BETA
Bertumbuh Bersama II
Sumber: telaga
Id Topik: 1049

Abstrak:

Pertumbuhan bukan hanya merujuk kepada pertambahan ukuran dari kecil menjadi besar. Pertumbuhan juga mengacu kepada pergantian yang baru menggantikan yang lama. Pertumbuhan bukan saja merupakan pertanda adanya kehidupan; pertumbuhan juga merupakan pertanda adanya kesehatan. Relasi nikah pun seharusnya mengalami pertumbuhan di mana yang tadinya kecil menjadi besar dan di mana yang lama digantikan oleh yang baru. Berikut akan diuraikan hal-hal apa saja dalam pernikahan yang seyogianya mengalami pertumbuh

Transkrip:

 

Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen dan kali ini saya bersama Ibu Dientje Laluyan, kami akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini merupakan kelanjutan dari perbincangan kami terdahulu tentang “Bertumbuh Bersama”. Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

 

GS :   Pak Paul, karena ini perbincangan bagian yang kedua tentang “Bertumbuh Bersama”, supaya para pendengar kita memunyai gambaran yang lebih lengkap boleh saya minta kesediaan Pak Paul untuk mengulas secara singkat apa yang kita perbincangkan pada bagian yang terdahulu, Pak Paul.

PG :   Kita berasumsi bahwa untuk sebuah pernikahan bisa tetap sehat maka dua-dua mesti bertumbuh, relasinya tidak bisa sama dari tahun ke tahun, jadi kita membicarakan sekurang-kurangnya ada 2 aspek yang mesti bertumbuh, yaitu yang pertama dalam hal pengenalan mesti bertumbuh sebab lewat pengenalan kita makin bisa mengerti pasangan kita dan makin mengerti pasangan, kita akhirnya dapat menyesuaikan diri. Lewat semua itulah terjadi keharmonisan dan yang kedua adalah kita membicarakan betapa pentingnya masing-masing, baik suami maupun istri, bertumbuh dalam hikmat karena keputusan dalam pernikahan tidak hanya berdampak pada 2 orang, tetapi pada 1 keluarga kalau kita tidak berhikmat dalam hidup, dalam bertindak, dalam mengambil keputusan, dampaknya luas. Jangan sampai karena kita salah bertindak, terlampau berani, tidak berhikmat, kita akhirnya jatuh ke dalam dosa, membuat satu keluarga merana atau kita terlibat perkara hukum harus masuk penjara, keluarga kita juga harus merana atau kita karena terlalu bernafsu akhirnya merugi semua habis, rumah habis harus pindah dan sebagainya, akhirnya anak-anak kita juga merana dan ada yang bahkan menyimpan kepahitan. Kita berdua harus bertumbuh dalam hikmat, tidak boleh terus-menerus melakukan apa yang kita anggap benar tanpa menghiraukan akan rasa takut akan Tuhan dan juga tidak rendah hati untuk mau mendengarkan masukan dari orang terutama dari pasangan sendiri.

DL :   Selain pengertian tadi, pengenalan dan penyesuaian serta hikmat, apa ada lagi, Pak Paul ?

PG :   Kita juga mesti bertumbuh dalam kekudusan, yang saya maksud adalah ini. Ada kecenderungan setelah kita menikah untuk waktu yang lama, kita menjadi terbiasa dengan pasangan sehingga mulailah kita bersikap atau bertindak semaunya atau seenaknya. Mungkin misalnya kita berbicara lebih kasar, memanggil pasangan kita “Bodoh” dan sebagainya. Kita tidak boleh begitu, setelah menikah, justru makin lama menikah kita harus menjadi orang yang lebih kudus lagi, hidup yang lebih benar lagi, hidup yang lebih sesuai dengan kehendak Tuhan, jangan meremehkannya. Jangan menyia-nyiakannya dan sudah tentu jangan sampai kita bermain-main dengan dosa, sebab tanpa kekudusan pernikahan pasti akan rusak. Jadi kita mesti hidup dalam kekudusan. Kita juga akan melihat dampaknya pada pernikahan begini, kita mungkin tidak selalu setuju dengan pasangan kita, perdebatan mungkin terjadi karena tidak cocok cara berpikir kita, namun kalau kita melihat pasangan kita orang yang hidupnya kudus, hidupnya benar. Pasangan kita sungguh-sungguh mencari Tuhan, mencoba untuk menaati Tuhan, tidak bisa tidak kekudusan pasangan akan menimbulkan respek dalam diri kita. Ini dasar respek yang kokoh sehingga akhirnya dalam kita berelasi, dalam memecahkan persoalan, dalam menyelaraskan perbedaan kita tidak sembarangan karena kita mengetahui bahwa pasangan kita orang yang saleh, orang yang sungguh-sungguh ingin hidup kudus di hadapan Tuhan.

