BETA
Kepahitan Anak
Sumber: telaga
Id Topik: 1092

Abstrak:

Kadang tanpa disadari perlakuan kita kepada anak menimbulkan kepahitan. Akhirnya sampai besar anak terus menyimpan kepahitan dan tidak lagi bisa dekat dengan kita. Ada tiga tindakan orang tua yang dapat menimbulkan kepahitan mendalam pada diri anak dan ketiganya sebetulnya mempunyai akar yang sama yaitu penolakan.

Transkrip:

Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Kepahitan Anak". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

GS : Pak Paul, di dalam sebuah keluarga tentunya baik orang tua atau anak berharap agar kehidupan rumah tangga itu harmonis, manis, akrab dan sebagainya. Tetapi kadang-kadang di tengah perjalanan ketika anak-anak sudah besar timbul ketegangan-ketegangan antara anak dan orang tua bahkan bukan hanya sekadar ketegangan, kalau anak ini ditanya ada rasa dendam walaupun itu sulit untuk diungkapkan tapi dia menyadari bahwa ini adalah rasa dendam terhadap orang tuanya, ini seperti apa, Pak Paul ?
PG : Memang ada beda antara konflik dan kepahitan atau dendam. Jadi saya melihat ada anak-anak yang konflik dengan orang tua kadang bisa ribut, tapi saya juga melihat ada anak-anak yang bisa menyimpan kepahitan, benar-benar dendam dan keluar kata-kata dari si anak yang mengatakan, "Saya akan menghancurkan orang tua saya" atau lewat tindakan-tindakannya dia benar-benar sengaja berusaha untuk membalas menyakiti orang tuanya. Pertanyaannya adalah kenapa bisa seperti itu dan kenapa ada anak-anak yang akhirnya menyimpan kepahitan seperti itu.
GS : Seringkali orang tua tidak menyadari kalau anaknya menyimpan kepahitan karena sang anak juga sulit mengatakan hal itu kepada orang tuanya.
PG : Bisa jadi anak-anak ini akan diam dan disimpan dalam hati sehingga orang tua tidak menyadarinya. Tapi pada akhirnya muncullah hal-hal yang dilakukan oleh si anak yang dengan jelas memberikan kepada si orang tua sebuah berita atau pesan yaitu bahwa "Saya pahit kepada engkau, saya dendam kepadamu dan saya ingin membalas dendam".
GS : Tentunya ada banyak hal yang membuat anak dendam pada orang tua, merasa pahit dalam hubungan dengan orang tua. Tapi pada umumnya hal-hal apa yang membuat anak itu memunyai kepahitan di dalam hidupnya ?
PG : Ada tiga yang kita akan coba angkat. Yang pertama adalah pembandingan dan perlakuan yang tidak sama, terutama dengan saudara sendiri. Jadi misalnya orang tua membanding-bandingkan anak, itu adalah hal yang bisa sangat menyakiti dan menimbulkan kepahitan dalam diri anak, misalnya karena kita ingin memacu semangat anak kita membandingkannya dengan kakak atau adiknya, atau kadang kita membandingkan dengan kakak atau adiknya bukan karena kita ingin memacu semangatnya melainkan untuk melampiaskan kekecewaan kita terhadapnya. Mungkin kita kecewa kenapa dia begini dan tidak seperti yang kita harapkan dan kemudian kita membandingkan dengan kakak adik atau saudaranya. Tidak bisa tidak, pesan yang diterima anak adalah dia tidak sebaik kakak atau adiknya dan bahwa ia tidak memunyai sesuatu yang dapat membanggakan orang tuanya seperti yang dimiliki kakak atau adiknya itu.
GS : Dalam hal ini orang tua kadang secara tidak sengaja menyakiti hati anak, tapi orang tua tidak menyadari hal itu, Pak Paul.
PG : Seringkali orang tua tidak menyadari apalagi kalau yang bertujuan hanya untuk menyemangati anak, tapi saya sudah sering bertemu dengan orang-orang yang pada masa kecil dibandingkan oleh orang tua ternyata menimbulkan kepahitan dalam diri anak, sebab yang ditangkap oleh si anak bukanlah orang tua ingin memberinya semangat supaya lebih termotivasi belajar dan sebagainya, tapi pada dasarnya si anak akan merasa bahwa dia tidak sebaik kakaknya atau adiknya. Jadi akhirnya dia akan menyimpan kepahitan sebab dia akan bertanya, "Kenapa papa dan mama tidak bisa bangga dan sayang kepada saya ?"
GS : Atau anak ini menuntut perhatian yang lebih dari orang tuanya ?
PG : Kadang ada anak yang seperti itu yaitu anak ini memiliki masalah tertentu sehingga memerlukan perhatian yang lebih besar dan orang tuanya menjadi kesal karena melihat anaknya seperti ini dan harapan orang tuanya adalah anak-anaknya tidak perlu diberi perhatian khusus, belajarnya bisa berjalan sendiri, tapi yang ini harus diperhatikan. Jadi saya mengerti orang tua kadang-kadang dalam kasus seperti ini melemparkan, melampiaskan kekecewaannya "Kamu ini seperti ini, bodoh sekali dan sebagainya". Ini yang membuat si anak merasa bahwa "Benar ya saya ini ditolak dan saya ini tidak sama, kenapa saya dibandingkan dengan orang-orang lain" akhirnya inilah yang disimpan oleh anak dalam hatinya.
GS : Sebenarnya anak ini sadar atau tidak kalau dia dibandingkan karena memang faktanya seperti itu.
PG : Kebanyakan dia sadar. Jadi waktu anak melihat bahwa orang tua bukan saja membandingkan dirinya dengan kakak atau adiknya tapi juga memerlihatkan sikap atau kelakuan yang berbeda, dia akan terluka dan menyimpan kepahitan. Biasanya waktu orang tua memberikan sikap-sikap yang berbeda seperti itu, anak akan merasa bahwa, "papa dan mama tidak menyayangi saya" dan akhirnya dia akan merasa bahwa, "Hilanglah kasih papa dan mama kepada saya". Jadi ini yang dibawa, meskipun dia menyadari dia memang berbeda, meskipun dia menyadari dia tidak sama dengan kakak atau adiknya tapi yang akan dia bawa dalam hatinya adalah "Benar orang tua memang tidak mengasihi saya".
GS : Tapi walaupun orang tua itu mengatakan ,"Kamu tidak seperti ini dan itu" tapi orang tua tetap menunjukkan kasihnya kepada anak itu, saya rasa luka batinnya tidak terlalu parah daripada kalau tindakan orang tua juga membuktikan bahwa mereka tidak mengasihi anak itu.
PG : Betul. Sayangnya yang seringkali terjadi karena interaksi dengan si anak akhirnya interaksi yang negatif dan jarang ada saat-saat orang tua bersama-sama dengan anak, ngobrol dengan anak, berbaik-baikkan dengan anak, itu jarang! Yang terjadi akhirnya kalau ada apa-apa, orang tuanya marah, kesal melampiaskan kekecewaannya. Jadi akhirnya interaksi dengan orang tua diisi oleh hal-hal seperti ini, yang positif yang penuh kelembutan hampir tidak ada. Itu sebabnya si anak akhirnya menyimpulkan bahwa papa dan mama tidak mengasihi saya.
GS : Tapi kasih itu bisa diperoleh bukan dari orang tuanya, misalnya dari neneknya kakeknya, apakah itu tidak mengurangi kadar luka batinnya ?
PG : Kalau dia dapatkan dari yang lain sudah tentu akan ada dampaknya tapi tidak beda banyak sebab tetap dari orang tua dia tidak mendapatkannya. Jadi dia akan terus menyimpan kepahitan itu kepada orang tuanya sendiri. Biasanya waktu anak mulai merasa bahwa orang tua tidak mengasihinya, reaksi pertama adalah dia akan memisahkan diri dan dia akan beranggapan bahwa tidak ada tempat baginya dalam keluarga ini. Itu sebabnya tidak jarang dia akan melakukan tindakan-tindakan yang berlawanan dengan apa yang telah menjadi ciri khas keluarga ini. Saya berikan contoh misalnya bila orang tua menekankan kecerdasan dan pencapaian akademik, maka si anak akan gagal studi dan melakukan hal-hal yang dipandang bodoh oleh orang tuanya, atau jika orang tua menekankan kerajinan dan tidak boleh membuang waktu maka si anak akan berubah malas dan tidak ingin melakukan apa-apa, atau bila orang tua menekankan kerohanian maka ia pun akan meninggalkan hidup rohani. Singkat kata, oleh karena dia merasa tidak lagi menjadi bagian dari keluarganya maka dia akan mencari jati diri atau identitas diri yang baru dan cara termudah mendapatkan jati diri yang baru adalah menjadi kebalikan dari keluarganya. Jadi apa pun yang orang tuanya tekankan, ia tidak bisa masuk ke situ dan dia tidak bisa menjadi bagian dari keluarga itu, dia akan menciptakan sebuah diri yang baru, dan diri yang baru adalah kebalikan dari apa yang diagungkan atau yang dianut oleh keluarganya.
GS : Apakah tujuannya itu bukan untuk menyakiti hati orang tuanya, Pak Paul ?
PG : Kalau si anak merasa bahwa orang tua memerlakukan dengan cara yang beda, tidak sama dengan yang lain, membanding-bandingkannya, maka apa yang dilakukannya adalah untuk menyakiti hati orang tuanya.
GS : Dalam hal ini kalau anak dibandingkan dengan saudara-saudaranya apakah dia juga menaruh benci atau dendam kepada saudaranya yang menjadi bandingannya itu.
PG : Kalau dia tidak menaruh benci yang mendalam, sudah tentu dia tidak akan terlalu dekat dengan si kakak atau si adiknya, sebab dia akan merasa bahwa gara-gara kamu saya diperlakukan seperti ini oleh papa dan mama. Sudah tentu kemarahan yang terdalamnya kepada orang tuanya, tapi dengan si kakak atau si adik hubungannya tidak akan terlalu dekat, apalagi kalau si kakak atau si adik yang menjadikan bahan perbandingan memerlakukannya tidak baik, misalnya menghinanya dan sebagainya, maka anak ini makin membenci si kakak atau si adik itu.
GS : Jadi apa yang harus dilakukan oleh orang tua, Pak Paul ?
PG : Kita harus memerlakukan anak sebagai pribadi yang unik, sesungguhnya sebelum kita membandingkan anak dia sendiri sudah terlebih dahulu melakukannya. Ia akan menilik apa yang menjadi kelebihan kakak atau adiknya dan membandingkannya dengan dirinya sendiri, apabila dia melihat bahwa dia tidak punya kelebihan yang dimiliki kakak atau adiknya sebetulnya ia sendiri sudah merasa dirinya kurang dan ia pun melihat bahwa dia lain dari kakak atau adiknya. Sudah tentu ini bukan perasaan yang nyaman yang mudah diterima. Itu sebabnya waktu orang tua membanding-bandingkannya apalagi memerlakukannya berbeda dari kakak atau adiknya, dia merasa disakiti karena yang dibutuhkannya sebenarnya adalah penerimaan, penguatan tapi yang didapat malah dibanding-bandingkan, tidak heran anak ini pada akhirnya menyimpan kepahitan dan berupaya untuk hidup berlawanan dari apa yang diharapkan oleh orang tuanya.
GS : Sebagai pribadi yang unik sebenarnya anak ini juga punya kelebihan dalam bidang tertentu, kalau seandainya oleh orang tua juga diungkapkan terhadap kakak-kakaknya apakah itu bisa mengurangi luka batinnya, Pak Paul ?
PG : Bisa. Kalau orang tua bisa melihat keunikan si anak bahwa memang inilah yang bisa dilakukan dengan baik dan orang tua bukan saja mengkomunikasikan sikap menerima, tapi juga sikap membanggakan senang dengan kelebihan si anak sudah tentu akan menetralisir, tapi yang sering saya lihat adalah karena orang tua terpaku pada satu aspek saja misalnya aspek akademik, dan waktu anak tidak bisa mencapainya seolah-olah anak tidak punya lagi hal-hal lain dalam dirinya sebab yang bisa dilihat hanya aspek akademik yang terus jadi sorotan orang tuanya. Akhirnya si anak tidak menemukan keunikan dirinya dan tidak menemukan hal-hal lain tentang dirinya yang sebetulnya baik karena tidak berkesempatan, sebab yang disoroti selalu hal yang bersikap akademik yang ditekankan oleh orang tuanya itu.
GS : Tetapi ada beberapa anak yang pada dasarnya punya masalah dengan rendah diri, jadi walaupun tidak diungkapkan kelemahannya, dia sangat peka sekali dan merasa tersinggung dengan perkataan orang tuanya.
PG : Sebetulnya kalau dari kecil kita sebagai orang tua melihat kemampuan anak kita tidak sama dengan kakaknya dan kita lebih sensitif dan tidak memerlakukan sama dengan kakaknya, menuntutnya sama seperti kakaknya seharusnya anak itu bisa menerima dirinya dengan lebih baik. Yang menjadikan dia sulit menerima dirinya dan menjadi minder adalah karena kita terus membanding-bandingkan dengan kakaknya. Dan jelas-jelas kita memerlakukannya berbeda dengan kakaknya itu.
GS : Hal lain mengenai ini, apa Pak Paul yang membuat anak ini memunyai rasa sakit hati ?
PG : Kedua adalah kepahitan dapat ditimbulkan oleh penolakan orang tua untuk memberi pertolongan kepada anak sewaktu anak dalam keadaan butuh. Pada saat anak mulai dewasa anak mulai memikirkan hal-hal yang ingin dilakukannya. Tidak jarang anak berpaling pada orang tua untuk memberikannya bantuan, pada saat itu bila orang tua menolak untuk membantunya besar kemungkinan hal ini akan menimbulkan kepahitan sebab dalam keadaan butuh kita cenderung berpaling kepada orang tua untuk menolong kita. Masalahnya adalah ada orang tua yang memang tidak peduli dengan anak sehingga tidak rela memberikan bantuan dan ada juga orang tua yang berpandangan bahwa anak harus dibuat susah terlebih dahulu dan tidak selayaknya menerima pertolongan, alhasil pertolongan tidak diberikan sedangkan si anak sedang butuh, ini seringkali menjadi bibit yang membuat si anak pahit terhadap orang tuanya.
GS : Kalau si anak meminta pertolongan dan ditolak maka bisa seperti itu, tapi kalau anak ini tidak meminta dan orang tuanya tidak tahu kalau anaknya sedang butuh pertolongan, apakah itu bisa menimbulkan kepahitan ?
PG : Bisa ya dan tidak. Ada anak yang memang tidak mau meminta sebab dia merasa sungkan, tapi dalam hatinya berharap bahwa seharusnya orang tua mengerti bahwa dia sekarang dalam keadaan butuh misalnya dia mau merintis usahanya, maka seharusnya orang tua tahu tapi orang tua diam-diam saja, efeknya bisa sama yaitu si anak bisa merasa pahit, "Kenapa papa dan mama tahu kalau saya butuh tapi tidak pernah menawarkan apa-apa, kenapa tega mendiamkan seperti itu ?" Ini yang akan membawa anak ke dalam lembah kepahitan.
GS : Jadi seharusnya terjadi komunikasi yang baik antara anak dan orang tua, kalau dia butuh dia menyatakan kebutuhannya sehingga orang tua tahu, kalau menebak-nebak nanti malah mencampuri urusannya. Ini menjadi sulit sebagai orang tua.
PG : Dalam kasus ini sebaiknya orang tua melihat kalau anaknya perlu sebaiknya tawarkan, "Apakah ada yang bisa saya bantu, papa mama bisa bantu dan sedapat-dapatnya mau bantu jadi jangan sungkan kalau ada apa-apa bicara". Orang tua yang menawarkan jasa seperti itu membukakan pintu kepada anak untuk masuk. Sudah tentu saya mengerti adakalanya orang tua harus jeli, memang ada anak yang memanipulasi kita supaya kita menggelontorkan bantuan kepadanya tanpa henti karena memang anak itu malas dan tidak mau apa-apa. Ada pula anak yang senang bermimpi dalam hidup, sehingga tidak hidup dalam alam realitas. Itu sebabnya ia senantiasa berkeinginan untuk menjadi besar dengan cepat tanpa memikirkan konsekuensinya, dalam kasus seperti ini saya kira sepatutnya kalau orang tua menolak karena kita tidak mau anak kita menjadi anak yang egois dan hanya memikirkan diri sendiri, menuntut orang tua untuk terus membantunya atau hidup dalam alam fantasi (inginnya cepat) orang tua harus bantu supaya dia bisa cepat besar dan sebagainya. Dalam kasus seperti itu silakan orang tua bersikap tegas sehingga kita tidak sampai terjebak ke dalam tangan si anak. Tapi kalau jelas terlihat memang dia tidak memanipulasi kita dan dia memang perlu bantuan kita untuk merintis usahanya dan kita sanggup menolongnya maka berilah pertolongan, anak akan melihat sebenarnya Papa dan Mama bisa atau tidak, kalau memang tidak bisa menolong dia juga tahu dan tidak apa-apa. Tapi yang menimbulkan kepahitan adalah kalau anak itu lihat bahwa orang tua sebenarnya sanggup tapi tidak mau dan itu yang membuat si anak akhirnya menaruh dendam kepada orang tuanya.
GS : Disini terjadi perbedaan pandangan antara orang tua dan anak, anak merasa butuh tapi orang tua melihat ini memanipulasi, sehingga tidak terjadi pertolongan dari orang tua kepada anak.
PG : Itu bisa. Si anak memang benar-benar butuh, tapi orang tua melihat kalau anak ini sedang memanipulasi. Jadi kalau orang tua melihat anak itu memanipulasi dan tidak sungguh-sungguh butuh dan memang malas, maka silakan tidak memberikan kepada si anak. Tapi kalau anak itu butuh maka berikanlah, saya ingat ada firman Tuhan di Amsal 25:21-22 berkata, "Jikalau seterumu lapar, berilah dia makan roti, dan jikalau ia dahaga, berilah dia minum air. Karena engkau akan menimbun bara api di atas kepalanya, dan TUHAN akan membalas itu kepadamu". Jadi orang yang tengah butuh adalah orang yang menyimpan bara api di kepalanya alias panas, waktu kita menolak untuk membantunya ia akan menyimpan kepahitan yang dalam. Sebaliknya kalau kita menolongnya maka dia akan merasakan kelegaan yang dalam. Jadi jika anak sedang butuh pertolongan berilah, kalau tidak bisa memberi semua, beri sebagian. Tunjukkanlah kalau kita mengasihinya bukan hanya dengan perkataan, tapi juga dengan perbuatan. Anak yang menerima pertolongan dalam kesusahan akan selalu tahu dan ingat bahwa orang tuanya sungguh mengasihinya.
GS : Selain dua faktor tadi apakah masih ada faktor lain yang membuat anak itu bisa dendam pada orang tuanya ?
PG : Yang ketiga, kepahitan pada anak muncul ketika dia bersalah dan membutuhkan pengampunan dan kita tidak bersedia memberinya pengampunan. Ini yang seringkali membuat si anak pahit kepada orang tuanya. Saya kutip dari Amsal 16:6 firman Tuhan berkata, "Dengan kasih dan kesetiaan, kesalahan diampuni". Anak adalah manusia biasa yang dapat melakukan kesalahan, adakalanya anak melakukan kesalahan yang besar yang mungkin sangat melukai hati kita, dalam situasi seperti itu anak memerlukan pengampunan sebab sewaktu anak menerima pengampunan atas kesalahannya dia akan melihat kasih dan kesetiaan kita kepadanya, sebab bukankah bukti kasih terbesar adalah sewaktu kesalahan terjadi dan pengampunan dibutuhkan, itu benar-benar bukti kasih terbesar. Anak akan sungguh-sungguh tahu kita mengasihinya bukan pada waktu semua berjalan baik-baik, tapi justru pada waktu kita mengampuni kesalahan yang diperbuatnya. Jadi benar-benar dia berlaku salah melakukan perbuatan yang tidak benar, tapi kita mengampuni dan barulah si anak melihat bahwa kita sungguh-sungguh setia padanya dan tidak akan meninggalkannya pada saat dia melakukan perbuatan yang mengecewakannya.
GS : Seringkali yang terjadi bukan orang tua tidak mau mengampuni pada saat anak berbuat kesalahan tapi anak juga belum mau mengampuni kesalahan orang tuanya. Jadi mungkin orang tuanya pernah berbuat salah dan sudah menyatakan kesalahan itu, tapi anak ini tidak mengampuni, bagaimana orang tua akan mengampuni anaknya ketika anak itu berbuat kesalahan.
PG : Memang sudah tentu kita ini adalah manusia, waktu anak menyimpan kepahitan kepada kita, buat kita mengampuninya juga berat. Tapi mungkin lebih baik kita yang berinisiatif memulai, "Baik, engkau pahit kepada saya dan tidak apa-apa, saya tetap beri pengampunan" jadi kita memberikan contoh bahwa kita tidak mau memelihara dendam dan tidak mau menyuburkan kepahitan, usaha kita adalah untuk justru menghilangkan kepahitan dengan cara memberikan pengampunan. Jadi kalau anak berbuat kesalahan sedapatnya mintalah pertolongan Tuhan memampukan kita untuk mengampuninya sebab ini yang dia perlukan dan ini yang akan menjadi bukti terbesar bahwa kita sungguh mengasihi dia.
GS : Kalau dia sendiri belum menyadari kalau apa yang dilakukan belum merupakan suatu kesalahan yang membutuhkan pengampunan dari orang tua, bagaimana kita bisa melakukan itu ?
PG : Otomatis kalau dia tidak merasa salah dan dia tidak minta ampun maka kita tidak bisa membuatnya menyadari. Kita hanya bisa memberitahukan, tapi membuat dia sungguh-sungguh mengerti kalau dia salah dan mau meminta ampun kepada kita, saya kira tidak selalu kita bisa melakukannya. Jadi kalau tidak bisa maka kita biarkan sampai akhirnya dia bisa menyadari bahwa dia telah melakukan kesalahan yang besar itu.
GS : Memang ada upaya kita sebagai orang tua yang pada pada batas tertentu kita tidak bisa lagi melakukan apa-apa.
PG : Betul. Tugas kita mengingatkan apa yang benar, apa yang juga menjadi kehendak Tuhan, tapi apakah si anak menerima atau tidak itu diluar jangkauan kita.
GS : Kalau dikatakan dengan kasih dan kesetiaan, ini bentuknya seperti apa ?
PG : Misalnya kita tidak mengungkit-ungkit atau menyalah-nyalahkan dan berkata, "Engkau memang salah" dan kita minta dia datang kepada Tuhan dan memohon pertolongan Tuhan dan kita bisa langsung berkata, "Tuhan mengampuni kamu, maka saya pun akan mengampuni kamu". Dan bukan hanya itu kita pun mengatakan bahwa, "Kita juga sama-sama manusia dan kita juga melakukan banyak kesalahan dan kita pun diampuni oleh Tuhan jadi kita mau menjadi saluran pengampunan Tuhan kepada dia juga".
GS : Tapi dari kasus seperti itu kalau ketika kita sudah mengampuni, apakah anak itu akan belajar sesuatu dari pengalaman ini ?
PG : Makanya kita harus melihat apa memang anak kita sudah bertobat atau belum, kalau dia tidak merasa salah sama sekali maka kita tidak perlu mengobral-obral pengampunan karena dia juga tidak akan menghargainya. Jadi kita perlu melihat apakah dia sudah menyadari bahwa dia salah dan dia sungguh menyesali kalau dia mau berubah. Kepada anak yang seperti itulah kita memberikan pengampuan, kepada anak yang tidak merasa dirinya salah dan masa bodoh dengan kita dan tidak peduli dengan apa yang menjadi kehendak Tuhan, apa gunanya memberikan pengampunan kalau dia sendiri tidak meminta dan tidak melihat dirinya bersalah.
GS : Karena ada sebagian orang tua yang merasa, kalau saya harus memberikan pengampunan atau mendahului berbaik-baik dengan dia nanti orang tua ini kehilangan wibawanya, begitu Pak Paul.
PG : Mungkin itu adalah ketakutan kita semua dan jangan sampai kita tidak dihormati oleh anak kita, atau kita merendahkan diri seperti itu. Tapi bagi saya yang penting adalah kita sungguh melihat anak kita menyadari kesalahannya dan dia minta ampun, saya kira respon yang harus kita berikan adalah, "Nak, aku ampuni, aku juga orang berdosa dan Tuhan mengampuni semua dosaku dan aku juga mau menjadi saluran pengampunan Tuhan kepadamu".
GS : Jadi kepahitan ini sebenarnya bisa diatasi, tapi harus secara bersama baik dari pihak orang tua maupun dari pihak anak itu sendiri.
PG : Betul sekali. Jadi kita benar-benar harus terbuka dan belajar merendahkan diri tapi di pihak lain anak harus merendahkan diri dan belajar untuk mengakui kesalahan dan juga belajar untuk berkata, "Saya salah dan minta ampun kepada papa mama".
GS : Terima kasih Pak Paul untuk perbincangan kali ini. Para pendengar sekalian, kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi, dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Kepahitan Anak". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@telaga.org kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.

Ringkasan:

Kadang tanpa disadari perlakuan kita kepada anak menimbulkan kepahitan. Akhirnya sampai besar anak terus menyimpan kepahitan dan tidak lagi bisa dekat dengan kita. Ada tiga tindakan orangtua yang dapat menimbulkan kepahitan mendalam pada diri anak dan ketiganya sebetulnya mempunyai akar yang sama yaitu penolakan.

  1. Pertama adalah pembandingan dan perlakuan tidak sama, terutama dengan saudara sendiri. Mungkin karena ingin memacu semangat anak, kita membandingkannya dengan kakak atau adiknya. Kadang kita pun membandingkan anak dengan kakak atau adiknya bukan karena kita ingin memacu semangatnya melainkan untuk melampiaskan kekecewaan kita terhadapnya. Tidak bisa tidak, pesan yang diterima anak adalah bahwa ia tidak sebaik kakak atau adiknya dan bahwa ia tidak mempunyai sesuatu yang dapat membanggakan orangtuanya seperti yang dimiliki kakak atau adiknya. Sebagai orangtua kita harus memperlakukan anak sebagai pribadi yang unik. Sesungguhnya sebelum kita membandingkan anak, ia sendiri sudah terlebih dahulu melakukannya. Ia akan menilik apa yang menjadi kelebihan kakak atau adiknya dan membandingkannya dengan dirinya sendiri. Apabila ia melihat bahwa ia tidak memiliki kelebihan kakak atau adiknya, sebenarnya ia sudah mulai merasa diri "kurang." Ia pun telah melihat bahwa ia "lain" dari kakak dan adiknya. Sudah tentu perasaan ini bukanlah sesuatu yang mudah diterimanya. Itu sebabnya sewaktu orangtua membanding-bandingkannya apalagi memperlakukannya berbeda dari kakak dan adiknya ia merasa sangat disakiti. Yang dibutuhkannya adalah penerimaan dan penguatan; yang didapat malah dibandingkan dan dibedakan. Tidak heran pada akhirnya ia menyimpan kepahitan dan berupaya untuk hidup berlawanan dari apa yang diharapkan orangtua.
  2. Kedua, kepahitan dapat ditimbulkan oleh penolakan orang tua untuk memberi pertolongan kepada anak sewaktu anak dalam keadaan butuh. Pada saat anak mulai dewasa anak mulai memikirkan hal-hal yang ingin dilakukannya. Tidak jarang anak berpaling kepada orangtua untuk memberinya bantuan. Nah, pada saat itu bila orangtua menolak permintaannya, besar kemungkinan hal ini akan menimbulkan kepahitan. Bila jelas terlihat bahwa anak bukan memanipulasi kita dan bahwa ia memang memerlukan bantuan, misalnya untuk merintis usahanya, dan kita memang sanggup menolongnya, sebaiknya berilah pertolongan. Biarlah kita berbagian dalam usahanya mengembangkan diri dan merintis kehidupannya. Ketidakrelaan kita menolongnya membuatnya berpikir bahwa kita tidak ingin melihat ia berhasil dalam hidup dan bahwa kita adalah kejam.
    Amsal 25:21-22 berkata, "Jikalau seterumu lapar, berilah dia makan roti, dan jikalau ia dahaga berilah dia air minum. Karena engkau akan menimbun bara api di atas kepalanya dan Tuhan akan membalas itu kepadamu." Orang yang tengah butuh adalah orang yang menyimpan bara api di kepalanya alias panas. Sewaktu kita menolak untuk membantunya, ia akan menyimpan kepahitan yang dalam. Sebaliknya jika kita menolongnya, ia akan merasakan kelegaan yang dalam. Jadi, jika anak sedang membutuhkan pertolongan, berilah. Kalau tidak bisa memberi semua, berilah sebagian. Tunjukkanlah bahwa kita mengasihinya, bukan hanya dengan perkataan tetapi juga dengan perbuatan. Anak yang menerima pertolongan dalam kesusahan, akan selalu tahu dan mengingat bahwa orangtuanya sungguh mengasihinya.
  3. Ketiga, kepahitan pada anak muncul ketika ia bersalah dan memerlukan pengampunan, kita tidak bersedia mengampuninya. Amsal 16:6 berkata, "Dengan kasih dan kesetiaan, kesalahan diampuni." Anak adalah manusia biasa, yang dapat melakukan kesalahan. Adakalanya anak melakukan kesalahan yang besar, yang mungkin sangat melukai hati kita. Nah, dalam situasi seperti ini anak memerlukan pengampunan. Sewaktu anak menerima pengampunan, ia pun akan melihat kasih dan kesetiaan kita kepadanya. Bukti kasih terbesar adalah sewaktu kesalahan terjadi dan pengampunan dibutuhkan. Anak akan sungguh-sungguh tahu bahwa kita mengasihinya pada waktu kita mengampuni kesalahan yang diperbuatnya. Anak pun baru akan tahu bahwa kita setia kepadanya dan tidak akan meninggalkannya pada saat ia melakukan perbuatan yang mengecewakan dan kita tetap menerimanya. Sebaliknya bila kita cepat mengubah sikap dan malah tidak bersedia mengampuninya, ia pun tahu bahwa kita tidak benar-benar mengasihinya dan bahwa kita tidak setia kepadanya. Ia pun cepat menyimpulkan bahwa ia hanya berharga dan dikasihi jikalau ia dapat membuat kita orangtuanya senang dan bangga atas pencapaiannya. Inilah hal yang berpotensi menimbulkan kepahitan pada diri anak: bahwa ia hanya berharga bila ia dapat melakukan hal-hal yang membanggakan orangtua."Dengan kasih dan kesetiaan kesalahan diampuni." Inilah yang diharapkan anak dari orangtuanya.

Questions: