pendengar yang baik. Dalam banyak kasus, orang yang ingin bunuh diri biasanya menarik diri dan tertutup. Cobalah mendekatinya dan sadarilah bahwa kepedihan atau keputusasaan yang sedang ia rasakan benar-benar nyata. Coba secara halus menyebutkan bahwa Anda melihat beberapa perubahan sikap dan perilakunya sehingga dapat menggerakkan dia untuk membuka diri dan mencurahkan perasaannya kepada Anda.
• Berempati
Coba dalami perasaannya, dan katakan bahwa ia sangat berarti untuk Anda maupun orang lain. Jika ia bunuh diri, hal ini akan membuat Anda hancur dan orang lain juga.
• Jauhkan benda berbahaya
Jauhkan darinya benda berbahaya apapun yang bisa menjadi alat untuk bunuh diri. Pelaku bunuh diri biasanya melihat banyak alat yang tersedia di sekitarnya membuatnya memantapkan tekad untuk bunuh diri. Misalnya tali, pisau, cutter atau bahkan senjata api.
• Minta bantuan medis
Untuk kasus yang sudah cukup ekstrem, segeralah memanggil bantuan medis untuk menangani masalahnya. Misalnya sudah terjadi gangguan mental yang serius, Anda bisa segera menggunakan bantuan medis seperti psikiater atau rumah sakit jiwa yang tahu cara terbaik menanganinya.