GS :   Jadi kekudusan ini bukan soal berzinah atau bermain-main dengan pasangan yang lain, bukan hanya itu, Pak Paul ?

PG :   Bukan, Pak Gunawan, jadi memang menyangkut kehidupan yang rohani, yang dikehendaki oleh Tuhan. Hidup yang benar sehingga kita tidak hidup sembarangan dengan pasangan, tidak sembarangan dengan anak karena kita mengetahui bahwa kita mencerminkan Tuhan dalam keluarga kita.

GS :   Jadi lebih banyak aspek yang menekankan kita untuk hidup kudus di sini, memang kehidupan kita sudah terpisah dengan yang lainnya supaya kita fokus kepada keluarga yang sekarang bersama-sama dengan kita.

PG :   Betul, Pak Gunawan. Jadi begini, kalau misalnya kalau saya sekarang menempatkan diri di posisi anak. Anak melihat papanya, mamanya hidup kudus, tidak main-main dengan orang lain. Hal itu berdampak sangat besar pada keluarga, bandingkan misalnya si anak melihat ayahnya bila bertemu dengan perempuan tidak bisa diam, sepertinya ingin mendekati perempuan  terus. Anak tidak melihat kekudusan dan pasti itu membuat dia susah respek kepada ayahnya. Atau mama bila marah kepada suaminya, anak-anak melihat mama memaki-maki suaminya, bagaimana anak melihat kekudusan pada mama ? Anak-anak tambah tidak hormat kepada mama, tambah benci kepada mama akhirnya muncul masalah demi masalah dalam keluarga itu. Jadi penting masing-masing hidup kudus di hadapan Tuhan sehingga nanti itu memberi dampak yang sangat baik pada keluarga kita.

DL :   Jadi harus ada saat teduh pribadi dari masing-masing, kemudian saat teduh bersama.

PG :   Misalkan kita benar-benar menunjukkan usaha mencari Tuhan, bahwa Tuhan itu penting dalam hidup kita. Kita mau mendengarkan suara Tuhan karena itu di pagi hari atau di malam hari kita datang ke hadapan Tuhan, kita berdoa, kita membaca firman-Nya, kita saat teduh. Belum lagi kalau ini dilihat oleh pasangan atau anak kita, sudah tentu kita melakukan hal itu bukan supaya dilihat oleh anak atau pasangan kita. Kalau mereka melihat betapa seriusnya kita mencari kehendak Tuhan, itu akan menjadi teladan, hal yang dapat dihormati oleh anak.

GS :   Selain hal itu, faktor lain untuk menumbuhkan hubungan suami istri itu apa, Pak Paul ?

PG :   Yang berikut adalah kita juga mesti bertumbuh dalam kebaikan. Kita mengetahui bahwa pernikahan didirikan di atas kasih namun kasih harus diwujudkan dalam tindakan nyata, yaitu dalam bentuk kebaikan. Tidak bisa kita berkata, “Saya mengasihi kamu”, tapi kita tidak melakukan hal-hal yang baik kepada pasangan kita. Makin banyak kebaikan, makin cepat pernikahan bertumbuh. Sebaliknya makin jarang kebaikan dilakukan, makin besar jurang pemisah dan makin mengering relasi nikah. Intinya kita senang menerima kebaikan, kita senang menerima bantuan, itu sebabnya kita harus sering-sering berbuat baik kepada pasangan kita dan untuk pasangan kita. Jadi lebih ringan tangan untuk menolongnya dan sudah tentu harus lebih murah hati, sikap tidak menghitung-hitung, rela memberi, rela berkorban tanpa imbalan. Sewaktu kebaikan menjadi sesuatu yang alamiah, otomatis dalam keluarga kita, pernikahan itu pasti bertumbuh juga.

GS :   Ada orang yang memang sejak kecilnya atau memunyai latar belakang yang memungkinkan seseorang ini baik hatinya, murah hati tapi ada juga sebagian orang yang kesulitan sekali untuk mewujudkan kebaikan itu, Pak Paul.

DL :   Karena latar belakang keluarga mungkin terlalu keras.

PG :   Kadang-kadang ada orang yang memasuki pernikahan dengan sikap atau sifat murah hati dan baik, tetapi ada orang yang tidak memunyai sifat itu. Sudah tentu yang memang tidak punya akan jauh lebih susah untuk menumbuhkannya, namun kita kembali lagi kepada yang tadi telah kita bicarakan. Kalau pasangan telah melihat bahwa kita hidupnya benar, hidupnya kudus dan dia pun melihat Tuhan memberkati kita, lama-lama dia bisa lebih tergerak, akan mencontoh untuk lebih murah hati karena Tuhan telah memberkati kita juga. Ini bisa menjadi pemicu juga atau yang lain lagi adalah waktu dia melihat bahwa pasangan kita baik, mau menolong, mau memberi  dan kita pun ditolong oleh dia, dia bukan hanya menolong orang lain, akhirnya dia merasa lebih tergerak untuk menolong juga, untuk berbuat baik juga dan tidak usah menghitung-hitung. Kalau kita merasa pasangan kita tidak murah hati dan menghitung-hitung, kemudian kita membalas dengan menghitung-hitung maka tidak ada habisnya. Justru kalau kita membalas dengan kemurahan hati, tidak apa-apa berkorban untuk dia maka lama-kelamaan dia akan disadarkan, mengapa saya begitu berbeda dengan dia, dia begitu murah hati, saya begitu perhitungan. Nah, dia lebih tergerak lain kali untuk lebih murah hati kepada pasangannya.

GS :   Tapi juga seringkali terjadi kebaikan hati seseorang itu disalahgunakan oleh pihak lain, Pak Paul, sehingga merugikan bukan hanya orang itu tetapi sekeluarga sehingga ada pasangannya yang berkata, “Karena itu kamu jangan terlalu baik” dan dia melihat kebaikan ini merugikan seluruh keluarga.

PG :   Kita sudah membahas bahwa kita perlu juga bertumbuh dalam hikmat. Kalau tidak memunyai hikmat akhirnya kita terjeblos ke lubang yang sama berkali-kali. Jadi adakalanya misalkan kita ditipu, tapi ditipu karena kita sudah menyelidiki, sudah berhati-hati tetapi tetap ditipu. Kalau misalnya kita terus sembrono atau kurang hati-hati, itu berarti kita tidak berhikmat dan yang dituntut oleh pasangan dan oleh anak-anak kita bahwa kita telah berupaya untuk berhikmat, tidak gegabah (kurang berhati-hati). Selama mereka melihat kita telah berusaha tidak gegabah, biasanya mereka bisa menerima kalau misalnya kita berbuat salah lagi. Tetap kebaikan harus disandingkan juga dengan hikmat sebab tanpa hikmat kebaikan bisa membuka pintu kita akhirnya terus-menerus dimanfaatkan oleh orang.

DL :   Selain kebaikan apa lagi yang bisa menumbuhkan dalam pernikahan itu, Pak Paul ?

PG :   Berikut adalah pengenalan akan Allah, Bu Dientje. Hidup ini berasal dari Allah jadi kita hanya dapat memaknai hidup dari kacamata Allah sendiri, itu sebabnya kita mesti menambah pengenalan akan karakter Allah, cara Allah bekerja dan rencana Allah atas manusia dan kehidupan ini. Dengan kita menambah semua itu kita akan lebih jelas melihat makna hidup dan juga kita dapat akhirnya menjalani hidup dengan lebih benar. Kita mengetahui bahwa inilah cara Allah bekerja dan inilah yang memang dikehendaki oleh Allah. Jika kita berdua berjalan di jalur yang sama, kita akan makin disatukan dan dikuatkan dalam hidup ini. Sebaliknya bila kita hidup di jalur yang berbeda, kita memaknai hidup secara berlainan pula akhirnya kita makin terpaut dan sering bertabrakan alias berkonflik dengan pasangan kita. Jadi penting kita mengenal Allah dengan lebih tepat, dengan lebih mendalam, mengenal cara kerja Allah dan mengenal rencana Allah dalam hidup ini sehingga kita berdua bisa sejajar. Saya berikan contoh konkretnya, misalnya kita mengerti bahwa bagi Allah yang penting adalah supaya manusia hidup takut akan Dia dan hidup memuliakan Dia. Itu saja akan bisa merumuskan tujuan hidup sepasang suami istri, bahwa yang terpenting adalah kita mengenal Allah dan kita memuliakan Allah dalam hidup ini, itu menjadi rumusan tujuan hidup suami istri. Begitu kita berdua bisa merumuskan yang sama, semua tindakan kita, keputusan kita akan kita selaraskan dengan tujuan itu dan kita pasti akan bertumbuh kalau memunyai tujuan yang memang sudah pas dan sesuai dengan kehendak Allah.

DL :   Mengenal Allah itu harus selalu mendalami firman Tuhan. Ada seorang ibu yang sudah tua dan tidak bisa membaca firman Tuhan tetapi hidupnya begitu memancarkan karakter Tuhan sampai orang-orang yang datang berkunjung malah dihiburkan. Berarti kalau saya melihat, mengenal Allah bukan saja dekat dan baca firman Tuhan, tetapi dekat di hati Tuhan.

PG :   Setuju, Ibu Dientje. Sudah tentu sedapat-dapatnya selagi kita bisa membaca, kita membaca firman Allah sebab firman yang kita baca dan kita renungkan akhirnya menjadi bagian dari hidup kita. Kita pun akan hidup di dalam hadirat Allah, itu memang yang penting sekali. Jadi waktu kita hidup sedekat itu dengan Tuhan, tidak bisa tidak kita akan menjadi orang yang lebih teguh, tidak mudah terombang-ambingkan oleh situasi kehidupan. Kita menjadi lebih kuat dan dampaknya bagi pernikahan kita lebih kokoh. Kalau ada satu orang yang mudah diombang-ambingkan, yang kuat pun lama kelamaan menjadi oleng karena terbawa oleh pasangannya. Jadi kalau dua-dua bisa bertumbuh, makin hari makin kuat, makin beriman, makin tidak mudah goyang, itu benar-benar membuat pernikahan mereka juga lebih solid. Yang lainnya lagi adalah dampaknya kita juga semakin respek kepada pasangan yang sungguh-sungguh kuat, tidak mudah cemas, benar-benar kokoh di dalam Tuhan. Kita pun menaruh respek kepadanya dan hal ini akan menambah kedekatan kita, kita juga makin bertumbuh dalam relasi nikah kita.

GS :   Pengenalan akan Allah ini memang membuat seseorang bertumbuh tetapi untuk pertumbuhan pada pasangannya, itu ‘kan tidak secara instan bisa terjadi, Pak Paul. Misalnya si suami memang seorang yang tekun belajar mau mengenal Allah tapi istrinya belum tentu tertarik dengan gaya hidup seperti itu.

PG :   Biasanya yang membuat ia tertarik adalah waktu dia melihat hasilnya, Pak Gunawan, sikapnya. Dia melihat pasangannya begitu kuat dan tenang menghadapi pukulan-pukulan hidup dia tidak terhempas, dia tidak merasa bingung, dia tidak merasa kecewa, bisa terus jalan dengan kuat. Nah, buah itu menjadi daya tarik yang kuat. Mungkin ia akan berpikir, “saya juga mau menjadi seperti pasangan saya”, sebab dia hidupnya begitu tenteram. Dengan perkataan lain, dia lebih terdorong meskipun tetap dia memunyai pilihan mau atau tidak mau. Namun setidak-tidaknya hal itu menjadi suatu daya tarik, akhirnya ketika dia mau bertumbuh, dia belajar kuat dan sebagainya, mengenal Tuhan lebih dalam lagi. Pernikahan itu akhirnya mengalami pertumbuhan, tapi kalau kita menolak, kita tidak mau, kita tetap mau seperti apa adanya sekarang ini, tidak mau mengenal Tuhan lebih dalam lagi, saya takutnya kita berada pada level anak-anak, tidak pernah matang. Selalu ada apa, ada apa, menyalahkan pada pasangan, kita merasa bingung, merasa kecewa diombang-ambingkan oleh hidup. Terus begitu, sudah tentu nanti dampaknya pada pernikahan juga ada, sebab orang tidak tahan bila digantung seperti itu.

GS :   Yang menjadi masalah justru pengenalan akan Allah biasanya hanya sebatas rasio. Mengerti memang mengerti, menekuni belajar dan sebagainya tetapi itu tidak terwujud di dalam kehidupan nyata sehari-hari. Ini menjadi batu sandungan atau penghalang bagi pasangan itu untuk mendekat kepada Tuhan.

PG :   Sudah tentu benar, bahwa kita tidak bisa hanya duduk membaca firman tetapi kita harus berdiri dan berjalan di dalam firman.

DL :   Bertindak di dalam firman.

PG :   Betul, itu yang akhirnya menjadi kesaksian yang kuat. Misalkan kita membaca firman tetapi bila ada sesuatu kita sudah merasa panik, kacau, mau mencari jalan yang salah. Akhirnya pasangan berkata, “Percuma”, baca firman seperti itu tetapi kehidupannya masih begini.

DL :   Berarti dia harus mengimani apa yang dibacanya, mesti dilakukan.

PG :   Kalau tidak maka efeknya bukan hanya tidak ada tetapi seringkali efeknya negatif, jadi kebalikannya membuat pasangan atau anak bertambah tidak mau, tidak respek.

GS :   Jadi dalam hal itu sebenarnya orang tersebut tidak bertumbuh, begitu Pak Paul hanya bertambah pintar sedikit tetapi pertumbuhan dalam relasi nikah tidak ada sama sekali.

PG :   Saya ingat berbicara dengan seorang istri yang sangat terkejut mengetahui bahwa suaminya berselingkuh. Mengapa ia sangat terkejut ? Ia berkata, “Suami saya pencinta buku rohani, bukunya berderet-deret, ia selalu melahap buku-buku rohani”. Karena itu si istri sangat tidak menduga. Nah ini bukti bahwa hanya menambah masukan secara rasional intelektual tidak membuat ia bertumbuh. Ketaatanlah, penyerahanlah, mengimaninyalah yang membuat orang bertumbuh dalam Tuhan.

GS :   Tapi memang ada orang yang dengan sengaja melakukan hal-hal itu untuk menutupi dosanya khususnya di hadapan istrinya sehingga ia tidak dicurigai. Ia sering ke gereja, sering membaca buku-buku rohani, Alkitab dan sebagainya jadi istrinya percaya penuh, ternyata kepercayaan ini disalahgunakan.

PG :   Sudah pasti ada yang begitu, sengaja menutupi.

GS :   Apakah ada hal lain yang perlu ditumbuhkan, Pak Paul ?

PG :   Ini yang terakhir dan sudah tentu penting juga yaitu kita harus menumbuhkan rasa syukur, berdua dengan istri dan suami menumbuhkan rasa syukur, kita harus berupaya keras tidak terjebak dalam siklus mengeluh, jangan sedikit-sedikit mengeluh, menggerutu. Kita harus berusaha untuk hidup dalam sikap bersyukur, artinya melihat dan menghargai pemberian Tuhan pada kita, lihat apa yang Tuhan telah berikan. Itulah yang kita syukuri, relasi nikah sulit bertumbuh jika kita sedikit-sedikit tidak puas, tidak puas dengan apa yang telah diberikan Tuhan. Ini yang terjadi, kalau kita terus menggerutu, pasangan pun akhirnya tidak betah dekat-dekat dengan kita. Sebaliknya bila kita sering bersyukur, kita akan menceriakan suasana dan justru memberikan dorongan kepada pasangan untuk melanjutkan hidup dengan lebih riang dan ringan, sebab kita mesti sadari ini, rasa bersyukur adalah sikap positif yang menular. Kalau kita dekat dengan orang yang rasa bersyukurnya kuat, sering memuji Tuhan maka kita juga akan terpengaruh oleh dia dan semangat menghadapi hidup. Oleh karena itu kita cenderung mau dekat dengan orang yang memunyai rasa bersyukur yang kuat.

DL :   Tapi ada juga orang yang sering mengeluh, “negative thinking”, bagaimana kita dapat menghadapi orang yang seperti itu misalnya ada pasangan yang seperti itu, Pak Paul ?

PG :   Sekali lagi memang kita perlu memberitahukan tapi harus berhati-hati karena orang-orang yang seperti ini bila kita langsung beritahukan tidak bisa menerima. Dia akan berkata, “Kamulah yang tidak realistik, saya ‘kan mau realistik ingin melihat ini – ini – ini......”. Jadi kita tidak usah terlalu sering memberitahukan dia, yang mesti lebih sering kita lakukan adalah begini, waktu terjadi sesuatu kita ingatkan, “Aduh, Tuhan yang memberkati ini”. Pada waktu kita menerima sesuatu sekecil apa pun kita katakan, “Ayo kita berdoa, kita syukuri, Tuhan telah berbuat begitu baik kepada kita”, jadi kita libatkan dan undang dia untuk hidup dengan lebih bersyukur, dengan cara lebih melihat dengan jeli hal-hal kecil yang Tuhan telah berikan kepada kita.

DL :   Dengan demikian maka anak-anak pun akan ikut, mulai “positive thinking”, mulai bersyukur.

PG :   Betul, berapa banyak anak yang akhirnya bertumbuh negatif karena kita sebagai orang tua terlalu sering mengeluh. Justru orang tua yang beriman, bersyukur, memberikan modal besar kepada anak-anak untuk mencontoh dan akhirnya hidup dengan penuh syukur. Dan satu hal yang saya mau tekankan di sini, syukur itu bukanlah perasaan, jangan sampai kita salah mengerti. Syukur adalah sebuah sikap atau tindakan. Kita mesti menentukan bagaimanakah kita melihat hidup, kita dapat melihat hidup dari 2 kacamata. Yang pertama, kacamata kurang dan yang kedua kacamata cukup. Bila kita terus memakai kacamata kurang, maka semua akan kurang, tetapi jikalau kita menggunakan kacamata cukup maka kita akan cepat bersyukur pada Tuhan dan kasih setia-Nya.

GS :   Apakah ada contoh konkret, Pak Paul, orang yang mengucapkan syukur bukan hanya dengan kata-kata tetapi dengan suatu sikap hidup dan orang lain bisa mengetahuinya bahwa ini adalah hidup yang penuh syukur.

PG :   Saya berikan contoh, saya pernah naik becak dan menanyakan kepada si tukang becak, “Pak, bagaimana kalau bapak melihat orang yang memunyai rumah gedongan sedangkan bapak sendiri menarik becak”. Jawabnya, “Oh untuk saya tidak apa-apa, karena Tuhan ada rejeki buat masing-masing orang, buat mereka itulah rejekinya, buat saya juga ada rejeki untuk saya, jadi tidak apa-apa untuk saya”. Mendengar hal itu saya diingatkan juga oleh firman Tuhan yang berkata, “Ujilah diri sendiri apa yang kita lakukan barulah kita nanti bisa bertumbuh, jangan banding-bandingkan diri dengan orang lain”. Ternyata sikap hanya melihat diri, uji diri dan jangan banding-bandingkan dengan orang lain, sikap yang membuat kita bertumbuh. Semakin membanding-bandingkan semakin tidak bertumbuh karena yang akan keluar justru menggerutu bukan bersyukur.

DL :   Itu karena melihat ke atas terus, kita perlu juga melihat ke bawah, jadi dengan kunjungan kepada orang-orang yang susah, di situ kita akan merasa bersyukur karena keadaan kita begini.

PG :   Jadi syukurilah apa yang Tuhan telah berikan jangan kita memikirkan apa yang tidak kita miliki. Yang kita punya itulah yang kita pegang dan kita katakan, “Terima kasih, Tuhan”.

GS :   Memang pola hidup bersyukur ini pun perlu dilatih, Pak Paul, dan perlu dukungan dari pihak pasangan maupun anak-anak atau kita mendukung anak-anak untuk melatih mereka supaya mereka tahu bersyukur karena tanpa itu memang manusia ini punya kecenderungan untuk melihat apa yang dia inginkan terus dan hal itu menghalangi seseorang untuk bisa bersyukur. Pak Paul, apakah ada ayat firman Tuhan yang ingin Pak Paul sampaikan untuk menyimpulkan perbincangan kita ini yang sampai 2 sesi ini.

PG :   Kita telah membicarakan tentang “Bertumbuh Bersama” dan pernikahan itu mesti bertumbuh, kita dengan pasangan kita dan akhirnya anak-anak kita mesti bertumbuh. Nah firman Tuhan untuk kita adalah dari Mazmur 103:17-18, “Tetapi kasih setia Tuhan dari selama-lamanya sampai selama-lamanya atas orang-orang yang takut akan Dia dan keadilan-Nya bagi anak cucu, bagi orang-orang yang berpegang pada perjanjian-Nya dan yang ingat untuk melakukan titah-Nya”. Jadi janji Tuhan, Dia akan mencurahkan kasih setia-Nya kepada kita, orang yang takut akan Tuhan dan Dia juga akan memberikan keadilan-Nya, kasih setia-Nya kepada siapa ? Anak cucu kita, orang-orang yang melakukan titah-Nya, jadi kita bertumbuh bersama sewaktu kita memang memusatkan mata kita kepada Tuhan, pada kasih setia-Nya, pada takut akan Dia dan hidup sesuai dengan titah-Nya.

GS :   Terima kasih Pak Paul, untuk perbincangan ini dan para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi, dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang “Bertumbuh Bersama” bagian yang kedua dan yang terakhir. Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@telaga.org kami mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.


Ringkasan:

Pertumbuhan bukan hanya merujuk kepada pertambahan ukuran dari kecil menjadi besar. Pertumbuhan juga mengacu kepada pergantian yang baru menggantikan yang lama. Pertumbuhan bukan saja merupakan pertanda adanya kehidupan; pertumbuhan juga merupakan pertanda adanya kesehatan.

Relasi nikah pun seharusnya mengalami pertumbuhan di mana yang tadinya kecil menjadi besar dan di mana yang lama digantikan oleh yang baru. Berikut akan diuraikan hal-hal apa saja dalam pernikahan yang seyogianya mengalami pertumbuhan.

·         Pengenalan, Pengertian, dan Penyesuaian.
Pernikahan bukan saja menyediakan wadah terciptanya pengenalan, pernikahan juga mengharuskan pasangan untuk saling menyesuaikan diri lewat pengenalan yang telah terjalin. Nah, agar terjadi penyesuaian, diperlukan pengertian. Dengan kata lain, dimulai dengan PENGENALAN, berlanjut dengan PENGERTIAN, dan berakhir dengan PENYESUAIAN. Pengenalan mesti bertumbuh agar tercipta pengertian dan pengertian mesti bertumbuh agar tercipta penyesuaian. Dan kita tahu, relasi harmonis mustahil tercipta tanpa adanya penyesuaian.

Banyak pasangan nikah yang tidak memberi cukup waktu untuk saling mengenal. Begitu masuk ke dalam pernikahan, mereka langsung "berlari" mengejar impian. Pulang malam, mereka jarang bercakap-cakap. Tubuh terlalu letih sehingga kebutuhan terbesar adalah beristirahat. Akhirnya pengenalan mereka pun mandek.

Masalahnya, begitu pengenalan berhenti berkembang, pengertian terhadap satu sama lain makin menipis pula. Problem makin sering muncul akibat kurangnya pengertian antara satu sama lain. Pada akhirnya konflik mulai berjamur karena kita tidak mengerti mengapa pasangan melakukan sesuatu atau melihat sesuatu lewat lensanya yang berbeda dari lensa kita.

Jika kita dapat menyelaraskan perbedaan, kita akan dapat membangun kedekatan tetapi apabila kita tidak dapat mendamaikan konflik, kita makin bertumbuh secara terpisah. Kita tidak terbiasa menyesuaikan diri dan kalaupun mau, kita tidak tahu bagaimana caranya.

Pada umumnya masalah mulai bermunculan ketika anak sudah tidak bersama kita lagi. Oleh karena anak sudah tiada, kita terpaksa berhadapan kembali dan harus melihat fakta bahwa sesungguhnya kita tidak tahu bagaimana hidup bersama. Tidak jarang, akhirnya kita memilih untuk menjalani hidup terpisah kendati masih hidup serumah. Itu sebabnya penting bagi kita untuk menumbuhkan pengenalan terhadap satu sama lain agar pengertian pun bertumbuh. Dan, tatkala pengertian bertumbuh, kita pun dapat menyesuaikan diri dengan lebih mudah.

·         Hikmat.
Banyak hal yang mesti dihadapi dalam hidup dan semua menuntut hikmat. Amsal 24:3-4 berkata, "Dengan hikmat rumah didirikan, dengan kepandaian itu ditegakkan, dan dengan pengertian kamar-kamar diisi dengan bermacam-macam harta benda yang berharga dan menarik." Bila kita tidak bertumbuh dalam hikmat, kita cenderung mengambil keputusan yang keliru dan merugikan keluarga. Mungkin bila hal ini terjadi sekali-sekali, pasangan dan anak akan dapat menoleransi. Namun bila hal ini kerap terulang, tidak bisa, relasi dengan pasangan dan anak niscaya terganggu. Besar kemungkinan mereka marah dan menyimpan kepahitan oleh karena kesalahan yang kita perbuat. Itu sebabnya kita harus bertumbuh dalam hikmat sebab tanpanya, pernikahan akan mengalami kerusakan. Ada banyak anak yang menyimpan kepahitan terhadap orang
tua akibat tindakan atau keputusan orang tua yang tidak berhikmat. Misal, ada anak yang menyimpan rasa marah karena sejak kecil dikirim ke sekolah berasrama. Memang secara intelektual si anak mengalami perkembangan, namun secara emosional, ia mengalami kepahitan. Atau, ada anak yang harus merasakan susahnya hidup akibat keputusan orang tua yang salah. Mungkin bisnis merugi berulang kali sehingga rumah terpaksa dijual. Atau, uang dipinjamkan tanpa jaminan, sehingga harus menanggung rugi.

Tindakan dan keputusan yang tidak berhikmat cenderung memengaruhi kehidupan semua anggota keluarga. Itu sebabnya kita mesti belajar berhikmat. Firman Tuhan mengajarkan bahwa hikmat didirikan di atas

  1. takut akan Tuhan dan
  2. kerendahan hati
untuk mendengarkan dan belajar dari orang lain dan pengalaman hidup. Bila kita tidak takut Tuhan, kita mudah tergelincir jatuh ke dalam dosa dan dosa pasti merugikan keluarga. Kita pun mesti rendah hati supaya cepat mengakui kekurangan dan belajar memerbaikinya. Tanpa takut akan Tuhan dan kerendahan hati, kita terus berkubang dalam kehidupan tanpa hikmat.

·         Kekudusan.
Ada kecenderungan setelah menikah untuk waktu yang lama, kita menjadi begitu terbiasa dengan pasangan sehingga kurang berhati-hati menjaga perilaku dan perkataan. Mungkin kita berubah menjadi lebih kasar atau bersikap lebih "seenaknya." Kita tetap harus menjaga kekudusan alias hidup benar. Jangan meremehkannya dan jangan menyia-nyiakannya. Selain dari itu, kita pun harus menjaga kekudusan hidup secara menyeluruh. Jangan bermain dengan dosa dan jangan lengah. Kekudusan adalah perisai pernikahan. Tanpa kekudusan, pernikahan tersungkur ke dalam dosa.

Kita tidak selalu setuju namun sewaktu kita melihat betapa kudusnya hidup pasangan, kita akan menghormatinya. Inilah dasar respek yang kokoh. Ketika kita melihat pasangan berdoa dengan sungguh-sungguh, kita pun akan makin respek kepadanya. Tatkala kita melihat pasangan bergelut dalam Firman, kita pun akan makin menghormatinya.

Hidup kudus adalah hidup yang

  1. mencari Allah dan
  2. menghalau dosa
. Makin serius kita mencari Allah dan makin besar usaha yang kita berikan untuk jauh dari dosa, makin kuduslah hidup. Dan, makin kudus hidup, makin kokoh pernikahan dan makin dilindungi kita dari segala pencobaan. Pernikahan tidak mungkin bertumbuh bila kita terus direpotkan dengan masalah pasangan yang hidup tidak kudus.

·         Kebaikan.
Pernikahan didirikan di atas kasih namun kasih harus diwujudkan dalam tindakan nyata yaitu dalam bentuk kebaikan. Makin banyak kebaikan, makin cepat pernikahan bertumbuh. Sebaliknya, makin jarang kebaikan dilakukan, makin besar jurang pemisah dan makin mengering relasi nikah.

Kita senang menerima bantuan dan sudah tentu berbahagia tatkala menjadi penerima kebaikan pasangan. Itu sebabnya kita harus sering-sering berbuat baik kepada dan untuk pasangan. Kita harus lebih cepat menggerakkan tangan menolong satu sama lain dan kita pun harus lebih murah hati. Murah hati diperlihatkan dari sikap yang tidak menghitung-hitung. Kita rela memberi walau tanpa imbalan. Sewaktu kebaikan menjadi sesuatu yang alamiah dan otomatis, pernikahan pasti bertumbuh pula.

·         Pengenalan akan Allah.
Hidup berasal dari Allah. Itu sebabnya kita hanya dapat memaknai hidup dari mata Allah sendiri. Pengenalan akan karakter Allah, cara Allah bekerja, dan rencana Allah atas manusia bukan saja memberi kita kejelasan akan makna hidup tetapi juga menempatkan kita pada jalur yang benar di dalam menjalani hidup. Jika kita berdua berjalan di jalur yang sama, kita pun akan makin disatukan dan dikuatkan dalam menjalani hidup ini. Sebaliknya, bila kita hidup di jalur berbeda dan memaknai hidup secara berlainan pula, kita makin terpaut jauh dan besar kemungkinan akan lebih sering bertabrakan dalam konflik. Pengenalan akan Allah yang mendalam dan tepat membuat kita teguh—tidak mudah terombang-ambingkan oleh situasi kehidupan. Alhasil kita pun menjadi lebih kuat. Dan, kita cenderung respek kepada orang yang kuat dalam menghadapi tekanan hidup. Itu sebabnya dengan berjalannya waktu kita pun mesti bertambah kuat menghadapi kekecewaan, kebingungan, dan kesusahan hidup. Relasi nikah sulit bertumbuh bila salah satu anggotanya terus bergantung pada yang satunya. Sebaliknya sewaktu pasangan melihat bahwa kita kokoh dalam pengenalan akan Allah dan kekuatan dari-Nya, ia pun terdorong untuk mengenal Allah lebih dalam lagi dan menimba kekuatan lewat penyerahan kepada Tuhan. Tatkala ini terjadi, pernikahan pun akan mengalami pertumbuhan. Sebaliknya bila kita tidak berminat memperdalam pengenalan akan Allah, kita tetap berada pada level kanak-kanak dan ini akan membuat pasangan letih hidup bersama kita.

·         Syukur.
Kita harus berupaya keras untuk tidak terjebak di dalam siklus mengeluh. Kita harus berusaha untuk hidup dalam sikap bersyukur yakni melihat dan menghargai pemberian Tuhan kepada kita. Relasi nikah sukar bertumbuh bila kita kerap mengeluh dan menyatakan tidak puas terhadap apa yang diterima. Pasangan pun cenderung menjauh bila kita sering menggerutu. Sebaliknya hati yang bersyukur menceriakan suasana dan memberi dorongan kepada pasangan untuk melanjutkan hidup dengan lebih riang dan ringan. Syukur bukanlah sebuah perasaan; syukur adalah sebuah sikap. Kita harus menentukan bagaimana kita akan melihat hidup. Kita dapat melihat hidup dari kacamata "kurang" atau "cukup." Bila kita terus menggunakan kacamata "kurang" maka semua akan menjadi kurang. Sebaliknya jika menggunakan kacamata "cukup" kita cepat bersyukur kepada kasih setia Tuhan.

Firman Tuhan:

"Kasih setia Tuhan dari selama-lamanya sampai selama-lamanya atas orang-orang yang takut akan Dia dan keadilan-Nya bagi anak cucu, bagi orang yang berpegang pada perjanjian-Nya dan yang ingat untuk melakukan titah-Nya." (Mazmur 103:17-18)


Questions: